Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (The lost Memory)
MENU
About Us  

Aku bersembunyi di balik topeng keberanian, padahal aku terlalu pengecut untuk menghadapi kekecewaan. Doa dan harapan kutinggalkan, bersamaan dengan mimpi-mimpiku, dalam penjara keputus asaan

 

Arsya Abiseka Gantari

 

Panas menjalar ke seluruh tubuh Arsya. Kepalanya pening. Dengan susah payah, ia meremas kening, berusaha meredakan sakit yang menusuk.

 

Dalam keadaan setengah sadar, ia berusaha memejamkan mata, mencari pelarian dari siksaan panas ini. Namun, usaha itu sia-sia.

 

Tubuhnya diguncang oleh seseorang, membangunkannya dari lamunan sakit. Suara parau dan kasar menusuk telinganya.

 

"Hei, bangun!" perintahnya.

 

Arsya mengerjap perlahan, pandangannya masih kabur dan berat. Cahaya lampu penerangan yang menyilaukan membuatnya meringis. Dengan susah payah, ia mencoba fokus pada wajah orang yang berusaha membangunkannya.

 

"Aku... aku ketiduran?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

 

Arsya menatap wajah yang tersenyum di atasnya dengan pandangan kosong. Otaknya masih berusaha mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Ingatan tentang janji perlindungan dan ancaman dari anak-anak lain kembali menghantuinya. Anak yang membangunkannya mendeklarasikan diri sebagai sosok "Kakak" bagi Arsya dengan percaya diri. Dia Alana.

 

Alana menggenggam tangan Arsya, perasaannya yang kacau terpantul dalam bisik hatinya. "Aku sebel, karena dia lebih beruntung daripada aku. Tapi aku tahu aku nggak boleh kayak gitu. Aku kan Kakaknya, jadi aku harus tunjukin yang baik buat dia."

 

Arsya merasakan genggaman Alana yang erat, dan dia tidak bisa mengabaikan nada getir yang menyertai kata-kata itu. "Hei, kamu tahu nggak, aku dulu pernah dibawa balik ke sini lagi setelah diadopsi. Jadi, kamu harus nurut sama aku biar kamu nggak kayak aku," ujar Alana, nada suaranya tegas namun ada sedikit getar yang terdengar. "Kamu nggak mau tinggal di sini, kan? Aku tahu. Jadi, turuti aku."

 

Dia menarik napas dalam, menatap lurus mata Arsya, seolah mencoba menyalurkan semua harap dan ketakutannya. "Kamu enggak boleh manja sama orang yang mengadopsimu. Kamu enggak boleh ngerepotin. Kamu harus nurut sama semua perintahnya, walau kamu enggak suka. Kamu harus menahannya. Dengan begitu, kamu enggak akan kembali ke sini. Kamu mengerti?" tanya Alana, suaranya sedikit melunak. Arsya hanya diam, kepalanya terlalu sakit untuk berpikir jernih, namun dia merasakan ada sesuatu yang mendesak dalam kata-kata Alana.

 

"Hei, aku sudah bilang. Kamu harus mengangguk kalau mengerti perkataanku. Jangan seperti anak dungu," ujar Alana, kali ini suaranya lebih tajam. Arsya terkejut dan cepat-cepat mengangguk, mengikuti perintah itu dengan rasa takut yang menggelayut di hatinya. Menurutinya tidak membuat Arsya rugi, pikirnya.

 

"Pintar," puji Alana, sambil menepuk kepala Arsya dengan kasar. Namun, seketika itu juga, dia mengangkat tangannya. Mengubah tepukannha dengan mengusap kepala Arsya. "Ulangi perkataanku tadi. Kamu sama sekali nggak boleh lupain itu!" perintah Alana. "Ayo ulangi!"

 

Arsya menurutinya. "Aku enggak boleh nakal," ujarnya, suaranya masih terpengaruh oleh sakit kepala yang dirasakannya. Alana mengangguk, menunggu Arsya mengucapkan kalimat berikutnya. "Aku enggak boleh manja, harus menurut," lanjut Arsya, suaranya semakin yakin meskipun ada keraguan di dalam hatinya.

