Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (The lost Memory)
MENU
About Us  

Pengejaran

“Kakek… kau tau, untuk bertemu denganmu, aku hampir menggadaikan kewarasanku”
Arsya Abiseka G___

 

 

Setelah 36 jam duduk di gerbong, kaki Pak Damar hampir tidak bisa menopang tubuhnya. Tapi begitu melihat plakat "Stasiun Tugu Yogyakarta", energi baru mengalir. Arsya ada di sini. Di kota ini. Mungkin hanya beberapa kilometer dari tempat ia berdiri.

Hujan rintik mulai membasahi atap stasiun saat ia melangkah keluar dari gerbong. Udara Desember yang lembab menusuk kulit, membawa aroma aspal basah yang bercampur dengan keringat dingin kecemasannya. Jari-jarinya mengusap foto Arsya di saku kemeja—satu-satunya yang tersisa dari rumah Arsya, pasca terlibat kecelakaan, 3 tahun lalu.

Tunggu Kakek, ya Arsya...

Di tengah keramaian penumpang yang berhamburan, Pak Damar melihat sosok tegap Dokter Nata menunggu di ujung peron. Di sampingnya, Rajendra dan dua orang berjas gelap—anggota kepolisian yang sudah berkoordinasi sejak kemarin.

"Pak Damar!" Dokter Nata menyambut dengan pelukan singkat. "Syukurlah Bapak selamat sampai."

"Bagaimana perkembangannya?" tanya Pak Damar tanpa basa-basi, matanya menyapu wajah-wajah di hadapannya, mencari tanda-tanda harapan.

“kami memohon maaf, belum bisa melaporkan perkembangan yang berarti.” ujar salah satu petugas. “Namun kami usahakan, kedatangan anda berdua malam ini tidak akan sia-sia”
“Kami juga mengharapkan hal yang sama, Komisaris bayu?” Pak Abbas menjabat tangan salah satu petugas. “Saya Abbas, namun malam ini saya akan memperkenalkan diri dengan nama Damar”
“Mohon kerja samanya, Bapak Abbas, alias Damar”

***

Komisaris Bayu, pria paruh baya dengan mata tajam, maju selangkah. "Menurut penjelasan anda, Damian sudah mengkonfirmasi tempat pertemuan. Tugu 0 KM Yogyakarta, satu jam dari sekarang." Dia mengeluarkan perangkat kecil seukuran koin dari tasnya. "Pak Abbas, ini untuk jaga-jaga."

Pak Abbas, yang berdiri agak terpisah, menerima alat itu. Logam dingin menempel di telapak tangannya yang berkeringat. Tiga hari lalu dia masih berpikir ini hanya akan jadi pertemuan biasa dengan seorang "informan." Sekarang dia akan berhadapan dengan kemungkinan penculik anak.

"Apa ini?" tanyanya, merasakan berat benda kecil itu.

"Alat perekam jarak jauh," jawab Komisaris Bayu. "Tempelkan di dalam saku. Jangkauannya 500 meter—cukup untuk kami monitoring."

Rajendra menunjukkan ponselnya. "Kami juga pasang GPS tracker di sini. Real-time location. Jadi kalau ada apa-apa—"

"Yang paling penting," Dokter Nata memotong, "kami akan ada di sekitar mobil anda, bersiap, untuk apapun itu."

***

Pak Damar menggenggam tangan Pak Abbas dengan erat. Tangannya bergetar—entah karena kelelahan, kedinginan, atau ketakutan. "Abbas... terima kasih. Tanpa kamu, aku tidak akan sampai sejauh ini."

"Kita belum selesai, Mas Damar." Pak Abbas menelan ludah. "Yang penting Arsya selamat."

Pak Damar mengangguk, melepas genggaman tangannya perlahan. "Abbas, tolong Pastikan dia menyebutkan lokasi Arsya dengan jelas. Kami akan bergerak secepat mungkin."

***

Hujan semakin deras saat mereka berpisah. Pak Abbas menaiki taksi yang sudah menunggu, sementara Pak Damar dan tim bergegas menuju dua mobil operasi yang diparkir di seberang stasiun.

Di dalam taksi, lampu-lampu jalanan yang melintas memantulkan bayangan wajah Pak Abbas yang tegang. Jari-jarinya menekan nomor yang sudah dihafal di luar kepala, berusaha mengingat instruksi Komisaris Bayu: bicara natural, jangan terdengar mencurigakan.

"Damian, saya sudah sampai," ujarnya, sengaja memperkeras suara.

