Jika ada yang berpikir antagonis adalah tokoh jahat, sepertinya pemikiran itu perlu diluruskan. Antagonis tidak selalu hadir atas nama kekejaman, tidak pula sesosok monster yang diselimuti aura kegelapan. Ia adalah simbol pertentangan, yang memiliki misi untuk menguji sang pemeran utama.
Bisa jadi mereka pernah berada di jalan yang sama, bisa pula sejak awal menempuh jalur berbeda. Ia berdiri pada posisi berseberangan. Jika seorang tokoh utama memilih arah yang salah, sang pemeran antagonis hanya perlu menjadi terang; bergerak melakukan perlawanan; menjadi orang terakhir yang berani unjuk diri di garda terdepan dan berkata bahwa kau salah.
Bagi Dego, semua orang baik di sekitarnya adalah antagonis. Namun, di antara manusia-manusia munafik itu, Fikar merupakan bos utamanya. Manusia paling gila, tak kenal takut, bahkan untuk menentang takdir dari Sang Pencipta.
“Ori, siapa lu sebenarnya?” tanya cowok itu, kondisinya jauh dari kata sehat: bibir pecah-pecah sewarna putih pudar, kelopaknya sayu namun menyorotkan binar penuh selidik.
Di sisi lain, Nona Penulis sekilas masih diliputi kecemasan, yang sekejap mata berganti lebih tenang, bersama tarikan napas yang diam-diam dilakukan cukup panjang. Entah kenapa, Dego bisa menebak bahwa Nona Penulis tidak sudi membiarkan suasana mengambil alih logikanya. Dalam situasi ini, perempuan itu pasti berpikir untuk menggali lebih banyak informasi ketimbang menjadi korban pelucutan identitas diri.
“Jawab,” titah Fikar agak menekan. “Kenapa diam aja?”
“Kamu masih sakit, ya?” Air muka khawatir berlagak si Nona Penulis tampilkan. “Aku Ori, Alegori, kamu lupa?”
“Bukan, bukan itu maksud gua.” Cowok itu memijat batang hidung serta pelipisnya, pening masih belum minggat dari kepala. “Gua tau lu pasti ngerti maksud pertanyaan gua.”
“Nggak, aku nggak ngerti.”
“Jangan bohong!” bentak Fikar, sekelebat tak enak hati sebab telah menaikkan nada bicaranya. “Ada terlalu banyak keanehan, gua sendiri kagak paham, tapi ada sesuatu–seseorang yang hilang.”
Tertegun sekian detik, Nona Penulis terus saja mengelak, “Kamu kayaknya ngelindur, Fikar. Pulang gih, kamu butuh istira–“
“Buku catatan!” Membanting pandangan pada tas si Nona Penulis, cowok itu gesit mengambilnya lalu menumpahkan seluruh isi, tanpa izin.
Tentu hal itu memancing tindak penolakan dari si empunya barang, yang mana Nona Penulis sontak menarik kerah belakang seragam cowok itu sembari memaki, “Apa-apaan kamu?!”
“Coba gua lihat buku catatan lu.”
“Nggak mau! Siapa yang kasih izin?!”
“Gua! Gua sendiri yang izinin!”
Pertikaian terus berlanjut sampai penglihatan Fikar menangkap benda yang ia cari, begitu pula dengan si Nona Penulis. Mereka serempak menggapai buku catatan kecil hingga aksi saling tarik-menarik pun terjadi. Tentu kekuatan Fikar berkali-kali lipat lebih besar, tak peduli walau kondisi cowok itu tengah kepayahan. Namun, si Nona Penulis ternyata menolak kalah dan tanpa sadar berteriak, “Argh! Dasar bocah ini! Nggak sopan banget sama orang yang lebih tua!”
Fikar terdiam, pegangannya tiba-tiba mengendur, membuat si Nona Penulis hilang keseimbangan; nyaris jatuh kalau tidak sigap ditahan oleh Dego dari belakang.
