Kecewa
“Tidakkah kau tahu, betapa dahsyatnya kecewa itu? Ia mampu menelan, merenggut seisi jiwa hingga tak bersisa. Seolah bumi jua enggan memuntahkannya. Tiada yang tersisa, selain gema penyesalan yang membekas, dari tangan yang tak mampu mendekap, dari janji yang terkhianati.”
____Arsya Abiseka G
____________________________________________________________________________________________
23 Jam Sebelum Tiba di Indonesia
Langit malam di luar jendela pesawat begitu pekat, seolah memeluk sayap-sayap besi yang mengangkasa dengan letih. Di dalam kabin kelas bisnis yang temaram, Pak Damar masih terjaga. Kursinya direbahkan sebagian, tapi tubuhnya tak benar-benar bersandar. Matanya menatap kosong ke arah lampu baca di atas kepala, tapi pikirannya melayang jauh, menembus awan dan lautan, menuju tanah yang tengah ia rindukan: Indonesia.
Sudah lima jam sejak ia meninggalkan daratan Jepang. Tinggal 23 jam. Waktu yang terasa panjang, tapi juga terlalu singkat… mengingat kondisi Arsya yang kian tak pasti. Hanya kabar dari Damian sebagai pegangan.
Ia menoleh ke jendela pesawat. Hanya bayangan dirinya sendiri di balik gelap.
“Bertahan, Arsya,” bisiknya lirih. “Kakek sudah dalam perjalanan.”
Ponselnya bergetar. Pesan dari istrinya:
“Mas, kamu pergi ke mana? Calita mencarimu. Apa aku berbuat salah? Kata Aswan kamu ke Bangkok, katanya urusan bisnis… Kamu nggak benar-benar pergi, kan?”
Pak Damar menatap layar itu sebentar. Lalu menutupnya tanpa membalas. Ia mematikan ponsel, meletakkannya di pangkuan, dan menutup mata.
Percakapan terakhirnya dengan Abbas terngiang.
“Nanti kita transit di Bangkok, lima jam. Tiket ke Jakarta sudah dikonfirmasi. Sayangnya, tidak bisa langsung turun ke Yogyakarta. Tapi tiket kereta api sudah aku booking . Nunggunya nggak lama dari kita turun pesawat.”
“Kau sudah koordinasi dengan perawat itu?”
“Sudah. Mereka juga kontak polisi. Semua menunggu kedatangan kita.”
“Bas… Waktu tak boleh terbuang. Arsya tak boleh hilang untuk kali ini.”
***
Sementara di sudut lain dunia, di balik tirai malam yang sama, Arsya akhirnya menemukan lelapnya setelah berjam-jam pergulatan.
Tanpa Arsya sadari, di balik lensa kamera pengawas yang dipasang di ruangan tempat dia beristirahat, ada Gesang yang mengamatinya. Gesang menatap layar laptopnya, matanya menyipit mengamati Arsya yang akhirnya tertidur setelah berjuang melawan insomnia berjam-jam. Bocah kecil itu meringkuk di sudut ruang bayi, tubuh mungilnya yang gemetar tertutup selimut tipis.
“Akhirnya,” gumam Gesang pelan. Dia menutup laptop dan mengambil tas kecil berisi peralatan medisnya. Bara tertidur lelap di ruangannya; di atas meja masih berserakan tablet dan alat-alat yang digunakan tadi siang.
Perjalanan ke panti asuhan hanya sepuluh menit dengan motor. Malam sudah larut, penjaga malam pun terlelap—seperti yang sudah direncanakannya. Kunci cadangan miliknya sebagai "alumni sekaligus donatur" memudahkan akses masuk tanpa suara.
Dia melangkah pelan di koridor gelap. Pintu ruang bayi sedikit terbuka. Fatma, pengasuh, tertidur di kursi jaga, kepalanya bersandar pada dinding dengan napas teratur.
“Ondansetron 4 mg. Dosis aman untuk anak seusianya. Cukup untuk menghilangkan mual selama 8–10 jam,” bisik Gesang, seperti memberi laporan pada diri sendiri.
Gesang mengeluarkan spuit kecil dari tasnya. Cairan bening di dalamnya berkilau tertimpa cahaya remang koridor. Tangannya mantap—kemampuan sebagai tenaga medis selama bertahun-tahun masih melekat.
