"Suhu badannya 40°C, tinggi sekali, Bu. Kita harus bagaimana?"
Arsya mengenali suara itu. Itu suara Kania. Suhu badan? Arsya membatin. Apa ada bayi yang sakit lagi, di sekitarnya?
Banyak bayi yang sakit hari ini, tapi dia malah merepotkan karena ikut tidur bersama mereka, batin Arsya di sisa kesadarannya. Dia tidak tahu anak dengan suhu tubuh tinggi adalah dirinya sendiri.
Kepalanya terasa berat, pandangannya kabur. Suara-suara di sekitarnya mulai memudar seperti radio yang sinyalnya lemah. Demam tinggi menariknya semakin dalam, dan tanpa perlawanan, Arsya membiarkan dirinya tenggelam ke tempat yang lebih tenang.
Arsya bangun di tempat yang familiar. Dia kembali ke dunia Bundanya. Arsya tidak mengetahui keberadaan tempat itu, tapi dia menyukainya.
"Arsya!" Seseorang memanggilnya dari kejauhan. Senyum kecil mengembang di bibir Arsya. Ia tahu siapa pemilik suara itu.
"Bunda..." serunya. Ia menoleh, mencari sumber suara. "Bunda di mana?"
"Di sini, Sayang. Mendekatlah!"
Awalnya, tempat itu hanyalah hamparan ruang putih kosong, namun saat suara Bundanya menggema, ajaibnya pemandangan berubah. Kini ia berdiri di hamparan bunga yang luas, disinari mentari hangat.
"Bunda..." Begitu menyadari sosok ibunya, Arsya segera berlari dan memeluk erat. "Aku rindu," ujar Arsya.
"Hari ini, apa yang akan kamu ceritakan?" tanya Bundanya dengan suara lembut.
Arsya mendongak, mencoba memandang wajah ibunya yang selalu tidak bisa dia lihat saat mereka bertemu. Kali ini dia ingin melihatnya. Namun sama seperti sebelumnya, Arsya hanya bisa melihat wajah itu tersenyum tanpa bisa melihat detail wajahnya.
"Aku takut, sebel," keluhnya. "Aku sebel nggak bisa telepon Dokter Nata biar jemput aku di panti. Di sana berisik, aku nggak suka. Aku juga takut..." lanjutnya. Wajahnya terlihat murung. "Ada orang jahat di panti. Dia kasih aku obat, dia bikin Kak Jendra terluka. Dia buang aku ke panti, dia misahin aku dari Dokter Nata. Dia... jahat."
"Arsya nggak perlu takut. Dia nggak akan melukaimu lagi. Bertahan sebentar lagi ya, sayang? Nanti kamu akan dijemput dari panti..."
"Nggak mau!" potong Arsya. "Aku nggak mau bertahan, aku nggak mau sabar. Capek, Bunda. Aku nggak mau di sana." suaranya mulai parau karena menahan tangisan. "Aku mau di sini. Aku mau sama Bunda aja," rengeknya.
"Tapi tempatmu bukan di sini. Kamu harus bangun."
"Enggak mau..." Tangisannya makin parah. Dia mengusap air matanya dengan kasar. "Aku nggak mau bangun, di sana nggak enak. Aku nggak mau, banyak orang yang bikin aku takut... Aku nggak mau bangun lagi. Nggak!" teriaknya memberontak.
"Nggak mau..." Tangis Arsya dalam mimpi berubah menjadi rintihan lemah.
Dunia putih dengan hamparan bunga perlahan memudar. Suara Bunda yang lembut digantikan oleh sentuhan dingin di dahinya—Kania sedang mengganti kompres dengan tangan yang bergetar.
"Nggak mau... di sini aja," rintih Arsya tanpa membuka mata, masih setengah terjebak antara dua dunia.
Mendengarnya, tanpa sadar Kania ikut menangis. "Maaf ya, Dek. Kamu sakit pasti karena kami kurang memperhatikanmu. Maaf..." ucap Kania sambil mencium telapak tangan Arsya. Bahkan di sana panasnya sangat menyengat. "Kamu pasti kesakitan, tapi kita kehabisan obat. Tadi banyak anak sakit, stok obat penurun panasnya habis. Andai kita bisa bawa kamu ke rumah sakit... Andai panti ini lebih banyak dana..."
Tiba-tiba, Kania teringat Gesang. Ia tahu Gesang berkuliah di bidang kesehatan. Pasti dia bisa membantu Arsya sekarang.
Kania segera menghubungi Gesang. Lega rasanya ketika dia bersedia datang.
"Tahan ya, Dek. Sebentar lagi ada yang akan menolongmu. Besok pasti kamu sudah sehat. Kakak janji besok akan menghubungi keluargamu. Bertahanlah, Sayang?" bisik Kania penuh harap.
