Jujur saja, sewaktu masih bersekolah, Nura bukan tipikal siswi yang mampu menarik minat laki-laki. Bukan berarti ia kesulitan bergaul, hanya saja, dulu skincare dan riasan tidak semarak sekarang. Kalaupun ada, sudah pasti disita bahkan dihancurkan detik itu juga. Jangankan merias diri, ia bahkan tidak mampu membedakan lipstik dan lipbalm, yang ia tahu hanyalah gincu.
Begitu masuk dunia kerja, semua orang sibuk dengan kehidupan masing-masing, termasuk Nura. Sejujurnya, sampai detik ini, Nura selalu bertanya-tanya, bagaimana orang-orang di luar sana bisa menemukan pasangan mereka? Di kala Nura sejak pagi sudah sibuk bekerja, baru bisa pulang sore, perjalanan ke rumah bisa lewat isya. Jadi, kapan? Akhir pekan? Hei, jangan bercanda. Jangan berani-berani mengganggu waktu istirahat seorang Nura. Masih untung, perempuan itu tidak berakhir gila.
Makanya, situasi seperti ini sangat asing baginya. Terhitung sejak peristiwa alergi Fikar, yang mana cowok itu kembali bersekolah dua hari setelahnya, tiba-tiba saja reaksi teman-teman sekelas jadi berbeda. Kebetulan hari itu Nura bertemu Fikar di depan gerbang, mereka alami mengobrol sembari jalan bersamaan sampai ke kelas.
“CIEEE~~~”
Nah, satu kata itulah yang sungguh, benar-benar, sangat amat asing sekali bagi Nura.
“Widih, ada yang udah masuk nih.”
“Sabar dulu, Pak Bos, pelan-pelan. Mau langsung go public aja, Bro?”
“Sst! Biarin, kasian istrinya kelamaan ditinggal pergi.”
“Azzzeeekkk!!!”
Mungkin karena aslinya Nura bukan lagi anak remaja, godaan seperti itu tidak cukup mampu menggetarkan hatinya. Alih-alih begitu, Nura justru agak terganggu. Sebab apa pun reaksi yang ia berikan, anak-anak kelas akan menganggapnya salah tingkah.
Diam, dikira menahan salting.
Protes, dikira mengalihkan salting.
Marah, dikira menutupi salting.
Senyum sedikit, dikira benar-benar salting.
“Woy, Fikar. Leher lu merah lagi tuh!”
“Iya ih, merah banget asli.”
“Tapi kayaknya bukan karena alergi deh.”
“Terus karena apa tuh ...?”
“Ya, apalagi?”
“Udah pasti karena duduk di samping Ori~~~”
“Eaa!!!”
Walaupun tampaknya, pihak si cowok benar kesulitan mengendalikan aliran darah yang kini berlomba-lomba memenuhi muka–terbakar hingga kepulan asap seakan keluar dari puncak kepalanya.
“Biasa aja dong,” komentar Nura begitu mereka sama-sama menaruh tas. “Jangan bikin mereka makin salah paham.”
Fikar tidak bereaksi, ia sekadar mengalihkan pandangan seraya menutupi sebagian wajah–mulutnya.
Nura mendengus. “Serius, jangan naksir. Lagian aku nggak tertarik sama daun muda.”
Belum juga menanggapi, kepala Fikar justru bersandar di atas lipatan tangan, mengarah pada Nura. Sengaja tak melepaskan legam dari perempuan di sampingnya, Fikar terang-terangan menelisik garis-garis wajah Nura–seolah dunia di sekitarnya meredam dan hanya sosok perempuan itu yang hidup di matanya. Seolah cowok itu tidak peduli jika pandangannya terlalu jelas terbaca, yang membuat anak-anak di kelas kian bersemangat menggodai mereka.
“Nggak usah akting,” tuding Nura jemu, dengusan panjang sengaja ia embuskan. “Aku nggak akan terkecoh.”
Fikar merengut. “Yah, ketahuan. Emang masih kurang, ya?”
