“Kamu gila?”
“Ya, mungkin?” Fikar santai menenggak tuntas sisa air dalam botol kemasan. “Gila karena lu …?”
Nura ternganga. “Ternyata emang gila.”
Usai tindakan nekat Fikar yang mengajaknya berpacaran di tengah lapangan, Nura sigap menarik cowok itu ke kelas diiringi teriakan teman-teman yang usil menggoda mereka. Fikar kalem saja mengekor, sesekali bahkan melontarkan gombalan, mengundang lebih banyak sorakan untuk mereka dari teman-teman.
“Aku minta kamu nolak Mahda.” Nura mengurut pelipisnya yang terasa pening. “Kenapa malah ngajak aku jadian? Di tengah lapangan? Hei, urat malu kamu udah putus, ya?”
Dego, yang tentu masih sangat setia di sisi Nona Penulis, mengangguk-ngangguk setuju.
Sedangkan Fikar malah melepas jersey sebelum dijadikan elap keringatnya sendiri, duduk di lesehan di muka kelas seraya meluruskan kedua kaki. Untung saja bentuk tubuh cowok itu lumayan bagus, kalau tidak, mungkin Nura sudah muntah detik itu juga.
“Udah aku berkali-kali bilang, aku nggak suka berondong. Jadi–“
“Mahda nyatain perasaannya ke gua,” potong Fikar sembari mengipasi badannya dengan buku tulis. Padahal kelas mereka baru saja memenangkan pertandingan, alih-alih senang lalu merayakan, Fikar justru mendapatkan omelan. “Daripada sekadar kata-kata, menurut gua, menolak dengan tindakan terbilang jauh lebih kejam. Bukannya itu yang lu mau? Apa gua salah?”
Menutup mulutnya secara dramatis, Nura seakan kehabisan kata tatkala Fikar menceritakan detail kejadian. Tentang Mahda yang menyatakan perasaan, tentang Fikar yang berjanji akan memberikan jawaban kalau gadis itu menontonnya bertanding di lapangan, dan tentang aksi gila Fikar yang justru menembak Nura sambil disaksikan langsung oleh Mahda.
“Wow!” Nura menepuk tangan dengan gerakan lambat. “Ternyata kamu punya bakat jadi tukang PHP. Aku nggak sangka kamu kepikiran sampai ke sana.”
Tiada respon yang Fikar berikan kali ini. Atensinya tertuju lurus pada petak-petak lantai, merenungi sesuatu dalam kepala. Seumur-umur, ia belum pernah secara sengaja menyakiti hati seseorang. Ia jelas tidak menaruh perasaan khusus pada Mahda, tetapi ini benar-benar membuatnya tidak nyaman. Fikar menepuk-nepuk pelan dadanya, berupaya mengenyahkan rasa bersalah.
“Pasti nggak enak, ya?” tebak Nura begitu menyadari gerak-gerik cowok itu. “Sejujurnya, aku agak ragu kamu bakal menuruti permintaan aku. Terima kasih, Fikar. Aku serius, sangat amat terima kasih.”
Mendengus panjang, Fikar sontak beranjak, melempar jersey-nya ke atas meja, lalu mengenakan seragam yang ia ambil dari tas. Ada kode dari cowok itu yang meminta Nura duduk di kursi Mahda, yang berada persis di depan Fikar. Namun, belum sempat perempuan itu mendekat, teman-teman bergerombol masuk. Sunyi yang semula berkuasa, telah kehilangan singgasananya.
“Widih, pasangan baru, nih~”
“Tahan dulu, Mas Bro, belum mahram.”
“Asyik amat berduaan.”
“Jangan sampai malah kejadian hal-hal yang diinginkan~”
“Kita belum siap punya keponakan.”
Gelak tawa mengudara disusul oleh ragam ledekan lain yang serempak mengganggu mereka. Baik Nura maupun Fikar, tak sengaja berbalas pandang, yang mana hal itu kian menghebohkan seisi kelas. Terbit cengiran yang menghiasi paras tegas Fikar, sementara Nura bertahan dengan tampang datar.
Masih ada hal yang ingin cowok itu bicarakan dengan Nura. Alhasil, ia memberikan tanda agar Nura memeriksa ponselnya. Berhubung mereka sudah bebas setelah ujian, jadilah mereka diperbolehkan pulang lebih awal. Fikar meminta perempuan itu pergi ke lahan jagung belakang sekolah. Akan tetapi, yang ditunggu tak kunjung datang, ia justru dibuat terlonjak kala menyadari kehadiran seseorang.