 

Alana memeluknya sambil berulang kali memuji Arsya. "Pintar..." bisiknya, kali ini dengan nada yang lebih lembut, namun dalam benaknya masih tergambar bayangan kegagalan masa lalunya.

 

"Kamu nggak boleh lupa. Kamu harus mengingat itu. Kamu harus ingat, selamanya!" bisik Alana lagi, suaranya kini lebih lembut namun tetap tegas. "Kamu mengerti, kan?" tegasnya, sorot matanya penuh harap. "Sekarang, kamu harus ikut aku ke ruang tamu. Orang yang nunggu kamu ada di sana. Jangan teriak, jangan gigit ya. Kamu harus baik sama mereka," perintahnya.

 

Dengan tatapan penuh harap dan sedikit ketakutan, Arsya mengangguk. Dalam hatinya, dia merasakan kegelisahan yang mendalam, namun dalam benaknya terpatri satu tujuan untuk tidak kembali ke tempat yang penuh rasa sakit ini.

 

Alana menariknya bangkit dari kasur. Sebenarnya, rasa pusing di kepalanya semakin parah. Badannya menggigil hebat, dan wajahnya memerah karena demam yang semakin meninggi. Tapi Arsya tak punya keinginan untuk menolak. Beberapa hari terakhir ini, dia hanya bisa menuruti Alana, melakukan apapun yang diminta anak itu. Seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang membuatnya terikat pada Alana, meskipun dalam hatinya dia merasa ada sesuatu yang salah.

 

Arsya mengikuti arah tarikan Alana dengan pasrah. Tak ubahnya seperti boneka yang digerakkan oleh tangan orang lain, dia menerima semua perintah Alana tanpa sedikitpun menolak. Walaupun pandangannya semakin kabur, ia tetap berjalan. Setiap langkah terasa berat, namun suara Alana yang terdengar di telinganya seolah menjadi satu-satunya kompas yang bisa dia ikuti.

 

"Apakah ini yang disebut hidup?" pikirnya dalam kebingungan, sebelum suara beberapa orang dewasa mulai terdengar samar-samar. Semakin Arsya mendekati ruang tamu, suara itu semakin jelas.

 

"Nah, itu anaknya," ujar salah satu dari mereka. Arsya mengenali suara itu-suara ibu panti yang lembut, sebenarnya Arsya suka suaranya. Tapi Arsya tidak suka tempat ini. Dan Ibu panti yang memilikinya. Andai tempat ini dikelola lebih baik lagi, rasanya tidak akan begitu menakutkan.

 

"Duduk di sini, Kakak temani. Kamu tidak usah takut," kata Alana sambil berusaha menenangkan Arsya. Namun, kata-kata itu terasa begitu hampa di telinga Arsya, seolah hanya gema kosong yang berputar-putar dalam kepalanya.

 

Takut? Arsya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia merasakan takut. Perasaan itu sudah lama terkikis oleh kesedihan yang dalam, oleh kepasrahan yang mencekik. Di hatinya, hanya ada kegelapan yang tak berujung, di mana rasa sakit dan kecewa telah mengakar begitu dalam, menghapus semua rasa takut yang dulu pernah ada.

 

Seseorang mendekatinya. Arsya merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya yang panas. Ada sesuatu yang ganjil tentang kehadiran orang itu, tapi Arsya terlalu lelah untuk peduli. Semua yang ia inginkan hanyalah agar semuanya berhenti-semua rasa sakit, kepedihan, dan kebingungan yang tiada akhir ini.

 

"Arsya," sapa suara itu lembut, seperti sebuah bisikan dari masa lalu yang hampir terlupakan. Arsya hanya diam, matanya terpaku pada retakan di lantai. Demamnya semakin menjadi-jadi, dan napasnya semakin terasa panas.

