Loading...
Logo TinLit
Read Story - Deep Sequence
MENU
About Us  

KBBI V

se.ku.ens

n urutan

Keutuhan sebuah cerita tidak akan lepas dari kehadiran sekuens, yang mampu menggiring pembaca dari momen ke momen, dari satu rasa ke rasa yang lain. Bukar sekadar urutan peristiwa: pengenalan, konflik, resolusi, sekuens seperti jantung cerita, berdetak mengikuti alur yang mengalir demi menjaga napas premis agar tetap hidup, tetap lekat, tetap kuat.

Pertemuan antar tokoh, kesadaran ingin berkembang, ketegangan yang menguat, perkara mengikat, dan kenyataan yang pelan-pelan terungkap. Lebih dari persoalan teknis, sekuens menyusun ritme cerita agar tidak tergesa-gesa, tidak juga kehilangan arah. Berperan sebagai jembatan emosional–antara luka dan harapan–menuntun pembaca tanpa sadar hanyut, merasuki arus, hingga tiba-tiba tersadar bahwa mereka sudah terlibat terlalu dalam, tidak bisa kembali.

“Sekuensnya terulang,” ujar Nura di perjalanan menuju konter Kang Iim. “Semuanya kembali ke awal.”

Dego mengerutkan dahi, mengikuti langkah-langkah pelan si Nona Penulis.

“Apa mungkin perannya juga tertukar?”

“Maksud kamu? Aku nggak ngerti, Nona Penulis.”

Nura mendelik, masih sulit memahami mengapa Dego lagi dan lagi berlagak tidak tahu apa-apa, di saat anak laki-laki itulah yang menariknya ke dunia ini. Memang karakter Dego yang ia tulis itu agak bodoh dan lebih mendahulukan pemikiran negatif, tetapi kenapa aslinya pun sama saja begini?

“Cuma, Nona Penulis, ucapan kamu ke Mahda tadi kok sama kayak apa yang pernah Mahda bilang ke kamu pas beli pulsa waktu itu.”

atau mungkin tidak? Bisa jadi anak laki-laki ternyata lebih cerdas dari kelihatannya.

“Kamu sengaja?”

“Nggak,” bantah perempuan itu. “Aku bener-bener nggak tau. Dari semua hal yang bisa aku omongin, tiba-tiba aja aku malah kepikiran hal itu.”

“Dan kalimat itu, kamu pernah bilang, kalimat pembuka di chapter pertama, ‘kan?”

Sebuah anggukan Nura beri setelah jeda yang cukup panjang–enggan mengiakan, enggan pula membantah kenyataan. Tentang rumah Mahda yang tiba-tiba kebakaran, tentang kedua orang tua gadis manis itu yang entah kenapa ditakdirkan meninggal, tentang perubahan fiksi Mahda yang dahulu begitu menawan kini berubah muram. Seakan-akan, si Cantik telah menggantikan peran si Buruk Rupa.

“Kamu jadi Mahda, sementara Mahda jadi kamu?”

“Belum tentu.”

Sepasang alis Dego bertautan.

“Awalnya aku kira kayak gitu,” terang Nura melanjutkan. “Cuma kejadian di kelas pas pulang sekolah hari ini bikin aku berpikir dua kali.”

“Kejadian di kelas?”

Nura mengangguk. “Kamu nggak inget? Itu mirip banget sama dialog antara kamu dengan Mahda. Masalahnya, kenapa si Fikar malah ambil peran?”

Situasi di kelas hari ini sangat berbeda dari hari-hari biasanya, mengingatkan Nura pada saat pertama kali ia terjebak di dunia ini dan dipaksa untuk masuk sekolah. Tidak ada kata penyambutan, bisik-bisik gosip yang semula berisik tiba-tiba menguap tanpa sisa; bergulir menjadi tindak pengabaian. Kelas masih saja ramai dengan kebisingan yang sama–celetukan jenaka, keluh kesah tentang tugas, atau diskusi antara kelompok presentasi dengan para pendengarnya.