“Fikar,” panggil Mahda, binar matanya menggelap seolah tak memiliki secuil pun rasa semangat. “Kamu belum kasih aku jawaban.”
Melirik sekilas ke tembok di balik punggung Mahda, samar-samar Fikar bisa menangkap figur Nura. Tampaknya, perempuan itu sengaja bersembunyi guna mencuri dengar percakapan mereka.
“Jawaban apa lagi? Bukannya semua udah jelas?” Cowok itu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Mahda mengeraskan rahang. “Apa yang kamu suka dari cewek itu?”
“Ori,” koreksi Fikar. “Bukan cewek itu. Dia punya nama.”
“Aku nggak sudi!” Kedua tangan Mahda terkepal, mungkin menyalurkan rasa tak terima atas pembelaan yang Fikar lakukan. “Kalau kamu nggak suka aku, kenapa kamu selalu berusaha kasih penjelasan ke teman-teman? Kenapa kamu selalu minta mereka untuk berhenti berkata yang tidak-tidak tentang aku? Kenapa kamu selalu tersenyum? Kenapa kamu perhatian? Kenapa kamu … selalu ... membuat aku berdebar …?”
Sekuat tenaga mengesampingan rasa kemanusiaan, kelopak Fikar perlahan turun setengah; memamerkan tatap tak minat, sudut bibir yang biasa melengkung ke atas kini terpasang seperti garis lurus, helaan napas panjang mengiringi suara decak sesaat Fikar menaikkan sedikit dagunya pongah.
“Yaudah, lu bisa berhenti sekarang.” Nada suaranya sangat berat, tajam, dan penuh ancaman. “Kemarin-kemarin gua cuma berusaha bersikap baik, males banget kalau disalahpahami kayak gini.”
Mahda menggigit bibir bawah, menahan cairan bening turun meski sudah menggenang di pelupuk mata, kepalanya kini tertunduk, menatap nanar sepasang sepatu yang ternyata sudah sangat butut; jauh berbeda dengan milik Fikar yang seakan baru sekali atau dua kali dipakai.
“Aish, harusnya gua ketemu si Ori di sini, kenapa malah–” Sengaja tak melanjutkan ucapan, Fikar lantas membuka muka lalu menggerutu entah apa. Fikar yakin, lagak seperti ini lebih dari sekadar cukup untuk menyakiti perasaan gadis itu. “Udah, ‘kan? Gua mau pulang bareng cewek gua. Dia udah nunggu.”
Setelahnya, Fikar berlalu begitu saja melewati Mahda, tenang menghampiri Nura, dan bertanya mengapa malah menguping dari sana. Diam-diam, Mahda menengok ke belakang, terdiam menyaksikan perdebatan kecil yang terjadi di antara mereka. Tak berapa lama, kedua orang itu saling melepaskan tawa.
Alegori.
Semua kekacauan ini karena dia.
Mahda menatap Nura dari kejauhan—dengan pandangan yang membara. Baginya, perempuan itu bukan sekadar orang yang kebetulan lewat lalu terlupakan. Nura adalah awal kehancuran. Sosok yang tampak sempurna di mata semua orang, tetapi menyisakan luka yang teramat menenggelamkan.
Alegori—perempuan itu—yang membuat Fikar ragu. Padahal sebelumnya, segalanya terasa jelas. Pandangan Fikar, perhatian kecilnya, semua itu miliknya. Milik Mahda. Namun, sejak perempuan itu hadir, semuanya berubah. Perempuan itu merusak arah, merusak rasa, dan pada akhirnya merusak segalanya.
**
“Nona Penulis, kayaknya cukup, kamu jangan memancing emosi Mahda lagi.”
Dego berbicara ketika mereka baru saja tiba di rumah. Saat Fikar pergi meninggalkan Mahda di lahan jagung belakang sekolah, jelas sekali, Dego bisa merasakan aura kelam menguasai tubuh gadis itu. Lagi-lagi, tatapannya bukan tertuju pada Fikar yang terang-terangan mengucapkan kalimat menyakitkan, tetapi tersorot lurus pada Nona Penulis yang menjadi alasan di balik tindakan cowok itu.