"Saya di depan Tugu, Pak," sahut suara dari seberang—suara yang terdengar berbeda dari telepon sebelumnya. Lebih percaya diri. Lebih tepatnya saat ini nadanya lebih... terkontrol.

Ada sesuatu yang salah dengan nada suara itu, tapi Pak Abbas tidak bisa menentukan apa.

***

Di pojok Malioboro yang agak sepi, seorang pria berjaket hitam melangkah keluar dari bayang-bayang. Tinggi, tegap, dengan cara berjalan yang terlalu tenang untuk orang yang sedang melakukan transaksi berbahaya.

Saat taksi berhenti, dia mengangkat tangan. "Pak Damar? Saya Damian."

Pak Abbas turun dari taksi, merasakan dinginnya angin malam. "Ya, saya Damar." Suaranya hampir tidak bergetar—dia sedikit bangga dengan kontrolnya sendiri. "Maaf merepotkan karena memintamu menjemput. Kendaraanmu?"

"Saya tadi naik bus." Pria itu tersenyum—senyum yang terlalu latihan. "Bisakah saya menumpang?"

"Iya, silakan."

Saat mereka masuk ke taksi, Pak Abbas merasakan ada yang aneh. Pria yang mengaku Damian ini duduk dengan posisi yang tegap, mata terus memindai kaca spion. Gerakanya lincah, dan seolah sudah diprediksikan baik sebelumnya

Dengan gerakan halus, pria itu mengeluarkan ponsel dari dalam jaketnya, meletakkannya di pangkuan dengan layar menghadap ke bawah. Cahaya redup berkedip di layar—apakah itu tanda khusus, atau hanya sistem yang terbuka? Pak Abbas tidak tahu apa itu, tapi saat ini seluruh gerakan Damian oleh Pak Abbas diartikan dengan sesuatu yang patut dicurigai.

"Kita harus ke mana?" tanya Pak Abbas, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

"Saya akan mengarahkan Bapak," jawab pria itu dengan nada yang terlalu terkontrol. "Untuk sekarang, ke arah timur dulu."

Pak Abbas mengangguk, tapi perasaan tidak nyaman semakin menguat. Ini bukan pertemuan biasa. Dan pria di belakangnya—siapa pun dia—pasti tahu lebih banyak dari yang dia akui.

Di kaca spion, dia melihat sepasang mata yang memandangnya dengan perhitungan yang dingin.

Damian tersenyum tipis, jari-jarinya mengetuk-ngetuk pelan di atas ponsel.

Mari kita mulai permainanya…

***

Saat yang sama, lima kilometer dari pusat kota, Arsya terbangun tersentak dari mimpi berulang mengenai Bundanya. Pesan itu masih bergema di telinganya: bertahan, Nak. Arsya Sayang ... bertahan… dia sebentar lagi datang.

Kamar bayi terasa asing—hanya ada tiga anak balita yang tidur di kasur sebelah, napas mereka terdengar pelan dan teratur seperti detak jam. Fatma tidak ada. Bahkan suara langkah kaki perawat pun tidak terdengar dari koridor.

Arsya melihat jam dinding yang berdetak pelan. Angka 8 dan 0 terlihat jelas meski pandangannya agak buram. "Sudah jam delapan malam, ya?" gumamnya, suaranya serak. Kepalanya terasa berat, seperti diisi air keruh. "Aku... dimana? Di kamar bayi, ya? Perasaan tadi aku masih sama Alana."

***

Arsya mencoba mengingat. Terakhir kali dia ingat, dia masih bersama Alana. Mereka di perpustakaan, bersama Shelly. Setelah keluar dari ruangan ibu panti, dia hanya tidak ingin tidur. Dia tidak memiliki semangat melakukan apapun—hanya tidak ingin kembali tidur. Caranya, dengan mengikuti Alana.

Tapi setelah itu... apa? Ada perdebatan. Alana membela dia. Lalu ... kosong. Seperti ada bagian yang hilang dari pikirannya, seperti halaman buku yang disobek.

Badannya terasa panas. Baju tidurnya basah oleh keringat. Demam lagi. Tapi dia tidak berani tidur.

***

Perlahan, serpihan-serpihan ingatan mulai kembali. Alana yang beradu mulut dengan anak panti lain. Benar, dia membela Arsya.

"Kenapa kamu mau main sama anak bodoh, jelek dan lemah kayak dia?"

