Teguran berulang diterima Fikar yang kedapatan tertidur di tengah-tengah pelajaran, Nura sesekali diminta membangunkan cowok berikat kepala itu di mana tendangan pelan ia lancarkan di balik meja. Tak sampai sepuluh menit bertahan menyimak penjelasan guru, pandangan Fikar semakin lama sekali kabur, Nura sigap menaruh buku di hadapan cowok itu agar tak diminta kembali membangunkannya. Kepala Fikar perlahan melipir ke atas lipatan tangannya sendiri di atas meja. Cibiran tak sengaja lolos dari bibir Nura sebab fokusnya dipaksa pecah tatkala harus mengurusi kepayahan Fikar menahan kantuk.
“Fik, lo kenapa?” tanya salah seorang murid yang duduk di seberang kanan cowok itu setelah jam pelajaran pertama selesai. “Dari pas dateng, kayaknya lemes amat.”
Konsentrasi Nura buyar di mana perhatiannya seketika teralihkan ke arah teman sebangkunya, begitu juga Mahda yang diam-diam menajamkan indra pendengaran. Ketiadaan tanggapan dari cowok berikat kepala itu membuat orang tadi kembali menanyakan hal yang sama.
“Kamu sakit?” timbrung Nura.
Fikar tampak menggumamkan sesuatu yang terlalu pelan untuk bisa mereka dengar. Sebelah punggung tangan Nura akhirnya terjulur demi menyentuh bagian lengan yang tak tertutupi seragam.
“Lah, badannya panas banget,” komentar Nura yang mampu memancing lirikan singkat Mahda di kursi depan. “Kalau tahu lagi sakit, ngapain ke sekolah?”
Bahu Nura sedikit terangkat, agak terkejut kala sebelah tangan Fikar bergerak menyentuh telapak tangannya yang masih bertengger di lengan cowok itu, lalu membawanya agar ikut bersembunyi dalam lipatan tangan; dijadikan bantalan. Erangan singkat sekilas meluncur beriringan dengan keluhan, Nura tidak bodoh untuk menyadari bahwa suhu tubuh cowok itu semakin tinggi ketika telapaknya tak sengaja menyentuh sepasang kelopak mata yang tertutup rapat.
“Ehm, Fikar. Kayaknya, kamu mending pulang aja deh.” Nura mencoba melepas tangannya pada celah lipatan tangan dan wajah cowok itu, tetapi genggaman Fikar justru semakin menguat. “Atau ke UKS sana, mumpung gurunya belum dateng.”
Mendapati cowok itu yang akhirnya beranjak, kernyitan tipis menghiasi paras Nura sesaat Fikar menoleh, menatapnya lekat-lekat, merenungkan sesuatu. Pancaran secerah matahari itu kini terlihat kehilangan sinarnya, disertai rona pucat pada bibir tebal si cowok berikat kepala. Janggal terlampau lama berbalas pandang, Nura segera mengalihkan matanya ke tempat lain.
“Temenin,” pinta Fikar yang lagi-lagi mengambil atensi Nura. Suara paraunya melukiskan pesona ingin dimanjakan. “Ayo, ke UKS.”
Nura sekonyong-konyong ditarik mengikuti jejak-jejak lesu Fikar yang menggiringnya ke luar kelas, tak menggubris serangan tanda tanya teman-teman di mana manik sewarna kayu perempuan itu sekilas bersirobok dengan mata Mahda. Samar-samar tertangkap percakapan dua orang sebelum kakinya melewati perbatasan pintu.
“Udah gue duga dari pas latihan kemarin, kondisinya lagi kagak baik.”
“Lho, emang si Fikar kenapa kemarin?”
“Entahlah, tiba-tiba dia kayak hilang kesadaran. Ngeracau kagak jelas sambil nyebut-nyebutin nama seseorang.”
“Widih, seriusan? Nama siapa tuh?”
“Gue kagak yakin juga sih karena dia nangis kejer kemarin, tapi mungkin … Deigo? Dego? Bego? Mirip-mirip gitulah pokoknya.”
**
Prasangka karya Alegori,
BAB 10, halaman 119.
Kepalan tangan melayang namun cepat disambut oleh cengkeraman kasar. Diputarnya tangan itu sebelum diarahkan ke belakang punggung. Tak keburu melakukan kucian, tubuh si cowok berikat kepala terjerumus tatkala orang dalam kukungannya mendorong hingga ia kehilangan keseimbangan. Cengkramannya terlepas, sementara Dego berupaya bangkit setelah ikut terjatuh tadi.