“Sebenarnya, akhir cerita seperti apa yang kamu rencanakan?” tanya Dego tak kuasa menyembunyikan rasa khawatir dalam suaranya. “Kalau begini terus, bisa-bisa kamu dalam bahaya, Nona Penulis.”
“Baguslah, memang itu tujuan aku.” Jawaban ini sama sekali di luar perkiraan si anak laki-laki. “Seperti yang kamu tahu, kita punya ingatan berbeda tentang bagaimana kisah ini berakhir. Kamu yang mati maupun kamu yang ditinggalkan orang-orang, keduanya adalah hal yang selama ini aku takutkan.”
Dego mengerutkan kening. “Maksud kamu ...?”
“Masih ada satu ketakutan lain yang sering menghantui aku sepanjang hidup.” Nura menghirup banyak udara sore itu, berusaha merilekskan badan. “Aku nggak terlalu yakin, tapi mungkin hal itulah yang akan menutup perjalananku di sini.”
Dego memberi jeda beberapa detik. “Hal apa yang kamu maksud, Nona Penulis?”
Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya tersenyum, senyuman yang membuat Dego diselimuti berjuta-juta resah, beratus-ratus gelisah, beribu-ribu kerisauan.
**
Kekhawatiran Dego sulit diabaikan. Malamnya, diam-diam ia pergi ke tempat Mahda; rumah lamanya. Rumah yang beberapa waktu lalu masih dihuni oleh Nona Penulis. Kata yang pertama kali muncul di kepalanya ialah: berantakan. Tas ditaruh asal di lantai depan pintu kamar, buku-buku berserakan memenuhi kasur yang tidak ditutupi seprai, satu-satunya alat makan yang gadis itu punya teronggok entah sejak kapan di tempat cucian, lampu kamar berkedip sesekali pertanda sebentar lagi akan mati.
Pada cermin yang tetap dipajang meski sudah retak, Mahda tampak memandangi potret dirinya sendiri di sana. Menyentuh rupa yang telah kehilangan keindahannya, mengusapnya pelan, lalu memukul tembok dengan kencang. Dego terperanjat, bukan karena tindakan yang terlalu tiba-tiba, tetapi kala menyaksikan air muka gadis itu justru bertahan pada tampang datar, tak peduli meski buku-buku jarinya telah tertoreh luka.
“Alegori,” gumam Mahda pelan namun sarat akan ketidaksukaan. “Kenapa kamu harus ada di dunia ini? Gara-gara kamu ....”
Otot-otot wajah Mahda mengeras, kegelapan dalam matanya mulai menimbulkan cahaya–bukan harapan, justru api dendam yang menjelma bara. Dego tidak benar-benar tahu isi pikiran gadis itu. Namun, setiap sorot matanya seolah menuliskan puisi kemarahan: halus, lambat, dan mematikan.
Detik itu, Dego tersadar:
Dendam dalam diri Mahda hanya tinggal menunggu ledakan.
**
“Nona Penulis, kamu nggak dengar aku?”
Nura sibuk memoles wajah dan merapikan gaun biru langit yang melekat di tubuhnya hingga bawah lutut. Sekolah tidak lagi memiliki aktivitas formal, sebatas menunggu pembagian rapot dan acara perpisahan. Hari itu ia berencana mengajak Fikar keluar, sekadar membeli satu barang yang ia perlukan.
“Aku bilang kamu dalam bahaya!” Entah sudah berapa kali Dego mengatakan hal ini, tetapi Nura sama sekali enggan mengindahkan. “Aku lihat sendiri, Mahda menyimpan kebencian ke kamu, berpuluh-puluh kali lipat dari apa yang aku rasakan dulu!”
“Terus kenapa?” Akhirnya, perempuan itu membalas walau tidak ada sedikit pun hadir ketakutan dalam suaranya. “Untuk mendapatkan sesuatu, kamu harus merelakan sesuatu yang lain.”
“Termasuk nyawa?” timpal Dego tak habis pikir. “Kamu nggak peduli meskipun harus mati demi bisa keluar dari dunia ini?”
Menoleh pada Dego sebentar, Nura menarik sudut bibirnya tipis seolah ingin mengatakan bahwa Dego tidak perlu berlebihan. Apa pun yang terjadi kepadanya nanti, Nura bisa menjamin, tidak akan merugikan anak laki-laki itu.
