Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

"Kalian kembar, ya?”

Sudah dapat diduga itulah kalimat pertama yang ditanyakan seorang mentor yang menyambut kedatangan mereka bertujuh, pada pukul delapan pagi hari ini. Pertanyaan ditujukan langsung pada Kama dan Jaya tepat seusai mereka berdua memperkenalkan diri, pertanyaan template yang ditanyakan semua orang.

 

Si kembar terusik, “Tuh kan, tuh kan!” dalam hati mereka langsung menggerutu.

“Wuidih, pinter masnya … padahal udah beda loh bajunya?” seloroh Ren.

“Emang saya nggak bisa lihat itu muka??” ujar mas mentor sewot.

“Ha-ha-ha …!” Ren tertawa sembari menggaruk kepala.

“Kamu beneran anak magang?” tanya mas mentor lagi, kali ini ditujukan pada Ren yang masih menyisakan tawa. Ren mengangguk antusias. Mas mentor gantian menggaruk kepala. Dalam hatinya berujar sendiri, anak magang kali ini masih seperti murid baru di SMA. Apa mereka mampu, ya? Risaunya dalam hati.

 

“Memang kenapa, Mas?” tanya Ren melihat gelagat meragukan di diri mas mentor.

“Kamu lihat kami seperti bayik ya, Mas?” timpal Petra ketus.

“Enggaaak, mana ada bayik bisa ngebut!” Mas mentor tak kalah ketus.

 

Petra memiringkan kepalanya sejenak, bagaimana mungkin mas mentor yang bermulut pedas ini dapat mengetahui, empat motor tadi terburu-buru di jalan karena takut terlambat.

 

Mereka bertujuh saling berpandangan, mencoba mengingat-ingat apa tadi bertemu mas mentor di jalan. Tiba-tiba Galang menyikut Ren keras, berbisik-bisik menunjuk jendela. Semua orang mengikuti arah yang ditunjuk Galang, dan mereka mengerti sekarang. Dari jendela terlihat parkiran mobil pada halaman kantor. Ketujuh bocah itu menemukan mobil merah yang mereka kenali sebagai mobil yang memberi klakson kepada mereka berkali-kali. Sekarang tahu sebabnya mengapa arah mobil tersebut sejalan dengan tujuan mereka. Mobil yang jelas lebih dulu sampai ke kantor setelah ugal-ugalan menyalip motor mereka, ternyata milik mas mentor.

 

Ren menepok jidat. Ingat betul tadi sempat memberikan jari tengah pada orang di belakang setir mobil merah.

 

“Bi-bisa saya jelaskan Mas … eh,” ucap Ren salah tingkah.

“Defa, namaku Defa,” Mas mentor yang ternyata bernama Defa itu mengulurkan tangan hendak menyalami Ren.

 

Ragu, Ren menerima uluran tangan itu dan … “Eit, ugh …!” pekiknya.

Mas Defa mencengkeram kuat telapak tangan Ren, enam orang lainnya sampai panik tapi tak tahu harus berbuat apa. Untunglah hanya sebentar, selanjutnya Mas Defa terkekeh senang.

“Makanya, masih bocah kalau di jalan jangan belagu!” serangnya pada Ren. Wajah Ren meringis, mengaduh.

“Ma-maaf Mas Defa, saya nggak tahu kalau Mas yang berada dalam mobil merah tadi,” ujarnya berkilah.

“Terus, kalau bukan saya … emang boleh berbuat kasar di jalanan macam itu??” tanya Mas Defa membalikkan alasan Ren.

“Iya, Mas tidak,” ujar Ren menunduk.

 

Seluruh tim tujuh akhirnya meminta maaf pada Mas Defa. Sungguh awal hari yang ribut. Hari pertama magang, seharusnya semua berjalan normal, seandainya tidak ada acara berkumpul dulu di sekolah lalu berangkat  bersama-sama. Vanila dan Chiya bermaksud membonceng Ren dan Petra, sedangkan si kembar meributkan penampilan agar terlihat berbeda.

 

Jarak antara sekolah menengah seni rupa dan studio animasi itu sendiri lumayan jauh, terlebih di jam berangkat kantor yang teramat sibuk. Sarapan serta sibuk berdandan akhirnya membuat mereka terlena dengan bergulirnya waktu. Saat Chiya meneriakkan, hampir pukul delapan pagi, barulah mereka semua panik dan kalang kabut. Ngebut di jalan, berteriak, kasar dengan kendaraan lain menjadi luapan emosional, bukan hanya Ren, si kembar, tetapi juga Galang dan Petra.