“Nggak kok, barusan kamu keliatan banget kayak orang lagi jatuh cinta.” Hanya saja, berhubung Nura yang menciptakan sendiri karakter cowok itu, ia sangat tahu seberapa pandai Fikar dalam melakukan seni peran. “Cuma sekali lagi aku bilang, aku nggak doyan berondong.”
Fikar merapatkan diri, menyisakan jarak kurang dari dua jengkal, lalu memelankan suara, “Emang aslinya lu setua apa sih?”
Turut mengikis celah, Nura tersenyum sambil berbisik tepat di telinga, “Kepo.”
Percakapan lain masih berlanjut, topiknya didominasi akan keingintahuan Fikar tentang kebenaran diri Nura. Suara mereka direndahkan, kekehan kecil sesekali Nura lepas kala berhasil membuat cowok itu kian penasaran, gerakan-gerakan spontan di antara keduanya membuat siapa pun akan berpikir betapa manis interaksi mereka.
Sejak tadi, teman-teman lain sudah saling senggol, satu dua bisikan bahkan sayup-sayup terdengar. Baik Fikar maupun Nura, abai saja membungkus dunia mereka dengan gelembung kecil yang takkan bisa ditembus oleh suara-suara dari luar. Tindakan santai itu justru semakin membuat teman-teman gemas seolah mereka pasangan yang sudah lama bersama, yang tidak mungkin diganggu oleh pihak mana pun.
“Ekh-hem!”
“Astaga!” Nura memekik tepat ketika Dego sekonyong-konyong muncul di tengah-tengah mereka. Tampang anak laki-laki itu terpasang kecut, ditambah dengan kedua tangan yang dilipat erat di depan dada.
“Kenapa?” Fikar mengikuti arah pandang Nura, yang lagi-lagi hanya menemukan kekosongan di sana. “Dego ada di sini, ya? Dia cemburu ngeliat kita?”
“Hoek,” respon si anak laki-laki cepat, yang entah kenapa membuat hati kecil Nura agak tersinggung.
Mana sudi juga aku sama kamu, balas Nura dari tatapan matanya.
Dego membuang muka, bibirnya bergerak-gerak tidak jelas–mencibir akan sesuatu. Namun, Nura tak ingin ambil pusing, perempuan itu santai mengeluarkan buku serta alat tulis, mempersiapkan pelajaran. Sedangkan Fikar tiada henti menyipitkan kelopak, menyusuri setiap ruang kosong di sekitar Nura, harap-harap dapat melihat Dego secara kasat mata. Terus seperti sampai itu manik legamnya menangkap figur seseorang.
Bukan Dego, tetapi Mahda.
Gadis itu sekilas terbelalak sesaat matanya bersirobok dengan manik Fikar, mungkin teringat insiden dua hari lalu di mana secara tidak sengaja, minuman pemberiannya membuat cowok itu kesakitan. Ingin hati cepat berbalik lalu melarikan diri, guru pelajaran pertama lebih dahulu hadir dan mendorong gadis itu supaya tidak berlama-lama menghalangi pintu masuk. Mau tak mau, Mahda mendekat, diam-diam merutuki mengapa tempat duduknya mesti berada tepat di depan Fikar.
“Mahda!” panggil Fikar agak berbisik.
Namun, gadis itu tak sampai hati membalas, pura-pura tak mendengar dan gesit menarik kursinya agak menjauh dari meja belakang. Sekali lagi, Fikar menyebut namanya. Namun, punggung Mahda seakan mengerut–ingin segera bersembunyi di suatu tempat, di mana pun, tanpa kehadiran Fikar.
“Oi.”
Mahda terperanjat. Hampir mustahil baginya mendapatkan sapaan dari teman sebangku, lebih-lebih ketika orang itu menyodorkan secarik kertas.
“Dari belakang,” lanjutnya.
Ragu-ragu jemari Mahda menerima potongan kertas itu, yang tak sampai lima detik, segenap batin gadis itu mencelus mendapati sebaris nama di ujung kertas.