 

"Arsya..." panggilnya lagi. Panggilan itu terasa asing di telinganya, seperti sebuah nama yang dulu pernah dia kenal, tapi sekarang terasa jauh dan tak nyata. Sudah lama sekali ia tidak mendengar namanya sendiri. Di tempat ini, nama hanya sebuah label, yang mudah diganti dan dilupakan. Kadang ia dipanggil "Heh", "Botak", atau "Anak Aneh". Selain itu, Ibu panti belum sempat membuatkan nama untuknya, dan nama "Arsya" seolah-olah sirna sejak ia menginjakkan kaki di panti asuhan.

 

"Orang itu kayaknya manggil kamu deh, kamu harus melihat wajah orang yang memanggilmu," perintah Alana lagi, suaranya kini lebih tegas.

 

Arsya menurutinya seperti orang yang kehilangan arah, ia mengangkat pandangannya dengan lambat. Kepala yang berat dan pandangan yang semakin kabur membuatnya sulit memastikan ekspresi orang itu. Ia hanya tahu, ada sesuatu yang harus ia lakukan-sesuatu yang diinginkan orang lain darinya.

 

"Nak, kamu demam?" tanya orang itu tiba-tiba, suaranya penuh perhatian. Dia mendekatkan punggung tangannya ke dahi Arsya. Arsya terperanjat, dan dengan cepat menepis tangan orang itu, gerakan refleks yang tak bisa ia kendalikan.

 

Alana terlihat marah karena perbuatan Arsya "Hei, sudah Kakak bilang. Kamu tnggak boleh nakal!" bentak Alana, suaranya terdengar tajam.

 

Arsya tersentak, tubuhnya seketika menegang. Ia menatap tajam ke arah Alana, mata mereka bertemu sejenak. Tapi, Alana hanya membalas dengan tatapan sinis, seolah memandang Arsya sebagai anak yang tidak tahu diri.

 

"Tidak apa-apa, Nak. Arsya hanya terkejut," ucap laki-laki di depan Arsya, mencoba menenangkan Alana. Dia lalu berlutut, sejajar dengan Arsya, dan menggenggam tangannya dengan lembut. "Arsya, ini Dokter Nata," ujarnya perlahan, seolah nama itu sendiri bisa menjadi penyembuh.

 

Dahi Arsya berkerut, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. "Dokter Nata?" ulangnya pelan, seolah sedang menguji kata-kata itu di bibirnya, mencoba mengingat sesuatu yang lama hilang.

 

"Iya, ini Dokter Nata," jawab laki-laki itu lagi, suaranya penuh kepastian dan kehangatan.

 

"Hah?" Arsya hanya bisa melenguh, sebelum senyum sinis tersungging di bibirnya. "Ternyata aku masih mimpi," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada orang lain.

 

"Kamu tidak bermimpi. Aku sungguh Dokter Nata," kata laki-laki itu, suaranya lembut namun tegas, berusaha menembus keraguan yang menyelimuti pikiran Arsya.

 

"Bukan mimpi?" Arsya mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tapi suara batinnya penuh keraguan, seolah tidak berani berharap lebih.

 

Arsya mencoba fokus, suara laki-laki di depannya memang tidak asing. Walau Arsya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi hatinya seakan yakin kalau di hadapannya dokter Nata. Tangan Arsya mulai bergetar hebat, seakan ada badai kecil yang mengamuk di dalam dirinya. Jantungnya berdetak liar, irama tak beraturan yang menghantam dadanya. Dinding pertahanan yang selama ini ia bangun runtuh seketika. Air mata mulai mengalir deras tanpa bisa ia cegah, membasahi wajahnya yang memerah karena demam.

 

"Kamu lelah sekali, ya, Arsya?" Suara lembut Dokter Nata memecah lamunan Arsya, suaranya seolah membawa kehangatan yang menenangkan. "Maaf kami terlambat," ucapnya pelan sambil menyeka air mata Arsya dengan lembut, seolah setiap tetes air mata itu adalah bukti penderitaan yang telah dialami Arsya.

 

Arsya tertegun, baru saat itu ia menyadari dirinya menangis. Bingung dan tak percaya bercampur aduk dalam hatinya. "Ini... ini nyata?" tanyanya lirih, matanya mulai mencari-cari kebenaran di wajah Dokter Nata. Sulit bagi Arsya untuk mempercayai bahwa mimpi buruknya akhirnya berakhir.

