Loading...
Logo TinLit
Read Story - Deep Sequence
MENU
About Us  

“Siapa bilang tangan boleh turun? Angkat lagi!”

Akibat tindakan nekat Nura yang menumpahkan es serut ke kepalanya sendiri, Papa dan Mama memutuskan untuk pulang. Serangan pertanyaan tentang mengapa Nura berlaku demikian, berakhir diabaikan. Nura segera masuk kamar dan memarahi Dego habis-habisan. Menyuruh Dego duduk bersimpuh sambil mengangkat kedua tangan ke udara selagi Nura pergi mandi hingga nyaris dua jam.

Perempuan itu kini asyik mengeringkan rambut lalu mengenakan skincare malam, sementara Dego mengeluh lantaran kakiknya sudah kesemutan.

“Nona Penulis,” panggilnya kali kesekian. “Kamu masih marah?”

Nura cuek saja dan lanjut menepuk-nepuk pelan wajah yang baru diolesi pelembap.

“Kaki aku udah mati rasa,” keluh anak laki-laki itu. “Kamu tega? Aku kayak gitu kan karena aku nggak mau ngerusak kebahagiaan kamu. Aku belum pernah ngeliat kamu senyum selepas itu.”

Menghela napas, Nura lantas menghampiri Dego, baju tidur merah muda bercorak beruang itu melekat pada lantai manakala perempuan itu ikut terduduk satu jengkal di depan Dego. Sebelah tangan ia sodorkan ke hadapan anak laki-laki itu.

“Pegang,” titahnya.

Dego mengerjap, berupa menerka maksud permintaan Nura.

“Cepetan pegang,” Nura mengibaskan sedikit tangannya tak sabaran.

Entah apa yang direncanakan si Nona Penulis, ragu-ragu kedua tangan yang masih terangkat itu akhirnya turun, memberikan perasaan lega teramat besar seolah baru diberikan kebebasan. Tak berapa lama, satu jari telunjuk Dego menyentuh telapak tangan Nura, yang dalam sekejap menggenggam erat jemari Dego lalu membawanya beringas hingga meluncurkan satu pukulan telak di kening anak laki-laki itu. Terkejut atas tindakan yang tiba-tiba, Dego mengaduh sakit sembari menuntut penjelasan.

“Karena pengen aja,” begitulah tanggapan Nura. “Sayangnya, aku cuma bisa menyentuh kamu hanya pada saat kamu sedang menyentuhku.”

Desisan panjang Dego loloskan seraya tangannya berusaha membebaskan diri dari genggaman Nura. Alih-alih terlepas, tubuh anak laki-laki itu justru dipaksa bergeser lebih mendekat kala Nura menariknya dalam satu tarikan sangat kuat.

“Dan juga, buat apa bahagia kalau aslinya nggak nyata?” Nura merendahkan suaranya, pelan namun mendalam. “Dengar baik-baik, Dego–My Ego. Ilusi nggak akan bertahan lama. Begitu kamu sadar, semuanya akan terasa beribu-ribu lebih menyakitkan daripada sebelumnya.”

Jakun anak laki-laki itu tertangkap bergerak naik turun. “Apa itu berarti ... kamu ... sedang merasakan sakit sekarang? Hatimu, perasaanmu, bagaimana ...?”

Tak langsung menjawab, Nura perlahan melepaskan pegangannya dari Dego. Duduk di tepian tempat tidur, lalu menatap cermin di sisi kanan. Lekat memandangi pantulan dirinya sendiri seolah berusaha mencari tahu jawaban atas pertanyaan Dego tadi.

Sulit dipungkiri, kebersamaan dengan Papa Mama beberapa hari terakhir ini, benar mengisi kekosongan hati yang sudah lama mati. Sangat disayangkan kalau Nura harus melepas semua memori hangat tersebut begitu saja. Di sisi lain, Nura enggan membiarkan dirinya terlena. Terutama untuk kehidupan yang sebenarnya bukan miliknya.

“Lagi pula, mereka adalah orang tua Mahda.” Tanpa sadar, ketika merancang cerita, Nura membuat wajah mereka persis seperti wajah kedua orang tuanya yang biasa dia lihat dalam foto. “Sedikit … atau mungkin banyak? Bisa jadi sampai meluap. Meski cuma sebentar, aku bersyukur diberikan kesempatan itu, momen-momen hangat bersama keluarga itu.”

