“Jadi gini? Aku ajakin jalan enggak mau, tahunya malah sama dia?”
Beruntung coffee shop ini sepi, cuma ada aku dan Ansel, dan kini ditambah dengan Dafa dan Kenny. Enggak ada yang terganggu dengan dramanya Dafa, kecuali barista yang langsung waspada. Meski enggak ada siapa-siapa, aku sangat terganggu dengan Dafa yang tiba-tiba datang dan langsung marah-marah enggak jelas.
“Kapan kamu ngajak?” Aku enggak lupa ingatan. Jelas-jelas dia enggak pernah mengajakku jalan. Bahkan sepanjang hari ini, aku cuma ngobrol dengannya pagi tadi, ketika dia menunjuk bekas tamparanku semalam. Sepanjang siang, dia sibuk deketin Kenny dan bikin konten entah apa.
“Katanya capek, mau istiharat aja. Ngapain di sini?”
Aku mengabaikan Dafa dan pura-pura menyusun kartu milik Ansel. Dia datang di saat yang enggak tepat. Mood yang tadi sempat membaik, kini kembali jadi buruk karena Dafa.
“Babe…” Dafa menarik pundakku dan memutar kursiku dengan paksa, sehingga aku terkejut dan tanpa sengaja melepaskan kartu milik Ansel. Kartu itu pun berserakan di lantai.
“Apa-apaan, sih?” tegurku.
Aku sudah berniat untuk bangkit dan mengumpulkan kartu itu, tapi Ansel mencekal lenganku. Membuatku kembali terduduk di kursi.
Melihat tangan Ansel yang memegangku, wajah Dafa makin memerah.
Sementara itu, aku mendapati Kenny mengeluarkan handphone dan merekam kejadian ini sambil tertawa.
“Kenny, lo apa-apaan, deh?” serbuku.
“Kalian kan goals banget, ya. Jadi jarang, nih, lihat kalian berantem kayak gini.”
Aku memutar bola mata. Sekarang aku paham mengapa Dafa bisa akrab dengan Kenny, karena mereka sama saja.
“Enggak usah pegang-pegang cewek gue,” hardik Dafa, saat melihat Ansel masih memegang tanganku.
Dafa menarik tanganku hingga terlepas dari pegangan Ansel.
“Kamu selingkuh sama dia?”
Nyaris saja aku tertawa mendengar tuduhan Dafa. Aku enggak menyangka kalau dia bisa sedrama ini.
“Kamu jadi ketus sama aku karena dia?” lanjut Dafa.
“Daf, kalau mau nyalahin orang, cari alasan yang masuk akal dong.”
Dafa mendengus. “Terus, kamu ngapain di sini sama dia?”
“Enggak ada urusannya sama lo,” timpal Ansel.
“Diam lo, gue enggak ngomong sama lo. Ini urusan gue sama cewek gue.” Dafa melabrak Ansel.
Ansel bangkit berdiri, siap untuk menghadap Dafa. Namun, aku menahannya. Cukup Dafa saja yang drama di sini, Ansel enggak perlu ikut-ikutan Dafa.
“Aku enggak nyangka aja kamu tega selingkuh.”
“Please, deh, Daf. Aku sama Ansel sahabat, dan aku juga enggak punya kewajiban buat jelasin ke kamu. Kamu nuduh aku selingkuh? Itu, sih, urusan kamu,” balasku, enggak kalah sengit.
Aku melirik Kenny, yang masih sibuk merekam. Seolah di hadapannya ada adegan sinetron. Well, kalau dipikir-pikir kejadian ini memang cocok ada di sinetron karena menggelikan.
“Mending kamu urus aja urusanmu sama Kenny,” seruku.
“Hei, gue enggak ikut campur, ya,” timpal Kenny.
“Whatever.” Aku bangkit dari kursiku dan berniat untuk pergi. Lama-lama di sini bisa membuatku makin emosi.
“Kamu mau ke mana? Jangan pergi gitu aja abis bikin masalah.” Dafa mencekal lenganku dan mendorongku hingga terjajar ke meja. “Aku tuh udah sabar, ya, sama kamu.”
