Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (Proses Refisi)
MENU
About Us  

Langit malam Yogyakarta terbelah oleh kilat, menyinari tubuh kecil Arsya yang terseret di tengah hujan. Kaki delapan tahunnya menghentak genangan air, meninggalkan riak ketakutan. Derasnya hujan mencambuk kulitnya, bak cambukan ayah angkatnya yang sering kehilangan kendali. Di balik bajunya yang basah, luka-luka segar berdenyut, menyatu dengan rasa pedih yang lebih dalam, “Ayah… kenapa?”

Arsya tahu, lelaki yang selama ini dipanggilnya Ayah bukanlah ayah kandungnya—semua orang di kampung itu tahu. Tapi bagi Arsya, dialah satu-satunya sosok yang pernah memberinya kasih sayang.  

Tangan yang kini kasar itu pernah mengelus kepala Arsya dengan bangga. “Kau anak pintar,” ujarnya saat Arsya pertama kali membaca buku. Ayahnya ibarat senja hangat yang pelan-pelan bergulir menjadi badai. Uang sekolahnya menguap di meja judi; kata-kata manisnya larut dalam botol minuman keras.  

Setiap kekalahan memicu ledakan amarah, dan Arsya selalu jadi sasaran. Pukulan, makian, dan kemarahan mewarnai hari-harinya, 

diikuti permintaan maaf yang selalu terlambat. “Maafkan Ayah… Ayah nggak sadar,” bisiknya dengan suara parau.  

Dalam kepolosannya, Arsya mencoba memahami. Ia membenarkan, kekalahan pasti menyisakan kegeraman. “Lagipula, dia memang melukai, tapi dia pula yang mengobati,” batinnya.

Namun malam ini, semuanya berbeda. Lukanya masih belum kering, semalam dia baru saja menerima obat penurun demam dari tetangganya, tempat Arsya biasa bersembunyi saat Ayahnya marah. 

Selepas maghrib, Ayahnya mengatakan ingin cari angin, Arsya tahu apa yang akan terjadi. Cari angin selalu berarti pergi berjudi, dan Arsya tahu lelaki itu akan pulang dalam keadaan mabuk. 

Dengan luka-luka yang masih belum sembuh, Arsya berusaha mencegahnya. Dia memberanikan diri. “Jangan pergi, Ayah…” dengan suara gemetar.

Tapi mata lelaki itu sudah kosong, seolah lupa kepada Arsya yang selalu menunggu kepulangannya sambil terkantuk-kantuk membaca, dia kemudian berdecih. Sambil membuang sisa putung rokok, dia menyibakan tangan Arsya yang menggegam ujung bajunya “Minggir”

“Ja…jangan pergi, nanti…Ayah pulangnya kemalaman lagi, besok aku_”

Belum saja menyelesaikan kalimat, sang Ayah sudah memotongnya “Kamu sekarang tuli? Ayah bilang minggir!”

“Tapi, Yah…”

Mata lelaki itu tiba-tiba menyala, dipenuhi amarah. “Diam! Dasar sampah tidak berguna!”

Bentakan itu membuat jantung Arsya berdebar kencang. Tapi malam ini, ia tidak ingin kalah. Dengan gemetar, ia menggenggam tangan Ayahnya. “Ayah... tolong…”

Namun, Ayah angkatnya juga tidak mau kalah. Dengan tawa sumbang, ia mengangkat dagu. “Aish, sialan!”

Ikat pinggang dilepas, tubuh Arsya diseret ke kamar. “Diam kau!”

Cambukan pertama mendarat bersamaan dengan lantunan ayat suci dari musala. Jerit Arsya teredam hujan.

Tetangga sudah hafal drama ini. Dulu, mereka mencoba membantu, tapi hanya memperparah luka. Kini, mereka pura-pura tuli.

Tapi malam ini, ada yang berbeda. Seorang lelaki tua menyeruak masuk, menjegal tangan Ayah angkatnya. “Cukup!”