Dia mendekati Arsya. Bocah itu tidur miring, lengan kanannya keluar dari selimut. Tempat yang pas untuk disuntik.
“Besok badanmu akan lebih enak, Nak,” bisik Gesang sambil membersihkan lengan Arsya dengan kapas alkohol. “Anggap saja ini… bantuanku untukmu.”
***
Arsya bergelut dalam tidurnya yang tak nyenyak. Sentuhan dingin di lengannya menariknya ke permukaan, namun kesadarannya hanya mengambang, terombang-ambing di antara kabut mimpi dan realitas yang gamang—seperti terendam dalam air keruh.
Dingin… Kenapa tanganku terasa dingin?
Ada yang tidak beres. Nalurinya berteriak ada bahaya, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk bergerak. Kelopak matanya terasa amat berat, seperti ditimpa pasir.
Napas seseorang terasa dekat. Bau antiseptik yang tak asing—bau yang sama seperti di rumah sakit. Tapi ini bukan rumah sakit. Ini panti.
Bukan Kak Kania… Bukan Mbak Fatma atau Ibu Panti. Siapa…
Lengannya serasa disengat, seperti tusukan jarum yang tiba-tiba. Tubuh Arsya tersentak, otot-ototnya menegang dalam sekali hentakan, namun kelopak matanya terasa begitu berat, enggan terbuka sempurna.
Dari sudut pandangannya yang kabur, sebuah siluet menjulang tinggi tampak bergerak tanpa suara. Kemudian, sebuah sentuhan dingin merayapi lengannya, cekatan namun membuat tubuhnya meremang.
Orang jahat... Orang jahat datang lagi...
Dia berusaha berteriak, tapi yang keluar hanya rintihan lemah. Dia mencoba menggerakkan tangan, tapi tubuhnya tak mau menurut.
Rasa dingin menjalar dari lengan ke seluruh tubuhnya. Seperti es yang mencair dalam pembuluh darahnya. Dan ketika kesadarannya kembali ditelan kabut, satu bisikan lama kembali bergaung:
Dokter Nata... Tolong...
Arsya tidak bisa mengenali siapa yang datang. Yang terakhir dia rasakan adalah sentuhan lembut di dahinya—seharusnya menenangkan, tapi justru membuat bulu kuduknya berdiri.
***
“Beres,” bisik Gesang, menarik spuit dengan gerakan mahir. Tak ada darah yang keluar—suntikan yang bersih.
Dia memandangi wajah Arsya yang masih pucat. Bocah itu mengerang lemah dalam tidur, alisnya berkerut seolah mengalami mimpi buruk.
Kau tak akan ingat ini besok. Dan kau akan merasa lebih baik.
Gesang mengusap dahi Arsya sebentar—gerakan aneh, antara rasa peduli dan perasaan tak terjamah yang belum ia namai.
“Tidur nyenyak, anak pintar. Besok ada kejutan untukmu.”
Dia menyimpan spuit bekas ke dalam tas, memastikan tak ada jejak yang tertinggal. Matanya sekali lagi menengok ke arah Fatma—masih terlelap.
Sebelum pergi, Gesang mengeluarkan ponsel dan mengambil foto Arsya yang tertidur sebagai bukti.
Bukti bahwa targetnya masih berada dalam kendali.
Langkahnya menjauh, meninggalkan ruang bayi yang kembali sunyi. Hanya tersisa aroma samar antiseptik dan rasa dingin yang masih mengalir dalam darah seorang anak—yang tak tahu bahwa ketakutannya baru saja menjadi kenyataan.
***
Pagi merambat pelan, menyusup lewat kisi-kisi jendela ruang bayi. Sinar keemasan menyentuh pelipis Arsya yang masih terlelap dalam selimut. Napasnya tenang, meski agak berat.
Dia terbangun perlahan. Bukan oleh suara atau cahaya, melainkan rasa tak nyaman di lengannya. Matanya masih berat ketika mengangkat tangan kanan dari balik selimut—lalu melihatnya.