"Siapa yang kamu maksud anak bodoh? Dia?" Alana menunjuk Arsya. Awalnya suara Alana terkesan santai, namun mulai melonjak saat anak-anak panti menertawakan pembelaannya.

"Kamu bilang dia bodoh? Asal kalian tau, dia bahkan bisa membaca buku yang hurufnya banyak. Beda sama kalian. Kalian nggak bisa baca. Kalian yang bodoh."

"Apa kamu bilang, Al? Kami bodoh?"

"Iya, kalian bodoh."

"Kalau dia nggak bodoh kenapa dia diam aja? Padahal harusnya dia yang marah."

"Anak baru itu cuma lagi linglung. Dia nggak bodoh." Alana mulai meninggikan suara.

"Dia bodoh, Al. Jelek karena dia botak. Dan lemah."

"Dia nggak lemah. Kamu pernah mimisan?"

"Enggak, lah kan aku sehat. Nggak pernah mimisan."

"Kamu bisa ngobatin sendiri kalau lagi mimisan? Nggak kan? Arsya bisa. Dia nggak lemah, pintar. Nggak kayak kalian."

"Dih dibilangin ngeyel. Yah soalnya kalian sama sih, sama-sama aneh. Cocok."

***

Arsya mengingat perdebatan itu. Alana yang membelanya. Harusnya dia merasa haru, atau senang, atau terima kasih. Tapi tidak ada apa-apa di dadanya. Kosong. Seperti ada bagian dari dirinya yang mati.

Dia tidak peduli saat dikatakan bodoh, lemah bahkan jelek. Tapi mereka juga menghina Alana. Entah kenapa, saat itu Arsya ingin membawa Alana pergi. Entah karena peduli, atau karena takut—takut jika Alana juga tidak menerimanya pada akhirnya.

"Kenapa aku nggak bisa nangis?" bisiknya pada kegelapan. "Kenapa aku nggak bisa sedih? Harusnya aku marah, kayak Alana. Tapi aku juga nggak ingin marah."

***

Kepalanya kembali berdenyut. Napasnya terasa panas seperti ada api kecil di tenggorokan. Arsya melihat langit-langit kamar bayi yang mulai bergerak-gerak, berputar pelan seperti gasing.

"Jangan tidur lagi..." pintanya pada langit-langit yang berputar. "Jangan, jangan bikin aku tidur lagi..."

Salah satu balita di sebelahnya mengigau, tangannya bergerak-gerak mencari sesuatu. Arsya ingin mendekat, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.

***

Pikirannya begitu kuat menolak, tapi seluruh tubuhnya berontak, memintanya diam dan beristirahat. Dia sudah tidak bisa melawan lagi. Seperti baterai mainan yang hampir habis—masih bisa menyala, tapi cahayanya semakin redup.

"Maaf, Dokter Nata," bisiknya pada kegelapan, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku harusnya nyari Dokter Nata. Tapi aku... aku sudah nggak bisa lagi."

Matanya mulai terasa berat. Di kejauhan, dia bisa mendengar suara mesin mobil yang lewat di jalan raya. Mungkin salah satunya adalah mobil yang membawa harapan untuknya.

Tapi Arsya sudah terlalu lelah untuk berharap.

***

Sementara Arsya seolah lelah berharap, jauh di Jalanan kota Yogyakarta, hatapan itu masih tergenggam erat. Mobil Pak Abbas melaju meninggalkan pusat kota, memasuki jalan yang semakin sepi. Damian—pria yang mengaku bisa membawa Pak Abbas bertemu Arsya—tidak memberikan alamat pasti. Hanya arahan singkat: "Lurus terus, Pak. Nanti saya kasih tahu."

Pak Abbas melirik jam tangan. Hampir setengah sembilan malam. Sudah tiga puluh menit mereka berkendara, dan lampu-lampu kota mulai jarang terlihat. Di saku celananya, ponsel bergetar pelan—tanda GPS tracker masih aktif. Tangannya bergerak perlahan, menekan tombol record pada aplikasi perekam suara tanpa mengeluarkan ponsel.

"Sebenarnya, kita mau ke mana?" tanya Pak Abbas, berusaha menjaga nada suara tetap tenang. "Anak saya sakit keras. Semakin cepat, semakin baik."

Damian tersenyum tipis melalui kaca spion. "Sabar, Pak. Kita sudah berada di jalur yang tepat, tenang saja."

Ada yang janggal dalam nada suaranya. Gesang seolah sudah menyiapkan semuanya.

