“Coba, deh, kamu update lebih rajin kayak Ghania. Dia baru semalam sampai di Bali, tapi udah aktif banget.”
Ucapan Mama terdengar seperti angin lalu di telingaku. Sedikitpun enggak ada ucapan Mama yang masuk ke benakku.
Tubuhku boleh saja ada di sini, menunggu jadwal take di GWK, tapi pikiranku berkelana ke rooftop pool semalam. Aku enggak bisa tidur karena terus terbayang Dafa. Seringainya yang mengerikan, juga ciumannya yang kasar. Dia membuatku ketakutan semalaman, meskipun aku sudah berada di dalam kamarku yang aman.
Namun, selama masih ada Dafa di dekatku, aku enggak akan merasa aman.
“Anna, kamu dengerin Mama enggak, sih?”
Aku mengangguk pelan.
“Hari ini kamu belum update apa-apa.”
Kadang aku bertanya, seberapa penting kehidupanku sampai-sampai aku harus update setiap saat? Kalau aku enggak update sehari, followers-ku pasti akan baik-baik saja. Namun bagi Mama justru sebaliknya. Di benak Mama, followers-ku akan merasa ada yang kurang kalau aku enggak update soal kehidupan pribadiku.
Bagaimana kalau aku update soal tindakan Dafa semalam? Apa mereka masih akan memuja Dafa?
Aku tersenyum miris. Mungkin saja, tapi ada kemungkinan lain yang malah merugikanku. Aku bisa mendapat komentar negatif. Padahal yang salah Dafa, tapi malah aku yang punya risiko besar dinyinyiri.
“Ma,” gumamku pelan. Mama menatapku lekat-lekat, menungguku menyelesaikan ucapanku. “Aku mau putus sama Dafa.”
“No,” serbu Mama secepat kilat.
Mama terlihat panik, seolah-olah aku baru saja mengabarkan berita yang sangat besar. Padahal aku cuma mau putus, kenapa Mama jadi sepanik ini?
“Jangan ngaco, Anna.”
“Aku enggak suka sama Dafa,” ujarku.
“Terus?”
“Ya ngapain pacaran kalau aku enggak suka sama dia? Aku juga enggak yakin dia suka sama aku,” beberku.
“Apa, sih, kurangnya Dafa?”
“Manner,” sahutku singkat.
Mama mendecakkan lidah. “Mama lagi negosiasi sama produser yang mau masangin kalian berdua. Ini kesempatan besar kamu untuk dapetin peran utama. Kamu mau terus-terusan jadi supporting kayak gini?”
Aku menggeleng. Aku juga mau dapat peran utama di proyek yang lebih besar, tapi bukan berarti aku rela mengorbankan diriku.
“Kamu butuh Dafa, dan dia juga butuh kamu. Win win solution.”
“Tapi, Ma…”
Mama mengangkat tangannya, membungkam apa pun yang akan kuucapkan.
“Kalau mau putus, nanti aja setelah proyek ini goal.”
“Apa hubungannya sama Dafa? Kan, aku bisa ikut casting.”
Mama menatapku dengan ekspresi malas, eskpresi yang selalu muncul jika beliau sudah capek memberitahu sesuatu tapi enggak ada yang bisa mengerti apa yang dia inginkan.
“Memang, tapi dengan gimmick kayak gini, kesempatan kamu lebih gede.”
“Bagi Mama gimmick lebih penting ya dibanding aku?”
“Kamu kenapa, sih?”
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menimbang untuk memberitahu Mama soal tindakan Dafa semalam. Aku enggak tahu reaksi Mama akan kayak gimana, jadi ragu untuk bicara jujur atau tidak.
Namun, bagaimanapun, ini Mama. Ibuku sendiri. Aku yakin Mama akan membelaku, anaknya.
