Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (The lost Memory)
MENU
About Us  

Rumah Singgah Karuizawa, Jepang

Pak Aswan mondar-mandir di ruang tamu yang remang, ponsel menempel di telinga. Matanya merah karena kurang tidur, kemeja sudah kusut sejak semalam. Di meja kopi, tersebar printout jadwal penerbangan internasional yang dia akses dari laptop.

“Bagaimana? Sudah dapat konfirmasi penerbangan dari Bangkok?” desak Aswan pada seseorang di ujung telepon—anak buahnya di Jakarta.

“Belum, Pak. Penerbangan dari Tokyo-Bangkok ada beberapa maskapai. Tapi yang pasti dia akan transit dulu sebelum ke Indonesia.”

“Dengar baik-baik,” potong Aswan. Ia berhenti melangkah, suaranya rendah tapi tegas. “Fokus di Soekarno-Hatta. Semua penerbangan dari Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura—awasi semuanya. Jangan sampai Papa lolos masuk Jakarta.”

“Siap, Pak. Tim sudah ditempatkan di semua terminal. Foto Pak Damar sudah disebar ke semua anggota.”

“Bagus. Kalau dia sampai di Jakarta, langsung hubungi aku. Tapi jangan ambil tindakan apa pun dulu tanpa instruksi dariku.”

“Mengerti, Pak.”

Aswan memutus panggilan, mengusap wajah yang lelah. Ia menoleh ke arah tangga—Nadhira turun dengan langkah pelan, masih mengenakan piyama, wajah pucat karena cemas.

“Mas… belum tidur juga?” tanya Nadhira pelan, takut membangunkan Calita dan ibunya.

“Belum bisa tidur. Masih koordinasi sama Jakarta.” Aswan merangkul istrinya, membawanya duduk di sofa. “Tim sudah siaga di bandara. Kalau Papa benar-benar pulang…”

“Kamu yakin Papa mencari… anak itu?” Nadhira bertanya dengan suara hampir berbisik.

Aswan terdiam sejenak, menatap mata istrinya yang penuh kekhawatiran.

“Hilangnya Papa tepat setelah berita viral… terlalu kebetulan, Mas. Aku takut…” lanjut Nadhira.

“Takut apa?”

“Takut semua yang sudah kita atur selama ini akan terbongkar. Takut Papa akan menemukan kebenaran tentang… tentang apa yang terjadi pada keluarga anak itu.” Nadhira menggigit bibir. “Kalau Papa sampai ketemu anak itu… kalau dia tahu kita yang…”

“Tidak akan terjadi.” Aswan menggenggam tangan istrinya erat. “Kamu tahu anak itu sudah tidak ada dimana-mana walau Papa cari keberadaannya dengan mengerahkan seluruh usaha yang dia bisa lakukan. Anak itu sudah nggak ada. Dan bawahanku akan membututi Papa kemanapun dia pergi. Kita hanya perlu tahu kemana perginya, bukan?”

 

***

Setelah kejadian di taman, Arsya dibawa ke kamar Ibu Panti untuk beristirahat. Ruangan kecil itu sederhana namun hangat—tempat tidur tunggal berbalut sprei bermotif bunga-bunga, meja kecil bertumpu foto anak-anak panti, dan aroma minyak kayu putih yang menenangkan.

Arsya terbaring, kepala terbenam di bantal empuk. Beberapa jam berlalu, demamnya kembali merayap naik. Ibu Panti duduk di kursi kayu samping ranjang, sesekali mengusap keringat di dahi Arsya dengan handuk basah.

“Nak, Ibu bangunkan ya?” suara Ibu Panti lembut, tangan mengecek suhu keningnya. “Masih hangat. Tak apa kalau mau tidur lagi.”

Arsya mengangguk lesu. “Sudah, Bu. Aku cukup istirahat. Terima kasih sudah merawatku.”