***
Pagi berikutnya, demam Arsya memang mulai mereda. Wajahnya masih peninggalan pucat, tetapi matanya tak lagi berkabut seperti malam sebelumnya.
"Arsya! Ayo main!" Alana menyembul di ambang pintu dengan senyum mengembang, erat memeluk boneka kesayangannya.
"Tunggu, Alana." Kania menyusul dari belakang, baru saja usai membantu Ibu Panti di dapur. "Arsya baru sembuh dari demam tinggi semalam. Hari ini ia butuh istirahat panjang."
Alana mencibir. "Tapi kan demamnya sudah turun, Kak?"
"Suhunya normal, tapi badannya masih lemas," bujuk Kania lembut.
Pikiran Alana terdengar. Antara merasa bersalah dan kecewa. Akhirnya Arsya ikut membujuk Kania. “boleh keluar sebentar saja?” tanya Arsya. “Aku janji nggak ikut main, cuma duduk menonton dari jauh. Nggak boleh, ya?”
Kania mengalah, tersenyum sambil merapikan selimut Arsya dengan hati-hati. "Kalian boleh main, tapi hanya di taman belakang. Jangan terlalu jauh dari kamar, ya? Kalau kamu lelah, atau mulai pusing, nanti tolong kembali."
Arsya mengangguk. Dia kemudian mencoba bangkit, tubuhnya masih terasa berat. Alana langsung menghampiri dan membantu.
Kania memandangi kedua bocah itu hingga hilang dari pelataran. Tiba-tiba ia menengok jam dinding. "Ah, tadi Mas Gesang menelepon. Ia akan datang sore untuk memeriksa Arsya." Ia teringat malam kritis itu. Entah apa suntikan ajaib Gesang, tapi nyata Arsya membaik pagi ini. Syukur ada tangan-tangan baik seperti dia yang sudi menolong.
***
Di sana teduh dan kita bisa lihat ikan mas," ajak Alana sambil menggamit tangan Arsya.
Langkah Arsya tertatih, kakinya terasa mengambang. Namun ia tak tega menolak; Alana sengaja datang menghibur. Ia paksakan diri melangkah.
Taman belakang panti memang sederhana, namun menyejukkan. Kolam ikan mas kecil terpancar jernih memantulkan cahaya mentari pagi. Sekelilingnya, rumpun mawar putih dan pepohonan kecil memberi naungan. Di sudut, terhampar kebun herba Bu Ita—temulawak, jahe, dan daun mint yang selalu dipanen untuk ramuan anak-anak.
"Lihat, ikan-ikannya mendekat!" Alana duduk di tepi kolam, menuding ikan emas yang bergerak lincah.
Arsya mendekat perlahan, duduk di sampingnya. Senyum tipis mengambang di wajahnya yang masih lesu. "Yang kuning itu gemuk sekali."
"Namanya Bulat! Aku yang memberi nama," sahut Alana riang. "Yang putih itu Salju. Yang kecil-kecil itu anak mereka."
Angin sepoi-sepoi membawa aroma mint segar. Seketika, Arsya merasakan kedamaian. Suara bising di kepalanya lenyap, digantikan gemericik air dan celoteh Alana.
Ia teringat pesan Bundanya semalam. Bertahanlah...
Alana menggoyang lengannya, menunjuk seekor ikan baru. "Lihat itu!"
Sambil memandangi riak air, tekad menguat dalam batin Arsya. “Baik, Bunda” bisiknya dalam hati. “Aku nurut sama Bunda. Kalau yang terjadi akan selalu seperti pagi ini… Aku akan bertahan”
***
Sementara tekad Arsya sedikit menguat. Kerinduan justru hampir membuat Pak Damar goyah. Dia terasing dari euforia megahnya ulang tahun cucunya, Calita.
“Tahan….” batin Pak Damar.
Hari ini melelahkan. Drama keluarga bahagia dan kakek penyayang harus ia perankan sempurna. Seharusnya tak sulit—ia terbiasa dengan sandiwara keluarga, dan tulus menyayangi Calita. Namun, sejak malam itu, berpura-pura baik-baik saja terasa bagai mengangkat gunung.
Lamunannya buyar oleh sorak tamu undangan. Calita baru saja meniup lilin ulang tahunnya. Api di angka delapan punah. Usianya genap delapan tahun hari ini. Pikiran tentang Arsya menyeruak lagi. Anak itu juga delapan tahun. Jika masih di dunia, adakah yang merayakannya? Bahagiakah dia sekarang?
Setiap lilin yang padam bagi Pak Damar adalah pengingat pahit: tahun terus bergulir, sementara Arsya masih hilang.
Setelah rangkaian acara selesai, Pak Damar pamit kepada istrinya. Dia akan pergi sebentar bersama Abbas, selain untuk keperluan perayaan, Pak Damar bersedia ikut ke Jepang, karena dia ingin meninjau langsung bisnis perhotelan di sini. Hari ini adalah waktu yang sudah dijadwalkan untuk itu.