Sebuah bekas kemerahan samar terpampang, bulat kecil bagai gigitan serangga, namun lebih rapi. Matanya menyipit. Lengan itu didekatkannya ke hidung, diciumnya pelan—adakah bau aneh? Obat? Alkohol? Tak ada. Tak ada jejak ganjil selain rasa dingin samar yang tertinggal.
“Digigit nyamuk, ya?” pikirnya. Mungkin nyamuknya besar. Soalnya semalam terasa dingin… dan cekit, seperti dicubit tiba-tiba dalam tidur.
Arsya menguap. Kepalanya masih pening, tapi mualnya telah hilang. Perutnya belum keroncongan, namun tanpa mual, itu terasa jauh lebih baik.
Pandangannya kembali ke bekas di lengannya. Jantungnya tiba-tiba berdebar aneh, tapi cepat-cepat diusirnya pikiran itu.
Enggak mungkin. Kalau orang jahat datang, Mbak Fatma pasti bangun. Ini cuma nyamuk. Nyamuk jail.
Dengan tekad itu, dia pun bangkit perlahan. Hari masih panjang, dan belum selesai menguji kekuatannya.
***
Senyum seorang bocah merekah di ambang pintu, disusul suara riang yang memecah kesunyian. “Anak baru, ayo main!”
Alana, dengan antusiasme khas anak-anak, muncul dan langsung menarik tangan Arsya keluar dari ruang bayi. “Hari ini cuacanya bagus, kita main petak umpet, yuk!”
Arsya, yang masih terbuai antara kantuk dan sisa pening, ragu sejenak. Namun, melihat binar di mata Alana yang begitu tulus, ia tak sampai hati menolak. “Boleh… tapi aku jadi yang jaga, ya? Masih agak lemas.”
“Oke! Kamu tutup mata, hitung sampai sepuluh!” Alana berseru, lalu berlari kecil mencari tempat persembunyian. Tawanya menggemuruh, memantul di antara tembok dan pepohonan taman belakang panti.
Arsya duduk di bawah pohon mangga, perlahan menutup mata, dan mulai menghitung.
“Satu… dua… tiga…”
Untuk sesaat, segala ketakutan yang membelenggunya menguap begitu saja. Suara tawa Alana yang renyah, sinar matahari pagi yang hangat membelai kulit, dan aroma tanah basah sehabis hujan yang menenangkan—semuanya terasa normal. Seolah ia hanyalah seorang anak yang tengah bermain di panti itu, tak ada bedanya dengan yang lain, tanpa beban masa lalu atau ancaman di masa depan.
“…sembilan… sepuluh! Aku cari, ya!”
Arsya bangkit, melangkah pelan. Matanya bergerak mencari Alana yang kini bersembunyi di balik tumpukan karung beras kosong.
“Ketemu!” serunya.
Alana keluar dari persembunyiannya sambil tertawa geli. “Wah, kamu jago! Sekarang giliranku yang jaga!”
“Enggak usah, aku jaga lagi saja! Kamu sembunyi lagi.” Arsya mengelak, entah karena masih lemas atau memang menikmati peran sebagai pencari.
“Oke…” Alana mengangguk riang. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Eh, kita makan dulu. Nanti dimarahi Kak Kania kalau kita main tapi belum sarapan.”
Arsya menyetujui, mengekori Alana yang berjalan ke arah dapur. Sejak mengenal Alana, ia sering mengikutinya, layaknya itik mengikuti induknya. Di sekitar Alana, Arsya merasa tidak terlalu gentar menghadapi keadaan panti.
***
Seperti biasa, ruang makan riuh dengan suara anak-anak yang berbaris menunggu antrean. Setelah semua mendapatkan jatah sarapan—bubur dan sedikit lauk—mereka berdoa bersama dan mulai menyantap dalam diam.
Perut Arsya memang sudah enggak mual lagi. Namun, ia masih enggan mencoba makan. Terbayang jelas usahanya kemarin menahan gejolak di perut setelah ia paksakan mengisinya. Perasaan takut itu masih membekas.
“Anak baru! Kamu mau muntah lagi?” Alana bertanya, menatap bubur Arsya yang hanya tersentuh sedikit.
Arsya menggeleng. “Sudah enggak, cuma rasanya masih pahit. Aku cuma ambil sedikit, kamu boleh habiskan.”
Mata Alana berbinar. “Aku memang masih lapar, sih. Serius, aku boleh habiskan?”