 

Semesta seolah telah mengatur segalanya, tak dinyana justru pertemuan pertama dengan mentor yang akan membimbing kerja magang terjadi di jalanan yang penuh gejolak emosi darah remaja.

 

“Sudahlah, kita lupakan saja kisah kita di jalan tadi. Saya juga minta maaf ya, sempat terpancing emosi tadi …!” Mas Defa berjiwa besar memilih untuk meminta maaf pada tujuh remaja magang di hadapannya itu.

Mereka semua tersenyum lega, “Maaf-maafan kayak lebaran aja!” seloroh Vanila tertawa.

Petra tersenyum kecut, Vanila perlu diajarkan lagi sopan santun bercanda dengan bos di kantor, yeah … bagaimanapun Mas Defa sekarang adalah bos mereka. Suka atau tidak suka, kesan pertama telah tergambar di benak bos baru mereka. Untunglah rasa-rasanya Mas Defa pun mengerti bagaimana cara bekerja sama dengan murid kelas sebelas, tentunya dia akan memberlakukan mereka sebagai anak di bawah umur, betapapun songongnya para remaja tersebut.

 

Kegiatan selanjutnya, Mas Defa benar-benar menaggalkan mulut pedasnya. Ia bersikap profesional. Melakukan briefeng di awal kegiatan, membagi tugas-tugas untuk mereka bertujuh sesuai kapasitas ilmu yang terlihat menonjol pada masing-masing anak.

 

Membawa mereka ke sebuah ruangan dingin dengan meja dan kursi bersekat. Mempersilakan anak magang tersebut berkenalan dengan pegawai-pegawai yang sibuk di balik komputer masing-masing. Untungnya lagi, tak ada senioritas di studio animasi ini. Semua fokus pada target deadline sehingga tak mampu memikirkan hal lain, selain waktu istirahat yang dimanfaatkan dengan baik untuk mengisi asupan bagi tubuh.

 

Petra bisa bernapas lega, karena dirinya tak diperlukan sebagai tim ngerender di awal magang. Sebab selain kerja magang, tim tujuh pun harus tetap merampungkan tugas film animasi yang tertunda untuk sementara waktu.

 

“Loh, kita semua membuat desain karakter Mas?” tanya Vanila tak percaya. Membelalakan mata pada tugas-tugas yang diberikan Mas Defa barusan. Sekilas sempat merasa menyepelekan tugas yang diberikan, karena telah terbiasa merampungkan tugas yang lebih berat dari Bu Neena.

 

“Yeah, sementara waktu ini kalian bantu saya di buku cerita anak, nanti ada yang kebagian coloring juga finishing-nya,” ujar Mas Defa lagi.

 

Semua mengangguk setuju. Tanpa penolakan langsung mengambil sikap duduk dan fokus pada pekerjaan masing-masing. Kama dan Jaya pun merasa lega karena di ruangan ini sama sekali tak ada orang yang menaruh perhatian khusus atau bercanda mengenai wujud kembar mereka.

Saat istirahat tiba, Vanila sibuk berbisik-bisik di telepon. Mengabarkan pada Bu Neena bahwa mereka telah diterima dengan sangat baik oleh Mas Defa. Tentu saja Vanila tak melaporkan apa yang terjadi di awal pertemuannya dengan Mas Defa.

 

Posisi menelepon Vanila dekat dengan Pantry. Melekat pada dinding seperti cicak yang siap merayap. Sesekali bahkan sembari berbicara dengan Bu Neena di sambungan telepon, tangan Vanila berulah tanpa sadar, mencongkel-congkel serpihan cat tembok yang mengelupas. Beberapa kakak-kakak pegawai melewati Vanila dan beraktifitas di pantry, lalu tak lama kemudian harum semerbak aroma mi instan menggoda hidung Vanila, perutnya mendadak konser dengan keras.

 

“Ups!” serunya memegangi perut, malu. Kakak pegawai yang tengah mengaduk mi dalam mangkuk jago tersenyum.

“Mau?” tanyanya pada Vanila.

Vanila meringis, kalau sudah kenal lama pasti ingin mencicip. “Enggak, Kak. Nanti makan rames aja,” jawabnya menyeringai, “kok nggak makan nasi aja Kak?” tanya Vanila kepo.

“Mana sempat, klien udah nunggu-nunggu,” alasan Kakak pegawai itu sembari menyeruput mi panasnya cepat-cepat.

 

Vanila keluar dari pantry dengan rasa penuh kasihan pada kakak pegawai tersebut, jadi beginikah dunia kerja … terkadang untuk sekadar waktu makan saja harus memastikan dulu apakah pekerjaan sudah beres atau belum. Vanila termanggu-manggu sendiri memikirkan yang baru ia ketahui tentang cara kerja di kantor.