Sebelum berpamitan kepada Papa dan Mama, Nura mengingatkan kedua orang tuanya bahwa tiga hari lagi akan ada pembagian rapor yang tidak boleh diambil oleh siswa. Jadi, entah Papa atau Mama atau mungkin keduanya harus meluangkan waktu di hari itu.
“Beli pulsa yang Rp50.000,” tutur Nura di depan konter Kang Iim.
Pagi itu bagian sif kerja Mahda, mungkin gadis itu memilih pindah jam kerja selagi sekolah belum mewajibkan murid untuk masuk. Nura sengaja datang pada waktu jaga Mahda, menaruh ponsel mahal tipe terbaru di atas meja kaca sesaat menuliskan nomornya di buku pelanggan.
Lirikan tajam terang-terangan Mahda perlihatkan, mencuri lihat foto pada layar lock screen perempuan itu di mana Fikar tengah tertawa lebar sambil mencubit pipi Nura yang terlihat kesal.
“Nggak dikirim?” tegur Nura kala Mahda diam saja.
Setengah niat, Mahda mengambil ponsel jadul yang biasa dijadikan media pekerjaannya. Tak berapa lama, notifikasi pulsa masuk diterima Nura. Entar pamer atau bukan, Nura membuka dompet berisikan beberapa lembar seratus ribu di depan Mahda, lalu menyerahkan salah satunya.
Begitu menerima kembalian, Fikar datang mengenakan kemeja pink polos yang dibiarkan terbuka, berpadu dengan kaos putih bersih serta celana jeans biru pudar. Warna yang sangat senada dengan gaun milik Nura. Mereka memang berencana bertemu di depan konter. Lebih tepatnya, Nura, perempuan itulah yang meminta Fikar menjemputnya di sana.
“Nunggu lama?” tanya Fikar.
Nura menggeleng. “Sekalian beli pulsa,” jawabnya.
“Kagak dibolehin bawa motor, jalan kaki kagak masalah, ‘kan?”
Mengulum senyum manis, Nura alami meraih tangan Fikar dan menariknya sedikit. “Bagus, dong. Itu berarti kita bisa lebih lama jalannya.”
Fikar tergelak, refleks mengacak surai perempuan itu. “Dasar, bocil satu ini bisa aja,” candanya seraya balas menggenggam tangan Nura sebelum membawanya pergi menjauh dari sana.
Sementara itu, Dego yang sedari tadi tiada henti mengingatkan Nona Penulis agar berhenti, hanya bisa berteriak frustrasi. Seluruh bulu kuduknya bahkan berdiri manakala sadar bahwa Mahda hanya diam–seolah sengaja bungkam sambil memeluk erat dendam yang menunggu waktu paling tepat untuk dilepaskan.
Dego menggeretakkan giginya.
Nona Penulis ....
**
Dua hari setelah itu, deretan ponsel di etalase konter Kang Iim terpampang rapi seperti biasa. Sampai sepintas bola matanya jeli menangkap sesuatu yang tidak ada dalam tempatnya, sesuatu yang hilang—unit terbaru yang baru ia masukkan kemarin sore. Dahinya berkerut. Ia cek kembali pembukuan dan rak penyimpanan. Barang benar telah ia terima, tetapi mengapa sekarang tidak ada?
Hanya dua orang yang tahu posisi ponsel baru itu: dirinya sendiri dan Mahda.
Ragu-ragu, Kang Iim mendekat. Dengan nada hati-hati, pria itu bertanya, “Ehm ... Neng Mahda? Kamu lihat HP yang saya taruh di rak bawah kemarin, nggak? Yang model terbaru itu?”
Mahda tengah berkutat dengan buku pelanggan saat itu, perlahan mendongak. “Kenapa? Mau nuduh aku yang ngambil?!”
Kang Iim gelagapan. “Bu-bukan, maksud saya nggak gitu. Saya cuma nanya. Kalau Neng Mahda tahu, bilang aja–”
“Mana aku tahu!” Mahda kontan beranjak. Tatapannya berubah nyalang, menyorot lurus pada pria tersebut begitu tajam. “Jelas-jelas nada bicara tadi mau nuduh aku!”
“Nggak, Neng. Saya cuma pengen kamu nanti laporan. Kalau kamu tahu—”
Belum sempat Kang Iim menyelesaikan kalimatnya, gadis itu tiba-tiba mengangkat sebelah tangan, lalu merobek kerah bajunya secara dramatis. “LEPASKAN AKU, KANG! JANGAN PEGANG-PEGANG!” teriaknya lantang sambil beringsut ke belakang, tubuhnya gemetaran seolah baru saja menjadi korban.