Kagak usah mikirin kejadian kemarin. Emang kagak ada yang tau tentang alergi gua kok. Lagian gua udah baik-baik aja sekarang. Jadi, lu kagak usah ngerasa bersalah lagi, ye!
– Fikar
Tangannya gemetar halus ditemani sebaris lengkung yang ia tahan-tahan. Manik gadis itu enggan terlepas dari rangkain huruf yang ditulis sendiri oleh Fikar. Walau tulisannya hampir mustahil untuk ia baca, kata demi kata yang tertera berhasil mengundang kehangatan yang perlahan datang, membuncahkan perasaan. Kertas itu sampai kusut akibat digenggam terlalu erat. Pelan-pelan ia mulai memikirkan kalimat demi kalimat yang cocok sebagai balasan, beberapa coretan bahkan sudah ditumpahkan pada lembaran buku paling belakang.
“Fikar, kamu alergi kacang-kacangan, ‘kan?! Susu ini susu kedelai!”
Pergerakan pulpen Mahda terhenti. Ingatan akan pekikan Nura saat insiden di rumah Fikar waktu itu menggiring matanya sekali lagi membaca satu bagian dalam surat pemberian Fikar.
Emang kagak ada yang tau tentang alergi gua kok.
Kehangatan yang semula memenuhi dada, perlahan diusir paksa oleh getir yang menggerogoti logika. Ujung ibu jari Mahda mengusap pelan nama Fikar di kertas itu seiring ekor matanya melirik sengit ke bangku belakang, tepatnya pada seseorang yang duduk di sebelah Fikar.
Terus ... kemarin itu apa?
Kenapa perempuan itu bisa tahu?
**
Desas-desus tentang Mahda ternyata tidak berlangsung lama. Ketimbang menyebar gosip tak berdasar, teman-teman di sekolah lebih seperti mengabaikan keberadaannya. Grup pesan tanpa Mahda bahkan sudah tidak lagi beroperasi. Kalau benar Mahda telah merenggut peran Dego, dapat dipastikan bahwa seisi kepala gadis itu kini dipenuhi jutaan praduga buruk, mengira orang-orang membicarakan hal tidak-tidak tentangnya di saat mereka padahal diam saja.
Hal itu terbukti ketika Nura mengajak gadis itu pergi ke kantin bersama teman-teman lain. Alih-alih menerima dengan tangan terbuka, Mahda justru memutar malas matanya sembari berkata, “Nggak usah cari muka.”
Tak ada sedikit pun rasa tersinggung menghinggapi benak Nura. Bayang-bayang semasa Mahda masih bersikap baik justru merasuki seluruh ruang ingatan. Senyum manisnya, sorot mata berseri-seri, suara penuh kehangatan, serta aura keceriaan yang bertumpah ruah.
“Udahlah, Ori, biarin aja. Emang anaknya begitu, yang penting kamu udah baik mau ngajak dia.”
Tidak, ini salah. Sisi kemanusiaan Nura tak rela jika Mahda harus melupakan karakter yang semestinya. Nura ingat betul tentang sosok Mahda yang ia ciptakan. Kecerdasan bukan kaleng-kaleng hasil pemangkasan jam tidur demi merangkum pelajaran, dukungan orang tua yang tiada henti menyertai impian yang gadis itu idam-idamkan, juga si pemilik senyum paling lembut bahkan melebihi kain sutra. Jelas sekali, Nura menghadirkan Mahda sebagai pembanding karakter Dego.
Makanya, Nura sungguh tidak mengerti, bagaimana bisa semuanya berakhir seperti ini? Tidak seharusnya Mahda mengalami situasi ini, tak seharusnya ia hanya duduk sendirian tanpa kawan, tidak seharusnya gadis itu kehilangan rupa elok nan menawan, pun tidak seharusnya gadis itu menerima takdir yang bukan milik dia.