Di antara puluhan murid serta seorang guru yang mengajar secara bergiliran, nihil perhatian tertuju pada bangku kosong depan Nura, yang sejak seminggu lalu luput dari sapaan. Tidak ada yang sengaja melupakan, tidak ada pula yang merasa perlu mengingat. Mahda benar telah kembali, tetapi kursi gadis itu disikapi seakan tidak pernah berpenghuni. Bahkan wali kelas, yang beberapa waktu lalu masih memanggil nama Mahda penuh kekhawatiran, kini sedikit pun tidak meliriknya. Atmosfer kelas seakan memiliki kebal tersendiri–melahirkan sikap tidak peduli.

Lantas, peristiwa itu pun terjadi. Kecaman datang dari mata-mata tajam, selidik ke balik bulu kuduk melucuti rasa percaya diri tameng ketegaran. Dering bel pulang sekolah menjadi upacara kebebasan atas atmosfer berat orang-orang sekitar, Mahda setengah mati menunggu kalimat penutup sang guru yang lagi-lagi melebihi batas waktu jam belajar. Sambil mengenakan tas tatkala seluruh murid diperbolehkan meninggalkan tempat, gadis itu tergegas beranjak dari kursi, tepat ketika guru tadi telah melewati perbatasan pintu kelas. Namun, keberuntungan enggan berpihak kepadanya manakala tak sengaja bahu kurus itu menubruk salah seorang di barisan depan.

“Argh, b#####t.” Umpatan itu meluncur dari bibir tipis Mahda, yang seratus persen berhasil meraup seluruh atensi anak-anak kelas. Telinga gadis itu samar-samar mulai menangkap bisikan yang selalu mampu membuat tubuhnya bergetar.

“Apaan sih, penipu doang banyak gaya.”

“Wah, gila. Itu mulut aslinya sampah juga.”

“Karena udah ketahuan, wujud sebenernya keliatan sekarang.”

“Lagian ngapain buru-buru banget sih, mau ke mana emang?”

“Biasalah, kan ada yang udah nungguin.”

“Aww, siapa tuh …?”

“Itu lho … yang bikin anak perawan harus pulang malam, kekekeke.”

Sindiran itu masih terus bersahutan hingga lebih dari puluhan sekon, Nura yang baru selesai membereskan barang-barangnya dapat mendengar decakan geram melengos dari mulut gadis itu. Mahda menatap satu per satu pelaku pencibiran, menyalurkan ketidaksukaan melalui cengkeraman tangan yang dilipat erat-erat. Lalu Nura yang turut menyaksikan kejadian itu dibuat bungkam sebab menyadari bahwa ini benar termasuk pada salah satu adegan dalam novel.

Lantas, umpatan lain kembali Mahda perdengarkan dengan suara yang sengaja dibuat sangat lantang, “Bacot banget kalian, br#####k,” sebelum enyah dari sana sambil menghantamkan bahu ke orang yang ditabraknya tadi. Tindakan nekat yang seketika menyulutkan sumbu peperangan di mana serangan cibiran keroyokan menjelma hinaan paling tercela.

Selagi Nura terpaku akibat kesulitan mencerna situasi yang baru saja terjadi, suara berat Fikar seketika menggemakan seisi kelas yang kini tertuju ke bangku barisan belakang tempat cowok itu juga Nura berada.

“Kenapa kalian terang-terangan begitu dah? Sesuci apa kalian sampai memperlakukan dia seolah kalian kagak pernah berbuat kesalahan?”

Nura terbelalak. Untuk beberapa saat, kesadarannya seakan terserap habis ketika telinganya terus-menerus dijejali kata-kata yang sangat familiar. Kata-kata hasil pemikiran perempuan itu sendiri, kata-kata yang semestinya menjadi milik Mahda, yang saat ini justru secara nyata diambil alih oleh Fikar.

“Si Mahda cuma bertindak satu tingkat lebih ekstrem aja, tapi itu kagak ngehapus fakta kalau kita juga ngelakuin kecurangan.”

“Fik, tapi dia kan–“

“Dia kenapa? Juara seangkatan karena nyuri kunci jawaban UTS dari ruang guru? Iya, taruhlah dia emang salah ngelakuin itu, tapi apa bedanya sama kita?”

