Dunia Novel, pukul 19.20, pinggir jalan.
Mereka duduk bersisian di tepian trotoar, membiarkan senyap menyelinap di antara suara klakson dan langkah kaki orang berlalu-lalang. Lampu jalan menyorot redup, memantulkan bayangan panjang yang hampir melewati seberang jalan. Sudah lewat waktu isya, tetapi belum ada tanda mereka akan beranjak.
Si perempuan duduk memeluk lutut seraya kosong menerawang jauh ke depan. Sedangkan si laki-laki hanya tertunduk, sesekali melirik perempuan di sampingnya, yang lama sekali terbungkam usai menceritakan beberapa potongan kisah kehidupan. Kata-kata seketika terlalu sempit untuk menjangkau beban yang dibawa lari dari rumah.
“Jadi, itu asal mula nama aku?” tanya Dego membuka prolognya.
Nura tetap bungkam, bayang-bayang wajah kedua orang tuanya yang seakan kembali hidup, telah memorak-perandakan kewarasan. Kemunculan mereka di depan rumah Mahda, yang semestinya telah dilalap habis oleh bara api, benar-benar sukses mempermainkan perasaan perempuan itu. Tanpa sadar kakinya telah berlari sangat jauh, kabur dari ajakan makan malam dari sepasang tokoh yang menjelma Papa dan Mama.
“Dego,” sebut Nura, suaranya parau, hampir tidak terdengar. “Coba panggil namaku.”
Termenung sebentar, anak laki-laki itu pun menurut, “Nona Penulis?”
Nura menggeleng.
“Ori?”
“Bukan.”
“Alegori?”
Menghela napas berat, Nura menoleh, menatapnya–lekat. “Aku bilang namaku.”
Setengah yakin, setengah ragu, Dego membuka sedikit bibirnya dan berkata, “Nurani.”
Untuk beberapa detik, perempuan itu diam.
“Lagi,” pintanya.
“Nurani.”
“Sekali lagi.”
“Nura.”
“Yang lengkap.”
“Nurani.”
“Terus.”
Dego sejenak sangsi, tetapi patuh. Nama perempuan itu disebut kembali, berulang-ulang, hingga rasanya menggema ke udara. Berkumandang seperti anak kecil yang meraung-raung meminta pertolongan, suara yang mungkin berasal dari masa lalu yang belum selesai.
“Nur–“
“Cukup,” titah Nura kemudian beranjak, melakukan beberapa peregangan, dan menarik napas panjang. “Ayo, kita pulang.”
Pada momen itu, Dego tidak berani menanyakan apa pun. Tidak berupaya bertanya mereka akan ke mana, tidak juga bertanya alasannya kenapa, sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menyanggah atau menyela. Separuh benaknya seakan bisa memahami. Permintaan tadi bukan sekadar iseng atau keinginan, itu semacam validasi. Bentuk upaya keras perempuan itu agar tetap merasa nyata–sebuah pengakuan sesaat.
“Nona Penulis, apakah aku pernah bilang?”
Langkah Nura tertahan, pelan-pelan menengok demi mendengarkan kalimat lanjutan.
“Awalnya, aku memang kesal. Aku bertanya-tanya, kenapa hidup aku seakan nggak pernah bahagia? Aku marah, aku nggak terima. Ini nggak adil buat aku.” Kata demi kata bermunculan dalam kepala, Dego berupaya menyusunnya agar bisa tersampaikan dengan benar. “Anehnya, setelah beberapa waktu bertemu kamu, bahkan sebelum aku tahu alasan keberadaanku, kemarahan aku pelan-pelan mereda.”
Dego mengulas senyum, menautkan legamnya dengan manik kecokelatan.
“Maksudku, Nona Penulis, nggak peduli seberapa beringas takdir menyakiti hidupku.”
Tanpa sadar, Nura menahan napas.
“Cukup berada di dekatmu, yang menciptakanku, aku merasa tenang.”
Nura tidak begitu paham apa yang baru saja terjadi, rasanya seperti ada terpaan angin kencang yang sekejap menerjang kesadarannya. Segala bising di sekeliling perempuan itu seakan lenyap, dilanjut hawa keberadaan orang serta benda-benda sekitar yang satu demi satu terasa menghilang, sehingga hanya menyisakan dirinya sendiri dengan si anak laki-laki yang berdiri berhadapan dalam sebuah ruang lapang serba putih.