“Iya, enggak apa-apa. Tapi enggak boleh buang-buang makanan,” jawab Arsya, sebuah kebohongan kecil demi menghindari paksaan makan.
“Oke!” Alana segera mengambil alih mangkuk bubur Arsya dan melahapnya dengan semangat.
***
Setelah sarapan, Alana mengajak Arsya bermain lagi. Kali ini mereka ditemani Shelly. Mereka bermain beberapa putaran. Perlahan, Arsya mulai merasakan tubuhnya lebih berenergi—efek dari obat yang disuntikkan Gesang tanpa sepengetahuannya, yang mulai bekerja untuk memulihkan staminanya. Ia bahkan sempat tersenyum lebar saat berhasil bersembunyi dengan sempurna di balik pohon pepaya kecil.
“Anak baru! Giliranmu lagi jadi yang jaga!” teriak Alana sambil berlari-lari kecil, boneka kesayangannya ikut melompat-lompat di pelukannya.
Arsya berdiri, bersiap mengejar. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa pusing hebat. Pandangannya berkunang-kunang sejenak, dunia seolah berputar. Ia memegang dahi, mencoba menstabilkan diri.
“Anak baru? Kamu kenapa?” Alana berhenti berlari, senyum di wajahnya memudar digantikan raut khawatir.
“Enggak apa-apa, cuma pusing sebentar...” Arsya mencoba meyakinkan, suaranya sedikit serak.
Namun, saat Arsya menurunkan tangan dari dahi, Alana tiba-tiba menjerit.
“Anak baru! Hidungmu berdarah!”
Arsya segera menyentuh hidungnya. Jari-jarinya basah, merah oleh darah segar. Mata Alana mulai berkaca-kaca, sebentar lagi pasti ia akan menangis.
Shelly yang melihat itu ikut-ikutan panik. Dia belum paham betul apa itu mimisan, tapi darah di wajah Arsya sudah cukup membuatnya menjerit.
“Dia berdarah! Dia berdarah!” pekiknya, gemetar memeluk boneka Alana.
Arsya tidak ingin ada orang dewasa datang. Bukan karena benci atau tidak suka, tetapi karena… ia takut mereka akan repot. Ia takut mereka curiga. Yang paling ia takutkan, ia takut mereka akan marah.
“Aku enggak apa-apa,” ujarnya lagi, mencoba tersenyum walau wajahnya pucat pasi. Tangan kecilnya mengelap darah yang terus mengalir dari hidungnya.
Alana mulai menangis. Air matanya jatuh begitu saja, membentuk jejak basah di pipinya. “Tapi... kamu berdarah terus. Aku harus bilang Kak Kania. Atau Ibu panti…”
“Jangan,” desak Arsya. “Enggak usah bilang siapa-siapa.”
“Tapi bagaimana caranya memberhentikan darahnya?” tanya Alana, suaranya pecah oleh isak. Shelly semakin erat memegangi tangan Arsya, seolah takut kehilangan dirinya.
Arsya terdiam sejenak. Ia sebenarnya sama takutnya dengan Alana. Ini kali pertama ia mengalami mimisan. Dia juga bingung bagaimana cara menghentikan pendarahannya. Arsya mencoba mendongakkan kepala.
“Jangan menghadap ke atas…” Ingatan samar tiba-tiba melintas. Ini bukan yang pertama kalinya. Tapi... kapan? Lalu suara itu…
“Jangan menghadap ke atas, nanti darahnya malah masuk ke tenggorokan, bikin mual...” Suara itu muncul begitu saja dari kedalaman kepalanya, seperti kilasan ingatan yang sempat ia lupakan.
“Condongkan badanmu ke depan, biarkan darahnya mengalir.” Suara itu masih terdengar jelas di benaknya. Arsya mengikuti instruksi tersebut.
“Tekan hidungmu pakai ujung jari...” Dengan tangan gemetar, Arsya mulai menekan ujung hidungnya. Alana terlihat makin bingung.
“Anak baru, kamu sedang apa?”
“Biar darahnya berhenti. Alana, ada daun sirih?”
Alana mengingat-ingat, sepertinya ia pernah mendengar nama daun sirih.
“Warnanya hijau, merambat,” jelas Arsya.