Serangan balasan Dego persiapkan di mana sebelah kaki telah mengambil ancang-ancang untuk melancarkan injakan, tetapi Fikar tergegas berguling lalu beranjak meski pijakannya tak langsung kuat mencengkram. Lebih dari sekali cowok berikat kepala itu sukses berkelit dari pukulan serta tendangan Dego. Sembari menunggu kesempatan untuk melakukan penyerangan, Fikar sibuk mengamati pola gerakan Dego yang sepertinya mulai dapat ia pahami.
“Cukup, Go. Berhenti! Lu udah keterlaluan.” Mundur satu langkah, Fikar kembali berhasil mengagalkan pukulan Dego yang hampir mengenai rahang tegasnya. "Mau sampe kapan lu bersikap kayak begini? Ucapan lu ke Nenek Sri dan Kang Iim tadi udah kagak bisa dimaklumi lagi!”
“Nggak usah sok ikut campur, s####n!”
Sebelah tangan terjulur, begitu sigap Fikar tangkis sebelum tiba-tiba Dego membungkuk, memperlebar kuda-kuda. Atmosfer pertarungan seketika memberat, Fikar sungguh dapat merasakan perubahan aura dari sang teman sebangku setelah berteriak barusan.
Untuk sesaat, si cowok berikat kepala nyaris hilang fokus yang membuat dirinya mendapatkan satu pukulan tepat di wajah. Seringai kemenangan sekilas timbul di sudut bibir sang lawan, Fikar berdecak sesaat sebelum kembali berkonsentrasi pada pertarungan.
"Mau sampe kapan lu nutup mata sama kebaikan orang lain?!" Fikar memutar tubuh hingga berganti posisi dengan Dego. Si cowok berikat kepala jelas sekali menangkap garis ketegangan yang terpampang pada air muka Dego. "Lihat sekitar lu! Berhenti keras kepala dan coba berpikir lebih positif!" bentak Fikar seraya menggeram singkat ketika tendangan Dego berhasil mengenai tubuh bagian kanannya.
“Bacot, a####g!” Dego bersiaga ketika sekilas mendapati sebelah tangan Fikar yang mengepal. Benar saja, detik selanjutnya cowok berikat kepala itu berupaya memukul pipi kanannya. Dego mengelak, menarik kepalan tangan Fikar hingga cowok itu nyaris tersungkur ke pinggiran trotoar. “Kalian semua cuma para pendosa yang pura-pura menjadi ahli surga. Aku tahu kalian capek berhadapan dengan aku, tapi kenapa terus berlagak baik?! Bikin orang kesel aja.”
Menarik napas sejenak, Fikar pun bangkit, kembali berdiri tegap. Gesit ia berbalik kemudian berlari sebelum mengangkat sebelah kaki lalu menendang tubuh bagian kanan Dego. Untuk kesekian kalinya, Dego dapat menahan serangan Fikar. Angin kencang mewarnai kesunyian malam itu. Awalnya, Fikar hanya berniat mampir ke tempat Kang Iim guna membeli kuota sebab jaringan Wi-Fi di rumahnya sedang ada gangguan. Namun, tak sengaja dirinya justru menangkap perdebatan sengit Dego bersama Nenek Sri juga Kang Iim tepat di depan rumah anak laki-laki itu. Kata-katanya terlalu menyakitkan untuk sekadar dianggap pemberontakan remaja beranjak dewasa, Fikar refleks mengejar Dego kala mendapati teman sebangkunya itu berlari setelah mendapatkan satu tamparan keras dari Nenek Sri.
“Argh, sial! Gua harus ngapain biar lu bisa sadar?!” Terlampau geram, Fikar terang-terangan melancarkan tatapan nyalang bersirat kepiluan. "Kagak peduli seberapa keras gua berusaha, satu kali pun lu kagak pernah mencoba berubah! Semua keburukan itu datang bukan karena takdir, tapi karena pola pikir lu yang selalu dipenuhi prasangka kagak bener. Apa salahnya menerima kebaikan orang lain?! Itu kagak ngebuat lu terlihat jadi pecundang!”
Meski tertohok atas peringatan keras Fikar, Dego sadar bahwa konsentrasi sang lawan terpecah akibat luapan emosi barusan, sama sekali enggan menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut di mana ia segera memutar tubuhnya sendiri sebelum menjatuhkan satu tendangan kuat tepat ke dagu si cowok berikat kepala. Umpatan Fikar terputus kala Dego tak memberi ruang dirinya untuk bergerak. Kejadiannya terlalu cepat di mana setiap kali Fikar mencoba bangkit, pukulan dan tendangan datang bergantian, membekukan semua serangan, melumpuhkan segala pertahanan. Percikan darah seolah menjadi saksi ketidakberdayaan Fikar yang membiarkan tubuhnya diangkat sebelum dibanting dengan beringas. Suara rintihan bergema ke setiap penjuru jalanan, terdengar seperti permohonan pengampunan. Namun, Dego yang seakan tuli justru kembali menarik baju cowok yang ikatnya kepala sudah terlepas itu dan berusaha melancarkan satu gerakan pemungkas.