“Jangan bilang terima kasih. Merawat kalian kewajiban Ibu.” Senyum Ibu Panti hangat, matanya berkaca-kaca melihat kelemahan Arsya. “Alana bilang tadi pagi kamu enggak sarapan? Dia merasa bersalah, mengira sakitmu karena dia menghabiskan porsimu.” Ujar Ibu Panti sambil menahan tawa. “Boleh Ibu tahu, kenapa kamu enggak makan, Nak?”

Arsya menunduk, rasa bersalah menggerogoti. “Maaf, Bu. Perutku masih sering mual.”

“Ibu nggak marah, Sayang. Ibu cuma khawatir.” Ibu Panti mengambil segelas air hangat, membantunya duduk perlahan. “Minum dulu sedikit,” ujar Ibu Panti “Pelan-pelan.”

Arsya menerima gelas dengan tangan gemetar. Kehangatan air menyusuri tenggorokannya yang kering.

“Mau makan? Kamu perlu obat penurun panas. Ibu suapi, ya?”

“Obatnya… dari Kak Gesang?” tanya Arsya tiba-tiba. Jika iya, dia enggak akan meminumnya.

“Bukan, Nak. Tadi Kania baru beli dari apotek,” jelas Ibu Panti, sambil mengangkat mangkuk bubur hangat. Aroma kaldu ayamnya menggoda, membangkitkan selera Arsya yang kosong sejak pagi.

“Buburnya enggak pakai jahe. Mungkin kemarin kamu enggak suka karena itu.”

Arsya ragu. Khawatir perutnya akan memberontak lagi.

“Enak kok. Ibu cicipi dulu, ya?” Ibu Panti mengambil sendok lain, mencicipi secuil. “Hmm, lezat. Kamu belum makan sejak tadi. Cobalah.”

Akhirnya Arsya mengangguk. Jika mual, dia akan berhenti. Untuk sekarang, perutnya masih tenang.

Ibu Panti menyendok sedikit, meniupnya, lalu menyuapkan ke mulut Arsya.

Hangat. Suapan pertama meluncur lancar. Enggak ada masalah. Perutnya baik-baik saja.

“Pernah mimisan sebelumnya?” tanya Ibu Panti sambil mendinginkan suapan kedua.

Arsya mengangguk. Dia bahkan ingat cara menghentikannya tadi pagi.

“Sering?”

Arsya menggeleng, ragu. Mungkin iya, karena instruksi tiba-tiba muncul di kepalanya begitu lancar. Bukan suara Dokter Nata.

“Karena itu kamu dirawat di rumah sakit?”

Lagi-lagi Arsya menggeleng. “Di rumah sakit karena terluka.”

“Jatuh? Atau kenapa?”

“Aku nggak ingat. Kata Kak Jendra lukaku parah, dan ingatanku hilang.”

“Tapi kamu ingat dokter itu adalah ayahmu.”

“Ayah... baru.”

“Jadi sebelumnya dia hanya dokter yang merawatmu?”

Arsya mengangguk. Matanya tertuju pada mangkuk bubur. Tiga suapan sudah masuk. Masih baik-baik saja. Enggak mual. Tiba-tiba, air mata menggenang. Dia ingin menangis.

“Kenapa, Nak? Kamu sangat merindukan dokter itu, ya?” Ibu Panti menyeka air matanya.

“Maafkan Ibu, ya? Kami belum bisa menghubunginya. Tapi Kania masih berusaha, tadi dia menelepon lagi saat belanja. Sayangnya terputus.”

Mereka belum menyerah. Batin Arsya hangat. Mereka masih berusaha.

“Bu…” bisiknya setelah meneguk air. “Aku… minta maaf. Sudah merepotkan.”

Ibu Panti terdiam, lalu menarik kursinya lebih dekat. Tangannya yang kasar namun hangat membelai rambut Arsya.