“Oh, daun sirih, yang untuk obat mata Ibu Ita?” tanya Alana.
Arsya tidak tahu daun sirih untuk apa lagi selain meredakan mimisan. Namun, ia mengiyakan cerita Alana. Alana langsung berlari, mencari daun yang dimaksud.
“Kakak baru, kamu sakit?” tanya Shelly, suaranya lirih.
Arsya tersenyum menenangkan. “Aku enggak apa-apa. Shelly jangan menangis, ya?”
Shelly mengangguk. “Hmm.” Dia kemudian menghapus sisa air mata di pipinya.
“Pintar…” ujar Arsya.
Tak lama kemudian, Alana kembali membawa daun yang ia maksud. Rupanya daun yang Arsya minta sesuai dengan pemahaman Alana.
“Digulung daunnya, tolong.”
Alana segera menggulung daun tersebut sesuai permintaan Arsya.
Arsya kemudian menyumpal hidungnya dengan daun yang sudah digulung. Melihat Arsya dengan hidung tersumpal daun sirih, Shelly langsung tertawa geli.
“Anak baru, kamu lucu.”
“Ha…ha…ha… lihat, darahnya udah nggak keluar lagi. Kalian enggak perlu khawatir.”
“Yasudah, ayo kembali.”
“Nanti dulu, Alana,” cegah Arsya. Kepalanya masih sedikit pusing. Dia enggak tahu apakah masih cukup kuat untuk kembali ke ruang bayi atau tidak. “Kita duduk di situ dulu, yuk? Atau kalau kalian ingin pergi, biarkan aku di sana sebentar.”
“Aku temani kamu.” putus Alana
***
Alana memegangi lengan Arsya, membimbingnya pelan-pelan ke bawah pohon mangga. Bersandar pada batang yang kasar, Arsya menutup mata sejenak, berharap istirahat singkat akan meredakan denyut di pelipisnya. Tapi waktu berlalu—lima menit, sepuluh menit—sementara sakit itu justru mengganas.
Hampir setengah jam berlalu, tapi sakit kepalanya tak kunjung reda. Malah berdenyut semakin kencang, seperti ada yang memukul-mukul dari dalam kepalanya.
Alana duduk di samping Arsya, sesekali melirik dengan wajah khawatir. Berkali-kali ia mencoba mengajak Arsya bicara, tapi jawabannya cuma angguk atau geleng singkat. Sementara Shelly, dia bahkan ketiduran karena lama menunggu Arsya.
“Anak baru, mau minum? Aku ambilin air, ya?” tawar Alana untuk kesekian kalinya.
“Nggak… makasih,” jawab Arsya lemah, matanya terpejam erat, menghindari tatapan Alana.
“Atau mau aku panggilkan Kak Kania? Mungkin kamu butuh obat…”
“Nggak usah, Alana. Sebentar juga bakal mendingan.”
Tapi saat Arsya membuka mata dan menoleh ke Alana, gadis kecil itu kembali menjerit.
“Anak baru! Lagi! Hidungmu berdarah lagi!”
Arsya menyentuh hidungnya. Benar. Darah segar mengucur lebih deras dari sebelumnya. Kali ini bukan cuma dari satu lubang, tapi keduanya.
“Aduh… jangan…” gumamnya, Arsya mulai panik. Kepalanya makin berat, pandangannya mulai buram.
“Ibu Panti! Kak Kania! Tolong!” Alana langsung melompat, berteriak sekencang-kencangnya sambil berlari ke gedung panti.
Arsya mencoba bangkit untuk mengejarnya, namun tubuhnya oleng. Kakinya terasa tak bertulang, tidak kuat menahan berat badan. Kedua tangannya di tumpukan ke lutut agar tidak jatuh.
Alana sudah terlalu jauh. Teriakan paniknya menggema di halaman panti, memudar ditelan jarak.
Arsya mencoba sekali lagi untuk berdiri, memaksakan diri, namun dunia di sekitarnya berputar tak terkendali. Pohon mangga yang rindang, langit biru yang cerah, wajah Alana yang berlari—semuanya menjadi siluet buram yang berputar seperti kaleidoskop rusak.
Enggak... aku nggak boleh pingsan... tidak boleh...