“Lari, Arsya!” teriaknya. “Dia bukan ayahmu! Lari sejauh mungkin, jangan pernah kembali!” Arsya tidak berpikir dua kali. Ia berlari, meninggalkan segalanya.

Entah sudah seberapa jauh jarak yang dia tempuh sambil berlari. Kakinya mulai lemas, hingga akhirnya Arsya tersungkur. Lututnya tergores, mengeluarkan darah dan menyisakan perih. Air hujan membersikan lukanya, tapi rasa pedih di dada tak bisa dibersihkan. Hatinya seperti kaca yang pecah berkeping—setiap keping adalah kenangan, pelukan palsu, janji yang patah, dan tawa yang kini menjadi jerit. Menarik kembali air matanya untuk tumpah. 

Saat Arsya kira hari ini adalah akhir dari segalanya, mata malangnya menatap kubah masjid yang bersinar redup. ‘Masjid… pasti disana ada orang yang mau bantu’ pikir Arsya. 

Tubuhnya bergerak sebelum pikirannya sadar. ‘Aku bisa berteduh di sana,’ pikirnya, sambil mempercepat langkah. Kakinya yang kecil berlari, berusaha melawan rasa lelah. Napasnya tersengal, namun Arsya terus melangkah. 

Masih setengah jalan. Namun, sorot cahaya dari arah berlawanan menarik perhatiannya. Lampu-lampu mobil membesar dalam pandangannya yang buram, seolah melahap seluruh dunia di sekitarnya. Bunyi klakson memecah kesunyian. Waktu terasa berhenti. Arsya tak mampu bergerak, tubuhnya kaku, terpaku di tempat.

Lalu semuanya terjadi begitu cepat. Tubuh kecilnya terlempar oleh benturan keras, melayang di udara. Hentakan dingin aspal menyambutnya dengan kejam, setiap sentimeter tubuhnya berteriak dalam diam, sakit. Sakit yang luar biasa menusuk hingga ke tulang.

Arsya terbaring, tubuhnya terhantam aspal yang kasar dan dingin. Darah hangat mulai merembes dari luka-lukanya, bercampur dengan air hujan yang deras. Napasnya tersengal, tiap embusan terasa seperti ribuan jarum menusuk paru-parunya.

Di dalam mobil, Mahatma Aswanta Wasesa—Pak Aswan—menggenggam setir dengan erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena kepedulian, tetapi karena ketakutan. Peluh dingin membasahi dahinya, tangannya masih mencengkeram setir seolah berharap waktu bisa mundur.

"Sialan..." bisiknya, menatap tubuh kecil yang tergeletak tak berdaya di tengah jalan.

Dia melirik ke kanan dan kiri dari kaca spion—jalanan sepi. Tidak ada saksi. Tidak ada CCTV. Seharusnya dia bisa kabur. “Tapi... bagaimana kalau anak itu selamat dan mengingat segalanya? Bagaimana kalau polisi mulai menyelidiki?” batinnya terus memperingatkan, sambil mempertimbangkan seluruh kemungkinan

Tangan gemetarnya merogoh ponsel, dengan cepat mengetik pesan.

"Ada masalah. Aku menabrak seseorang. Jangan tunggu aku pulang cepat."

Di rumah, Nadhira Maheswari menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Jari-jarinya dengan cepat menekan tombol panggilan, tapi suaminya tidak mengangkat. Rasa cemas mulai menguasai dirinya.

Sementara itu, di jalanan yang basah, sosok seseorang muncul dalam pandangan Arsya yang semakin buram. Wajahnya samar, nyaris tanpa bentuk, hanya bayangan yang bergerak mendekat. Orang itu berjongkok di sampingnya, gerakannya terburu-buru, didominasi rasa panik. Bibirnya bergerak, mungkin mengucapkan sesuatu—bertanya, memanggil, atau berusaha meyakinkannya. Tapi bagi Arsya, suara itu hanya dengungan jauh, seperti angin yang melintas tanpa bisa ia pahami.

