Seorang perawat berseragam biru muda memasuki kamar Arsya. Pramudya Rajendra – tertulis jelas di name tag mengilap di sakunya – berhenti di ambang pintu. Dari balik kaca, ia melihat Arsya terduduk di tepi ranjang, pandangannya terpaku pada langit biru yang membentang luas di luar jendela. “Sudah kesekian kali,” pikir Rajendra. Entah sudah berapa kali Rajendra mendapati mata anak itu kosong, tatapannya menerawang jauh, seolah jiwanya hampa.
“Bagaimana kami terlihat di matamu, Nak?” batin Rajendra, tiba-tiba. Ia menggeleng, mengusir prasangka yang mulai menyesaki benaknya.
Hari ini jadwalnya padat. Memandikan Arsya, memotong kuku yang sudah panjang, merapikan rambut sisa operasi yang mulai menggerai, dan yang paling ia tunggu mendiskusikan chapter terbaru komik One Piece yang ia selipkan di saku.
“Arsya…”panggilnya pelan sambil melangkah masuk. Tangan kirinya menggendong baskom berisi peralatan mandi, tangan kanan menggenggam gunting kuku yang berkilat.
Senyum manis langsung merekah di wajah Arsya. Terlalu manis. Terlalu cepat. Rajendra menahan desah. “Senyum itu…. topeng!” bisiknya dalam hati, dengan nada getir yang hampir tak terdengar.
Setiap kilasan senyum yang muncul di wajah Arsya membuat Rajendra teringat pada hari-hari yang dilalui oleh Arsya sebelumnya. Kecelakaan, amnesia, bahkan tidak ada keluarga yang mendampinginya
ingatan Rajendra melayang pada pertemuan pertama mereka. Arsya yang ketakutan, bersembunyi di balik jubah Dokter Nata.
“Hei, kita pernah bertemu, bukan? Kamu ingat aku?” tanya Rajendra lembut.
Dari balik persembunyiannya, Arsya mengintip, mengangguk tanpa suara, lalu kembali menyembunyikan diri.
“Enggak mau sama mereka,” keluh Arsya.
Dokter Nata kemudian berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan Arsya yang duduk di ranjang, dan membujuk Arsya, “Arsya, Kak Rajendra dan Kak Alin adalah perawat yang sangat berpengalaman. Mereka akan merawatmu dengan baik, seperti aku merawatmu.”
Sejak hari itu, Rajendra dan Alin bergantian menjaga Arsya di sela tugas rutin. Dokter Nata boleh saja menjamin saat mengenalkan mereka, bahwa Arsya akan aman. Tapi kepercayaan? itu bukan hal yang mudah bagi Arsya.
Awalnya, Arsya mengencangkan genggaman setiap kali tangan mereka mendekat. Sentuhan asing, keberadaan orang lain, pasti membuatnya tidak nyaman. Tapi perlahan, ritual pagi, sapaan hangat Rajendra, cerita konyol Alin tentang kucing di lorong ICU, mulai mencairkan tembok itu.
Sudah lebih dari dua pekan sejak kecelakaan yang menimpa Arsya. Hari ini, Rajendra datang untuk membantunya menjalani rehabilitasi. Setelah berhari-hari hanya terbaring di tempat tidur—bahkan untuk sekadar buang air kecil pun ia harus dibantu—tibalah saatnya bagi Arsya untuk mulai berlatih kembali.
“Tadi Kakak sudah melemaskan otot punggungmu yang kaku. Sekarang giliran kakimu,” ujar Rajendra dengan suara lembut dan menenangkan.
Saat Rajendra berpindah ke hadapan Arsya, ia menyadari sesuatu. Tatapan anak itu kosong, pikirannya mengembara entah ke mana. Rajendra menghela napas, memahami bahwa trauma yang dialami Arsya bukan hanya fisik, tetapi juga mental.
“Arsya…” panggilnya pelan.
Arsya tersentak, kembali ke realitas dari pusaran pikirannya yang kalut. Sejak tadi, kata-kata Pak Nohan tentang ‘Melenyapkan’ terus terngiang di benaknya, menciptakan bayang-bayang ketakutan yang sulit diusir. Ia hampir lupa bahwa Rajendra ada di sana, sosok perawat yang perlahan mengetuk pintu hatinya dengan kesabaran dan perhatian.
“Arsya, bisa kita mulai latihan berjalan hari ini?” tanya Rajendra, memastikan. “Latihan ini bukan karena kamu tidak bisa berjalan, hanya saja setelah lama terbaring, tubuhmu pasti terasa kaku. Tapi aku yakin kamu bisa.”