Pak Abbas memperhatikan rambu jalan yang mereka lewati. Arah Karanganyar. Ini bukan jalur menuju panti mana pun yang dia kenal di Yogyakarta. Kegelisahan mulai mendominasi perasaan Pak Abbas.

"Damian," suaranya sedikit bergetar, "bukannya panti asuhan biasanya di dalam kota? Kenapa kita malah keluar kota?"

"Pak Abbas," Damian memutar kepala sebentar, matanya berkilat aneh dalam kegelapan, "Bapak ini terlalu banyak tanya. Bukannya Bapak mau bertemu cucu? Ya ikuti saja arahan saya."

Genggaman tangan Pak Abbas pada pintu samping mengencang. Di saku, ponsel masih merekam. "Iya, tapi—"

"Arsya, aku setiap hari mengirimkan perkembangannya, mencatat dengan detail laporan untuk anda, hal itu masih belum cukup rupanya, untuk meyakinkan bapak jika saya memang hanya ingin membantu anda."

"Ada apa dengan penjelasanmu barusan? Kamu pikir saya___"

"Bapak tahu, saat saya menemukan Arsya pertama kali, saya kirs dia tidak akan bertahan lama. Tapi saya kagum dengan ketahanan anak itu."

Tiba-tiba membahas Arsya? batin Pak Damar.

"Selain itu, aku juga mengaguminya karena banyak yang rela mengorbankan banyak hal, untuk bertemu dengannya. Contohnya Bapak, yang rela menggelontorkan banyak dana bagi yang menemukannya. Bayangkan, jika anda salah langkah, dan berakhir kehilangannya?"

"Apa maksudmu damian?"

"Maksud saya, Bapak tidak usah terlalu waspada sampai membawa tim untuk membuntuti perjalanan kita. sekarang, rasanya saya sedang dicurigai menculik Arsya."

Pak Abbas merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangan kanannya bergerak perlahan ke arah ponsel, memastikan perekaman masih berjalan.

"Saya sendirian, Nak Damian. Kamu bisa lihat mobil yang kita tumpangi, bukannya taksi biasa? saya bahkan tidak sempat mencari tempat penyewan mobil demi cepat bertemu denganmu dan menjemput cucu saya."

"Baik, saya hargai niat bapak, "

setelahnya Gesang sibuk dengan posel di tangannya. entah menghubungi siapa, tapi Pak Abbas harus tetap waspada.

***

Lima ratus meter di belakang, Dokter Nata duduk tegang di kursi penumpang mobil sedan gelap. Rajendra, polisi muda yang dia kenal dari kasus Arsya, mengemudikan dengan jarak aman.

"Aneh..." ujar Rajendra tiba-tiba. Dia seolah sengaja tidak memberitahu alamatnya langsung. Si Damian itu... sepertinya dia memiliki rencana yang sama matangnya dengan tim kita."

"Kamu benar, Nak Rajendra." ujar Pak Damar, terlihat pesimis. Bagaimana jika dia menipu kita, dan rencana pencarian Arsya kali ini juga..."

"Kita akan berhasil, Pak." potong Dokter Nata. "Saya tahu, melihat selama tiga tahun anda sering kali kehilangan harapan. Namun, saya yakin. Kali ini harapan Bapak akan terwujud." lanjutnya, menguatkan. Dokter Nata juga saat ini ragu, tapi dia benar-benar tidak ingin kehilangan Arsya lagi. Tidak akan.
***
Notif ponsel Damian berbunyi

"Lima puluh meter belok kiri" 

bara, rekan Damian, alias Gesang baru saja mengirimkan arah jalur kabur untuk mereka berdua.

***

malam sebelumnya, Bara sudah memprediksikan kedatangan Pak Damar pasti tidak akan sendirian. Walau mereka sejak awal membangun kepercayaan sebagai penyelamat, tidak mungkin Pak Damar akan sepenuhnya percaya. 

oleh karena itu, Gesang sebelumnya sudah memetakan lokasi, bersama bara mereka menandai titik-titik aman untuk pelarian. Gesang memutuskan untuk menggunakan kebun Karet di daerah Karanganyar. 

"Kebun karet itu cukup luas, lokasinya sekitar 20 menit dari panti. Jika peran kita terancam, kita gunakan lokasi itu untuk kabur. aku akan berusaha menjaga agar mereka percaya aku menyelamatkan Arsya. Kamu cukup mencari informasi, apakah mereka datang sendiri, atau beregu, namun beda kendaraan."