Orang itu Pak Aswan, dia mengamati sekitar itu dengan cepat. Apakah dia saksi? Haruskah dia membuat alasan? batinnya, Dia kemudian merogoh sakunya kembali, Dia menekan tombol panggilan lain di ponselnya, kali ini bukan untuk meminta bantuan—tapi untuk mencari jalan keluar.

“Aku menabrak anak kecil!” ujarnya, suaranya terdengar serak namun tetap terkendali. 

“Dia masih bernapas, tapi terluka parah,” katanya lagi, kali ini lebih tenang. Dengan cepat dia menambahkan, “Aku akan membawanya ke rumah sakit.”

Tentu saja, itu bagian dari rencananya. Jika anak ini selamat, Pak Aswan harus memastikan dia tetap diam.

Dengan gerakan cekatan, dia mengangkat tubuh Arsya, memasukkannya ke kursi belakang mobil. “Hei, Nak. Kamu bisa dengar aku?” tanyanya, bukan karena peduli, tapi untuk memastikan bocah itu masih sadar. 

Arsya tidak menjawab, namun matanya yang masih terlihat berkedip dan dadanya yang masih terasa bergerak membuat Pak Aswan meyakini anak itu masih sadar “Aku akan membawamu ke rumah sakit. Tolong, bertahanlah!” perintahnya sambil membenarkan posisi tubuh Arsya yang tergeletak di mobilnya, berharap memberikan sedikit kenyamanan.

“Siapa namamu?” setelah beberapa saat, suara itu akhirnya terdengar lebih jelas, meskipun samar. Dengungan di telinga Arsya perlahan mulai memudar, membuatnya mampu mendengar suara orang yang menabraknya. Dengan sisa tenaga, Arsya kembali membuka matanya, melihat wajah seorang pria dewasa yang tampak penuh kekhawatiran di atasnya.

“Siapa namamu?” tanya pria itu lagi, kali ini lebih pelan, seolah takut Arsya tidak dapat mendengarnya.

“Arsya,” jawab Arsya dengan suara serak, hampir tak terdengar.

“Apa? Esa?” Pak Aswan mendekatkan telinganya, berusaha mendengar suara lemah Arsya.

“Arsya,” ulang Arsya, mencoba berbicara lebih keras meski suaranya nyaris pudar.

Aswan mengangguk. “Baiklah, Arsya,” suaranya kini terdengar lebih lembut, seolah dia benar-benar peduli. Tapi kemudian, nada suaranya berubah. “Aku akan membawamu ke rumah sakit. Bertahanlah, ya?”

Kemudian, kalimat berikutnya meluncur dari mulutnya dengan nada pelan namun penuh tekanan “Jangan mati… bertahanlah! rumah sakitnya tidak jauh. Aku tidak ingin disebut pembunuh oleh anakku.”

Tanpa menunggu jawaban, Aswan membanting pintu mobil, menyalakan mesin, dan melaju kencang.

Arsya ingin menuruti perintah itu, meski suara pria itu terdengar egois, lebih peduli pada citranya dibanding luka-luka yang menyiksa tubuhnya. Tapi tubuhnya semakin berat. Napasnya semakin pelan.

Pikirannya mulai melayang. Dia mengingat kejadian hari itu—bagaimana dia diusir dari rumah, bagaimana dia kehilangan tempat untuk pulang. Sebagian dari dirinya ketakutan karena kematian terasa semakin dekat. Namun, sebagian yang lain... ingin berhenti berjuang.

Arsya tersadar. Untuk apa aku hidup? gumamnya lirih.

Arsya menyerah, membiarkan kegelapan perlahan mengambil alih kesadarannya. Dunia mimpi menyambutnya, membawanya ke dalam jurang yang begitu dalam dan kelam. Angin malam berhembus menerpa wajahnya, membawa serta embun dingin yang menyentuh kulitnya dengan lembut. Di kejauhan, sebuah cahaya kecil tampak berkedip, seperti bintang yang tersesat di tengah kegelapan.