Dari kejauhan, gemerlap lampu sen kendaran roda dua kebut-kebutan sembari berulang membunyikan klakson tanda peringatan.
“D-dego, se-sebentar.” Susah payah melepaskan diri dari cengkeram kuat Dego, tetapi tenaga anak laki-laki itu jauh lebih kuat daripadanya. Suara klakson dari dua motor di sana semakin menggemakan keheningan, kewarasan Dego terlalu dimakan amarah sehingga telinganya seakan menuli dari segala sesuatu di sekeliling mereka. “Lepas dulu, Go! Itu ada motor kebut-kebutan!”
Dengan sisa kekuatan yang dimiliki, Fikar lantas mendorong tubuh Dego hingga terjerembap ke bahu jalan. Namun, pergerakannya terlalu lambat untuk ikut menghindar, rasa sakit akibat serangan Dego sebelumnya berhasil meraup seluruh tenaga. Fikar tak begitu ingat apa yang terjadi setelah itu, ia hanya tahu kalau kesadarannya menghilang bersamaan dengan suara dentuman keras sesaat matanya menyipit; menyaksikan silau cahaya lampu sen yang semakin terang.
“Fik?”
“Fikar?”
“Fikar!”
Putih, aroma antiseptik, dan suhu sejuk menjadi tiga hal yang menyambut seluruh indranya begitu sadarkan diri. Fikar mendapati dirinya tengah berbaring pada ranjang besi dengan kain serba putih sebagai alas kasur, ikatan di kepalanya digantikan oleh handuk basah yang sudah terasa dingin. Pening seketika menyulut manakala ia berusaha beranjak duduk, bersandar pada punggung tempat tidur.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya seseorang dari sisi kanannya.
Suara cewek?
“Oh, Mahda?” Sambil menerawang ke sekeliling, Fikar akhirnya tahu kalau dia tengah berada di ruang unit kesehatan sekolah. “Jam berapa sekarang?” tanya cowok itu sambil mengurut pelipisnya yang berdenyut pusing.
“Setengah tiga.” Mahda menautkan jemari tangannya seraya diam-diam melirik Fikar yang sesekali meloloskan erangan kesakitan. “E-ehm, t-tas kamu ada di kursi itu, ya. A-aku bawa ke sini karena kelasnya mau dikunci.”
“Ah?” Menengok ke kursi yang dimaksud Mahda, cowok itu benar menemukan tasnya di sana. “Iya, makasih.”
Sejenak, hening mendominasi.
“N-ngomong-ngomong, tadi kamu mimpi buruk, ya?” Sembari memainkan ujung seragamnya sendiri, ragu-ragu Mahda melanjutkan, “Tadi karena kamu kelihatan gelisah, makanya sengaja aku bangunin.”
Mimpi?
Benar juga, sepertinya tadi ia diperlihatkan serentetan ingatan menegangkan. Meski cowok itu melupakan detail dari bunga tidur barusan, pergolakan dalam hatinya terasa masih sangat nyata sekarang.
“Apa itu bener-bener cuma mimpi?” gumamnya lebih kepada diri sendiri.
Tak menerima tanggapan pasti, Mahda masih saja memegangi ujung bajunya sembari membuka tutup mulut seolah ingin mengatakan sesuatu. Entah ini waktu yang tepat atau tidak, gadis itu merasa ia takkan memiliki banyak kesempatan untuk terus bersama Fikar seperti saat ini.
“Oh iya, Fikar.” Makanya, Mahda memberanikan diri kembali menyebut namanya. Kecanggungan tiba-tiba menyerang sudut hati gadis itu. “S-soal kejadian kemarin … sebenernya, aku sempet denger kamu ngebelain aku di depan anak-anak kelas. Makasih, ya, udah ngucapin kata-kata yang ngewakilin perasaan aku.”
Lirikan kilat Mahda lakukan demi mencuri lihat air muka Fikar atas perkataannya tadi, yang segera gadis itu alihkan manakala menyadari manik tajam Fikar tersorot intens memandangi dirinya.