Dego terdiam.

“Tapi apakah aku benar-benar bahagia? Seratus persen aku akan memberikan jawaban tidak.” Kembali menoleh pada si anak laki-laki, Nura mengulas senyum; sebaris lengkung yang belum pernah Dego lihat. Tipis namun penuh tekad. “Setelah aku pikirkan baik-baik, aku akhirnya tahu kenapa aku berakhir di sini. Di dunia yang aku tulis ini.”

“Karena aku?” sambung Dego agak sangsi. “Aku yang mengutukmu, ‘kan?”

Nura menggeleng. “Bukankah itu aneh? Sejak awal aku di sini, semua nggak berjalan sesuai alur. Bahkan saat aku berusaha menjadi jahat pun, nggak ada yang berhasil. Seolah nasib baik selalu datang kepadaku selama di sini.”

Masih berupaya mencerna, Dego menajamkan telinga, ingin menyimak lebih dalam.

“Karena jauh di lubuk hatiku, aku mengharapkan semua itu; keluarga, teman, bahkan uang.” Dunia ini ada karena Nura, maka segala hal yang terjadi di dunia ini akan berjalan sesuai keinginannya. “Bukan kamu yang mengutukku, akulah yang memilih datang ke sini, tanpa aku sadari.”

Otak Dego tidak sepenuhnya mengerti, tetapi ada bagian dalam diri yang seolah memahami tentang apa-apa yang berusaha perempuan itu katakan. Nura adalah Dego, begitu pula sebaliknya. Pantas saja, dalam beberapa momen, Dego kerap bertanya-tanya, “Kenapa Nona Penulis selalu gagal setiap kali mencoba berperan sebagai dirinya?”

Ternyata, garis takdir yang ia rasakan selama ini, sudah pernah Nona Penulis alami di dunia nyata. Perempuan itu tidak perlu merasakannya dua kali. Alasan keberadaan Nona Penulis di sini bukan itu, tetapi melepaskan segala angan-angan seorang anak kecil yang ada dalam dirinya. Kehidupan sederhana yang normal bagi orang lain, tetapi untuk Nona Penulis tidak.

“Faktanya, setelah aku mendapatkan semua itu, aku justru nggak tenang.” Nura kembali angkat bicara, suaranya terdengar damai dan tentram. “Aku baru sadar, kesakitan yang aku rasakan sejak kecil, ternyata sangat berharga. Rasa sakit itulah yang menemani dan membentukku sampai dewasa.”

“Kamu, Dego, adalah wujud dari semua rasa sakitku. Melihat secara langsung kamu pergi dari hadapanku, ternyata aku nggak rela.” Ada tawa singkat yang Nura lepaskan. “Sulit dipercaya, tapi aku benar-benar nggak bisa melepaskan kamu–perasaan sakit itu.”

“Terus kamu mau apa sekarang?” tanya Dego pada akhirnya. “Apa kamu akan pergi dari dunia ini?”

“Ya, aku harus pergi.” Nura menjawab tanpa jeda, pertanda betapa bulat keyakinan dalam hatinya. “Secepat mungkin.”

“Tapi ... bagaimana caranya?”

Menautkan sejenak jemari tangannya sendiri, perempuan itu lantas bangkit, sekali lagi mendekat pada Dego, lalu mengulurkan tangan.

“A-apa?” Kali ini Dego tidak akan terjebak. “Mau minta aku pegang supaya kamu bisa mukul kepala aku lagi?”

Nura terkekeh jenaka, sementara Dego melancarkan tatapan curiga.

“Ayo, kita pangkas alurnya!” ajak perempuan itu bersemangat. “Kita percepat langsung ke puncak!”

**

Rencana Nura sederhana, menyakiti perasaan Mahda bertubi-tubi sampai ke dasarnya. Untuk mencapai hal tersebut, ia membutuhkan bantuan tiga orang: Fikar, Kang Iim, dan Nenek Sri.

Dalam novel, Dego sempat menjalin hubungan dengan Mahda. Bukan suka sama suka, itu terjadi lantaran Mahda terlalu sungkan menolak perasaan Dego. Hubungan mereka berjalan secara tidak sehat. Kehausan Dego akan kasih sayang, telah membatasi interaksi Mahda dengan orang lain; teman bahkan keluarga. Mahda mencoba lepas, tetapi Dego menggenggamnya terlalu erat. Sangat kuat sampai menghancurkan diri Mahda yang seolah kehilangan identitasnya.