“Lebih tua ...?” ulang cowok itu. Kerutan di dahinya semakin dalam tatkala mendapati posisi Nura terbilang tidak biasa. Jelas perempuan itu tersungkur hampir 180 derajat sejajar dengan lantai. Kecuali tubuhnya lentur bak pelaku sirkus, tidak mungkin ia bisa kembali berdiri tanpa bantuan seseorang. “Ori, Alegori, atau apa pun nama yang lu pakai. Sekali lagi gua tanya, siapa lu sebenarnya?”
Bersikukuh menutup rapat-rapat identitas, perempuan itu memilih bungkam.
“Oke, gua ganti pertanyaannya ...,” jeda sejenak, “… siapa Dego?”
Bukan hanya Nura, orang yang disebutkan namanya tadi ikut terperanjat. Tak percaya bahwa nama tersebut benar-benar dilontarkan oleh seseorang selain Nura.
“Kenapa nama itu ... lu tulis banyak banget ... di buku itu?”
Refleks menyembunyikan buku catatan ke balik punggung, Nura berdeham pelan. “Aku nggak paham maksud kamu.”
“Waktu di Lab. Bahasa juga, lu kira gua kagak sadar?”
Fikar mengungkit kejadian yang berada di luar perkiraan Nura, entah kejanggalan apa lagi yang disadari oleh cowok itu.
“Headphone lu terbang!” pekik Fikar. “Gua lihat dengan mata kepala gua sendiri! Ada sesuatu–seseorang yang narik benda itu dari kepala lu dan ngelemparnya ke lantai.”
“Kamu salah–“
“Kagak! Gua kagak mungkin salah!” Untuk kali kesekian, Fikar menginterupsi ucapan Nura. “Dan kemarin, pas gua kebingungan kenapa gua ada di lantai, kenapa lu keliatan panik? Lu bilang gua kesakitan tepat ketika gua menanyakan sesuatu tentang diri lu, tapi kenapa gua kagak ingat apa pun?”
Kata-kata pembelaan tiada lagi sanggup terlepas, macet di ujung lidah, tersendat di tenggorokan. Ketidaksanggupan Nura mengecoh pertanyaan-pertanyaan Fikar terlalu kentara, sampai perempuan itu kehabisan daya upaya untuk menyuarakan bantahan.
“Oke, aku nyerah.”
Sepercik harapan terbit di sudut hati Fikar.
“Apa pun yang ada di pikiran kamu sekarang, anggap aja itu benar.” Menimang-nimang sebentar keputusan terbaik yang dapat ia berikan, perempuan itu membulatkan tekad. “Tapi bisa tolong jangan maksa? Setiap orang memiliki hak untuk menyimpan rahasia, ‘kan?”
“Tapi–“
“Iya, ‘kan?” tekan Nura.
Yang berhasil menciutkan nyali Fikar, barusan suara Nura terdengar seperti seorang kakak perempuan tengah mengintimidasi adik bungsunya. Sekali Fikar nekat melawan, tampaknya, cowok itu akan berakhir di meja pengadilan.
Tidak ada lagi nada tinggi, tidak pula desakan, atau sesuatu yang menyudutkannya. Nura mengira cowok itu sudah lebih dari sekadar paham, tatapannya bukan lagi menyiratkan tantangan, bergulir menjadi kesepahaman; pertanda tidak ada lagi percakapan yang perlu dilanjutkan.
Bisa jadi didasari rasa bersalah, Fikar mulai memasukkan satu per satu barang Nura yang sebelumnya ia tumpahkan seenak jidat. Tarikan tipis terjadi di sudut bibir Nura seiring ia membungkuk, ikut membereskan.
“Satu hal aja, boleh kasih gua kepastian?” Rahangnya sedikit mengeras, Fikar tak kuasa menyembunyikan kalut yang menyerang benaknya. “Tentang Dego, apa dia benar-benar ada?”