Mahda, dialog ini benar-benar milik gadis itu. Bahkan setiap patah katanya sama persis tanpa pengubahan. Ini adegan di mana Dego berlari ke luar kelas tepat ketika bel baru berdentang, detik ia tak sengaja menubruk salah seorang teman sekelas yang mengundang serangan tatap intimidasi dari orang-orang sekitar. Momen saat tubuh si tokoh utama beringsut di balik pintu tepat ketika kakinya melewati perbatasan.

“Sengaja nyiapin contekan, searching di internet, nanya jawaban ke temen, dan segala macam kecurangan lainnya pas ujian. Semua orang di kelas ini pernah ngelakuin keburukan, yang lucunya kita selalu bangga setiap kali lolos remedial.”

Kata-kata itu ibarat hujan padang pasir yang datang bak pembangkit bara kehidupan. Semburat tipis samar menyapu pipi sang tokoh utama yang kontan ditutupi dengan sebelah tangan.

Tersadarkan sesuatu, Nura tergopoh-gopoh berlarian ke luar kelas, ingin memastikan kebenaran atas apa yang baru saja terlintas dalam kepala. Sebersit memori semasa ia menulis kisah mereka menggiring ingatan Nura bahwa pada momen ini seharusnya Mahda masih berada di sini, bersembunyi di balik pintu kelas sembari mendengar seluruh pembelaan Fikar atas diri gadis itu.

“Si Mahda cuma bertindak satu tingkat lebih ekstrem aja, tapi itu nggak ngehapus fakta kalau kita juga ngelakuin kecurangan.”

“Jadi, tolong berhenti bersikap sok suci karena itu benar-benar menjijikkan.”

Manakala kakinya sampai di perbatasan pintu, manik cokelat itu justru dikejutkan oleh kehadiran seseorang lain, di sudut matanya memang tertangkap bayang-bayang diri Mahda yang tergesa melarikan diri tepat menyadari keberadaan Nura. Namun, Nura tak berkesempatan menahan gadis itu sebab seluruh atensinya kini hanya terpaku pada figur Dego yang membeku pada lima petak lantai di hadapannya.

“Momen itu awal kamu tertarik sama Mahda, ‘kan?” tanya Nura menutup kilas balik dalam pikirannya.

“Yah, mungkin? Kenapa kamu tanya aku? Kan kamu yang bikin ceritanya.”

Nura terkekeh, bukan karena senang, lebih karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa. "Meski faktanya begitu, aku sama sekali nggak tau apa yang akan terjadi setelah ini. Adegannya tetap terjadi, tapi orang yang terlibat dalam peristiwa itu berubah-ubah. Satu hal yang pasti, Mahda mengambil alih pemeran utamanya."

"Jadi, maksud kamu, Mahda udah pasti jadi kamu, tapi kamu belum tentu jadi Mahda?"

Nura mengangguk, pelan; penuh keraguan. "Tapi entahlah, aku bener-bener nggak ngerti. Nggak tau, ah, nggak tau!!!"

Konter Kang Iim semakin dekat, tetapi langkah Nura semakin lambat. Terlebih ketika ia merasakan ada sesuatu menyentuh lengan kanannya, menepuk-nepuk pelan seolah menyalurkan kekuatan. Aneh sekali, tidak biasanya Dego menanggapinya seperti ini.

“Tumben nggak sewot?”

“... maksudnya?”

Kedikan singkat terjadi di pundak si perempuan. “Biasanya, kalau udah berkaitan sama Mahda, kamu bakal marah-marah. Apalagi pas tau takdir dia yang berubah, aku kira kamu akan menghilang.”

Keterkejutan jelas hadir dalam legam anak laki-laki itu. Langkahnya terhenti, diikuti oleh Nura yang berada dua jejak lebih depan. Dego tidak begitu paham apa yang terjadi, rasanya seperti ada terpaan angin kencang yang sekejap menerjang kesadarannya. Segala suara di sekeliling seakan meredam. Begitu legam bertemu dengan manik kecokelatan si Nona Penulis, bunyi detak menggema hingga kepala, berdegup secara konstan; penuh kedamaian.

“Biar aku tebak, kamu pasti terharu, ‘kan?” kata perempuan itu.

Agak terlonjak, seketika Dego kembali mendengar bising mesin kendaraan yang sesekali lewat.