Mahda baru bisa terbebas dari kukungan obsesi Dego ketika Fikar turun tangan, yang mana hal itu membutuhkan waktu lebih dari enam bulan. Namun, Nura tidak bisa menunggu selama itu. Dego, yang perannya telah diambil alih oleh Mahda, harus mendapatkan penolakan sejak awal.

“Hah? Coba ulangi, barusan lu bilang apa?”

“Abis ujian akhir semester nanti, Mahda bakal nembak kamu, tolak dia: sekejam yang kamu bisa.

“Lu gila?”

“Hampir,” jawab Nura santai namun sarat akan keseriusan. “Dan aku minta ini justru karena aku seratus persen lagi waras.”

Mau dipikirkan berapa kali pun, Fikar meyakini Nura itu gila. Bukan sebatas stres, tetapi benar-benar gila. Seenak jidat menyeretnya ke lahan jagung belakang sekolah, lalu meminta hal paling tidak masuk akal yang pernah ia dengar.

“Kan kamu pintar akting, seharusnya ini bukan hal sulit untuk kamu lakukan, ‘kan?”

“Siapa juga yang bilang sulit?” Jangan pernah sekali pun meragukan kemampuan Fikar dalam berseni peran. Biarpun tampak kurang meyakinkan, ia sudah mengemban banyak penghargaan dan mendapatkan label sebagai aktor masa depan. “Gua nolak karena: pertama, gua kagak mau nyakitin anak orang; kedua, belum tentu juga si Mahda bakal nembak gua.”

“Kalau beneran nembak, gimana?” Sedikit menaikkan dagu, Nura tajam menatap legam cowok itu seolah tengah melancarkan tantangan. “Apa kamu mau menuruti permintaanku?”

Fikar tidak langsung menjawab, sibuk menyelidiki dari mana asal rasa kepercayaan diri perempuan itu. Mungkin karena perbedaan tinggi mereka sangat jauh, cowok itu sekilas salah fokus, tingkah Nura di hadapannya kini tampak seperti bocah cilik yang sok jagoan. Setelah dilihat-lihat, mata perempuan itu cukup lebar, hidungnya mungil namun tetap mancung, bibirnya tampak lembap seperti baru diolesi sesuatu.

Diam-diam, rona merah mewarnai ujung telinga Fikar, yang sedikit menjalar hingga lehernya.

Dego yang tentu setia berada di sekitar Nura, menyadari arah pandang Fikar, lalu gesit memelototi cowok itu dengan jarak kurang dari satu senti.

Hal itu lantas sukses membuat Fikar bergidik ngeri, memegangi tengkuknya, mengusir hawa dingin yang entah datang dari mana.

Fikar berdeham. “Mungkin, masih mungkin, gua bakal pikirin ulang kalau lu mau jawab satu pertanyaan dari gua.”

“Apa?” timpal Nura secepat kilat.

“Siapa lu sebenarnya?”

Nura terdiam.

Dulu, pertanyaan itu seperti memberi ketakutan tersendiri di benak Nura. Dengan alibi khawatir terjadi sesuatu jika Fikar tahu, perempuan itu berkali-kali menghindari pertanyaan itu. Padahal, jujur saja, Nura hanya ragu. Ia sama sekali tidak yakin, memangnya siapa dia? Siapa Nura?

Siapa aku?

Sekarang, dengan segenap hati, ia mampu menjawab:

“Nurani.”

Agak terperanjat, cowok itu seperti kehilangan konsentrasi mendengar balasan lawan bicaranya.

“Seorang penulis buku. Sekarang terjebak di dunia ciptaannya sendiri dan mencoba untuk cari jalan keluar. Apa lagi? Usia? Dua puluh delapan tahun. Belum menikah, tapi aku jujur waktu bilang aku nggak suka berondong.”

Fikar melongo. Sebagian karena tidak percaya atas kecepatan berbicara Nura yang seakan tanpa jeda, sebagian lagi terganga oleh rentetan jawaban yang membuatnya semakin yakin bahwa perempuan itu memang gila.

“Terserah kalau kamu masih nggak percaya,” Nura mengambil jeda, “yang jelas aku udah ngomong jujur tanpa rekayasa.”