“Arsya, dengarkan Ibu,” suaranya lembut namun tegas. “Kamu bukan beban. Tidak akan pernah. Semua anak di sini adalah anak Ibu. Kamu, Alana, Shelly, yang lain… kalian sama pentingnya. Kita keluarga sekarang. Harus saling menyayangi.”

“Tapi… Dokter Nata…”

“Dia juga keluargamu. Ketika sudah bisa dihubungi, kamu akan pulang padanya. Tapi untuk sekarang, kami yang menjagamu.”

Arsya diam. Dia tahu semua orang di sini baik. Kecuali Gesang. Namun… rasanya tempatnya bukan di sini.

“Alana sangat menyayangimu. Tadi dia menangis nggak berhenti saat kamu pingsan. Kak Kania selalu mengecek kondisimu tiap hari. Mbak Fatma begadang menjagamu kemarin.” Senyum Ibu Panti hangat. “Dan Ibu… Ibu sayang padamu.”

Kejujuran itu tulus. Seperti Kania, Fatma, dan… Dokter Nata. Dokter Nata pasti akan percaya jika dia bercerita. Meski tak langsung. Tapi dia mendengarkan. Bahkan saat Arsya mengaku bisa membaca pikiran.

Mungkin tak apa bercerita tentang orang jahat. Mereka semua baik. Aku hanya tak ingin orang jahat menyakiti mereka. Batinnya.

“Bu…” bisiknya, suara bergetar.

“Iya, Sayang?”

“Boleh cerita sesuatu?”

“Tentu. Ada apa?”

“Masalah Kak Gesang.”

“Kak Gesang kenapa?”

“Dia… orang jahat.”

Ibu Panti terdiam. Kaget mendengar Gesang disebut jahat. Namun dia memaksakan senyum.

“Kenapa bilang begitu? Padahal tadi dia yang menolongmu.”

Seram menyergap. “Dia … yang menolongku?”

“Iya, dia yang mengobatimu. Kenapa kamu bilang dia jahat?”

“Karena dialah yang menculikku dari rumah sakit ke sini.”

Arsya menatap wajah Ibu Panti, dengan berani. Dia tahu, kalimat ini akan mengubah segalanya.

Benar saja—wajah Ibu Panti mengeras. Bukan marah, tapi bingung. Arsya tak perlu menebak. Pikiran Ibu Panti bergema jelas di kepalanya:

Gesang? Tak mungkin... Aku kenal betul siapa dia. Tak mungkin dia menculik anak. Untuk apa?

Setelah jeda yang terasa terlalu lama, Ibu Panti akhirnya tertawa ringan, mencoba mencairkan kebekuan.

“Gesang? Dia yang menculikmu? Kamu yakin?”

Arsya sudah menduga. Takkan langsung percaya. Seperti Dokter Nata dulu. Tapi dia harus menjelaskan lebih rinci. Baru Dokter Nata percaya.

“Iya. Dialah penculikku. Dia juga yang membuat Kak Rajendra sakit. Kak Jendra pingsan saat menolongku. Mungkin… karena ada orang yang menjanjikan hadiah besar jika menemukanku.”

Ibu Panti masih tak percaya. “Nak… mungkin kamu salah orang.”

Arsya mengerti. Sulit mempercayainya. Tapi, dia tak lagi berusaha meyakinkan, karena suara di kepalanya lebih keras menyangkal:

Tak mungkin Gesang menculik anak demi uang. Pasti anak ini salah ingat. Katanya tadi juga dia enggak ingat apa pun sebelumnya. Bukan Gesang. Aku ibunya. Aku tahu anak itu tak mungkin jahat.

“Mungkin yang kamu lihat bukan Gesang. Dia anak baik, jad—”

“Iya, mungkin aku salah ingat,” potong Arsya, menunduk. Ibu Panti bukan Dokter Nata. Mereka… berbeda.

“Iya, mungkin karena saat itu kamu ketakutan. Bukan salahmu kalau ingatanmu kabur.” Ujar Ibu Panti. “Nah, ayo makan lagi.”