“Beberapa hari ini aku selalu berusaha bertindak kayak kamu,” terang Nura penuh percaya diri. “Walau nggak ada satu pun yang berhasil, tapi kamu pasti ngeliat usaha keras aku dan ngerasa tersentuh. Pasti gitu, 'kan?”

Mungkin iya, mungkin tidak. Sebagian akal sehat Dego mengakui hal itu, sebagiannya lagi meyakini ada sesuatu yang menjadi penyebab lain.

“Nona Penulis,” sebut Dego. Suaranya lebih berat, meraup seluruh atensi sang lawan bicara. “Jujur, aku sangat menderita dalam cerita kamu. Tapi di antara semua penderitaan itu, satu hal yang benar-benar aku sesali adalah ketika kamu merenggut nyawa kedua orang tua aku.”

DEG

Nura tahu, penuturan Dego hanya berdasarkan kisah yang ia tulis. Namun, mendengarnya secara langsung seperti ini, sungguh membuat perempuan itu merasa seperti seorang pembunuh.

“Kenapa kamu setega itu? Dari awal, dari prolog, kamu sengaja menyiksaku.” Setiap ucapannya penuh penekanan, membuat si perempuan perlahan memutus pandangan. “Di mana nurani kamu, Nona Penulis? Mengapa mengambil mereka beberapa detik setelah aku mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya? Apa kamu nggak tahu betapa menyakitkannya kehilangan orang tua?”

Perempuan itu terdiam. Tatapannya sekelebat buram, tetapi garis-garis wajahnya tetap terpasang datar, seperti permukaan air yang enggap berkedip meski dilempari bebatuan. Pertanyaan itu dilontarkan tanpa aba-aba, membuat si perempuan kelimpungan memilah emosi mana yang harus ia simpan, serta mana yang boleh ditampilkan.

Nurani, katanya.

Ah, sudah lama sekali tidak mendengar kata–nama itu. Hanya satu kata, tidak ada awalan atau tambahan nama keluarga di belakang. Entah Dego sadar atau tidak saat mengatakan satu kata itu.

Nurani, sebuah kata berkenaan dengan sifat cahaya; pemilik makna lubuk hati yang paling dalam.

Pantaskah ia mengemban nama itu? Di saat cahaya dalam hatinya tidak pernah mengenal terang; selalu redup seolah menanti untuk segera dipadamkan.

“Entahlah,” seulas senyum getir terbit di sudut bibir, “aku bahkan nggak pernah tahu gimana rasanya punya orang tua.”

**

Sekumpulan orang berpencar ke seisi panggung dengan batas-batas yang sudah ditandai, menunggu komando selanjutnya dari sang pemimpin latihan kali ini. Kegiatan teater biasa dilakukan setiap Selasa dan Kamis, tepatnya pukul setengah tiga hingga setengah lima sore. Mereka lebih sering menggunakan lapangan atau panggung utama SMA Reka Citra. Akibat hujan deras tadi pagi, jadilah hampir seluruh bagian lapangan masih dipenuhi genangan air.

“Baik, hari ini kita akan latihan olah sukma. Jadi, silakan cari posisi yang nyaman, rilekskan tubuh, dan mulai pejamkan mata kalian.”

Mengikuti arahan sang pembina, Fikar menutup kelopaknya sembari mengatur alur pernapasan. Posisinya yang berdiri di ujung serong kanan sisi panggung membuatnya tak pernah khawatir akan diganggu orang berlalu-lalang. Kedua tangan direntangkan lalu membiarkannya bergerak tanpa pemikiran, mengikuti sepoi angin yang perlahan menuntun tubuhnya seolah menari bersama keheningan.

Dalam kegelapan mata, setitik cahaya menyembul, berkedip-kedip lambat di mana perlahan sinar itu merambat menggerogoti hitam pekat lalu menjelma sebuah tempat yang tampak familiar. Fikar bisa merasakan seluruh indra menjadi dua kali lebih sensitif. Udara dingin menyapa bulu-bulu kaki yang tak tertutupi celana pendeknya, seluruh bunyi di sekeliling seakan teredam oleh suara sang pembina yang terus memberikan arahan; menggali ingatan paling menyakitkan. Cowok berikat kepala itu menemukan dirinya tengah berlari dalam kegelapan mata, terseok-seok menyusuri jalan setapak dengan deru napas yang tak beraturan. Entah kenapa sebelah tangan kirinya seakan mati rasa, sementara beberapa bagian tubuh lain berdenyut-denyut nyeri juga sedikit panas. Tak hanya sekali, pijakan lemahnya berakhir tersungkur sekian detik sebelum lanjut dengan langkah-langkah yang dipaksakan.