Ada yang salah, Nura tidak mengerti di mana tepatnya. Terlalu asing bagi Nura ketika Mahda yang dulu selalu datang dan menyapa, kini seolah tidak sudi untuk sekadar melihat ke arahnya. Nura menyesali atas sejumlah kesempatan yang ia lewatkan sewaktu mereka berpapasan, di mana senyum manis gadis itu sudah tak lagi berakhir untuk siapa pun. Didorong serangan tatapan merendahkan dari orang-orang, pandangan Mahda belakangan ini hanya tertuju pada apa-apa yang gadis itu pijaki. Pernah satu kali, manik mereka tak sengaja saling bertemu sesaat Nura berniat masuk ke kelas guna mengambil baju ganti untuk pelajaran olahraga. Tepat ketika Mahda kebetulan akan keluar dari sana.
Reaksi yang diberikan gadis itu sungguh di luar harapan Nura, Mahda sekilas terkejut, bergulir panik sampai sembrono menubruk lengan kiri Nura sesaat berusaha melewatinya. Rintihan tertahan sontak lolos dari bibir tipis Nura, yang tak disangka justru membuahkan kerut di kening Mahda.
“Lebay.”
Walau pelan, gumaman itu masih tertangkap indra pendengaran Nura, meninggalkan pedih yang mengusik sudut hati.
“Mahda,” panggilnya begitu gadis tadi sudah berjalan beberapa langkah di belakangan. Jemari Nura tanpa sadar mengepal, menyalurkan kalut yang menyesaki perasaan. “Kamu … nggak papa?”
Namun, sesuai dugaan, pertanyaan tersebut dibiarkan mengambang selagi orang yang ditanya memilih meninggalkan Nura bersama kesunyian. Sedangkan Dego, yang tentu saja selalu mengekori perempuan itu, kini turut termenung meratapi punggung Mahda yang kian menjauh–menguarkan aura penuh kebencian.
“Kenapa, Nona Penulis?” Suara berat Dego meraup seluruh kesadaran Nura. “Apa kamu ngerasa bersalah sekarang?”
**
Dua–tiga pasang kaki melangkah beriringan di pinggiran trotoar, sesekali menendang bebatuan kecil hingga gelinding ke jalanan. Satu orang sembarang menyampirkan tas ke sebelah bahu, satu orang lain memainkan tali tas gendong yang agak menjuntai, sementara orang terakhir santai menembus tiang listrik tanpa kesakitan.
Hampir tidak ada kata terlontar setelah ajakan pulang bersama dari Fikar beberapa saat lalu. Cowok itu sempat mengajukan sebaris dua baris pertanyaan, yang entah kenapa berakhir terabaikan. Suasana hati Nura tampaknya tidak terlalu baik sekarang. Mereka sama-sama diam, tiada kecanggungan, justru kebungkaman itu terasa lebih nyaman.
“Kar,” sebut Nura, berbeda dengan teman-teman lain yang lebih sering menyingkat nama cowok itu menjadi Fik. “Apa ingatan terakhir kamu tentang Mahda?”
“Maksudnya?”
“Apa dari dulu dia begitu? Dalam artian, pemarah dan dijauhin teman-teman satu sekolah?”
“Kalau ngandelin ingatan doang sih, jawabannya iya.” Fikar memandang langit sejenak, berupaya menerawang pikirannya lebih jauh sampai bagian paling dalam. “Cuma ... seperti Dego, sesekali gua bisa ngeliat sosok dia pas mata gua terpejam. Gua rasa ... gua pernah ngeliat bayang-bayang senyum sumringah dia, bahkan kayaknya dia pernah protes waktu gua iseng ngegoda. Entahlah, gua sendiri kagak yakin. Ingatan gua bener-bener campur aduk."
Hubungan Fikar dengan Mahda dalam cerita, bisa dibilang, satu-satunya bentuk keindahan di antara kegelapan sang tokoh utama. Meski tak banyak interaksi, baik Fikar maupun Mahda, sama-sama dianugerasi rasa kepedulian yang tinggi, khususnya untuk Dego. Permasalahan dimulai ketika seseorang di kelas usil menjodoh-jodohkan mereka, yang kala itu terpaksa presentasi berdua sebab anggota lainnya kebetulan tidak hadir.