 

"Iya, Nak. Ini nyata. Dokter akan membawa kamu pulang," ucap Dokter Nata, suaranya sedikit bergetar, penuh emosi yang tertahan. Matanya berkaca-kaca, dia kemudian menyeka air mata dari wajahnya sendiri.

 

Arsya menatapnya, tak percaya. "Beneran? Ini... ini beneran Dokter? Bukan mimpi?" tanyanya lagi, seolah masih takut bahwa semuanya hanyalah ilusi.

 

Dokter Nata mengangguk mantap, tatapannya penuh keyakinan. Ia lalu menarik Arsya ke dalam pelukannya, erat dan penuh kehangatan. Tangis kecil Arsya pecah, dan perlahan tangisannya semakin keras, seolah suara hatinya yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalan keluar. Tangannya meremat erat bagian belakang baju Dokter Nata, mencoba meraih sepotong kelegaan dari penderitaan yang selama ini ia rasakan. Dalam pelukan itu, Arsya melampiaskan semua rasa sakit, ketakutan, dan kesepian yang telah menghantuinya selama ini.

 

Tangisan Arsya menggema, mengundang simpati dari semua orang di sekitar. Dokter Nata membiarkan Arsya meluapkan emosinya, meskipun hatinya teriris melihat perubahan drastis pada bocah itu. Ingatannya melayang pada saat pertama kali Arsya datang.

 

Arsya ditarik paksa oleh seorang anak perempuan, terlihat rapuh dan tak berdaya. Hatinya terasa remuk, dipenuhi keinginan yang tak tertahankan untuk berlari, menarik Arsya ke dalam pelukannya, melindungi anak itu dari segala ketidakadilan yang menghimpitnya. Namun, langkahnya tertahan. Di tengah gelombang emosinya, sebuah kenyataan pahit terlintas dalam benaknya-bahwa ada seseorang yang memiliki hak lebih besar atas Arsya daripada dirinya.

 

Kakek Arsya juga terguncang saat melihat cucunya dalam kondisi seperti ini. Dengan berat hati, ia menyentuh paha Dokter Nata. "Tolong temui anak itu... Aku sekarang hanya orang asing baginya," ujarnya, menahan tangis.

 

Kilasan masa lalu Arsya terlintas dalam benak Dokter Nata. Dulu, walau senyuman Arsya terlihat canggung, senyuman itu selalu menular. Dokter Nata selalu merindukan senyum itu saat Arsya hilang. Namun sekarang, senyuman itu menghilang. Mata Arsya redup, pandangannya kosong, seakan kehilangan semangat hidup. Ia seperti boneka tanpa jiwa yang dipaksa mengikuti arus.

 

Kemarahan bergemuruh di dada Dokter Nata. Ia ingin sekali menuntut siapa pun yang telah merampas senyum Arsya. Namun kemudian, kesadarannya menyeruak-kelalaian yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahan orang lain. Tangan yang seharusnya menuntun, malah sempat terlepas. Kepercayaannya yang sempat teralihkan kini berbalik menghunus dirinya sendiri.

 

Perlahan, tangisan Arsya mulai mereda, suaranya yang tadinya pecah kini berubah menjadi bisikan lemah. Genggaman kecilnya pada baju Dokter Nata mengendur, tubuhnya perlahan melemah, kehilangan kekuatannya.

 

"Nak..." panggil Dokter Nata dengan suara bergetar, penuh kekhawatiran. Rasa takut yang mendalam menghantamnya saat tubuh kecil Arsya perlahan meluruh, hampir jatuh ke kursi. Dengan sigap, Dokter Nata menahan kepala Arsya agar tidak terbentur.

 

"Arsya..." bisiknya, mencoba membangunkan anak itu, namun yang ia dapat hanyalah keheningan. Mata Arsya terpejam rapat, bibirnya sedikit terbuka, dan napasnya terasa begitu tipis, hampir tak terasa.