Jadi, cerita itu akhirnya meluncur dari bibirku. Mama mendengarkanku dengan saksama, tanpa sepatah kata bantahan keluar dari mulutnya. Saat mengakhiri cerita, aku menatap Mama dengan penuh harap. Mama pasti akan memberi perhitungan dengan Dafa.
“Ya sudah, nanti Mama suruh dia minta maaf.”
“Ma…” teriakku protes.
“Kamu bisa jaga diri lebih baik lagi harusnya.”
Aku menjambak rambut untuk melampiaskan frustrasi. Kalau enggak ingat sebentar lagi harus take, dan sudah full makeup, aku pasti akan meraung-raung di sini. Bodo amat kalau semua orang tahu.
“Mama benar-benar enggak mikirin aku, ya?”
“Iya, nanti Mama ngomong sama Dafa biar dia enggak kelewatan lagi.”
Aku menggeleng pasrah. Harapan tipis yang tadi kumiliki, sekarang hilang seutuhnya. Detik ini aku sadar, di mata Mama aku hanyalah objek yang fungsinya cuma mendatangkan keuntungan untuknya.
“Nanti Mama paksa kalau perlu, biar dia minta maaf.”
Tentu saja, minta maaf di kamus Mama dan Dafa pasti terkait dengan konten.
**
“Hai, capek banget, ya?”
Arisha merangkul pundakku, tepat ketika aku tiba di tenda yang dialihfungsikan sebagai ruang tunggu setelah selesai take. Siang ini panas banget, apalagi di GWK, membuat kepalaku sampai pusing karena enggak pakai topi.
“Panas banget.” Aku menyahut pelan. “Kalian udah jalan-jalan, ya? Ghania mana?”
Dengan ujung dagu, Arisha menunjuk ke tenda lain. Aku mengikuti, dan mendapati Ghania di tenda yang ditempati Kenny.
“Sejak kapan dia akrab sama Kenny?”
Arisha mencibir. “Kayak enggak tahu dia aja. Cowok lo ngapain juga ikutan nongkrong di sana?”
Aku melihat Dafa juga ada di sana, tengah tertawa bersama Kenny dan Ghania. Melihat Dafa langsung menyulut emosiku. Sudahlah panas, aku jadi makin emosi ketika melihat dia terlihat santai dan enggak ada tanda-tanda bersalah sedikit pun.
Tadi pagi aku berpapasan dengannya saat sarapan. Aku melengos, tapi Dafa malah sengaja menghalangi langkahku. Dia menunjuk pipinya yang semalam kutampar. Enggak ada sisa tamparan di sana, tapi Dafa berlagak aku sudah melukainya.
Dasar drama.
“An, are you okay?”
Aku tersentak saat mendengar suara Ansel. Aku mengalihkan perhatian dari Dafa dan menghadap Ansel. Dia sudah berhenti memotret, dan kini menatapku lekat-lekat.
“Enggak apa. Capek aja, sama panas,” timpalku.
Bukan Ansel namanya kalau langsung percaya. Dia menatapku dengan mata menyipit. “Lo tahu, kan, kapan pun lo butuh, lo bisa cerita sama gue?”
Aku memaksakan diri untuk tertawa, tapi hanya tawa kering yang keluar dari mulutku. “An, I’m fine.”
“Alright, if you said so.” Ansel memutuskan untuk mengalah.
Sejujurnya, aku jauh dari kata baik-baik saja. Ansel menyadarinya, karena itulah dia bertanya. Mungkin dia sudah mengamati sikapku selama beberapa menit ini, sehingga dia curiga ada yang kusembunyikan. Ansel terlalu mengenalku, sehingga sulit untuk menyimpan rahasia, apalagi berbohong di depannya.
Bahkan, setelah dia mengalah pun, Ansel masih saja belum melepaskanku. Dia sudah kembali fokus memotret, sesekali bercanda dengan Theo. Namun aku juga sering menangkap sudut matanya yang mengawasiku.
The truth is, I want to tell him. Namun, aku enggak mau Ansel terlibat masalah dengan Dafa karena ceritaku.