Warga sekitar satu per satu mulai berdatangan. Bisik-bisik bermunculan, tatapan-tatapan tajam serempak tertuju pada Kang Iim yang kelabakan.
“Iim … kamu ….”
“Sumpah, saya nggak ngapa-ngapain! Saya cuma nanya soal HP yang hilang!” Pria berpeci miring itu mencoba menjelaskan, suaranya terbata-bata, jelas panik.
Situasi semakin kacau manakala tangisan Mahda semakin kencang, gerakan refleks gadis itu yang menepis sentuhan orang-orang, membuat Kang Iim kian tersudutkan. Kerumunan pun bertambah rapat.
“Demi Tuhan! Saya nggak macem-macem. Saya nggak berani. Saya takut dosa.”
Di tengah keributan, dari sela-sela gerombolan manusia yang berkerumun di sana, muncul Nura. Perempuan itu santai berkata permisi, meminta agar dipersilakan lewat. Begitu tiba di barisan terdepan, Nura kalem saja berseru, “Ada apa, sih, Kang, ribut-ribut? Kenapa? Kalau emang ada yang hilang, tinggal periksa CCTV aja, ‘kan?”
Hening sejenak.
Perlahan, air muka Mahda berubah pucat, suaranya bahkan nyaris tercekat, “CCTV …?”
Nura mengulas seringai. “Dua hari lalu, aku baru beli benda itu bareng Fikar. Emang belum dipasang, Kang?”
Untuk beberapa saat, Kang Iim tertegun. Baru ingat kalau konter kecilnya itu kini telah dipasangi kamera pengawas pemberian dari Nura. Kang Iim terheran-heran ketika Nura berkunjung malam-malam waktu itu, tepat saat konternya akan tutup.
Perempuan itu membawa sebuah kardus kecil sebelum diberikan pada si pria berpeci miring. Itu adalah kamera pengawas. Bentuknya menyerupai lampu, yang bahkan bisa menyala. Kebetulan lampu konter juga sudah lama redup, minta diganti.
Nura bilang ia memberikan benda untuk jaga-jaga. Walaupun kampung mereka hampir tidak pernah mengalami tindak kejahatan, tetap saja, terlalu banyak benda elektronik di konter Kang Iim. Sedikit saja ada kesempatan, mungkin salah satu barang akan hilang.
“Yaudah, coba periksa rekamanannya aja.”
DEG
Sekujur tubuh Mahda membeku. Bukan karena takut tertangkap basah warga, bukan pula takut kehilangan pekerjaannya. Namun, suara tadi sangat familiar. Suara seseorang yang ia harap tidak berada di sini sekarang. Suaranya Fikar.
Sontak memalingkan wajah, Mahda tergesa-gesa merapikan bajunya.
“Mau ke mana?” tanya Fikar, menahan pergerakan gadis itu yang berniat lari menerobos kerumunan. “Kalau emang kagak bersalah, ngapain kabur? Ayo, sini kita periksa sama-sama.”
Warga menoleh satu sama lain, serempak menyetujui pernyataan Fikar.
Beberapa orang memblokir jalan keluar. Deru napas Mahda mulai tidak beraturan, tatapannya liar. Gadis itu tahu ia sudah tak punya celah. Lantas, dengan gemetar, ia masukkan tangannya ke saku celana, mengeluarkan sesuatu.
BRAK!
Ponsel model terbaru itu sekonyong-konyong ia lempar ke lantai. Layarnya terpantau retak, suara gasakan plastik dan kaca menggema di antara napas tertahan orang-orang di sana.
Lalu ia lari. Tanpa kata, tanpa permisi. Menyibak kerumunan dengan tubuh kecilnya yang ketakutan, hingga lenyap di balik belokan jalan perempatan. Mahda tidak pergi karena rasa bersalah, tidak juga karena penyesalan. Gadis itu pergi karena tidak tahan ditelanjangi kebenaran oleh seseorang yang tidak memiliki hak untuk bicara.
Alegori.
Dalam pelariannya, Mahda tidak membawa apa pun, kecuali satu nama itu yang telah menyesaki seisi kepala; terus terulang, berputar, seperti mantra.
***