Cahaya itu semakin terang, membentuk siluet seorang wanita. Wajahnya lembut, matanya memancarkan kasih sayang yang dalam. Wanita itu mengulurkan tangan, seakan ingin mengajak Arsya mendekat.

"Jangan takut, Nak," bisiknya, lembut. Suaranya terasa begitu akrab bagi Arsya, menenangkan. Dia ingin meraih tangan itu, tetapi tubuhnya terasa kaku, seolah terjebak dalam keterpurukan.

“Ini Bunda,” lanjut wanita itu dengan penuh kasih. “Izinkan Bunda membantumu.”

Wanita itu membantunya bangkit, perlahan membawanya menjauh dari tepi jurang yang gelap dan mengerikan. Sekarang, Arsya mendapati dirinya berada di bawah hamparan bintang yang indah, terbungkus kehangatan dan cinta yang mendalam.

“Arsya, anak hebat. Bertahan, ya, Sayang?” bisik wanita itu lembut sambil mengecup kening Arsya. “Lupakan semua yang terjadi sebelumnya. Mulailah hidup baru, buat kenangan baru.” perintahnya.

Arsya menutup matanya. Dalam pandangannya, potongan-potongan kenangan muncul seperti adegan acak dalam sebuah film yang menakutkan. Bayangan-bayangan gelap berkelebat—wajah-wajah menyeramkan, ekspresi menakutkan, serta tindakan yang mencerminkan kekerasan bergantian hadir. Suara-suara mencekam menggema di telinganya. Tubuhnya bergetar hebat, dilanda ketakutan yang tak terlukiskan.

Wanita itu merasakan kegelisahannya. Tangannya menyelimuti tubuh Arsya dengan lembut, seolah membungkusnya dalam selimut perlindungan.

“Bunda merindukanmu,”  lanjut wanita itu dengan suara bergetar, seolah menahan rindu yang terlalu dalam untuk diungkapkan. “Tapi kamu belum boleh pulang. Bertahanlah, Nak!” pintanya sambil mengelus lembut kepala Arsya.

Usapan lembutnya seolah memiliki kekuatan magis, menghapus potongan-potongan menakutkan yang membebani pikiran Arsya. Satu per satu, bayangan gelap itu menghilang, dan hanya satu pesan dari wanita itu yang tersisa di benaknya.

“Kamu harus mencari Kakekmu. Kamu harus membantunya. Berjanjilah bahwa kamu akan melakukannya,” lanjut wanita itu penuh harap.

Kemudian, seolah dipandu oleh suara lembut itu, Arsya menjawab. “Iya, Bunda. Arsya janji.”

Namun, sebelum sempat dia bertanya seperti apa Kakeknya, bagaimana dia bisa membantu, dan bagaimana dia bisa bertemu dengannya, sosok wanita itu menghilang. Digantikan oleh bayangan hitam yang mengerikan, berbisik dalam kegelapan:

"Selamat datang, Nak. Perjalananmu baru saja dimulai."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Warisan Tak Ternilai
712      291     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Interaksi
500      375     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Paint of Pain
1366      880     33     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
1687      504     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Premonition
1008      572     10     
Mystery
Julie memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan dan masa lalu. Namun, sebatas yang berhubungan dengan kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang di masa depan dan mengakses masa lalu orang yang sudah meninggal. Mengapa dan untuk apa? Dia tidak tahu dan ingin mencari tahu. Mengetahui jadwal kematian seseorang tak bisa membuatnya mencegahnya. Dan mengetahui masa lalu orang yang sudah m...
Imperfect Rotation
213      186     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Matahari untuk Kita
1572      663     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
357      301     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Unframed
999      642     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Wilted Flower
386      292     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...