Pada detik mata perempuan itu seolah menemukan tempat untuk memandang, ada satu hal yang berulang kali terlintas dalam kepala:
“Boleh aku minta satu hal?”
Dego mengangguk, pelan namun penuh keyakinan.
“Kalau suatu saat kamu berpikir aku tenggelam dalam ilusi berkepanjangan, tolong sebut namaku dengan lantang.”
**
Gerbang digeser pelan, menghasilkan derit juga bunyi pintu depan yang dibuka perlahan. Suaranya seperti diseret, cukup nyaring. Malam semakin larut, bahkan langit pun tak lagi menyisakan bintang. Segala hal dalam rumah itu terasa sangat asing di mata Nura. Masih terang, lampu-lampu masih dinyalakan, seakan para penghuni di sana belum ada tanda-tanda sudah terlelap.
Langkahnya terhenti manakala siluet tubuh pria dewasa tampak di ambang pintu. Itu Papa, tengah berdiri tegap walau matanya kentara merah–seolah sekuat tenaga membendung cairan di balik kelopak.
Di ruang tengah, seorang wanita dewasa duduk sambil menunduk, remasan tisu seakan terjebak dalam genggamannya menjadi bola-bola kecil yang minta dibebaskan.
Mereka serempak menoleh kala mendapati suara langkah kaki mendekat, yang kontan membekukan pijakan Nura lantaran terlalu bimbang harus berlaku apa.
“Ah, maaf … terlambat,” hanya itu kata yang terucap, “Papa ... Mama.”
Dalam sekejap, si wanita dewasa berdiri. Tergesa-gesa mendekat ke arahnya sampai hampir tersandung kaki meja. Nura alami menutup mata, bersiap menerima entah pukulan atau makian. Tangan wanita itu mendarat di kedua bahunya, terasa gemetar, sarat akan kekhawatiran. Sepersekian detik, pelukan hangat melingkari tubuhnya. Sangat erat namun tidak menyakitkan.
“Kenapa kamu tiba-tiba lari kayak tadi? Ada masalah di sekolah? Ayo, sini cerita sama Mama.”
Nura bungkam. Ada sesuatu mengganjal di pangkal tenggorokan, tetapi sulit ia keluarkan. Buku-buku jarinya terkepal sangat kuat, berusaha keras mempertahankan akal sehat.
Ini nggak nyata, Nura.
Jangan terkecoh, jangan terbawa suasana.
“Kamu pikir rumah ini nggak jadi gila waktu kamu pergi?” sambung si pria dewasa. Entah sejak kapan mendekat, menyiratkan kelegaan atas kepulangannya.
“Aku … cuma butuh sendiri, Pa, Ma.”
“Kalau butuh sendiri, bilang!” Ayah menyahut, kali ini suaranya lebih tinggi. “Kita bisa kasih kamu ruang, tapi jangan pernah pergi mendadak kayak tadi. Jangan buat Papa dan Mama panik dan nyariin kamu semalaman.”
Pelukan wanita itu semakin hangat, sesekali menciumi puncak kepala Nura dihiasi isak tangis tertahan. Sementara itu, Nura menggigit bibir, setengah mati membendung air mata yang telah membasahi pipi. Tangan yang semula dibiarkan terjuntai, tanpa sadar terangkat, membalas dekapan wanita itu; dekapan Mama.
Pelukannya kaku, keras di awal seolah tengah menyalurkan segala ragu yang masih menggumpal dalam dada. Semakin lama, tangannya semakin lekat, hingga kepalanya melesak lebih jauh; mencari lebih banyak kehangatan. Nura bisa merasakan betapa berisik detak jatungnya, sulit mempercayai bahwa telah tiba masa di mana ia mendapatkan kasih sayang yang sudah lama ia nantikan.
Di sisi lain, Dego yang menyaksikan semua momen itu hanya diam. Sebaris lengkung terpancar tulus di ujung bibir, tetapi segera menghilang kala ia menyadari keganjilan terjadi.
Hanya sekilas, tak sampai sedetik, ia sendiri juga kurang yakin.
