Setelah pesta selesai pukul tiga sore, rumah singgah kembali gaduh dengan tawa bocah dan suara langkah kaki yang saling bertabrakan. Nadhira sibuk membantu ibunya merapikan ruang makan, Calita bermain dengan teman-temannya, tak menyadari bahwa di balik semua hiruk-pikuk itu, Kakeknya mulai menyusun rencana pelarian diam-diam.
Pak Damar menepi ke kamar kecil di lantai dua. Membereskan satu tas kecil berisi dokumen yang dibutuhkan. Sisanya dia tinggalkan, agar keluarganya tidak curiga atas kepergiannya. Ponselnya digenggam erat. Pak Abbas baru saja mengirim tangkapan layar: tiket penerbangan tercepat, pukul 22.00 malam ini dari Haneda ke Jakarta, dengan transit di Bangkok selama lima jam.
Sambil menarik napas panjang, Pak Damar melihat ke luar jendela. Salju belum turun, tapi langit tampak berat, menggantung kelabu. Ramalan cuaca memperkirakan badai ringan malam nanti. Dia tak bisa menunggu lebih lama. Terlalu banyak pertaruhan untuk satu anak yang bahkan belum sempat memanggilnya ‘Kakek.’
Tanpa banyak bicara, ia kembali ke bawah, ikut berpura-pura tertawa saat Calita memamerkan kue ulang tahun yang tak sempat disentuhnya. Ia mengecup kening cucunya, lalu berpaling ke arah Pak Abbas yang sudah berdiri di dekat pintu, membawa koper ringan dan tas jinjing.
"Sayang, aku keluar sebentar, masih ada janji," katanya ke istrinya, nyaris seperti alasan klise seorang lelaki yang tak ingin menambah kekhawatiran.
"Jangan terlalu lama," jawab sang istri, tak menaruh curiga.
Mereka berdua menyelinap keluar sebelum sore benar-benar berakhir. Saat mobil sewaan meluncur di jalanan Karuizawa yang mulai teduh, salju pertama turun dalam butiran ringan.
"Perjalanan darat ke Haneda kita kejar dalam dua jam. Kita masih punya waktu cukup, asal tidak ada kemacetan dan kereta tidak delay karena cuaca," ujar Pak Abbas dari kursi depan.
Pak Damar hanya mengangguk. Pandangannya menatap jauh ke depan. Di benaknya, bukan lagi bayang Calita yang menari-nari. Tapi wajah pucat seorang bocah laki-laki yang terus memanggilnya—dari kejauhan, dari luka, dari doa yang tertinggal dalam diri bocah yang harapannya direnggut paksa semesta.
Nak… tolong bertahan, Kakek akan segera pulang.
***
Langkah dari Pak Damar seolah menggerakan semesta untuk bergabung dalam usahanya. Sudah cukup lama semua diam, mengumpulkan berat dosa, dengan membiarkan mereka yang dzalim berkuasa. Sekarang sudah saatnya mereka menuai apa yang mereka tabur. Perlahan, takdir mulai kembali memeluk mereka yang berkorban dan terluka.
“Nak Rajendra, sepertinya nanti kami akan meminta tolong, jika kami memulai pencarian ulang.”
“Baik, Pak. Kami akan berusaha menyediakan waktu.”
Pembicaraan Rajendra dengan Pak Damar baru saja berakhir. Akhirnya, setelah usaha pencarian nyaris tidak membuahkan hasil, karena mereka bergerak seadanya. Kini ada tangan tambahan yang akan mengupayakan pencarian maksimal. “Aku harus segera membicarakan ini dengan Dokter Nata.” putus Rajendra.
Pusat rehabilitasi hari ini cukup lenggang, setelah mendapatkan izin untuk keluar sebentar, Rajendra segera menuju UGD, tempat Dokter Nata bertugas akhir-akhir ini.
Belum sampai UGD, Rajendra mendengar sirine ambulans melengking dari kejauhan, semakin mendekat, lalu berhenti mendadak di area gawat darurat. Pintu UGD terbuka dan tertutup tanpa henti. Di dalamnya, suasana riuh dan tegang. Ambulan yang berjejer mengangkut puluhan pasien anak-anak, sebagian besar tampak lemas dan pucat, terbaring di brankar dan tempat tidur darurat. Aroma desinfektan bercampur bau muntah mendominasi ruangan.
Dokter Nata, dengan kemeja rumah sakit yang sudah agak lusuh, bergerak cepat di antara pasien. Ia memberi instruksi lugas kepada perawat-perawat lain yang berlarian, suaranya tegas namun menenangkan. Tangannya sigap memasang infus, memeriksa denyut nadi, dan sesekali menepuk bahu orang tua yang cemas.
Di kejauhan, Rajendra berdiri, mematung di samping dinding. Matanya tak lepas dari Dokter Nata, yang kini sedang membungkuk di depan seorang anak yang terbatuk hebat. Rajendra ingin sekali mendekat, mengabarkan bahwa keluarga Arsya sudah merespon panggilan dan akan memulai pencarian. Bahwa mereka mungkin akan segera dilibatkan dalam upaya membawa Arsya kembali. Tapi rasanya mustahil bisa menyela kesibukan Dokter Nata saat ini.
Cukup lama Rajendra menunggu, hingga sebuah tepukan di bahunya membuat ia sedikit terlonjak.
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Alin. Matanya mengikuti arah pandang Rajendra “Menunggu Dok Nata? Dia mungkin akan lama. Ada puluhan pasien keracunan makanan dari acara ulang tahun.”
Rajendra menghela napas, menatap Alin. “Tanpa kamu beritahu, aku sudah paham. Ada yang harus aku bicarakan dengan Dokter Nata,”
“Penting banget?”
“Tentang Arsya. Keluarga Arsya sudah merespon. Mereka…”
Alin mengangkat sebelah tangannya, memotong kalimat Rajendra. “Ikut Aku!” pintanya
Mereka pindah tempat, Alin membawa Rajendra ke Rooftop rumah sakit. Mempertimbangkan lingkungan itu seringkali sepi.
“Ada yang lebih mengejutkan. Ini.” Alin menyerahkan ponselnya ke tangan Rajendra. Layar ponsel itu memancarkan cahaya redup, menampilkan sebuah laman berita dari akun anonim. Judulnya mencolok:
"DUA RAHASIA GELAP RUMAH SAKIT PELITA HARAPAN TERKUAK!"
Rajendra mengerutkan kening. Ia menggeser layar ke bawah, jantungnya berpacu lebih cepat saat membaca poin-poin berita. Yang pertama tentang dugaan malpraktik. Tapi yang kedua...
"KECEROBOHAN KEAMANAN! PASIEN DIBAWA KABUR, DIDUGA PENCULIKAN!"
Di bawah judul itu, terpampang jelas foto Arsya, dengan wajah polosnya yang familiar. Rajendra mendongak, tatapannya bertemu dengan mata Alin yang sama-sama terkejut.
“Berita ini, siapa yang menyebarkannya. Dan untuk apa?”