Perbedaan tinggi yang kentara serta potret wajah elok keduanya menggiring opini yang menginginkan mereka agar bersatu. Fikar tak ambil pusing dan santai saja mengiakan–turut berkelakar apakah Mahda bersedia mewujudkan harapan teman-teman supaya mereka bersama. Sementara itu, Mahda tipikal gadis yang mudah tersipu, tak kuasa menahan rona merah seiring kepalan mungilnya memukul-mukul manja lengan Fikar–meminta cowok itu berhenti. Riuh sorak-sorai menggema ke seluruh penjuru ruangan, terkecuali Dego, sang tokoh utama, yang justru mengeluarkan tatap sarat akan pertentangan.
“Ngomong-ngomong, Ori, lu masih belum mau jawab pertanyaan gua?”
Sepertinya, Nura terlalu larut terjun ke alam bawah sadar, ia baru menyadari mereka menepi–berhenti sambil memandangi deretan toko pinggir jalan. “Pertanyaan apa?” balasnya.
Fikar menarik napas, melancarkan sorot penuh permohonan. “Tentang lu … sebenarnya siapa?”
Benar juga, Nura belum memberikan jawaban pasti soal itu. Bukan tak ingin, hanya saja, sebagian relung batinnya takut mengira-ngira tentang risiko apa yang akan ia terima jika identitasnya diketahui oleh seseorang selain Dego.
“Entahlah,” ada jeda panjang yang sengaja perempuan itu umbar, “aku cuma bisa bilang bahwa kamu dan segala hal di dunia ini … bisa ada … karena aku.”
Paham bahwa ia tak memiliki hak bertanya lebih jauh, Fikar mengembangkan cengiran–sangat lebar, berupaya melunakkan ketegangan, lalu memberi kode supaya mereka lanjut berjalan. Obrolan ringan mewarnai perjalanan mereka kali ini, ditemani tawa anak-anak kecil dari kejauhan; asyik bermain juga berlarian bersama teman-teman.
Di sisi lain, Dego yang sedari tadi menyimak, tiada sedikit pun melepaskan pandangan dari garis-garis wajah sang penulis. Tanda tanya besar muncul dari manik hitamnya, bimbang mempersoalkan alasan perempuan itu seakan terusik atas perubahan kehidupan Mahda saat ini. Padahal Nona Penulis memiliki tingkat kepekaan sedalam itu, lalu mengapa ia justru menuliskan cerita yang dipenuhi kelam?
Apa alasannya?
Nona Penulis?
Semburat jingga pada pelataran langit serta sapuan angin dingin yang menyentuh lembut permukaan kulit, telah menyadarkan Nura bahwa sudah terlalu terlambat bagi perempuan itu untuk pergi ke tempat Kang Iim guna menjaga konternya. Mungkin ia akan berbelok sebentar di perempatan jalan, mampir ke sana demi mengucapkan maaf sebab telah lalai dari tugas. Bisa gawat semisal Kang Iim kecewa lalu memecatnya. Walau tidak seberapa, tempat itulah satu-satunya sumber keuangan Nura sekarang.
“Kang!” panggil Nura sembari mempercepat langkah, ia sudah berpisah dengan Fikar yang berkata ingin ke tempat orang tuanya guna mengambil beberapa barang.
Pria berpeci miring itu tengah asyik mengelapi motor kesayangan, mungkin sembari mengawasi konternya yang masih akan buka sampai malam nanti. Waktu menunjuk pukul lima lewat dua puluh menit, hari ini Nura memang sengaja berlama-lama di sekolah, sekadar melamun di kelas kosong sambil menjernihkan pikiran.
"Kang!" tegur Nura sekali lagi.
“Eh, Neng Ori,” balasnya kalem.