Arsya baru menyadari betapa lamanya ia tak beranjak dari ranjang. Jika sejak awal ia bisa berjalan, seharusnya ini tidak sulit, bukan? “Aku pasti bisa,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan diri.
“Nah, sekarang coba kita berdiri,” ujar Rajendra setelah memastikan Arsya siap.
Dengan gerakan hati-hati, ia mengapit kedua lengan Arsya dan membantunya berdiri. Seketika, rasa cemas menyergap. Kakinya terasa berat dan kaku, seolah bukan bagian dari tubuhnya sendiri. Napasnya tersengal, tangannya mencengkeram lengan Rajendra lebih erat.
“Harusnya kita di ruang rehabilitasi,” gumam Rajendra dengan nada sedikit kesal. “Tapi kamu belum boleh jauh-jauh dari sini. Nanti malah kamu dibawa pergi.” Ia tersenyum tipis, berusaha meredakan ketegangan yang tergambar jelas di wajah Arsya.
Ada sesuatu dari cara Rajendra memperlakukannya yang membuat Arsya nyaman—seolah ia adalah seorang adik yang harus dilindungi. Ditambah lagi, Arsya menyukai nama Rajendra. Baginya, nama itu terdengar keren. Ditambah isi pikirannya yang selalu jujur, membuat Arsya nyaman.
“Sekarang, coba gerakkan kakimu pelan-pelan,” lanjut Rajendra, suaranya tetap sabar.
Arsya menarik napas dalam-dalam. Dadanya sesak bagai dihimpit batu. Ia mengerahkan sisa-sisa keberanian, mendorong kaki kanannya maju. Aku pasti bisa, bisiknya, gigi gemeretak menahan nyeri.
Di benak, ia membayangkan diri berlari bebas – mungkin, seperti dulu. Tapi realitas menusuk tajam. Kaki kirinya bagai terpaku ke lantai. Dua langkah kecil, lalu tubuhnya oleng.
“Arsya!” Rajendra menyambar tubuhnya tepat sebelum terjatuh, lengan kuat mengunci pinggang bocah itu. “Cukup untuk hari ini,” bisiknya sembari menepuk punggung Arsya pelan-pelan.
“Tenang…” Rajendra mengusap keringat di pelipis Arsya, merasakan getaran panik yang merambat dari tubuh kecil itu. “Proses pemulihan butuh waktu.”
Kenyataan pahit itu merayap masuk. Arsya menatap kaki tak berdayanya. Air matanya menggenang, tapi ia gigit bibir—protes dan tangisan terasa tak pantas baginya sekarang.
Rajendra menariknya dalam pelukan. “Menangis itu boleh,” desisnya, jari-jari kasar menyisir rambut ikal Arsya. “Besok kita latih lagi. Pelan-pelan, Kakak temani sampai kamu bisa berlari.”
Setelah menenangkan Arsya sejenak, Rajendra menggendongnya ke kamar mandi. “Ayo kita bersihkan keringat ini,” ujarnya, suara dipoles kelembutan yang biasa ia pakai pada pasien kecil.
Saat Kak Jendra selesai membantu Arsya membersihkan diri, Dokter Nata datang tepat waktu untuk melakukan visit harian. Seperti biasa, ia menyimpan kunjungan ke kamar Arsya sebagai yang terakhir—bukan tanpa alasan. Ia ingin memastikan bisa berbicara lebih lama dengan Arsya.
Setelah melakukan pemeriksaan singkat, dengan bantuan laporan dari Rajendra, Dokter Nata duduk di tepi ranjang Arsya.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?” tanyanya ramah.
Tidak ada jawaban dari Arsya. Dia tampak murung, mungkin masih memikirkan kejadian sebelumnya bersama Rajendra. Dia duduk bersandar pada bantal, kedua lututnya ditarik mendekat ke dada. Matanya menatap nanar ke luar jendela yang dibingkai tirai putih. Setelah beberapa saat, kesibukannya beralih. Jemarinya sibuk menarik-narik benang longgar di selimut, berharap kegiatan itu bisa menenangkan pikirannya. Sesekali, ia mengembuskan napas pelan, tetapi matanya tetap kosong, seperti menyimpan sisa beban dari kejadian pagi tadi.
Dokter Nata memperhatikan gerak-gerik itu tanpa buru-buru bertanya. Ia membuka jas putihnya perlahan, lalu duduk di tepi ranjang sambil melipat tangan di pangkuannya. Ia menunggu beberapa saat, membiarkan keheningan bekerja seperti pelukan hangat yang tak terlihat.
