Nura harap ini sebatas perasaannya, tatapan orang-orang secara berebutan mengiringi langkah demi langkah lambat perempuan itu. Akibat terlalu larut memikirkan jalan keluar atas bermacam problematik kehidupan di dunia ini, Nura baru terlelap sekitar pukul empat pagi. Makian Nenek Sri disertai gedoran pintu yang diketuk keras-keras menjadi alarmnya pada pukul setengah tujuh lewat dua menit. Tanpa sempat membersihkan diri, Nura buru-buru menyikat gigi, mencuci muka, dan mengganti pakaiannya yang disemprotkan sedikit wewangian dari pelicin pakaian.
Aroma tubuhnya tak separah itu sampai memancing pandangan orang-orang sekitar, bukan? Akan lebih baik kalau tadi Nura menyempatkan mandi barang lima menit. Biar saja terlambat, toh, ia sudah terbiasa diberi hukuman oleh Pak Botak.
“Wah, Ori. Aku bingung apa yang salah dengan hari ini.”
Seorang teman sekelas menghampiri Nura yang baru saja tiba di tempat duduk, diam-diam perempuan itu mencium bau tubuhnya sendiri; harap-harap cemas kalau ternyata lebih parah dari yang ia bayangkan.
“Aku tahu kamu ini cakep, tapi bisa-bisanya kamu terlihat dua kali lebih cantik dengan rambut acak-acakan kayak gitu.”
Sejenak, konsentrasi Nura buyar.
Oh, benar juga.
Kemarin sore, kala ia baru saja merebahkan diri sepulang jaga konter, peristiwa luar biasa terjadi pada wajahnya–semula tak menarik, kini berubah cantik.
Rasanya, sudah lama ia tak mendengar pujian selayak tadi. Kali terakhir mungkin ketika ia masih berada di dunia asal. Pujian lagi-lagi datang dari beberapa anak yang entah kenapa semakin banyak berkumpul mengelilingi mejanya. Nura sampai kesulitan menghadapi perubahan atmosfer yang terlalu tiba-tiba ini.
Masih terang ingatannya ketika Dego terperangah menyaksikan detik-detik perubahan rupa perempuan itu. Cermin retak di dinding kamar menjadi saksi untuk manik kecokelatan Nura yang terbelalak takjub juga ngeri. Kaki-kaki ramping itu tergesa ke rumah Nenek Sri, heboh meminta validasi atas apa yang sedang terjadi, tetapi reaksi wanita paruh baya tersebut sama sekali tidak dapat diterima logika Nura.
“Kamu ini …! Kirain ada apaan sampe sepanik itu, ternyata nanyain hal nggak penting. Dari dulu muka kamu kan begitu. Apanya yang beda? Mending kamu mandi sore dulu sana! Bau!”
Mungkin karena Nenek Sri sudah memasuki masa tua, Nura berpikir penglihatan wanita itu pasti tidak sejernih di masa lalu. Makanya, Nura berlarian ke tempat Kang Iim yang keheranan mengapa ia kembali; bertanya-tanya apakah ada barang yang tertinggal di sana.
Akan tetapi, takdir tampaknya enggan membiarkan Nura menjalani hari-hari penuh kedamaian. Tanggapan Kang Iim tak jauh beda dengan Nenek Sri, menerangkan bahwa penampilan Nura memang seperti itu dari sananya.
“Kang, coba perhatiin sekali lagi. Lihat baik-baik.”
“Aduh, Neng. Udahan ah, nyerah saya mah.” Kang Iim kepayahan meloloskan diri dari rajukan Nura. Lebih dari belasan kali, perempuan itu menyuruh Kang Iim menelisik setiap sudut wajahnya, bahkan hingga pori-pori. “Dibilangin si Eneng mah geulis ti baheula. Atuh saya harus ngomong apalagi?”