 

“Tergantung jenis pekerjaannya sih Pan,” ucap Galang menenangkan Vanila, saat gadis yang menyukai jepit pita di rambut itu mengadukan hal yang baru ia temui di pantry tadi.

“Jadi kakak itu hanya makan mi?” tanya Jaya memastikan.

“Yeah.” Vanila mengangguk. Kama yang hendak ikut menimpali mengurungkan niatnya, pandangannya tersita pada Vanila yang mengangkat tangan membetulkan pita rambutnya. Baru kali ini Kama merasa Vanila cantik. Biasa melihatnya mengenakan seragam sekolah membuat Kama tak sadar jika cantiknya Vanila di atas rata-rata.

 

Sementara di meja yang berbeda, duduk Ren yang fokus pada nasi ayamnya. Dihadapannya duduk Petra yang juga terdiam. Biasa makan dengan cepat, Petra selalu lebih dulu merampungkan makan siangnya.

 

“Ada yang menganggu pikiranmu Ren? tanya Petra menyelidik. Ren meneguk es tehnya dan menggeleng lemah. Melihat reaksi Ren yang begitu, Petra sudah tahu pasti ada yang mengganjal di hati. Sayangnya jam makan siang berakhir. Benar juga ucapan Vanila. Jam makan siang akan terasa begitu cepat, sehingga kakak pegawai yang bekerja lama di studio animasi memilih untuk memasak mi sendiri di pantry. Lebih cepat lagi bahkan bila yang dibutuhkan hanyalah menyeduh produk makanan cepat saji dengan air panas.

 

Mereka bertujuh kembali bergelud dengan banyaknya hal baru yang ditugaskan Mas Defa. Bu Neena masih rajin memantau lewat wathsapp Vanila. Padahal Ren ketua kelompoknya, tetapi rupanya Bu Neena lebih luwes jika berkomunikasi dengan Vanila. Ren tak menampik ini karena ulahnya di masa lalu. Sering mengecewakan Bu Neena karena mengabaikan pesan darinya. Ren sebetulnya juga tak mau mempunyai sifat mudah tersinggung atau bisa dibilang ngambekkan. Buat orang lain sebal, bahkan dirinya sendiri pun kesal.

 

Pukul lima sore, Mas Defa mengumumkan jam pulang bagi anak magang. Sementara pegawai tetap, meneruskan pekerjaannya yang diburu waktu deadline―lembur.

 

Vanila jadi memikirkan nasib kakak pegawai tadi siang. Apakah untuk makan malamnya ia akan menyeduh super bubur atau semangkuk pop mi?

 

“Pan, kita harus mampir sekolah dulu!” tepukan di bahu dari Chiya mengagetkan Vanila. Loading sebentar karena tak mengerti untuk apa harus kembali ke sekolah.

 

“Pameran lorong, kita ‘kan mau lihat tim animasi tampil,” kata Chiya mengingatkan. Vanila menabok jidatnya sendiri. Baru ingat janji mereka tadi pagi pada teman-teman sekelasnya yang malam ini akan menampilkan band di panggung pameran lorong.

 

Chiya dan Vanila lantas mendiskusikan dengan teman lainnya. Kama dan Jaya menyanggupi untuk mengantar Chiya dan Vanila, “Tetapi kurang satu motor lagi,” ujar Kama.

 

Galang terlihat bimbang, sebelum akhirnya mengulurkan kunci motornya pada Kama, “Ambil ini … sebenarnya sih malam ini seharusnya aku mengantar ibuku ke tempat penjahit seragam TK.”

 

“Kalau gitu, Kama pakai motorku saja, Lang!” Ren menengahi. Dengan cepat menyelipkan kunci motornya di genggaman Kama. Tersenyum menyeringai membalikkan badan, menuju Petra yang telah memakai helm tertutup. Menepuk bahu Petra dan mengatakan,-

“Kamu antar aku pulang, Ya? Kama bawa motorku kembali ke sekolah!” seru Ren.

“Memang ada apa?” tanya Petra bingung.

“Nanti malam band animasi manggung,” bisik Ren di telinga Petra yang baru saja mencopot helmnya.

 “Ya sudah. Kamu bonceng ya, Ren,” ucap Petra.

“Oh, tidak bisa, aku depan!” cetus  Ren, ditariknya ransel Petra agar Petra mundur duduk ke belakang.

“Okay, jangan ngebut ya, Ren?” pinta Petra memohon. Ren hanya terkekeh. Mengambil tangan Petra dan menyuruhnya memegang pinggangnya.