***
Begitu tiba di lokasi aman dan memastikan tak ada yang mengintai, Pak Damar langsung membuka maksud pertemuan.
“Bagaimana? Sudah kau periksa profil mereka? Siapa yang akan kita hubungi hari ini? Damian? Foto Arsya di situ paling mengkhawatirkan.”
“Aku akan hubungi Rajendra dulu,” tegas Pak Abbas.
“Tapi pesan dari Damian?” sahut Pak Damar, mengingatkan agar pesan misterius itu diprioritaskan.
“Akan kuhubungi dia juga. Percayalah pada penilaianku, Mas Damar.”
Pak Abbas mulai mendail nomor Rajendra. Ia ragu akan dijawab. Namun, baru beberapa dering, suara lelaki itu menyapa dari seberang.
“Halo, ini Pak Damar?” Rajendra terdengar terkejut sekaligus lega. “Ah, maaf. Benar dengan Pak Damar?” tanyanya lagi, lebih tenang.
“Iya, saya Damar.”
“Maaf, Pak. Saya Rajendra. Pramudia Rajendra. Perawat yang pernah merawat putra Bapak. Boleh saya minta bantuan? Ini tentang Arsya, sangat darurat.”
“Ceritakan dulu keadaan Arsya. Bagaimana kau bisa menghubungiku? Apa tujuanmu mengirim fotonya?” Serentak hening menyergap, hanya rintik hujan mengisi latar. Jantung Pak Abbas berdegup kencang.
“Begini, Pak. Arsya korban kecelakaan tanpa identitas di RS kami. Lokasinya sepi, minim saksi. Saat ditemukan, dia luka parah di kepala dan beberapa bagian tubuh. Pernah koma beberapa hari,” Rajendra berhenti sejenak, seolah memunguti kenangan pahit. “Bagian Admin sudah berusaha verifikasi identitasnya. Karena tak ada ID, rencananya akan kami kirim ke panti setelah sembuh. Tapi… sebelum sembuh, dia diculik. Pelaku menyusup saat rumah sakit lengah—waktu pembersihan rutin.” Suaranya bergetar; kehilangan Arsya jelas menyisakan luka.
“Lalu, bagaimana kau dapat nomorku?” tanya Pak Abbas mendalam.
“Petugas kebersihan lama yang kasih tahu, Pak. Dia lihat selebaran orang hilang dan tanya apakah Arsya yang dimaksud. Saya hubungi Bapak setelah pertimbangan matang,” jelas Rajendra mantap.
“Dan alasan menghubungiku sekarang?”
Rajendra menarik napas dalam. “Saya rasa polisi tak memprioritaskan pencarian karena kendala identitas. Sudah beberapa hari saya laporkan, responsnya lambat. Mereka baru temukan mobil pelaku—mobil sewa dengan identitas penyewa palsu yang sangat rapi.” Suaranya gusar, tersendat-sendat. “Saya ingin kepolisian segera bergerak. Sangat khawatir dengan keadaan Arsya. Bisakah Bapak bantu?” Getar suaranya mengungkap frustrasi mendalam.
“Terakhir, Nak Rajendra. Kami juga dapat pesan dari seseorang bernama Damian. Kau kenal?” tanya Pak Abbas, nadanya melunak.
“Maaf, Pak. Tidak kenal,” jawab Rajendra tegas. Keyakinan itu meyakinkan Pak Abbas.
Pak Abbas teringat foto dari Damian. Jika Rajendra benar merawat Arsya, ia pasti tahu kondisi terakhirnya. Jika cocok, berarti Damian terlibat penculikan. “Maaf, selain luka kepala, adakah luka parah lain pada Arsya? Dan penyebabnya?” tanyanya, suara bergetar menahan amarah.
“Luka-lukanya hampir membaik saat terakhir saya rawat, Pak. Tapi…” Rajendra terdiam sejenak. “…luka jahitan di perut cukup parah saat pertama masuk. Perkiraan kami, terbentur bodi mobil hingga sebagian limpa terpaksa diangkat. Ada juga lebam-lebam di lengan dan kaki, kemungkinan akibat kekerasan fisik.”
Pak Abbas terdiam mematung. Pikirannya kacau. “Jadi, Arsya tidak hanya kecelakaan, tapi juga mengalami kekerasan?” suaranya berat.
“Itu yang membuat saya curiga. Apa Bapak tak dapat petunjuk apa pun selama tiga tahun ini?”
“Kasus hilangnya Arsya selalu mentok. Pelakunya seperti selalu selangkah lebih depan, menutup semua celah informasi,” jawab Pak Abbas lesu.
“Apa Bapak yakin kasus ini terkait?” tanya Rajendra hati-hati.