***

Bara sudah menyelesaikan tugasnya, pesan sebelumnya. bara menuliskan jika Gesang diikuti, Bara curiga ada lebih dari satu unit pengintai. 

jarak antara lokasi mereka dan lokasi yang sudah ditandai sebagai jalur pelarian sudah dekat. Saat yang tepat menggunakan pesan dari Alin untuk mendesak pak damar menyerahkan uang.

"Damian, kita benar ada di jalan yang sesuai?"

"Tenang saja pak, kita sebentar lagi akan sampai. Tapi, saya sungguh akan mendapatkan uang yang di janjikan, bukan?"

"Asal kamu tidak menipuku."

"yang penipu siapa, yang takut ditipu siapa." sindir damian.

"Damian aku bukan penipu."

"baik... Bapak bisa lihat video ini sebentar?" tanya Damian

"video, kenapa tiba-tiba?"

"ini tentang Arsya."

Mendengar kata Arsya, akhirnya Pak Abbas melihat video yang di berikan Damian. Dalam video itu nampak seorang anak, di sampingnya beberapa bayi tertidur. Mereka sendirian, tanpa pengasuh.

"Bapak bisa tebak, siapa yang ada di dalam video tersebut?"

Pak abbas tida berani menyebutkannya, namun Pak Abbas tahu. anak itu sudah pasti Arsya. 

"Sudah, sekitar tiga hari. Arsya sakit." ujar damian "suhu badannya naik turun, tidak lama kemudian, dia sering muntah. dalam istilah kesehatan, dia sedang mengalami gangguan makan. Tubuhnya mengatakan makanan itu berbahaya, dan menolaknya. Padahal anak itu butuh asupan. Berat badannya turun sejak saya menemukannya. dan dalam video yang bapak lihat. adalah kondisinya terkini"

"Kamu apakan dia?" tuduh Pak Abbas langsung.

Damian tertawa. "Sejak awal saya ingin sekali menjadi penyelamat untuknya. Harusnya tetap terlaksana, karena sampai saat ini saya masih membantunya. Bapak membuat saya jadi berniat melakukan sesuatu padanya."

"Kamu mengancam saya?"

"Karena bapak dulu yang memulainya. Mobil di belakang, anda mengenalinya, bukan?"

"Sudah saya katakan, damian saya datang sendiri."

"Polisi, wartawan, keluarga?"

"Aku tidak mengenal mereka"

"Bapak bikin semua jadi lebih rumit, harusnya, setelah saya menceritakan kondisi terkini Arsya, anda tidak akan mengambil keputusan ceroboh untuk memancing saya mencelakai anak itu."

"Damian!"

"Dia siang tadi mimisan, parah. saat ini dia kembali demam. Dan harusnya saya kesana untuk memantau kondisinya. Namun, karena awalnya saya tidak berniat menjadi penjahat, saya segera menjemput anda dan mempertemukan dengan Arsya. Arsya... anak itu dalam wilayah saya"

"Apa yang kamu mau?" potong Pak Abbas.

"Serahkan uang tebusannya. dan batalkan pengepungan ini. dari awal saya tidak berniat berbuat jahat."

"aku tidak kenal siapa yang ada dalam_"

Damian menginterupsi Pak Abbas. Ponselnya bergetar, ada seseorang yang menghubunginya.

Damian menunjukan layar ponsel dengan keterangan nama penelepon "Adik Panti". Setelah dirasa Pak Abbas selesai membaca, dia menerima panggilan.

"Kak Gesang dimana?" sergah si penelepon sebagai pembuka.

"Aku lagi di jalan. Dari kota, kenapa?"

"Kak... Kondisi anak barunya menurun." jelas si penelepon "Dia demam lagi, dari tadi siang kayak orang linglung. Aku takut, kak. Tadi kakak bilang mau lihat kondisinya, kenapa sekarang justru ke yogyakarta."

"Tenang, jangan panik! ceritanya yang jelas. Anak barunya linglung?"