Berupaya mempertimbangkan, Fikar menelisik kembali garis-garis wajah perempuan itu. Ekspresinya terlalu tenang untuk orang yang sedang berbohong, manik sewarna kayunya pun tersorot lurus tanpa pertahanan, kedua tangan dibiarkan terbuka di sisi tubuh, lebih-lebih suaranya tegas dan jelas. Daripada kepalsuan, yang terlihat hanyalah keinginan besar seseorang agar didengar; agar dipercaya.

Dia jujur, pikirnya.

“Baiklah,” tanggap Fikar yang sukses mengundang cengiran di paras si perempuan. “Kalau emang si Mahda beneran nembak gua, sesuai pemintaan lu, gua bakal nolak dia.”

Deretan gigi depan lantas Nura pamerkan, sebelah telunjuk diarahkan persis ke hidung Fikar, meminta cowok itu agar jangan coba-coba menarik kembali perkataan barusan. Kalau berani melanggar, jangan salahkan Nura jika bogem mentah nanti melayang.

“Tapi lu dilarang protes.”

Fikar membiarkan hening berlangsung cukup lama, menguji tingkat kesabaran Nura yang ingin mendesak cowok itu supaya cepat meneruskan ucapannya. Tatkala seringai tipis tersungging di sebelah sudut bibir Fikar, sekilas benak Nura digandrungi rasa penyesalan.

“Karena mungkin gua bisa lebih kejam daripada apa yang lu pikirkan.”

**

Serangkaian ujian semester ganjil akhirnya selesai, OSIS mengadakan kegiatan class meeting enam hari berturut-turut setelahnya. Kemenangan dikuasai oleh kelas dua belas. Saut-satunya harapan XI SOSIAL 1 hanya pada futsal, yang mana hari terakhir kegiatan merupakan hari penentuan siapa peraih posisi pertama dalam cabang lomba tersebut.

Suhu ruang kelas agak lembap siang itu. Peluit dari lapangan samar terdengar, seseorang terburu-buru masuk demi mengambil deker–pelindung lutut–di bawah meja. Namun, langkahnya sontak terhenti sesaat tak sengaja melihat sosok lain yang ternyata juga berada di sana.

“Mahda?” tegur Fikar.

Keringat dingin sudah membasahi telapak gadis itu sejak tadi. Bukan karena cuaca, lebih seperti tengah gugup akan sesuatu. Namun, suara ramah cowok itu membuat semuanya terasa sedikit lebih ringan, setidaknya, untuk sekian detik.

“Ngapain sendirian di kelas? Kagak ke lapangan?”

Susah payah, Mahda menelan ludah. “Kamu ada waktu sebentar?”

“Gua lima menit lagi tanding sih,” cowok itu melirik jarum jam di dinding kelas, “ke sini juga karena ada barang ketinggalan.”

Waktu hampir habis, ini mungkin satu-satunya kesempatan. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kapan lagi Mahda memiliki keberanian?

“Aku suka kamu.”

Deker di tangan Fikar seketika terlepas dari genggaman. Suara gadis itu sangat kecil, tetapi masih dapat terdengar. Cukup mampu membuat cowok itu kesulitan mempercayai bahwa perkataan gila Nura seminggu lalu benar-benar kejadian.

“Aku suka kamu,” ulang Mahda, kali ini menatap lurus legam cowok jangkung itu. “Karena kamu baik. Karena kamu selalu bisa ngertiin aku. Karena kamu bikin aku ngerasa aman dan juga … terlihat.”

Fikar diam, rasanya seperti bumi sedang berhenti berputar. Lalu sebaris senyum terbit, bukan senyum yang mungkin gadis itu harapkan, lebih seperti senyum iba dan kasihan. Haruskah ia memenuhi permintaan Nura? Sekarang?

“Gini, Mahda.” Mengambil deker yang terjatuh tadi, Fikar sekali lagi melirik jarum jam. “Kalau lu emang pengen tahu jawaban gua, pergi ke lapangan dan tonton gua tanding di sana. Bisa?”

**

Gadis itu akhirnya duduk di pinggir lapangan. Agak jauh dari teman-teman lain, tetapi masih dapat dilihat oleh Fikar. Debu tipis nakal menempel pada rok sekolahnya, kaki-kaki tertangkap mulai bergerak gelisah, sementara tangannya memegang botol minum yang isinya sudah separuh tandas.

Fikar bermain sangat lincah. Lihai meloloskan diri dari penjagaan, melakukan operan, serta tendangan langsung yang hampir membobolkan gawang lawan.