“Tapi nggak mungkin, Kang.” Nura bersikeras meyakinkan si pria berpeci miring. Kini perempuan itu mengekori pergerakan Kang Iim yang coba-coba melarikan diri ke dalam rumah. “Tadi tuh aku masih jerawatan parah dan merah mateng banget, berminyak pula, terus alis aku harusnya cuma setengah, belum lagi kulit aku kan kusam kebangetan.”
“Ih, si Eneng mah ngomongnya aneh-aneh wae. Mana ada atuh Neng Ori pernah kelihatan kayak begitu.” Kang Iim pasrah saja disudutkan hingga rasa penasaran Nura hilang. “Kamu teh jangan suka merendah untuk meroket, Neng. Bikin eneg yang denger tau.”
“Lah, siapa juga mau begitu, Kang!”
Astaga. Astaga. Astaga.
Nura bahkan tidak tahu bagaimana cara ia harus menjelaskan situasi ini. Perubahan besar-besaran pada fisiknya jelas terjadi dalam selewat mata, tetapi orang-orang justru menanggapinya seolah Nura mengatakan hal gila. Seakan-akan tampak luar Nura yang tidak sedap dipandang sebelumnya, tiada pernah terealisasikan.
Begitu pula teman-teman di sekolah, tak terlontar secuil pun pertanyaan tentang perbedaan fisik Nura kemarin dengan hari ini. Decak kagum justru nyata mereka pamerkan, memuja wujud luar Nura dari ujung kaki hingga kepala. Bukannya senang, situasi ini benar-benar menyelimuti setiap jengkal tubuh dengan lembar-lembar kekhawatiran; menerka-nerka tentang perjalanan takdirnya pada waktu-waktu setelah ini.
“BUAHAHAHA!!!”
“BUSET!”
“APA-APAAN TUH KEPALA?”
“TELOR CEPLOK, YA?!”
Gema sukacita sontak menggaung layaknya paduan suara, menggeser paksa kekalutan yang menggerogoti benak Nura. Pada ambang pintu kelas, tampak Fikar teronggok manyun memegangi puncak kepalanya yang telah kehilangan mahkota.
“Akhirnya, ketahuan Pak Tono juga lu?!” tebak seseorang, segera menghampiri Fikar bersama gerombolan murid cowok lainnya. “Gokil, tapi ini bertahan lebih lama dari yang gue kira sih.”
Pak Tono, dikenal dengan julukan Pak Botak, terpaksa meloloskan Fikar dari razia rambut selama tour pementasan teater masih berlangsung. Setelah lebih dari seminggu berhasil diakali oleh cowok itu, Pak Tono pasti sangat murka ketika tahu bahwa pementasan keliling itu telah lama usai. Wajar saja apabila surai panjang Fikar yang badainya mengalahkan bulu-mata-cetar-membahana Syahrini raib dalam hitungan detik.
Hasil cukurannya jauh dari kata rapi, mirip bercak-bercak hitam pada tembok lembap akibat air hujan, hanya saja ini lebih berbulu. Akan tetapi, hal itu tidak cukup mampu menurunkan tingkat kepercayaan diri Fikar yang tetap berani masuk kelas lalu menghebohkan semua orang.
“Pfffttt–” Nura yang tadinya dirundung rasa kalut, bahkan tak kuasa menahan tawa.
Fikar menangkap suara perempuan itu, lekas berjalan mendekat, dan menaruh tasnya di atas meja; samping Nura. “Kagak usah ketawa lu,” protesnya.
Yang malah membuat Nura semakin terkikik geli. “Mirip tuyul, tapi pitak, hahaha.”
Untung Fikar tipikal yang tidak lekas tersinggung. Adem ayem saja ikut terkekeh seraya sesekali melontarkan rasa keberatan. Namun, kehangatan atmosfer kontan berhenti kala cowok itu tersadar akan sesuatu dan mengucapkan sebaris pertanyaan, “Wey, Ori, kok bisa?”