Barusan … tubuhnya … berubah transparan.
**
Setelah hari itu, Dego mulai merasakan keanehan-keanehan lain. Semula hanya sesekali, lambat laun hal itu semakin sering terjadi. Ia kira Nona Penulis sengaja berpura-pura tidak melihatnya, tetapi kala itu terasa berbeda, Nona Penulis seratus persen benar tidak menyadari keberadaan Dego.
Tak peduli walau Dego tiba-tiba berteriak tepat di telinga, pernah juga ia sengaja menghilang lalu muncul kurang dari sejengkal di depan muka. Namun, nihil reaksi. Nona Penulis seakan kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengannya. Hanya sewaktu-waktu; sesaat; tidak selalu.
Parahnya, sekali kejadian, Dego bahkan tidak bisa menyentuh Nona Penulis, menembus begitu saja selayak pada tokoh-tokoh lainnya. Di mana kala itu terjadi, sekujur tubuh Dego kompak merinding.
“Lah, kamu ke mana aja? Kok dari tadi nggak keliatan?”
Itulah respon yang kerap Dego terima beberapa hari ini, yang mana sejatinya, ia setia berada di sisi perempuan itu–setiap saat. Tidak pergi ke mana-mana, kecuali jika Nona Penulis membutuhkan privasi. Ganti baju atau pergi ke toilet, misalnya.
Semua bermula ketika hari-hari Nona Penulis berubah. Walau berulang kali menyangkal, ternyata kehadiran tokoh orang tua bagi si Nona Penulis telah memberikan efek besar. Kehangatan yang tak pernah perempuan itu dapatkan, mendadak muncul layaknya harta karun yang sulit ditemukan orang-orang.
Diam-diam, Nona Penulis kerap menantikan kepingan-kepingan kecil yang dulu tak pernah ia miliki. Suara Papa yang berteriak menyuruhnya cepat keluar saat akan mengantarkan ke sekolah, ibu yang ternyata menyelipkan kotak bekal dalam tasnya, atau dering telepon juga pesan singkat untuk sekadar menanyakan apakah ia sudah makan atau belum. Malam-malam Nona Penulis tidak lagi sepi, ada kisah yang bisa ia bagi setiap baru tiba di rumah kali ini.
Kunci utama kondisi tersebut hanya satu: senyuman.
Setiap kali Nona Penulis tersenyum, semakin lebar; semringah; merekah lengkungan itu, maka semakin jelas tanda-tanda bahwa Dego akan menghilang.
“Akhir pekan ini kita pergi, yuk!” Ajakan itu meluncur ringan dari mulut Papa seraya memegang kendali mobil usai menjemput Nona Penulis. “Kamu mau ke mana, Ri?”
Seperti biasa, Mama mengisi kursi penumpang, posisinya agak menyamping–berupaya menengok ke belakang, menantikan jawaban. Nona Penulis melepaskan tas lalu menaruhnya di kursi kosong, yang sebenarnya ada Dego di sana, sebelum kontan menegapkan tubuh. Maniknya berbinar selayak anak kecil yang baru ditawari permen gula-gula.
“Kulineran!” pekiknya antusias.
“Lagi?” Mama terperangah. “Kamu nggak tertarik pergi ke taman hiburan atau pameran gitu?”
“Nggak, aku mau kulineran!”
“Kenapa kamu suka banget makan sih?” Papa tertawa jenaka. “Kamu nggak takut gendut? Setiap ditanya mau ke mana, pasti jawabannya makan, makan, dan makan.”
“Biarin, dong.” Ada nada semangat yang sulit ditahan saat Nona Penulis mengatakan ini. “Pokoknya, aku mau kulineran dan makan yang banyak!”
Papa dan Mama terbahak cukup keras, sekejap saling pandang, lalu mengangguk.
“Oke!”
“Seharian besok, kita bertiga bakal jadi penjelajah rasa!”
Mereka berangkat lumayan pagi, sekitar pukul enam lewat tiga puluh menit. Tidak ada rencana khusus dalam perjalanan hari itu. Sekadar mencari-cari rekomendasi restoran dari para selebritas pecinta makanan, entah lokal maupun internasional.