 

"Arsya, Nak. Bangun, Nak," pinta Dokter Nata, suaranya bergetar menahan duka yang menyelusup ke dalam hatinya. Jari-jarinya dengan lembut menyentuh pipi Arsya, seolah berharap sentuhan itu bisa membangkitkan anak yang kini berada di ambang kesadaran. Namun, Arsya tak kunjung merespons. Matanya tetap terpejam, seakan telah menyerah pada dunia, memilih tenggelam dalam kegelapan yang semakin dalam.

 

Di dalam benaknya, Arsya merasa seperti mengulang adegan ini berkali-kali. Namun kini, dia bersama orang yang tepat. Dia merasa tenang. Di sini, bersama Dokter Nata, ia menemukan kedamaian yang pernah ia rasakan sebelumnya.

 

Arsya telah bertahan, seperti yang diperintahkan oleh seseorang dalam mimpinya. Di ujung kesadarannya, Arsya mulai memahami sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik lapisan keputusasaan yang begitu tebal. Selama ini, ia merasa terkuras oleh harapan yang terus menerus menggerogoti jiwanya. Setiap detik, setiap napas, seperti membawa beban yang semakin berat. Ia merasa telah melepaskan semua keinginan, menyerah pada nasib yang membawa dirinya entah ke mana.

 

Arsya pikir, dirinya sudah tidak peduli lagi-bahwa ia telah mati rasa, tidak lagi menginginkan apapun. Namun, kenyataannya berbeda. Di balik dinding ketidakpedulian yang ia bangun untuk melindungi dirinya, hatinya masih menggemakan harapan yang begitu kuat. Dan kini, di saat-saat genting ini, Arsya mulai menyadari bahwa mimpi-mimpi yang selama ini menghantui tidurnya, bukan kekadar mimpi biasa.

 

Mimpi itu, yang awalnya ia anggap sebagai fatamorgana di tengah padang keputusasaan, ternyata lebih dari sekadar ilusi-itu adalah pantulan dari harapan yang selama ini tersembunyi jauh di lubuk hatinya. Harapan yang terlalu takut untuk muncul ke permukaan, kini mulai mengungkapkan dirinya. Arsya ingin mimpi itu menjadi kenyataan. Di dalam hatinya yang remuk, ia mendambakan seseorang yang akan menguatkannya, yang akan memegang tangannya dan membimbingnya keluar dari kegelapan yang telah lama membelenggunya. Dalam keheningan dan ketakutan, ia mulai memohon, meski dalam ketidaksadarannya, agar ada kebangkitan dari keputusasaan yang menggerogotinya. Arsya berharap, di balik semua rasa sakit dan kebingungan ini, ada sesuatu yang indah yang menantinya-sesuatu yang mampu membawanya kembali ke kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan.

 

Saat kesadarannya perlahan mulai menghilang, di tengah keletihan yang begitu berat, ia mendengar sebuah suara lembut yang memanggilnya. Suara itu seperti sebuah pelukan yang tak terlihat, membalut hatinya yang terluka dan memberikan kehangatan yang sangat ia rindukan.

 

"Terima kasih, sayang. Kamu sudah bertahan dengan baik. Tidurlah! Kamu akan membaik setelahnya."

 

Kata-kata itu perlahan mulai memudar, seperti bayangan yang menjauh, namun meninggalkan jejak yang tak terlupakan. Belaian lembut dari suara itu meresap ke dalam pikiran Arsya yang kelelahan, membawa rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di dalam hatinya, ia merasa seperti ada sesuatu yang akhirnya menyerah-bukan pada kegelapan, tetapi pada kenyamanan yang perlahan-lahan mulai mengisi ruang-ruang kosong di jiwanya. Dan dalam ketenangan yang baru ia temukan ini, Arsya merasa untuk pertama kalinya, bahwa mungkin, hanya mungkin, segala penderitaan ini akan berakhir dengan keindahan yang selama ini ia cari.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Intertwined Hearts
876      479     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
Anikala
796      369     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Layar Surya
1140      686     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
GEANDRA
378      299     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Kembali ke diri kakak yang dulu
755      566     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Sweet Like Bubble Gum
970      697     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Kainga
1068      624     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Mana of love
210      142     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
Catatan Takdirku
910      607     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Melihat Tanpamu
135      109     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...