Refleks aku tertawa. “Sabar? Yang ada kamu malah kurang ajar.”
Wajah Dafa makin memerah ketika mendengar tudinganku. Dia semakin mempererat cekalannya di tanganku. Tanpa sadar, aku meringis kesakitan.
“Lo lepasin Anna, enggak?”
Bukannya mengikuti ucapan Ansel, Dafa malah menatap Ansel. “Enggak usah ikut campur. Dia cewek gue, suka-suka gue mau gue apain.”
Aku sudah akan membuka mulut untuk memprotes Dafa, tapi Ansel lebih dulu menonjok Dafa. Pegangannya refleks terlepas dari tanganku saat dia terhuyung ke belakang akibat pukulan Ansel.
“Lo bisa ngehargain Anna, enggak?” hardik Ansel.
“An, udah. Jangan dipukul lagi,” bujukku.
Dafa pasti akan memperkarakan hal ini. Dia enggak akan tinggal diam mendapat pukulan dari Ansel.
Benar saja, Dafa membalas pukulan Ansel sehingga kini Ansel yang terhuyung hingga menabrak meja. Aku terpekik kaget, sementara Kenny malah bersorak kegirangan sambil terus merekam.
Sementara itu, aku malah kebingungan di tempat. Aku mau membantu Ansel. Tapi aku juga pengin ikut memukul Dafa. Di sisi lain, aku juga mau menghentikan Kenny.
Ansel sudah bersiap untuk kembali memukul Dafa, ketika si pemilik coffee shop menghampiri kami. Tanpa basa basi, dia mengusir kami semua.
Dafa mengumpat kesal sebelum pergi lebih dulu, diikuti oleh Kenny.
“Sorry ya, An,” bisik Ansel, ketika aku berjongkok di sampingnya dan ikut membantu mengumpulkan kartu.
Aku melihat bekas pukulan Dafa di wajah Ansel. Sekarang belum kelihatan, tapi besok bisa terlihat jelas bekas pukulan itu.
“Sakit enggak?”
Ansel menggeleng. “Gue enggak masalah, ya, dia mau nonjok gue sampai babak belur. Tapi, gue enggak terima lihat dia marahin lo kayak tadi. Dia pikir dia siapa? Mentang-mentang dia pacar lo, lalu boleh marahin lo sesuka hati?”
Aku meneguk ludah, dalam hati merasa tersentuh dengan sikap Ansel. Namun aku tahu kalau aku enggak boleh merasa seperti itu. Bagaimanapun, aku yang menyeret Ansel ke dalam masalah ini.
Setelah semua kartu itu terkumpul, Ansel menggandengku keluar dari coffee shop. Kami berjalan pelan menuju hotel yang jaraknya tidak begitu jauh.
“Apa yang lo lihat dari cowok berengsek kayak dia? Fisik? Fame? It’s nothing and I know you’re more than that. Lo enggak shameless kayak Ghania atau Kenny.”
Hatiku mencelus saat mendengar penuturan Ansel. Kalau saja Ansel tahu apa yang sebenarnya kurasakan.
Aku enggak melihat adanya hal spesial di diri Dafa yang membuatku bisa jatuh cinta kepadanya. Malah sebaliknya, aku bisa melihat hal spesial di diri Ansel, dan itulah yang membuatku menyukai sahabatku sendiri.
“Kalau dia enggak bisa menghargai lo, gue harap lo putus sama dia.”
Dalam hati aku mengiyakan ucapan Ansel, tapi putus dari Dafa bukan perkara gampang.
“But in the meantime, kasih tahu gue kalau dia macam-macam lagi,” tegas Ansel.
“I’m fine, An.”
“Stop lying. You’re not fine at all.” Ansel memotong ucapanku.
Aku menghela napas panjang. “Trust me, I’m fine. Kan, ada lo, makanya gue baik-baik aja.”
Ansel menoleh kepadaku. Dari penerangan jalan yang seadanya, aku bisa merasakan ketulusan saat melihatnya tersenyum kepadaku.
Selama ada Ansel, entah kenapa, aku yakin akan baik-baik saja.