“Lo beneran enggak mau ikut?”
Arisha menatapku dengan wajah memelas. Sudah enggak terhitung berapa kali dia menanyakan pertanyaan itu, tapi jawabanku selalu sama.
“Mau istirahat aja. Besok calling-an pagi lagi.”
“Ya udah, deh. Enggak boleh nyesel, ya.”
Dengan berat hati, aku melepas Arisha, Theo, dan Ghania. Semoga enggak ada perang dunia karena hanya ada Arisha dan Ghania, dan semoga saja Theo bisa jadi penengah di antara mereka.
Sementara itu, aku enggak melihat Ansel. Dia pergi lebih dulu, katanya mau hunting sunset, ketika aku masih ada take di GWK. Setelah kembali ke hotel, Ansel belum kelihatan batang hidungnya.
Aku berbalik, niatnya mau kembali ke kamar. Mataku menangkap Dafa dan Kenny keluar dari lift sambil tertawa. Pacar yang sebenarnya pasti akan meradang melihat pemandangan itu.
Tiba-tiba, ide buat kembali ke kamar terlihat sangat buruk. Kepalaku terasa penuh, dan aku bisa saja meledak kalau kembali ke kamar. Apalagi ada Mama, bisa-bisa aku kembali berantem sama Mama.
Mataku menangkap kedai kopi kecil, enggak begitu jauh dari hotel. Sepertinya di sana lebih menarik ketimbang menyusul Arisha dan Ghania. Apalagi coffee shop itu sepi, jadi aku bisa sendirian tanpa gangguan.
Aku memesan segelas iced latte dan memilih tempat di dekat jendela, sehingga bisa melihat jalanan di luar. Aku enggak begitu paham soal kopi, enggak begitu suka juga, tapi aku suka coffee shop karena suasananya membuatku bisa bengong kayak gini. Apalagi coffee shop kecil yang enggak begitu hits, jadi bisa sendirian tanpa takut diganggu orang lain.
Seperti malam ini, aku menyeruput kopi sambil membiarkan pikiranku berkelana jauh.
“Lo di sini?”
Aku tersentak saat kursi di sampingku ditempati seseorang. Saat mendongak, senyumku refleks terkembang ketika melihat siapa yang menghampiriku.
“Lo ke mana aja, sih?” seruku sambil memukul pelan lengan Ansel. “Sukses hunting sunset-nya?”
Ansel mengangguk antusias, mengakibatkan rambutnya yang berantakan bergerak seiring anggukan kepalanya. “Mau lihat?”
Ansel menyodorkan kameranya. Dilihat dari penampilannya, sepertinya dia belum balik ke hotel. Setelah meletakkan kamera di depanku, Ansel beranjak untuk memesan kopi. Dia meninggalkanku yang sibuk memeriksa hasil foto.
“An, lo enggak mau bikin akun Instagram khusus buat foto-foto lo? Ntar gue bantuin, deh. Sumpah, foto lo bagus banget,” seruku tanpa mengalihkan perhatian dari layar kamera ketika Ansel sudah kembali ke meja yang kutempati.
“Kepikiran, sih, tapi takut enggak kepegang. Mending lo bantuin gue handle akun Heart Scent aja.”
Aku mendongak untuk menatap Ansel. “Tuh, gue bilang juga apa. Akhirnya lo bikin akun buat Heart Scent. Sekalian produk nyokap lo, kan?”
Sudah lama aku membujuk Ansel agar membuat akun Instagram untuk mempromosikan Heart Scent, tapi dia malah ogah-ogahan.
“Buat akun foto, gue serius, An. Sayang aja kalau enggak ada yang lihat. Mana lo pernah menang lomba, kan?” Aku memburunya.
Sementara itu, Ansel hanya tertawa. “Satu-satulah. Heart Scent dulu. Megang dua akun aja udah pusing.”
“Dua? Maksud lo sama akun pribadi lo?”
Ansel mengangguk singkat.
Refleks, tawaku pecah. “Akun pribadi lo enggak keurus gitu. Mending fokus ke akun foto.”
“Gitu, ya? Boleh juga, sih. By the way, gara-gara lo tag, gue kecipratan follower.” Ansel terkekeh.
“Serius? Ghania, tuh, suka protes. Katanya enggak pernah kecipratan follower gue.” Aku ikut tertawa.
“Senang, deh, lo udah mulai ketawa lagi. Seharian ini ditekuk mulu itu muka. Suntuk kenapa?”
Tanpa sadar, aku menghela napas panjang. Aku bisa bercerita apa saja kepada Ansel, dan aku bisa mempercayainya. Dia pasti enggak akan menyudutkanku, tapi aku merasa permasalahanku terlalu sensitif untuk dibagi dengan Ansel. Sekalipun dia adalah sahabat baikku.
“Eh, gue punya ini. Mau coba main enggak?” Ansel merogoh sesuatu dari ranselnya.