Nura kira pria itu akan melemparkan beberapa sindiran, paling tidak, berkomentar sengit tentang ketidakhadirannya hari itu. Apa Kang Iim mulai lelah? Dipikir-pikir, Nura terlalu sering ngelunjak kepada pria itu meskipun dari segi umur, Kang Iim masih di bawah satu tahun dengan usia Nura di dunia nyata. Namun, belum sempat kata maaf terlontar, kening Nura sukses dibuat berkerut oleh sebaris pertanyaan.
“Kenapa ke sini, Neng? Mau beli pulsa atau kuota?”
“Hah? Ngomong apaan sih, Kang. Mentang-mentang aku bolos sehari, terus mau dipecat secara halus gitu?”
“Ih, si Neng bolos sekolah?” tanya Kang Iim semakin melantur. “Jangan atuh, Neng, nanti saya laporin ke orang tua Eneng, lho. Mau?”
“Orang tu–“ Nura mendengus atas gurauan yang barusan ia dengar. “Buset, candaannya ngeri amat, Kang. Mau ngelapor lewat mana? Jalur langit?”
Bukannya menjawab, air muka pria berpeci miring itu malah terpasang bingung, seolah tak paham akan perkataan Nura tadi.
“Udahlah, Kang, hari ini aku libur aja, ya. Lagi mental illness nih, butuh healing. Besok aku janji bakalan datang lebih awal, nggak kabur-kaburan. Deal?”
“Yaudah, sok atuh, Neng.” Nada bicara Kang Iim terkesan agak menggantung, seperti masih heran akan sesuatu. “Istirahat gih istirahat, kayaknya si Eneng mulai lelah.”
Ucapan tersebut akan Nura jadikan pembelaan semisal Kang Iim berani-berani memecatnya besok. Langkah perempuan itu semakin cepat, tubuhnya agak condong ke depan seperti tengah mengejar sesuatu, tak lain ialah kasur (tak) empuk di kamar sempitnya. Secara fisik, ia masih kuat, masih bisa ikut lomba lari jangka pendek kalau perlu. Akan tetapi, otaknya terlampau letih, pusing memikirkan kejutan-kejutan lain yang mungkin akan menyambutnya nanti.
… atau detik ini?
“Aish, kenapa lagi sih nih pintu butut?” rutuk Nura yang berkali-kali gagal memasukkan kunci ke lubang pintu. Sudah coba dibolak-balik pun, tetap tidak ada suara klik yang familiar. “Dobrak aja apa?”
Belum menyerah, percobaan lain Nura lakukan. Sekali, dua kali. Sayangnya, kunci itu tetap tidak bergerak. Dicoba lagi, masih sama. “Apaan sih, sumpah, ada-ada aja,” gerutunya geram. Pukulan-pukulan kesal pun tiada luput ini layangkan pada pintu berusia puluhan tahun itu meskipun tidak berlangsung lama. Tubuh Nura terlalu lelah, bukan sebatas raga, tetapi juga isi kepala.
Mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ia punya, Nura mengepalkan tangannya, bersiap memukul lebih keras. Akan tetapi, sebelum buku-buku jemarinya menyentuh permukaan pintu, samar-samar terdengar suara dari dalam. Suara langkah kaki seseorang, pelan namun semakin jelas. Nura mundur tanpa sadar, menahan napasnya begitu seseorang membuka pintu tersebut dan menampakkan diri dengan raut kelewat kesal.
“Hah, s###an, mau kamu apa? Nggak cukup ganggu di sekolah, sekarang sampe dateng ke rumah?”
Nura tak sampai hati angkat bicara, lidahnya mendadak kelu, letih yang semula menguasai tubuh seketika raib bersama ribuan kosa kata yang ia ketahui. Digantikan oleh rasa ketidakpercayaan yang berdesak-desakan menampar dadanya.
“Mahda?” gumamnya kelimpungan. “K-kenapa kamu keluar dari rumah ini?”
Yang ditanya terperangah, merasa konyol harus mendengar pertanyaan bodoh tadi. “Kenapa nanya? Nggak nyangka ada manusia yang tinggal di tempat bobrok ini?”