“D-dan kalau boleh jujur, s-sebenernya, ucapan kamu kemarin itu s-sedikit bikin aku–“
“Mahda.” Suara berat itu gesit menginterusi di mana aura yang menguar dari tubuhnya berubah penuh ancaman. Urat-urat wajah Fikar menegang disertai pancaran asing yang terlalu sulit untuk didefinsikan. Dengan satu tarikan napas gusar, Fikar pun bertanya, “Lu tahu di mana Ori sekarang?”
**
Lantai yang baru saja dipel masih meninggalkan jejak-jejak basah. Suara-suara ramai sudah lama menguap bersama dering bel pulang, melahirkan sunyi yang entah kenapa terasa berat. Nura piket hari itu berbarengan dengan beberapa anak cowok, mereka kabur usai kursi-kursi ditata ke atas meja serta papan tulis telah lenyap dari bubuhan tinta. Lantaran kalah cepat merebut sapu dengan salah seorang siswa, Nura mau tak mau harus mengepel di mana dirinya dipastikan pulang lebih larut dari teman-teman lain.
Aroma pewangi lantai menyeruak, manik kecokelatan Nura menyusuri ruang kosong itu setelah menggantungkan alat pel pada pengait khusus alat-alat kebersihan di sudut belakang kelas. Lalu bergulir pada kursi di sebelah tempat duduknya; kursi Fikar. Ada sesuatu yang rasanya seperti tertinggal, bukan di ruangan, tepatnya dalam pikiran. Lantai benar telah terbebas dari kuman, tetapi benaknya masih menyimpan noda yang sulit untuk diseka.
“Kamu juga dengar, ‘kan? Sebelum ke UKS, beberapa anak ada yang nyebutin nama kamu?”
Dego mengangguk, seharian ini pikirannya terganggu akan hal tersebut, persis dengan si Nona Penulis.
“Aneh, seharusnya nggak ada yang tau soal keberadaan kamu di sini, tapi lagi-lagi ....”
“... Fikar, ‘kan?” tebak Dego, tumben-tumbennya terlihat pintar.
“Tingkah laku dia ... rasanya ... agak 'berbeda' dibandingkan semua tokoh di dunia ini.”
Terutama saat cowok itu sempat menyadari perubahan drastis pada penampilan Nura, walau setelahnya, Fikar bersikap seolah tidak tahu apa-apa seperti lainnya.
“Tapi dia itu emang orang aneh, Nona Penulis.” Sebaris pernyataan ini sukses memancing ketertarikan sang pendengar. “Kamu ingat tentang akhir kisah aku?”
“Tentang perbedaan ingatan kita?”
“Ya.” Dego mendekat ke tempat duduk Fikar, menyentuh mejanya, merangsang kenangan. “Kamu berpikir kalau aku mati, 'kan? Faktanya, bukan meninggalkan, justru akulah yang ditinggalkan orang-orang.”
“Terus?” Nura mengambil jeda. “Kenapa kamu tiba-tiba ngebahas soal ini?”
“Sejujurnya, aku emang hampir mati. Aku pernah mencoba g##tung diri, tapi … ceritanya nggak berhenti di situ, Nona Penulis.”
Jemari perempuan itu perlahan membentuk kepalan erat, kalimat-kalimat yang ingin terucap berdesakan di ujung tenggorokan, enggan meyakini sesuatu yang belum tentu benar.
“Ada kisah lanjutan yang mungkin kamu nggak tau.”
Dalam diam, Nura menelan ludah. “Kisah … apa?”
Anak laki-laki itu melepaskan sunyi, tidak begitu lama. Ia menoleh, sorotnya terpancar tenang, lalu kembali angkat suara–pelan namun cukup untuk mengguncangkan suasana, “Tentang Fikar, yang mendobrak pintu rumah, dan menyelamat aku setelahnya.”
BRAK
Percakapan mereka seketika terhenti sesaat pintu kelas dihempas kasar, menggaung sengit di antara keheningan. Baik Nura maupun Dego, serempak mengalihkan pandangan, tertuju pada aura mencekam dari seseorang yang berdiri di perbatasan ruangan. Rambut cepaknya tampak basah meski udara tidak lagi panas, deru napas pun kentara sangat memburu, seolah menjadi bukti bahwa cowok itu telah lama berlarian sebelum sampai di sana.
Fikar melangkah masuk tanpa suara, tetapi setiap gerakannya entah kenapa membawa ketegangan tersendiri; menekan juga menciptakan debaran. Mulut Nura terkunci rapat-rapat, tubuhnya diam namun pikiran sudah disesaki oleh segala kemungkinan. Detik cowok itu tiba persis di hadapannya, tanpa sadar Nura menahan napas, sementara Dego merentangkan sebelah tangan; berusaha menjadi tameng penghalang.
“Ori, siapa lu sebenarnya?”
***