“Bisa–pfffttt–apanya?” tanggap Nura, masih kesulitan mengendalikan gelak tawa.
“Muka lu … rahasianya apa? Kemarin masih breakout parah, ‘kan? Kok sekarang bisa semulus ini dah?!"
Gesit membanting pandangan, Nura refleks meraih lengan Fikar; menariknya dalam satu entakan, memaksanya duduk, mencengkeram kuat setiap pundak, menatap legam cowok itu lekat-lekat. “Barusan kamu bilang apa? Coba ulangi!” titahnya penuh harap.
Sekilas, Fikar kentara keheranan, tetapi ia tetap menuruti permintaan Nura. “Muka lu ... kemarin kan masih–argh!”
Suara denging seketika menyusup ke ruang pendengaran Fikar: tinggi, tajam, dan sangat nyaring. Bukan sekadar bunyi, tetapi seperti ada jarum-jarum halus menusuk langsung ke pusat telinga, menembus kerangka, lalu meledak dalam hening yang begitu menyiksa.
“Fikar? Hei, kamu kenapa?!”
Dunia di sekeliling cowok itu seakan meredam, kehilangan volume, termasuk suara Nura yang terdengar seperti teriakan dari bawah air; tenggelam dilahap gelombang. Fikar gesit beranjak hingga kursinya terdorong ke belakang, nyaris jatuh. Kedua tangan cowok itu naik, merenggut daun telinga, memerasnya sekuat tenaga. Akan tetapi, denging itu tak juga pergi; semakin mengamuk, memorakporandakan isi kepalanya dari dalam.
Manakala tubuh Fikar terhuyung, sebelah tangan Nura spontan terulur, mencoba menahannya. Namun, bobot Fikar terlalu berat, hampir saja Nura akan terbawa jatuh kalau saja sebuah tangan lain tidak cepat hadir, menambah kekuatan pada pegangan Nura, lalu bersama-sama menuntun Fikar agar duduk bersandar pada tembok belakang kelas.
Nura kini mengguncang-guncang tubuh Fikar yang semakin melemah, mengesampingkan pegangan Dego yang tadi membantunya. “Hei, kamu dengar aku? Fikar! Coba lihat aku,” titahnya frustrasi.
Selagi Nura terus berupaya menyadarkan cowok itu, Dego justru terpaku oleh hal lain. Rasanya aneh karena tidak ada satu pun yang mencoba membantu Nura sekarang, paling tidak, ikut berteriak panik walau tak tahu harus berbuat apa. Namun, kejanggalan itu berubah wajar ketika atensi Dego merekam pemandangan sekitar.
Seolah waktu dipaksa membeku; semua orang di ruangan itu berhenti bergerak, termasuk jarum jam dinding. Entah sejak kapan seluruh warna berubah menjadi monokrom, terkecuali Nura, Dego, dan Fikar–tubuh cowok berikat kepala itu berkedip-kedip antara berwarna atau tidak.
“Fikar!” pekik Nura yang lantas mengembalikan pergerakan waktu. "Kamu udah sadar?!"
Dego menoleh, mendapati Fikar tampak linglung namun membaik.
“Lho, kok gua di bawah?” tanya cowok itu.
Nura mendengus lega. “Tadi kamu kesakitan, nyaris pingsan.”
“Gua? Kesakitan?” Fikar menunjuk dirinya sendiri. “Kapan? Ketiduran kali.”
“Nggak, tadi kamu beneran kesakitan setelah komentar tentang muka aku.”
“Muka lu ...?”
“Iya, kamu bilang–“
“–oh! Gua tahu.”
Sepercik harapan tumbuh di benak Nura, menantikan cowok itu agar segera melanjutkan perkataannya.
“Gua kan tadi nanya, kok bisa sih lu cakep mulu tiap hari? Apa rahasianya?”
**
“Fik! Oper sini!”