“Nggak, bukan gitu, ak–“
BRAK
Pintu ditutup secara beringas. Nura berupaya membukanya, tetapi terkunci dari dalam. Ia coba mengetuk lagi, sayangnya nihil reaksi. Mahda benar-benar tak memberi tanda-tanda akan membukakan pintu itu kembali.
“Nona Penulis ....”
Panggilan Dego terlewatkan, kaki-kaki ramping Nura lebih dulu melesat ke rumah seberang jalan; rumah Nenek Sri. Ingin sekali menanyakan mengapa Mahda bisa berada di sana, mengapa gadis itu bisa-bisanya berkata bahwa itu rumah dia. Namun, lagi-lagi, Nura takkan pernah terbiasa dengan situasi-situasi semacam ini.
“Ori, kamu di sini lagi? Mau coba ngajak Mahda main, ya?” Sungguh, perkataan ini jauh dari apa yang Nura harapkan. “Nenek bersyukur banget kamu nggak pernah nyerah buat berteman sama Mahda, tapi lebih baik jangan di jam-jam segini, ya. Mahda pasti capek abis jaga konter si Iim. Emosinya lebih gampang meledak kalau sekarang.”
Sulit mempercayai keadaan, Nura lantas berlari ke tempat si pria berpeci miring. Kalau diingat-ingat kembali, percakapannya dengan Kang Iim tadi memang sedikit janggal. Namun, kecurigaan itu sengaja ia tepis sebab keinginannya untuk cepat-cepat pulang sangat besar.
“Iya, Neng Mahda biasa jaga konter di sini. Kenapa? Neng Ori juga mau? Waduh, punten, nggak bisa, Neng. Saya cuma mampu ngegaji satu orang.”
Cepat permisi dari sana, Nura tidak tahu lagi harus ke mana. Ia berdiri di tengah trotoar, terus saja berjalan tanpa tujuan, mengikuti kaki-kakinya yang seakan bergerak sendiri. Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan, menerangi seluruh pelosok kota kecil itu. Namun, tidak dengan hatinya, yang seolah berada di lorong panjang–gelap dan tak berujung.
Langkahnya baru berhenti tepat di depan gerbang rumah bertingkat tiga, rumah yang hanya satu kali pernah ia kunjungi: rumah Mahda. Tampak besar dan megah, berdiri begitu angkuh di bawah singgasana cakrawala. Tak sedikit pun menyisakan jejak-jejak tragedi yang pernah membakarnya.
Kalau Mahda tiba-tiba muncul di rumahnya, mungkinkah ...?
“Lho, Ri? Kamu baru pulang, Nak?”
DEG
Nura dapat merasakan sekujur tubuhnya membeku. Sebuah mobil datang dari arah kanan. Satu orang duduk di balik kemudi, yakni seorang pria dengan rambut klimis yang tetap rapi meski sudah di penghujung hari. Sedangkan di kursi penumpang, terdapat sesosok wanita dewasa sekaligus orang yang tadi bertanya kepadanya.
“Bisa kebetulan gini,” sambung si pria di balik kemudi. Mereka lanjut berbicara usai kaca mobil sepenuhnya diturunkan. “Mumpung belum buka gerbang, apa mau sekalian makan di luar?”
“Setuju!” Wanita dewasa di kursi penumpang memekik girang. “Ayo, Ri! Cepat masuk mobil! Papa kamu lagi baik nih. Kita makan di restoran favorit Mama, ya! Fix, jangan protes.”
Nura tetap diam, mempertahankan posisinya tanpa bergerak barang sedikit. Lekat memandangi dua wajah yang sangat ia kenal, wajah yang mengingatkannya pada selembar foto usang yang dulu selalu ia genggam, yang selalu ia lihat sampai ratusan bahkan ribuan kali. Rahangnya mulai mengeras, disusul pelik yang berkecamuk hebat, menjelma sebagai cairan di ujung pelupuk bersama api kemurkaan yang menyala-nyala.
“Takdir, b#####t.”
Sumpah.
Jangan bercanda.
Ini sama sekali tidak lucu.
***