“Arsya,” panggilnya lembut. “Bapak tadi ngobrol sama anak di bangsal sebelah. Namanya Bima. Usianya hampir sama kayak kamu, tapi... dia baru belajar jalan lagi, setelah lumayan lama hanya bisa duduk di kursi roda, karena kakinya terluka.”
Arsya menoleh, belum sepenuhnya tertarik, tapi matanya mulai bergerak seolah memintanya untuk mendengarkan Dokter Nata.
“Waktu pertama kali coba berdiri, kakinya gemetar. Belum dua detik, dia langsung jatuh duduk. Tapi tahu nggak apa yang dia lakukan?”
Arsya menggeleng pelan. Tapi Dokter Nata menangkap gerakan itu.
“Dia ketawa. Terus bilang, ‘Nggak apa-apa, besok coba lagi, ya, Dok.’ Katanya, yang penting hari ini udah nyoba. Meski jatuh, tapi itu lebih baik daripada diam di tempat.”
Suara Dokter Nata mengalun laksana dongeng pengantar tidur—hangat, tapi jauh dari kesan menggurui.
Arsya menunduk. Ada yang terasa akrab dalam cerita itu: kegelisahan, rasa malu, dan ketakutan akan kegagalan. “Apa Bima juga takut saat jatuh?”
Dokter Nata tersenyum, lega karena suara kecil itu akhirnya muncul. “Takut sekali. Tapi dia bilang... lebih takut kalau nggak pernah coba sama sekali.”
Keheningan kembali hadir, kali ini tak terasa menekan. Arsya menatap tangannya yang kini diam di atas selimut, lalu perlahan mengalihkan pandangan ke kakinya. Ia membayangkan betapa Bima harus berjuang lebih keras—kaki yang terluka versus dirinya yang hanya perlu mengumpulkan nyali.
“Kalau... kalau aku mencoba lagi besok dan jatuh lagi?” ujarnya setengah berbisik, seolah mengukur keberanian diri.
“Wajar,” jawab Dokter Nata sambil mengangguk. “Tapi ingat, kau tak sendirian. Aku, Kak Jendra, Kak Alin... kami semua akan membantumu bangkit, berapa pun kali kau terjatuh. Kegagalan hanya milik mereka yang menyerah.”
Arsya memandang sang dokter dengan sorot berharap. Kegagalan hanya milik mereka yang menyerah. Kalimat itu menggema dalam benaknya. Jika ia terus mencoba, apakah artinya ia belum benar-benar gagal?
Dokter Nata membiarkan Arsya diam karena dia tahu, anak itu sedang memproses pemahaman. Namun setelah hening beberapa saat, Arsya tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuat Dokter Nata terdiam.
“Dokter, aku... aku dibuang, ya?” suaranya bergetar, menyimpan ketakutan yang selama ini dipendam dalam diam.
Pertanyaan itu seperti tamparan di wajah Dokter Nata. Ia menatap Arsya dengan mata berkaca-kaca. Waktu seakan berhenti.
“Kenapa kamu berpikir seperti itu, Nak?” suaranya tetap datar, tapi urat di lehernya menegang. Dalam hati, ia hancur. Meski Pak Aswan menyampaikan bahwa Arsya tidak memiliki identitas, Dokter Nata belum bisa menyampaikan hal itu sebelum mendapat kebenaran yang pasti.
Arsya menunduk. Tatapannya kosong, didominasi kebingungan yang belum juga menghilang dari matanya. Namun, ia tahu ia harus menjawab.
“Nggak ada yang datang… Aku lupa wajah mereka…” Arsya memeluk lututnya. “Mungkin… mereka sengaja buat aku lupa… biar nggak nyari…”
Bayangan itu nyata. Dokter Nata melihatnya—sepi yang merayap di sudut-sudut ruangan, menggerogoti setiap sudut kamar. Ia menelan ludah, rasa getir mengganjal di kerongkongan. Ia ingin sekali memeluk bocah itu, tapi tangannya hanya mampu merapikan selimut Arsya yang berantakan. “Itu bukan salahmu,” katanya, jemarinya mengusap punggung tangan Arsya. “Sekarang, fokuslah sembuh. Sisanya... biar dokter yang urus.”
Untuk mengalihkan perhatian Arsya dari perasaan kelam, Dokter Nata mengingatkan tentang jurnal kecil yang ia berikan dua hari lalu. Jurnal itu itu bukan sekadar terapi motorik halus, melainkan wadah bagi Arsya untuk menumpahkan pikiran, rasa, atau serpihan ingatan yang mungkin pulih.