Kegiatan anak-anak cowok saat jam istirahat memang tak pernah lepas dari satu benda, yaitu bola. Lebih sering bola sepak, tetapi kali ini mereka lebih memilih basket. Meskipun langit telah menggelap dan rintik-rintik hujan mulai turun, ternyata tak cukup menyurutkan jiwa-jiwa para lelaki untuk menikmati masa muda mereka.
Sorak-sorai penonton dadakan di pelataran kelas-kelas meramaikan area lapangan basket. Dari empat quarter yang dibagi menjadi sepuluh menit per sesi, mereka menyanggupi tawaran anak kelas XII yang kebetulan lewat dan iseng-iseng menganjak tanding. Sial sekali, bola lagi-lagi dikuasai oleh tim lawan. Masing-masing pemain berupaya keras merebut bola tersebut, hingga kesempatan terjadi saat salah seorang murid XI SOSIAL 1 berhasil menciptakan suasana satu lawan satu untuk mengambil alih penguasaan bola.
Dipayungi cakrawala yang kian tertutupi pundi-pundi awan hitam, orang itu berlari sembari menggiring bola menuju ring lawan. Akan tetapi, lagi-lagi penjagaan ketat datang kepadanya. Gawat, ia tak bisa terlalu lama memegang bola. Lalu di tengah-tengah ketegangan, terdengar teriakan penuh percaya diri dari belakang.
"YO, BROTHER! DI SINI!"
Fikar berlari secepat kilat dan melompat tepat ke dekat ring. Si pemegang bola tanpa pikir panjang melemparkan bola basket ke arah si cowok berikat kepala yang kontan menerima bola tersebut dan menembakkannya ke ring lawan.
Bersamaan dengan bola yang seakan melambung dengan ritme lambat, guyuran hujan mengiringi kegagalan tembakan itu lantaran bola terpantul dari pinggiran ring. Fikar tertawa renyah sembari ikut berbondong-bondong menepi sesaat para guru memekik meminta mereka berhenti.
“Augh! Gerah!” Fikar lanjut memasuki kelas dan duduk di salah satu meja barisan depan dekat pintu masuk. Wajahnya agak memerah disertai keringat yang tercetak jelas di balik seragam. Di luar duga, cowok itu santai melepas bajunya yang ia sampirkan ke sebelah pundak. “Haus parah, minum gua abis lagi,” keluhnya.
Para murid laki-laki yang tadi ikut bertanding serempak menganggukkan kepala selagi mereka tidur telentang bak ikan pepes pada kesejukan lantai. Di luar masih hujan, sulit pergi ke kantin atau koperasi tanpa kebasahan di saat tenggorokan sudah meraung-raung kekeringan.
“Oi, Ori!” Panggilan lantang itu berhasil meredam ricuh suara orang-orang, melawan deras air hujan yang terdengar semakin kencang. “Bawa minum, kagak? Bagi dong!” pinta Fikar seraya berjalan menghampiri tempat duduk perempuan itu.
Tak ada niatan menanggapi, Nura tertegun menyaksikan cowok berikat kepala itu santai menepuk lengannya, memberi kode persis orang kehausan, dan melirik botol air mineral di sisi tas perempuan itu. Tanpa menunggu respon dari si empunya, Fikar seenak jidat menengak setengah bagian air itu lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Ungkapan terima kasih disertai senyum cengengesan cowok itu pamerkan, sedangkan Nura masih terdiam merenungkan sesuatu.
Kejadian tadi mirip sama salah satu adegan dalam novel, batinnya. Namun, ada sedikit perbedaan, seharusnya cowok itu meminta minum kepada Mahda, bukan Nura.
“Woy! Woy! Woy!” Seseorang nyaris terpeleset di luar kelas, lalu cepat mendapatkan keseimbangan sebelum membawa kabar menghebohkan. “Kalian udah dengar, belum? Katanya hari ini si Mahda udah masuk!”
Nura terlonjak. “Demi apa? Seriusan?”