Sekilas, atensi Nura mencuri lihat penampakan Dego di belakang cowok itu–tengah mengangkat kedua bahu; menyerahkan keputusan kepada Nona Penulis.
“Anggaplah begitu,” tanggap Nura antara ya dan tidak.
“Apa dia baik-baik aja?”
Sekali lagi, Nura melirik, yang hanya dibalas anggukan singkat dari Dego.
“Yah, bisa jadi?”
“Terus … di mana dia sekarang?” Bukan hanya sekali, Fikar cukup sering memergoki Nura berbicara sendiri. Hal itu membuatnya secara alami mengambil sebaris konklusi. “Mungkinkah di sini? Bersama kita?”
Nura membuka sedikit bibirnya, seperti ingin berbicara, tetapi kembali tertutup. Perempuan itu memilih diam, membiarkan pertanyaan tadi membeku di udara.
**
Tiga hari absen karena sakit, itu jauh dari kebiasaan Fikar. Tak peduli semisal ia sibuk berkegiatan hingga keliling hampir ke seluruh provinsi di Indonesia dalam waktu berdekatan, sering kali kurang tidur guna mempersiapkan pementasan, bahkan tak jarang telat makan. Situasi-situasi itu tidak pernah sekali pun mampu menjatuhkan daya tahan tubuh seorang Zulfikar Alfareza. Namun, akhir-akhir ini tubuhnya seakan melemah–demam tinggi, lemas, jatuh tak berdaya.
Acapkali matanya berkesempatan terpejam–entah untuk tidur, berkedip terlalu lama, bahkan sekadar menyandarkan kepala di atas meja–sebersit bayangan asing sekaligus familiar mulai berdatangan. Bukan mimpi maupun halusinasi, cowok itu seperti terseret pada ingatan-ingatan yang ia sendiri tidak yakin kapan, lalu tumpah tindih dengan ingatannya sekarang.
“Buset, ternyata seorang Fikar bisa tumbang juga,” komentar salah seorang siswa XI SOSIAL 1.
“Iyalah, lu kira gua apaan kagak bisa sakit?”
“Entahlah, kalau kata si Ori sih ....”
“… tuyul pitak?”
“HAHAHA!!!”
Tepat ketika bel pulang berdering, si kembar selaku bendahara mengajak anak-anak untuk menjenguk Fikar. Berhubung orang tua cowok itu masih di luar kota, sementara ini, Fikar dirawat oleh neneknya, yang bertempat tinggal tak jauh dari sekolah. Mereka datang dengan keriuhan, menggoda Fikar agar lekas sembuh, membawakan buah-buahan, dan iseng mengambil swafoto bersama cowok itu dengan pose-pose yang terbilang norak. Tampak luar Fikar memang telah membaik, tetapi masih kesulitan jika harus berdiri terlalu lama, katanya.
Kue-kue kering hingga basah, puluhan gelas berisikan es sirup aneka rasa, serta ragam jenis keripik ditaruh di tengah-tengah ruang tamu, mereka saling melirik pertanda kode apakah sopan jika langsung disambar atau tidak.
“Ayo, dimakan,” tawar Nenek Sri. “Nggak usah malu-malu.”
“Oke, siap, Nek!”
“Gaaasss!!!”
Nenek Sri mengulum senyum hangat. “Semuanya boleh makan, kecuali Ori.”
Yang disebut namanya kontan mencibir tanpa suara, mengundang gelak tawa dari semua orang di sana. Nura belum sempat bercerita, ya? Benar, Nenek Sri adalah neneknya Fikar. Orang tua Fikar sengaja jarang Nura munculkan, tipikal yang sibuk bekerja namun tetap memenuhi tangki kasih sayang untuk anaknya. Kadang-kadang Fikar lebih nyaman di rumah sendirian, tetapi karakternya yang menyukai keramaian membuat cowok itu kerap menginap di tempat Nenek Sri.