“Sudah mulai menulis di jurnalmu, Arsya?” tanya Dokter Nata sambil mengambil buku kecil yang tergeletak di atas nakas.
Arsya mengangguk pelan, tampak enggan. “Boleh dokter baca?” bisiknya ragu.
Berbeda dengan Kak Jendra atau Kak Alin yang mungkin ditolaknya, Arsya merasa Dokter Nata berhak tahu—karena dialah pemberi jurnal itu.
“Boleh...” jawab Arsya dengan suara nyaris tak terdengar. Ia khawatir tulisannya yang kaku sulit dibaca.
Dokter Nata tersenyum tipis. Ia membuka halaman demi halaman: coretan huruf canggung, sketsa rumah tanpa bentuk utuh, dan goresan pensil yang kerap dihapus. Tiba-tiba, jemarinya membeku. Di antara coretan Arsya yang terlihat tidak beraturan, sebuah kalimat terpampang jelas:
‘Arsya mimpiin Bunda. Dia suruh cari Kakek. Emang Arsya bisa?’
Sinar senja menyelinap dari jendela, menyapu wajah Arsya yang menunduk. Dokter Nata mengetuk lembut sampul jurnal. “Arsya… tentang mimpi bundamu?”
“Iya, Dokter, aku sering mimpiin Bunda!” potong Arsya tiba-tiba, matanya berbinar seperti menemukan peta harta karun. “Dia suruh aku cari Kakek! Tapi…” Binar itu redup seketika, “aku… nggak punya, kan?”
Dokter Nata terdiam. Segenap kalimat penghibur yang biasa ia lancarkan menguap entah ke mana. Namun, kegigihan Arsya memeluk bayangan "Bunda" dalam mimpinya justru membuatnya tersentak. Daripada larut dalam duka, ia mencoba mengalihkan topik.
“Kamu sering mimpi tentang bunda?” tanyanya, dada berdebar tak keruan.
“Iya,” bisiknya. “Dia selalu datang saat aku tidur. Tapi … kenapa hanya di mimpi? Aku ingin dia di sini … bukan cuma dalam kepalaku.”
Dokter Nata menggeser kursi mendekat, bayangannya membayangi Arsya dalam naungan pelindung. “Kita akan cari bersama,” bisiknya sambil mengeluarkan kamera saku dari jas. “Izinkan Dokter ambil fotomu. Nanti akan kusampaikan ke polisi untuk ditelusuri.”
Cahaya kamera menyala-nyala. Arsya menyeringai canggung saat Dokter Nata mengajaknya berpose. “Senyum lebar! Nanti kita kirim ke detektif super!”
Tawa mereka berpadu dengan derit roda tempat tidur. Saat layar kamera menunjukkan foto Arsya tersenyum kaku, Dokter Nata menepuk pundaknya. “Lihat! Senyum ini pasti akan memanggil Kakekmu, atau bahkan Bundamu!”
Arsya memandang foto itu, jempolnya mengusap bayangannya sendiri di layar. Untuk sesaat, harapan itu nyata, dia bisa merasakannya melalui keberadaan Dokter Nata. Namun mendadak fokusnya justru pada seseorang di balik pintu.
Di balik celah pintu yang tak tertutup rapat, siluet pria berseragam biru kotor membeku. Sarung tangan karetnya berdecit pelan saat dia mencoba mendorong pintu dan mencondongkan telinga ke arah suara mereka.
Klik. Suara shutter kamera membuat matanya berkedip licik seperti kucing menatap burung terluka. Saat Dokter Nata menyebut “polisi”, senyum tipis menghilang dari bibirnya
Pria itu menyelinap pergi, ba yangannya membaur dengan suasana rumah sakit—menyapa beberapa pasien dan perawat dengan ramah, seakan-akan dia benar-benar bagian dari keseharian rumah sakit. Langkahnya tidak menarik perhatian siapapun.
Di ruang ganti petugas kebersihan, ia mengunci pintu, menekan nomor yang dihapalnya diluar kepala.
“Mereka mau libatkan polisi,” gumamnya, suara parau, mencoba tetap memberikan informasi walau hanya berupa bisikan.
Tuuut…
Sinyal terputus sebelum jawaban datang. Tugasnya hari ini selesai, dia akan kembali besok untuk memberi kabar secara rutin. “Selamat berjuang, Nak” ucapnya diiringi senyuman aneh dibalik masker