Murid pembawa kabar itu mengangguk. “Ternyata dari pagi dia udah dateng, tapi langsung dipanggil ke ruang guru.”
Belum sempat kaki Nura melangkah guna memastikan hal tersebut, sebaris pernyataan dari siswa lain lebih dulu menarik perhatiannya.
“Ah~ gara-gara kasus itu, ya?”
“Iyalah, apaan lagi?”
“Wah, parah banget sih itu.”
“Pantesan aja rumahnya kebakaran.”
“Curiga sih, itu kayaknya ada yang sengaja ngebakar.”
“Karena dendam?”
“Yoi~”
“Nggak anak, nggak bapak, bisanya cuma ngerugiin orang.”
Bukan hanya Nura, tetapi Fikar yang ada di kelas itu pun gagal mengerti atas percakapan anak-anak kelas barusan. Usai mengenakan kembali seragamnya, Fikar mendekati para tukang gosip tadi sembari jenaka berkata, “Aduh, ibu-ibu ini, lagi pada ngebahas apa sih? Kok gua kagak paham, ye?”
Nura mengangguk tanpa memberi kalimat tambahan, kepalanya sibuk mengingat-ngingat apakah ada adegan semacam ini di dalam novelnya.
“Lah, kalian emang nggak masuk grup yang baru? Di situ kan rame ngomongin kasus si Mahda.”
“Fakir kuota kayak si Fikar mana mungkin baca grup. Pesannya nyampe aja udah syukur kali.”
Refleks menempeleng kepala orang yang berbicara tadi, Fikar beralibi kalau ia terbiasa memakai Wi-Fi di rumah, jadilah di luar lingkungan itu ia jarang memeriksa ponsel lantaran disibukkan bermacam kegiatan. Sekilas cowok itu teringat ia sempat menerima notifikasi ajakan bergabung ke “Grup Tanpa Mahda” yang kontan ia mute sebab terlalu sering muncul di layar kunci. Memang Fikar tak begitu mengikuti berita tentang gadis itu, tetapi agaknya ia paham akan situasi yang terjadi.
“Intinya, si Mahda ketahuan selama ini diem-diem ngambil kunci jawaban ujian dari ruang guru.”
“Aish, pantesan aja nilai dia bagus melulu.”
“Tukang nyuri ternyata.”
Mereka mempertunjukkan video anonim hasil rekaman CCTV yang menangkap aksi pencurian Mahda di ruang guru, juga beberapa laman situs berita perihal kasus penggelapan dana ayah gadis itu. Kalau bukan terus didesak oleh mereka, Fikar mana mungkin tertarik mengurusi problematik orang lain. Sepanjang itu tak berkaitan dengannya, suka-suka mereka saja ingin menghabiskan jatah hidupnya seperti apa. Paling tidak, itu berlaku sampai manik legamnya seakan bergemuruh manakala setumpuk praduga orang-orang memenuhi kolom pesan dan komentar.
“Mukanya doang kalem. Aslinya mah busuk, hahaha.”
“Hasil didikan bapaknya tuh, sama-sama sukanya ngambil hak orang lain.”
“Kalau sampe UAS nanti dia masih peringkat satu, bener-bener sih itu.”
“Gila. Gila. Gila.”
“Tapi bisa aja, wey. Asal ada duit mah, apa aja bisa dilakuin.”
Di sisi lain, Nura buru-buru mengeluarkan ponselnya sendiri dan mencari-cari grup pesan berkata kunci Mahda. Ada, grup yang mereka maksud benar-benar ada. Dalam keterangan, grup itu dibuat sejak satu bulan lalu. Setelah beberapa kejadian, Nura meyakini grup itu tiba-tiba saja muncul tanpa direncanakan, menyalahi alur cerita yang semestinya.
“Eh, tapi denger-denger si Mahda suka banget pulang tengah malem?”
“Hah? Demi apa sih?”