“Belum pasti. Tapi kemungkinan besar ada kaitan. Terima kasih infonya, Nak. Kami akan menghubungimu jika memulai pencarian ulang.”
“Saya siap membantu, Pak. Silakan hubungi kapan saja,” ujar Rajendra sebelum menutup telepon.
Rajendra telah terbebas dari kecurigaan. Tinggal Damian. Siapa dia? Apa motifnya menculik Arsya? Pak Abbas mengusap wajah, putus asa. Trauma Arsya pasti sangat dalam setelah semua ini.
Sengaja ia mengecilkan volume tadi. Jika Pak Damar mendengar langsung detail luka Arsya, hancurlah dia.
“Jadi? Kau dapat sesuatu dari Rajendra?” tanya Pak Damar penuh tanya.
“Beberapa informasi. Akan kuceritakan nanti. Sekarang aku hubungi Damian dulu,” jawab Pak Abbas, mata tertancap di layar ponsel. Jarinya menekan nomor Damian.
“Akhirnya Bapak menghubungi,” sambut Damian saat panggilan terangkat. Suaranya ragu-ragu, seolah menyembunyikan sesuatu. “Saya kira salah nomor.”
“Kamu Damian?” tanya Pak Abbas penuh kewaspadaan.
“Iya, saya Damian, Pak,” jawabnya, suara sedikit goyah.
“Bisa kabari keadaan Arsya sekarang?” goda Pak Abbas.
“Oh, anak itu? Saya tinggalkan di panti asuhan, Pak. Saya sendirian, tak mampu urus dia,” jawab Damian tenang, terlalu sempurna seperti naskah yang dihafal.
“Bisa kau temui? Saya perlu pastikan dia benar cucu saya,” desak Pak Abbas, nada semakin tegas.
“Saya usahakan, Pak,” sahutnya gugup.
“Tapi saya bisa dapat uangnya, kan? Lagi banyak kebutuhan, Pak,” tambahnya tanpa malu.
“Saya pastikan dulu kebenarannya,” Pak Abbas bersikukul, matanya menyipit mencoba membaca situasi.
“Tenang, Pak. Kebetulan saya sedang menuju kesana—saya suplier obat di panti itu. Ah, itu Arsya! Saya kirim fotonya.”
***
Di taman belakang panti, Arsya dan Alana masih asyik di tepi kolam. Shelly baru saja menyusul, menghidupkan suasana dengan cerita lucu yang membuat Alana terkikik dan senyum tipis mengembang di bibir Arsya.
Mereka tak menyadari, dari balik pagar bambu di ujung taman, lensa kamera ponsel mengintip. Gesang mengambil beberapa foto Arsya—bukti yang diminta Pak Damar.
“Sudah, Pak. Terlihat jelas?”
“Terima kasih. Saya akan hubungi lagi.”
“Sama-sama, Pak.”
Sambungan terputus. Pak Abbas terdiam. Hanya detak jam menemani pikiran berputar-putar. Keningnya berkerut, matanya menyipit penuh curiga. "Damian terlalu polos untuk jadi penculik. Atau jangan-jangan dia sangat pandai berpura-pura?" gumamnya.
“Bagaimana?” tanya Pak Damar.
“Secara profil, keduanya bersih. Arsya juga baik-baik, sesuai penjelasan Damian. Lihat, dia di panti.” Ia menunjukkan foto. “Sayang, Damian kirim dari jarak jauh. Mungkin dia sedang berjalan ke sana.”
“Yang jelas, kita harus pulang hari ini. Cari tiket tercepat.”
“Benar. Biar kucek jadwal penerbangan.”
Saat membuka pintu dengan tangan gemetar, pemandangan di dalam ruangan membuatnya terpaku.
Pramudya Rajendra, perawat Arsya, duduk terpuruk di lantai, wajahnya pucat pasi. Di hadapannya, Alin menangis tersedu-sedu, matanya sembab dan merah. Namun, yang paling membuat Dokter Nata terguncang adalah ketiadaan Arsya di kamar tersebut.
"Pram, Arsya di mana?!" tanyanya dengan suara bergetar, penuh ketakutan.
Rajendra mengangkat pandangannya dengan tatapan kosong, suara lirih keluar dari bibirnya. "Maaf, Dok... Arsya..."
Kata-kata itu bergema di telinga Dokter Nata, membekukan pikirannya. Siapa sebenarnya Arsya hingga Bos Pak Nohan begitu menginginkan anak itu lenyap dari dunia? Rasa takut, marah, dan frustasi bercampur aduk dalam dirinya.
Dokter Nata terduduk lemas di lantai. Pikiran tentang apa yang mungkin terjadi pada Arsya mengguncang batinnya. Rasa bersalah menggerogoti hatinya, menyadarkan bahwa ia telah gagal melindungi anak itu.