Target pertama mereka tak lain adalah Gultik yang cukup populer di daerah tikungan kecil kawasan ibu kota. Bau gulai dan nasi hangat sudah tercium sejak tiba di belokan. Nona Penulis menyantap dengan lahap, sesekali mengernyitkan kening lantaran kuahnya terlalu panas, sementara Mama panik dan segera menyodorkan segelas air.
Beranjak siang, mereka pindah ke restoran ala-ala Jepang. Nona Penulis menunjuk miso ramen dalam menu, Papa ingin mencoba sushi, sedangkan Mama tetap setia pada sashimi mentah yang membuat Nona Penulis serta Papa geleng-geleng kepala.
“Ri, kamu kalau jadi penulis nanti, bakal nulis tentang makanan juga, nggak?” tanya Papa agak usil.
Pergerakan Nona Penulis sekilas terhenti, sendoknya yang sudah di depan mulut diturunkan kembali, membuat Papa dan Mama kompak menautkan alis lalu bertanya ada apa.
“Kayaknya aku melupakan sesuatu,” terang perempuan itu selagi Dego memandangi kedua tangannya yang semakin transparan. “Entahlah, mungkin tugas? Oh iya, tadi Papa bilang apa?”
“Kalau kamu jadi penulis, kamu mau cerita soal makanan juga?” ulang Mama.
Nona Penulis berkedik singkat, kemudian lanjut memasukkan kuah hangat ke mulutnya. “Mungkin … tentang semangkuk ramen hangat yang mampu meluluhkan hati sedingin salju?”
“Cerita sedih dong? Yah, Mama paling nggak bisa baca cerita sedih.”
Nona Penulis terkekeh pelan. “Sedih, tapi enak.”
Sorenya, mereka mampir ke kedai es serut warna-warni. Duduk di bangku kayu tua selagi menantikan pesanan mereka. Nona Penulis diam-diam memandangi setiap lekuk wajah kedua orangnya. Seulas senyum terukir, tidak dipaksakan, tidak karena takut ditinggalkan, tidak juga menutup perasaan, senyum itu benar-benar senyum penanda kebahagiaan. Hari itu, tampaknya bukan cuma perut Nona Penulis yang penuh, tetapi hati perempuan itu juga.
“Boleh aku minta satu hal?”
Suara parau Nona Penulis seketika mendobrak ruang ingatan, permintaannya beberapa hari lalu timbul begitu saja tanpa diminta.
“Kalau suatu saat kamu berpikir aku tenggelam dalam ilusi berkepanjangan, tolong sebut namaku dengan lantang.”
Jemari Dego ragu-ragu mengepal, setengah tubuh bagian kanannya telah sinar; lenyap bersama kerlap-kerlip cahaya yang terhisap udara, sementara sisanya kini berkedip-kedip lemah seakan menunggu giliran. Bibir anak laki-laki itu ingin terbuka, ingin mengatakan sebaris nama, tetapi senyum lebar Nona Penulis menahan keinginannya.
Tak apa jika ia harus menghilang, asalkan senyuman itu bisa bertahan selamanya.
Detik di mana setengah tubuh Dego semakin terkikis, seluruh atensi orang-orang sore itu seketika direbut paksa oleh tindakan tiba-tiba yang dilakukan si Nona Penulis. Dalam sekejap, serpihan yang sempat menghilang kembali menyatu dengan cepat dan lengkap. Kembali membentuk tubuh Dego tanpa meninggalkan secuil bagian pun.
A-apa?
Kenapa ...?
“ORI!” Mama kelabakan meminta lap bersih dari penjual, sementara Papa hanya ternganga melihat aksi gila sang anak “KAMU NGAPAIN?!”
Dego terperanjat.
“Nona Penulis,” gumamnya tak percaya.
Benar, hal itu sungguh terjadi.
Nona Penulis kini tengah menyeka sisa-sisa es serut yang membanjiri seluruh muka setelah nekat menumpahkan minuman itu ke atas kepalanya sendiri. Sambil menaruh kembali gelas dalam genggaman, sorot mata beringas lantas perempuan itu layangkan lurus, tepat di manik si anak laki-laki.
“Si Bego,” ujarnya penuh ancaman. “Aku udah bilang, sebut namaku dengan lantang.”
***