“Emang bener kali, tetangga dia kan kenalan ibu aku.”
“Lah, tapi dia kan selalu pulang pas bel baru banget bunyi.”
“Waduh, ngapain tuh pulang malem-malem …?”
“Jangan-jangan ….”
“Jangan-jangan apa hayo ….”
“Hmm, tampaknya kita semua sepemikiran, kekekekeke.”
Hal yang semula disertai fakta berkembang menjadi dugaan-dugaan tak berdasar hasil perpaduan opini orang-orang. Nura gagal mengerti mengapa kasus pencurian kunci jawaban itu bisa berakhir menjadi isu baru tentang Mahda yang katanya berprofesi sebagai simpanan om-om berduit kenalan ayahnya.
Tak kuasa membaca lebih jauh, pikiran Nura hanya tertuju pada satu hal: mencari Mahda. Kalau memang Mahda telah tiba sejak pagi, selama apa pun para guru melakukan sidang, sepertinya tidak akan lebih dari setengah hari.
Langkahnya cepat menyusuri lorong sekolah, menjejaki genangan di beberapa titik, membasahi ujung rok seragam akibat cipratan air yang ia pijak. Hujan mengguyur kian deras, menabuh atap dengan irama yang menggema di antara tembok-tembok tua. Beberapa anak tertawa di kejauhan, bersukacita di bawah hujan, mengundang omelan beberapa guru yang lewat secara kebetulan. Basah kuyup, tetapi menguarkan atmosfer kebebasan.
Namun, Nura tak sempat memperhatikan mereka. Matanya sibuk menelusuri setiap wajah, melawan pacuan detak yang berdegup semakin cepat.
Sepintas, perempuan itu melewati seseorang dari arah berlawanan. Nura lanjut berjalan, beberapa meter, lalu berhenti mendadak. Ada sesuatu yang mengganjal ruang pikiran.
Gestur itu ... postur tubuh itu ....
Nura berbalik. Aliran napas terasa lebih berat, sebelah tangan terangkat tanpa rencana. “Mahda?” panggilnya—setengah yakin, setengah ragu. Suaranya menembus hujan dengan nada yang menggetirkan udara.
Sosok itu berhenti, menoleh perlahan.
Bersama dingin yang merasuk ke dalam kulit, Nura merasakan seluruh bulu kuduknya menegang, mengepalkan uluran tangan yang terasa beku; menolak pemandangan yang terpampang nyata di depan matanya.
“Mahda,” lirihnya. Kenapa ….
Wajah yang seminggu lalu masih begitu cantik dan manis, telah kehilangan sinarnya; tampak kusam. Pipi yang sedikit tembam berubah tirus, terlalu kurus. Mata bulatnya dihiasi lingkaran suram seperti orang yang tidak pernah istirahat dengan tenang. Bintik-bintik hitam mewarnai beberapa bagian rupa, menyebar seperti bekas cacar. Surainya berantakan, seragamnya kusut, dan ada guratan putus asa melapisi binar matanya.
Lantaran Nura tak kunjung bicara, Mahda berniat melanjutkan langkah.
“T-tunggu–“ tahan Nura meski tidak tahu harus berkata apa.
Mahda bertahan pada kebungkaman, sementara bibir Nura ragu-ragu terbuka sebelum cepat tertutup kembali. Pelik memenuhi kepala, mendorongnya tanpa sadar mengulas lengkung ke atas–formalitas.
“Aku senang ngelihat kamu di sekolah hari ini,” kata Nura.
Satu detik, senyuman di wajah sang penulis menghilang tatkala sadar dialog tadi terdengar familiar.
“Omong kosong.” Itulah kata pertama yang keluar dari Mahda, maniknya menyorotkan rasa muak yang teramat kuat. “Nggak usah sok peduli, kamu bilang gitu cuma biar keliatan baik di depan banyak orang, ‘kan?”
Nura menahan napas.
Sekuensnya … terulang.
***