Ansel meletakkan setumpuk kartu di atas meja. Keningku berkerut saat melihat kartu itu. Aku meraihnya dan mengamatinya. Kartu itu berisi kumpulan pertanyaan.
“Ini apa?” tanyaku.
“Lo lihat, kan, ada pertanyaan di situ? Mainnya gampang, sih. Jawab jujur aja.”
“Lo ngapain punya kartu beginian?”
“Lo ingat enggak kalau abis kecelakaan gue sempat dibawa nyokap ke psikolog? Salah satu terapinya ya kurang lebih kayak gini. Gue dikasih pertanyaan, biar gue berani terbuka sama apa yang gue rasa. Terus enggak sengaja nemu ada yang jual kartu ini, gue beli, deh.”
Aku menganggukkan kepala mendengar penuturan panjang lebar Ansel. Sepertinya menarik, meski aku belum paham cara kerja kartu ini.
Ansel mengambil tumpukan kartu itu dan mengocoknya. Ansel lalu menarik satu kartu dan menyerahkannya kepadaku.
“What are the things that’d make you feel excited to talk about?” Aku membaca pertanyaan di kartu itu dan menatap Ansel. “Gue harus jawab?”
Ansel mengangguk.
“Akting. Lo mungkin mikir gue cuma coba-coba aja atau manfaatin popularitas. Lo juga tahulah kalau banyak yang mengejek akting gue jelek. But I really excited. Makanya diam-diam gue latihan buat casting Act 8. Gue mau banget dapetin peran itu, meskipun nyokap mungkin enggak setuju,” sahutku.
Aku melakukan hal yang sama dengan Ansel dan menarik satu kartu, lalu meletakkannya di hadapannya.
“What do you think is your bad personality trait? How does that trait affect your relationship?” Ansel tertawa usai membaca pertanyaan itu, sementara aku menunggunya dengan penuh antisipasi. “Apa, ya? Let me think…”
Aku memutar duduk hingga menghadap Ansel. Entah kenapa aku merasa deg-degan untuk mengetahui jawabannya. Pertanyaan itu terlalu personal, dan jujur aja, aku jadi penasaran Ansel itu pacar seperti apa.
“Cuek?”
Aku mendengkus. “Lo enggak cuek kali.”
“Tapi Nashila sering bilang gitu.”
Aku menggeleng. “Lo perhatian banget. Sampai detail kecil aja lo bisa aware. Cuek dari mananya?”
Ansel mengangkat bahu. “Nashila sering bilang gue cuek.”
“Mungkin dia enggak kenal lo.”
Ansel melirikku dengan senyum tipis tersungging di wajahnya. “Mungkin lo aja yang terlalu kenal gue.”
Mungkin saja, tapi meski aku sudah sangat mengenalnya, tetap saja aku enggak bisa punya hubungan lebih dari sekadar sahabat.
“Next question.” Ansel sudah keburu menyodorkan kartu baru ke hadapanku.
“What is the most ridiculous reason that got you in a fight with your partner?”
Napasku tercekat saat membaca pertanyaan itu. Kenapa bisa sesuai dengan momen yang kualami saat ini?
“Lo lagi berantem sama Dafa?” tanya Ansel.
Aku meliriknya dengan ujung mata. “Kok lo mikir kayak gitu?”
“Kayaknya, sih. Perasaan gue bilang gitu.”
“Tuh, kalau lo aja bisa ngerasa kayak gitu, enggak mungkin banget, kan, lo itu cuek?” tanyaku.
Ansel ikut memutar duduknya dan menghadap ke arahku. “Lo bisa cerita, An.”
Tentu saja, aku tahu kalau aku bisa cerita kapan saja. Namun, lidahku terasa kelu untuk mulai bicara.
“Ya emang ada masalah, sih. Gue ngerasa enggak sreg aja sama sikapnya Dafa.”
“Karena dia sering bareng Kenny?” tebak Ansel.
Ansel memang enggak tahu kalau hubunganku dengan Dafa enggak 100% karena kita saling suka lalu mutusin buat pacaran. Enggak kayak hubungannya dan Nashila. Jadi, aku enggak cemburu kalau Dafa sering bareng Kenny atau siapa pun. Aku malah enggak peduli.
Namun, aku enggak bisa mengungkapkan kebenaran itu di depan Ansel. Apalagi kebenaran soal tindakan Dafa. Rasanya menyesakkan harus menyimpan rahasia dari sahabatku.
“Enggak ada hubungannya sama Kenny, sih. Lo sendiri sering bilang kalau Dafa itu drama dan gue capek sama dramanya.”
“Dan ngomong-ngomong soal drama, here he is.” Ansel menunjuk ke belakang punggungku dengan dagunya. “Your drama king.”
Aku berbalik dan mendapati Dafa berdiri di pintu coffee shop dengan tangan terkepal dan wajah bersemu merah.