Tiba di hadapannya pintu kayu rumah setengah gubuk yang susah payah ia gedor. Bersama sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, Fikar mendobrak pintu itu. Di mana maniknya sontak terbelalak mendapati seseorang tengah bergelantung mengejang dengan kabel bekas yang membelit lehernya.

“J-jangan, Dego ….” Rintihan terabaikan, segala kesakitan terlupakan. Fikar berhamburan memeluk kaki orang itu berharap masih diberi kesempatan. Derai cairan bening mendobrak pertahanan pelupuk mata yang mengiringi teriakan pilu di tengah kesunyian malam. “Jangan begini, Dego. Nggak, nggak papa. Gua baik-baik aja. Jangan begini, tolong ….”

... fik

“Lu nggak salah apa-apa.”

... fik

“T-tolong, Dego. Jangan nyalahin diri–“

“FIKAR, SADAR!”

Yang disebut namanya kontan terlonjak hebat, sepasang kelopak terbuka sangat lebar di mana–entah sejak kapan–seluruh anggota teater kini mengelilingi dirinya. Tautan alis serta sorot keheranan mewarnai garis-garis wajah mereka. Fikar sekilas menyadari aliran keringat deras membasahi pelipis, juga pacuan degup jantung berbalapan dengan deru napasnya yang memburu. Ia tergeletak pada teras panggung di mana kepalanya bersandar pada lengan pembina teater. Masih sukar mengenali situasi, cowok yang ikat kepalanya terlepas itu kemudian beranjak sebelum menenggak tuntas segelas air hangat yang disodorkan kepadanya.

Abai atas bermacam pertanyaan orang-orang, Fikar memutuskan pulang lebih awal. Gerakannya tergolong cepat ketika cowok itu sontak berdiri, membuatnya sedikit hilang kendali. Sebelah lengan Fikar berhasil ditangkap sang pembina yang membantunya agar tidak limbung. Fikar menggumamkan sederat ucapan terima kasih sebelum bergegas melepaskan sikunya dari genggaman pembina teater.

Tiada lagi yang berani menginterupsi cowok itu manakala Fikar dalam sekejap membereskan seluruh barang bawaannya dan berlalu meninggalkan orang-orang, tanpa permisi; tanpa kata selamat tinggal.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Campus Love Story
8312      1901     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Goddess of War: Inilah kekuatan cinta yang sesungguhnya!
7001      1772     5     
Fantasy
Kazuki Hikaru tak pernah menyangka hidupnya akan berubah secepat ini, tepatnya 1 bulan setelah sekembalinya dari liburan menyendiri, karena beberapa alasan tertentu. Sepucuk surat berwarna pink ditinggalkan di depan apartemennya, tidak terlihat adanya perangko atau nama pengirim surat tersebut. Benar sekali. Ini bukanlah surat biasa, melainkan sebuah surat yang tidak biasa. Awalnya memang H...
L for Libra [ON GOING]
7636      1723     8     
Fantasy
Jika kamu diberi pilihan untuk mengetahui sebuah kenyataan atau tidak. Mana yang kamu pilih? Sayangnya hal ini tidak berlaku pada Claire. Dirinya menghadapi sebuah kenyataan yang mengubah hidupnya. Dan setelahnya, dia menyesal telah mendengar hal itu.
The Secret
412      283     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Deepest
1070      640     0     
Romance
Jika Ririn adalah orang yang santai di kelasnya, maka Ravin adalah sebaliknya. Ririn hanya mengikuti eskul jurnalistik sedangkan Ravin adalah kapten futsal. Ravin dan Ririn bertemu disaat yang tak terduga. Dimana pertemuan pertama itu Ravin mengetahui sesuatu yang membuat hatinya meringis.
Intertwined Hearts
1055      563     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Unframed
547      368     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
WEIRD MATE
1571      755     10     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...
FAYENA (Menentukan Takdir)
357      261     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...