 

Motor mereka melaju pergi, meninggalkan tatapan bengong teman-temannya menyaksikan adegan akrab antara Petra dan Ren yang jarang terjadi.

 

“Biasanya kayak Tom and Jerry,” ujar Jaya dibenarkan oleh lainnya.

***

 

Lagi-lagi Ren tidak menepati janjinya, deru angin membawa adrenalinnya meliuk-liuk cantik di jalan yang ramai. Ren berdalih menghindari macet jam pulang kerja. Petra tak menggubris, untung saja kali ini Petra menggunakan helm SNI bukan helm batok yang membuat rambutnya berubah menjadi sarang burung dan pipinya sedingin pipi penguin.

 

“Mampir sebentar Ren, di alun-alun kota!” teriak Petra membuka kaca helmnya. Tangannya menarik-narik ujung hoodie Ren.

 Ren menoleh mengangguk. Si empunya motor memiliki rencana, ia harus mendengarkan. Dengan arahan dari Petra akhirnya motor yang membawa mereka berdua berhenti di parkiran sebuah kedai cokelat. Kedai itu menjual baik minuman cokelat hangat maupun dingin. Untuk menikmatinya bisa mencelupkan roti manis ke dalamnya. Roti tersebut gratis, tapi tiap satu gelas hanya boleh satu roti. Kecuali menambah membayar.

 

Kata Petra ia menjanjikan es cokelat dan roti manis untuk adik-adiknya di panti.

“Kamu mentraktir mereka semua?” tanya Ren takjub.

“Hanya untuk sepuluh anak yag sudah besar, Ren. Yang masih bayi belum boleh!” ujar Petra sembari sibuk memesan.

 

“Nah, untukmu juga kutraktir, Ren!” serunya girang. Ren kaget, tapi senang. Tak lupa mengucapkan terima kasih untuk Petra yang mau mengantarnya pulang ditambah mentraktir es cokelat.

 

Mereka duduk di sudut ruang. Pada dindingnya penuh dengan kertas warna-warni yang diperuntukkan bagi pengunjung kedai menuliskan apa apun keinginannya.

 

Petra menuliskan sesuatu di kertas Pink, dan memberikan kertas hijau untuk Ren. Mereka berdua tertawa dan tak mau saling membagi apa yang dituliskan. Kemudian menempelkannya sangat berjauhan.

 

Baru habis setengah gelas, Petra kembali menanyakan hal yang tadi siang ia tanyakan pada Ren saat makan siang di warung nasi.

“Jadi, kamu merisaukan apa?” tanya Petra langsung, tanpa basa-basi.

“Terlihat jelas, ya?” Ren menyeringai.

“Iyah,” ucap Petra lirih.

Ren mengaduk sisa-sisa cokelat yang mengendap di dasar gelas. Menimbang-nimbang apa akan menceritakan gelisahnya pada Petra atau tidak, toh Petra telanjur mengetahui, bagaimana hubungan Ren dengan ayahnya.

 

“A-aku takut, kejadian tadi pagi membuatku kecewa pada diriku sendiri. Ternyata sekasar itu diriku di penilaian orang lain.”

“Mas Defa?” Petra memastikan. Ren mengangguk.

“Aku sangat membenciku ayahku yang kasar, tetapi tanpa disadari aku justru meniru sikap kasarnya. Arogan, songong di jalan.” Ren menunduk. Kembali ditatapnya Petra dengan kedua mata yang memanas.

“Aku tak mau jadi seperti ayahku,” desisnya.

 

Hari telah gelap ketika laju ban motor Petra kembali melaju di jalan. Meninggalkan dua kertas yang mereka tempelkan di dinding. Pada kertas pink bertuliskan “Semoga harapan Ren terkabul.” dan pada kertas hijau bertuliskan “Semoga harapan Petra terkabul.”

****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tumpuan Tanpa Tepi
11347      3140     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
in Silence
470      335     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
CHERRY & BAKERY (PART 1)
4301      1157     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Cinta Pertama Bikin Dilema
5224      1434     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
G E V A N C I A
1164      638     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Metanoia
50      43     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
When Flowers Learn to Smile Again
995      724     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
The Second Lady?
453      327     6     
Short Story
Tentang seorang gadis bernama Melani yang sangat bingung memilih mempertahankan persahabatannya dengan Jillian, ataukah mempertahankan hubungan terlarangnya dengan Lucas, tunangan Jillian?
Kertas Remuk
139      112     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Surat untuk Tahun 2001
5416      2199     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...