Selain itu, letak rumah Nenek Sri yang berdepanan dengan Dego menjadi motif terkuat mengapa cowok itu bisa berteman–secara sepihak–dengan Dego dalam novel. Salah satu tokoh paling berperan dalam pertumbuhan karakter Dego dari masa ke masa, menyaksikan setiap momen hidupnya, termasuk detik-detik akhir kehidupan sang tokoh utama. Sedikit banyak, Nura dapat memahami mengapa di antara semua tokoh, Fikar satu-satunya orang yang bisa berdiri di ambang dua dunia; nyata atau fiksi belaka.
“Permisi …?”
Tanpa ketukan, seseorang muncul di perbatasan pintu yang memang sengaja dibuka lebar-lebar. Seseorang yang bisa jadi tak pernah diundang dan tak pernah diduga akan datang.
“Mahda?” sebut Fikar. “Wah, gua terharu lu ikutan dateng. Masuk sini, masuk!”
Tawa canda seketika menggantung di ujung bibir, berganti dengan senyum canggung tatkala gadis itu benar bergabung; melangkah masuk, tanpa sapa, lalu duduk di dekat Fikar. Suasana kontan kehilangan warnanya, menyisakan tanda tanya yang saling dilemparkan dari setiap tatapan di sana.
Nenek Sri tadi pamit pergi ke warung depan gang, tak ada yang sigap berinisiatif mengajak gadis itu bicara. Sedangkan Fikar perlu berpikir beberapa saat sampai matanya tertuju pada bingkisan dalam pegangan Mahda. “Itu buat gua, ya?” tanyanya.
Saat itu, Nura duduk di sisi Fikar yang lain, dapat jelas melihat jemari Mahda sekilas mengepal kuat sebelum menyodorkan bingkisan itu pada si tuan rumah. Ada senyum malu-malu yang terukir ketika gadis itu menunduk kala Fikar menerima pemberiannya. Atmosfer masih terasa kikuk, seolah keceriaan sekian menit lalu tak pernah unjuk diri.
“Widih~” Cowok itu mengeluarkan sebotol minuman dari bingkisan tadi, membuka tutupnya tanpa pikir panjang, dan menenguknya sekali. “Kebetulan banget gua lagi ngidam susu. Hatur nuhun ya, Mahda.”
Tegukan lain pun Fikar lakukan. Satu teguk, dua teguk, lalu pada tegukan ketiga–perih seketika menggoroti tenggorokannya, menjalar bersama rasa panas hingga seluruh muka. Aliran napasnya mulai tak beraturan, sesak yang menyerang dada membuat cowok itu perlahan telentang. Botol susu dalam genggaman dibiarkan tumpah, cowok itu terbatuk-batuk keras ketika gatal yang teramat beringas dirasa menyerang setiap bagian tubuhnya.
Kepanikan lantas mengambil alih situasi: sebagian ada yang tiada henti menanyakan apakah Fikar baik-baik saja, sebagian berlarian memanggil Nenek Sri ke warung entah yang mana, sebagian lagi terperanjat tak tahu harus berbuat apa, lalu sebagian lainnya melayangkan sorot penuh tudingan pada seseorang yang paling terakhir datang, sekaligus orang yang memberikan minuman itu pada Fikar.
“Apa?!” Mahda memberontak. “Aku nggak tau apa-apa!”
Di sisi lain, Nura terbelalak, sungguh tak asing atas peristiwa di hadapannya. Ia menoleh, menautkan pandang pada Dego yang ternyata juga tengah melihat ke arahnya.
Jangan bilang ….
Gesit mengecek kemasan botol susu tadi, Nura meremas kuat botol itu tatkala sadar bahwa dugaannya benar.
“Fikar, kamu alergi kacang-kacangan, ‘kan?! Susu ini susu kedelai!” pekik Nura berdecak gusar. “Di mana obat alergi kamu?!”