Cowok itu sempat melirik, tidak lama, kira-kira dua detik. Fikar mendapati Mahda membalas lirikannya dengan anggukan kecil juga senyuman.

Di penghujung permainan, skor terpantau imbang. Tendangan bebas dari masing-masing tim lantas dilakukan. Teman-teman si cowok mulai menyoraki namanya. Fikar berdiri di depan bola, mengatur napas, lalu mengambil ancang-ancang. Sebelum benar-benar menendang, cowok itu sempat berteriak ke arah penonton.

“Kalau bola ini masuk, gua jamin setelah ini gua bakal punya pacar!”

Sorak-sorai semakin menggaung ke seluruh penjuru lapangan, bersatu membentuk doa agar pernyataan Fikar barusan segera terkabulkan. Sementara itu, Mahda menggenggam botol minumnya kuat-kuat. Kepayahan menahan senyum yang sudah merekah entah sejak kapan. Harapan pun tumbuh seperti rumput liar dalam hatinya yang rapuh.

Di hadapannya, tendangan melesat begitu cepat seakan bola berhasil membelah udara. Lalu–

Gol.

Tepuk tangan riuh berpadu mengiringi suara peluit yang ditiup panjang.

Fikar tergesa berlari ke sisi kanan lapangan, berdiri persis di hadapan Mahda, lalu tersenyum sangat lebar; lebih seperti cengiran. Berhasil membuat gadis itu seakan lupa cara menapas, menundukkan kepalanya begitu dalam, berupaya menyembunyikan rasa hangat yang menyepuh hingga seluruh muka.

Mahda begitu menantikan jawaban Fikar, diam-diam menajamkan pendengaran walau detak jantungnya berdegup tidak karuan. Namun, suara berat cowok itu tidak kunjung datang, yang ada hanya derap langkah kaki yang mulai menjauh dari tempatnya.

Gesit mengangkat kepala, gadis itu terperangah tatkala menyaksikan Fikar telah berpindah, pergi ke tempat teman-teman XI SOSIAL 1 berkumpul; jauh dari posisi Mahda. Manik legam cowok itu seperti sedang bergerilya, mencari-cari seseorang.

“Alegori!” panggilnya sangat lantang.

Mahda terbelalak.

“Gua tau kita punya perasaan yang sama. Tunggu apa lagi? Gaslah, ayo kita jadian!”

Botol air di tangan Mahda sudah remuk tak berbentuk. Anehnya, pandangan gadis itu bukan tertuju pada Fikar, melainkan Nura yang kini berusaha menutupi muka; seakan malu atas aksi pernyataan terbuka barusan. Di tengah gegap gempita para penonton yang merayakan kebersamaan mereka, Mahda justru merasakan aura gelap mulai berkuasa, memenuhi dadanya.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Deep End
40      38     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Aku Ibu Bipolar
47      40     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Tyaz Gamma
1456      911     1     
Fantasy
"Sekadar informasi untukmu. Kau ... tidak berada di duniamu," gadis itu berkata datar. Lelaki itu termenung sejenak, merasa kalimat itu familier di telinganya. Dia mengangkat kepala, tampak antusias setelah beberapa ide melesat di kepalanya. "Bagaimana caraku untuk kembali ke duniaku? Aku akan melakukan apa saja," ujarnya bersungguh-sungguh, tidak ada keraguan yang nampak di manik kelabunya...
Melting Point
5793      1258     3     
Romance
Archer Aldebaran, contoh pacar ideal di sekolahnya walaupun sebenarnya Archer tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan siapapun. Sikapnya yang ramah membuat hampir seluruh siswi di sekolahnya pernah disapa atau mendapat godaan iseng Archer. Sementara Melody Queenie yang baru memasuki jenjang pendidikan SMA termasuk sebagian kecil yang tidak suka dengan Archer. Hal itu disebabkan oleh hal ...
Secret Room
477      354     4     
Short Story
Siapa yang gak risik kalau kamu selalu diikutin sama orang asing? Pasti risihkan. Bagaimana kalau kamu menemukan sebuah ruang rahasia dan didalam ruang itu ada buku yang berisi tentang orang asing itu?
Lovebolisme
148      130     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
FaraDigma
845      488     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
The Secret
412      283     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Daybreak
4133      1770     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox
Trying Other People's World
136      118     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...