"Iya, mungkin karena demamnnya terlalu tinggi. Tadi waktu aku minta dia minum obat, dia cuma bengong, aku bantu minum, harus aku kasih komando untuk sedot minumannya padahal udah nyata di depannya. dia nggak mau makan, dipaksapun seperti sebelumnya, dia muntah. Kita bingung harus bagaimana, aku takut malam ini dia udah nggak bisa berta___"

sambungan telepon diputus sepihak. "Pilihan di tangan Bapak, serahkan uangnya dan minta mobil di belakang, kembali. taruhannya nyawa cucu bapak sendiri"

dengan tangan bergetar, Pak damar menyerahkan koper. Damian masih menunggu. Pak Abbas menghela napas. dia mengangkat ponsel kemudian mencari kontak yang harus dihubungi. Saat Pak Abbas fokus ke ponselnya, Damian tiba-tiba bergerak cepat.

pintu mobil terbuka, damian sudah tidak ada, menghilang bagai hantu di tengah kebun karet yang sepi. Tidak lama kemudian, mobil polisi yang membuntuti dari jauh melesat masuk, sirene mereka menyala, memecah kesunyian malam yang mencekam. Tembakan peringatan terdengar, memantul-mantul di antara jajaran pohon karet.

Pak Damar, Dokter Nata, dan Rajendra segera menghambur keluar dari mobil. Mereka berlari menghampiri taksi yang terhenti, tempat Pak Abbas masih duduk terpaku, menatap kosong ke arah kegelapan yang menelan Damian.

"Abbas! Kamu baik-baik saja?" tanya Pak Damar, suaranya sarat kecemasan. Ia meraih bahu Pak Abbas, merasakan getaran tubuhnya.

Pak Abbas mengangguk lemah. "Saya baik, Mas Damar. Tapi... misi kita hari ini gagal." Nada suaranya penuh kekecewaan, kepalanya tertunduk. "Dia berhasil kabur."

Pak Damar menghela napas panjang, menatap kegelapan kebun karet. "Tidak apa-apa, Abbas. Setidaknya kamu selamat." Ia mencoba menenangkan, meskipun hatinya sendiri hancur. "Lagipula, entah kenapa, tadi di tengah percakapan, tiba-tiba alat perekam saya rusak. Jadi saya tidak bisa dengar kelanjutan setelah Damian sadar dia dibuntuti. Tapi... kamu berhasil mendapatkan alamatnya, bukan?"

Pak Abbas menggeleng. "Tidak, Mas Damar." Wajahnya pias. "Dan parahnya lagi, kita harus berburu dengan waktu." Ia menoleh ke arah Pak Damar, matanya menyiratkan ketakutan yang mendalam. "Kondisi Arsya... kritis. Dan saya... saya belum mendapatkan petunjuk tempat Arsya berada."

Kebingungan melingkupi wajah Pak Damar. "Kritis? Maksudmu apa, Abbas? Apa yang dia katakan?"

Pak Abbas menarik napas dalam-dalam, menahan emosinya. "Dia bilang... dia tidak tahu benar atau tidak, tapi Damian bilang Arsya demam parah. Siang tadi mimisan juga. Dan... dan dia juga mengalami gangguan makan. Damian bilang Arsya sudah tidak bisa memutuskan sendiri, bahkan untuk sekadar minum."

Mendengar itu, Pak Damar merasakan kakinya lemas. Dunianya seolah berputar. Rasa lelah 36 jam di perjalanan, kecemasan yang selama ini ia pendam, kini menghantamnya seperti ombak raksasa. Ia sudah hampir limbung, nyaris pingsan, saat Dokter Nata dan Rajendra sigap menopangnya.

"Pak Damar! Pak!" Dokter Nata mencoba menenangkan.

Keputusasaan menyelimuti tim. Setelah semua usaha, semua harapan, mereka kembali ke titik nol, bahkan lebih buruk. Ada perasaan menyerah yang mulai merayapi hati setiap orang.

Namun, di tengah hening yang memilangan itu, sebuah suara tiba-tiba memecah kebuntuan. Ponsel Rajendra berdering. Cahayanya menyala di kegelapan malam.

Rajendra mengangkatnya. "Halo? Alin?"

Mata Rajendra membelalak. Ia menatap Pak Damar dan Dokter Nata dengan ekspresi tak percaya. "Alin... dia... dia bilang dapat lokasi Arsya. Alamatnya jelas. Dia... dia bilang Arsya di Panti Asuhan Harapan Bangsa. Lokasinya, dia mengirim link."
Sebuah percikan harapan, sekecil apapun, kembali menyala di tengah kegelapan yang pekat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tok! Tok! Magazine!
87      75     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
362      246     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Reandra
1393      945     66     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Our Perfect Times
812      586     7     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
170      112     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Finding the Star
988      743     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Hideaway Space
58      47     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
RUANGKASA
41      37     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Pasal 17: Tentang Kita
120      42     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
I Found Myself
40      36     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?