Namun gravitasi lebih kuat dari keinginannya. Tubuh kecilnya ambruk ke tanah berumput, darah segar dari hidungnya mengotori rumput hijau yang basah.
Yang terakhir ia lihat adalah bayangan Alana yang berlari menjauh sambil menangis, memanggil-manggil nama Ibu Panti.
Lalu, semuanya menjadi gelap.
***
“Ibu! Ibu Panti! Anak baru… dia pingsan!” Alana menerobos masuk, air matanya bercucuran. “Mimisannya enggak berhenti, sekarang belum sadar juga!”
Ibu Panti yang sedang merapikan pakaian di ruang tengah menjatuhkan kain dari genggamannya. “Apa? Di mana dia?”
“Di bawah pohon mangga! Cepat, Bu!” jerit Alana, napasnya tersengal.
Kania yang mendengar keributan dari dapur menyusul keluar. Ketiganya melesat menuju taman belakang.
Bersamaan itu, dari gerbang panti, derum motor menghentak lalu senyap. Gesang turun bersama pemuda berkacamata—Bara.
“Ribut sekali hari ini?” gumam Gesang sambil melepas helm.
“Namanya anak-anak,” balas Bara acuh, sibuk menata tas laptopnya.
Namun ketika teriakan ‘pingsan!’ mengoyak udara, tubuh Gesang tegang seketika.
“Bara, ikut aku ke belakang. Ada yang membutuhkan pertolongan.”
Bara menghela napas. Tapi dia paksakan ikut.
Di bawah naungan pohon mangga, mereka mendapati Arsya terbaring lemas. Wajahnya pucat, tetesan darah masih mengalir dari hidungnya, mencorengi rumput di sekelilingnya. Shelly menangis guling-guling di dekatnya. Melihat Ibu Panti, ia langsung merangkul Shelly.
“Ibu… Kakak baru nggak mau bangun… Padahal Shelly udah panggil-panggil… Darahnya…”
“Ya ampun!” Ibu Panti menjatuhkan diri di samping Arsya. “Kania, handuk basah! Sekarang!”
“Anak baru! Bangun, please! ” isak Alana sambil menggoyang pelan bahu temannya.
Kania berlari ke dalam, sementara Ibu Panti mendekap Arsya, menepuk-nepuk lembut pipinya.
“Nak! Sayang… buka matamu!”
Tak ada respons. Napas Arsya pendek tak beraturan. “Nak…” panggil Ibu Panti lagi.
“Biar saya lihat, Bu,” Gesang yang baru datang langsung mengambil alih Arsya dari pangkuan Ibu Panti.
Dengan sigap, dia meraih tisu steril dari tasnya, lalu menyeka perlahan darah yang mengotori wajah Arsya. Jemarinya kemudian menekan lembut pangkal hidung bocah itu.
“Kalau ada anak mimisan lagi, jangan dimiringkan. Jangan ditidurkan dalam posisi datar. Biarkan setengah duduk. Sangga kepalanya,” instruksinya meluncur cepat, tajam.
Kania datang dengan tergesa. Terlihat beberapa anak mengikutinya dari belakang.
“Kak Gesang… dia pucat sekali…” ujar Kania, suaranya sarat kecemasan.
“Dia kehilangan darah lumayan banyak. Kita harus hentikan ini dulu. Napasnya belum stabil. Bisa jadi tekanan darahnya drop.”
Bersamaan dengan itu, Bara datang membawa sebotol air dan senter kecil. Gesang segera menyinari mata Arsya, memperhatikan reaksi pupilnya dengan seksama.
“Masih ada refleks. Dia enggak kehilangan kesadaran total.” ujar Gesang. “Bagus.” dia memasukan senter kecil ke tas. Kemudian, mengeluarkan sebuah ampul kecil dan kapas tipis dari tasnya.
“Apa itu?” tanya Ibu Panti panik, pandangannya tertuju pada benda asing di tangan Gesang.
“Ini… stimulan ringan untuk membangunkannya.” Gesang mematahkan ampul kecil itu. Seketika, aroma menyengat menyeruak, memenuhi udara di sekitar mereka.