Arsya masih menunduk. Berat menatap wajah Ibu Panti.

“Nak… ayo, baru setengah. Habiskan, lalu minum obat. Biar lekas sembuh.”

Ibu Panti menyendok bubur lagi. Namun sebelum suapan menyentuh bibir Arsya, tubuh kecil itu menegang kaku.

Perutnya berdenyut-denyut. Ulu hatinya seperti ditusuk. Napasnya tercekat.

“Ng—Bu, ma…”

Suaranya tercekat. Wajahnya memucat seketika. Tangan gemetar menepis sendok. Lalu…

Urghk—

Tubuhnya menunduk, tangan menekan mulut, dari desakan perut yang tidak tertahankan. Ibu Panti sigap, meraih kantong plastik bekas obat, menempelkannya ke mulut Arsya. Anak itu muntah. Sedikit. Tapi cukup membuat wajahnya lemas tak berwarna.

“Ibu… maaf…”

Belum selesai meminta maaf, perutnya kembali bergejolak. Ibu Panti mengusap lembut tengkuknya, membantunya mencari posisi nyaman.

Kenapa? Padahal tadi baik-baik saja… Pikiran Arsya kacau.

Tenaganya terkuras. Ibu Panti membaringkannya, menyeka mulutnya, mengusap dadanya yang tiba-tiba sesak.

“Enggak apa, Nak. Enggak usah minta maaf. Kamu masih sakit, wajar belum bisa banyak hal. Tarik napas pelan-pelan… kamu akan baik-baik saja.” Lembut, Ibu Panti menyeka keringatnya. Tangannya sibuk menenangkan.

Ibu Panti baik… tapi bukan Dokter Nata. Semua di sini baik, tapi mereka lebih percaya orang jahat itu. Enggak ada yang seperti Dokter Nata di sini. Sekalipun aku jujur, enggak ada yang percaya. Karena aku bukan siapa-siapa di sini.

Arsya merasa terbuang. Padahal harapannya baru saja berkobar. Sayang, api harapan itu jatuh ke tangan yang salah. Karena tangan yang tepat—tangan yang berjuang melawan waktu untuk menyambutnya—masih berusaha datang. Seperti Pak Damar.

***

Jakarta – Stasiun Gambir

Di ruang tunggu Stasiun Gambir, Pak Damar memeriksa jamnya. Jarum detik berdetak keras di telinganya, seiring pengumuman yang mengiris hati:

“Kepada para penumpang Kereta Api Taksaka Pagi, tujuan akhir Stasiun Yogyakarta Tugu, harap bersiap di Peron 5. Kereta akan berangkat pukul 10.00 WIB. Hanya berhenti di Cirebon, Purwokerto, Kutoarjo, dan Yogyakarta. Para penumpang harap periksa kembali barang bawaan…”

Dia menyambar koper kecil, langkahnya cepat menuju peron. Tujuh jam lagi. Tujuh jam yang terasa seperti abadi.

“Tahan, Cucuku… Tuhan, beri kami kekuatan lebih untuk melewati ini.” Doanya dalam hati, diserap deru kereta yang mulai bergerak. “Kakek datang.”

***

Di kamar Ibu Panti, Arsya menggenggam erat selimutnya. Air mata mengalir. Di luar jendela, langit di luar jendela panti mendung kelabu. Sementara di gerbong kereta yang melaju kencang, Pak Damar menatap cakrawala—tak tahu bahwa cucu yang dicarinya sedang berjuang melawan racun kekecewaan dengan kecilnya, dan ketidakpercayaan yang lebih mematikan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Metafora Dunia Djemima
83      68     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
113      91     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Trying Other People's World
123      108     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
258      228     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Atraksi Manusia
443      326     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Ruang Suara
173      123     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2125      946     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Trust Me
53      46     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Let Me be a Star for You During the Day
925      476     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Winter Elegy
542      382     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...