Wajah cowok itu semakin pucat, berupaya menjawab namun suaranya tercekat. Nura berteriak agar Fikar cukup menunjuk saja, biar dia segera mencarinya. Kaki-kaki ramping perempuan itu bergegas ke arah kamar lantai dua, membuka laci kecil dekat tempat tidur, lalu menyerobot tablet obat yang sepertinya sengaja ditaruh paling atas.
Teman-teman lain sigap memosisikan Fikar duduk bersandar di pinggiran sofa, segelas air minum bahkan telah disiapkan, menunggu Nura turun dari lantai atas sebelum cepat membantu Fikar menenggak obat yang ia bawa.
Dalam beberapa menit, napas cowok itu tak lagi memburu, gatal di sekujur tubuh pun mulai mereda, nyeri di dadanya perlahan terasa lega. Tubuh Fikar kentara masih lemas, ruam-ruam merah juga masih mewarnai beberapa titik kulitnya. Akan tetapi, ketenangan akhirnya menghinggapi benak orang-orang di sana, mereka tahu bahwa badai dalam tubuh Fikar pelan-pelan telah menghilang.
“Aish, gila,” gumam Fikar usai menemukan kembali suaranya. “Gua kira gua bakal mati muda.”
“Sama, gue juga.”
“Asli, aku baru pertama kali ngeliat orang alergi separah ini.”
“Saya kira kamu lagi sakratulmaut.”
“Iya lagi.”
“Hampir aja gue bisikin lo kalimat laa ilaaha illallah.”
“Heh, sembarangan!”
Gelak tawa kecil bergulir lebih lepas, diikuti oleh yang lainnya. Padahal beberapa menit lalu, ruangan seolah kehilangan napasnya, ricuh dan nyaris kehilangan arah. Selagi mereka terbahak juga melemparkan lelucon susulan, Nura justru tergeletak lega sembari menyeka peluh di kening serta pelipis. Dego melongok dari samping, meminta perhatian perempuan itu, lalu menjulurkan kepalan tangannnya.
Tersenyum geli, Nura membalas kepalan itu seakan tengah meninju udara. Teman-teman lain tak terlalu menyadari gerak-gerik Nura, kecuali Fikar yang mana legamnya tertuju pada celah kosong di samping perempuan itu.
“Oh iya, Ori, gua bener-bener makasih ya buat yang barusan,” ucap Fikar sarat akan ketulusan. “Kalau lu kagak sigap, gua pasti masih sekarat sekarang.”
“Hah? Oh, y-ya.” Perempuan itu mengacungkan sebelah jempol. “Santai aja.”
Lantas, mereka pun berbalas senyum.
Beberapa pasang mata mulai melirik, menarik bisik-bisik nakal dihiasi bahu-bahu yang saling menyikut pelan. Ada yang usil menaikkan alis, ada pula yang menutup mulut sambil menahan lengkung. Entah kenapa, mereka seolah kompak memikirkan sesuatu yang lantas disuarakan dengan satu kata, “Cieee~~~”
Nura mengernyit, sementara Fikar menggaruk surai cepaknya meski tidak gatal.
“Apaan sih lu pada,” kata cowok itu tak kuasa menghentikan cengiran. Sepuhan merah tipis mewarnai ujung telinganya.
Godaan-godaan lanjutan terus berlangsung, mengembalikan suasana hangat dengan semarak. Akan tetapi, seseorang tiba-tiba saja bangkit dari tengah-tengah gerombolan. Benar, orang itu Mahda, yang sejenak terlupakan keberadaannya sepanjang kekacauan tadi.
Beberapa detik, manik Mahda tersorot bengis pada Nura di sebelah Fikar, sebelum melangkah pergi, melewati sekumpulan orang dengan pijakan kaki yang kentara dikeraskan.
Lagi, tawa di ruangan itu lenyap, menyematkan hening yang mengiringi kepergian Mahda–tanpa bicara.
***