Ia mengayunkan ujung kapas yang telah menyerap amonia itu pelan-pelan ke bawah hidung Arsya. Tubuh kecil itu sedikit tersentak. Pelan-pelan, alisnya berkerut, dan Arsya menghela napas lebih dalam, mencoba meraih kembali kesadarannya.
“Nak…” Suara Gesang melembut, kini terdengar lebih menenangkan. “Kalau kamu dengar aku, pelan-pelan buka mata. Kamu aman sekarang.”
Kelopak mata Arsya mulai bergerak. Tubuhnya berusaha mencari posisi nyaman.
Kania menutup mulutnya, menahan isak yang nyaris pecah. Ibu Panti menarik napas lega, seolah baru saja terbebas dari jeratan kekhawatiran.
“Alana,” panggil Gesang. “Dekati dia. Suaramu bisa membantu bangunkan dia lebih cepat.”
“Anak baru…” Alana segera bergeser, tangannya meraih jemari Arsya yang dingin. “Anak baru… bangun, ya… jangan tidur terus…”
Panggilan Alana memicu reaksi pada Arsya. Bibirnya bergerak, sementara matanya pelan-pelan terbuka.
“Alana…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
“Oh, syukurlah!” Kania hampir memeluk erat tubuh mungil itu, namun diperingatkan oleh Gesang.
“Tapi jangan peluk dulu, Kania. Dia masih lemah,” Gesang mengingatkan, suaranya pelan namun tegas.
Ibu Panti berdiri tegak, menahan tangis haru yang membanjiri pelupuk matanya. “Bawa dia ke dalam.”
***
Arsya masih setengah sadar bahkan saat dibawa masuk ke panti. Suara-suara di sekitarnya masih belum terlalu bisa dia tangkap sempurna. Langit-langit di atasnya terlihat asing, kusen jendela, tirai yang tertiup angin. Aroma yang tercium di sekitarnya, semuanya sama. Asing.
Ada beberapa orang dewasa yang ada di sekitarnya. Tidak berselang lama, mereka kemudian pergi. Hanya tersisa satu orang.
“Syukurlah, Nak. Kamu enggak kenapa-kenapa,” kata Ibu Panti lembut. “Kata Gesang, kamu perlu cukup istirahat, dan makan dengan benar.” Lamat-lamat Arsya mengenali suara itu. Itu suara Ibu Panti.
Ada nama Gesang dalam penjelasannya. Kenapa nama itu terasa familiar? Apa dia yang membawaku ke sini? Dan kenapa… kenapa aku merasa pernah mendengar suaranya sebelumnya?
Batin Arsya menyelinap pelan, mencoba menemukan jawaban yang tak kunjung datang.
***
Don Mueang International Airport – Bangkok
-19 jam sebelum kedatangan di Yogyakarta
Pak Damar duduk di kursi tunggu bandara yang dingin dan keras, memijit pelipis dengan mata sembab. Ia belum tidur sejak meninggalkan Jepang lima jam lalu. Di depannya, layar elektronik menampilkan daftar keberangkatan—masih tiga jam menuju boarding berikutnya.
Tangannya menggenggam ponsel. Wajah Arsya melintas di benaknya, lalu kabur seperti kabut.
“Bertahanlah, Nak. Kakek sedang di jalan.”
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nomor asing. Ia menekan tombol jawab.
“Halo?”
“Pak Damar? Ini Rajendra. Maaf mengganggu.”
“Iya, Nak Rajendra. Ada perkembangan?”
“Kami sudah koordinasi dengan kepolisian Yogyakarta. Tapi... apakah pihak yang sempat menghubungi Bapak—Damian, ya?—sudah memberi lokasi pasti?”
“Belum. Saya juga belum mengabari bahwa saya sudah sampai di Bangkok. Saya boarding tiga jam lagi. Estimasi sampai Yogyakarta pukul tujuh malam waktu Indonesia.”
“Baik, Pak. Kami akan standby. Dokter Nata juga sudah bersiap.”
“Terima kasih. Sampaikan pada semua yang terlibat… kita harus berhasil. Anak itu harus ditemukan.”
Pak Damar memutus sambungan, memandangi ponselnya beberapa detik. Ia menunduk, matanya perlahan terpejam—bukan karena lelah, tapi karena beratnya beban waktu yang tersisa.
Hanya 19 jam… dan segalanya bisa berubah.