Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

Mematung. Itu yang dilakukan Ren di pagi ini. Lukisan mural Gojo Satoru karya Galang dan teman lainnya menjadi sasaran tatapan kebingungan. Bel masuk sekolah pasti sebentar lagi berdering. Setelah usai UTS tidak akan ada pelajaran selama seminggu, tapi Bu Neena pasti mendatangi kelas Animasi untuk mengecek sejauh mana progres film animasi dibuat.

 

Penuh pertimbangan, tetapi akhirnya langkah kaki Ren mulai memasuki kelas yang telah ramai. Sekilas Ren mendengar pokok pembahasan mereka masih tetap sama, tentang art style yang menjadi ciri khas. Anak-anak memang sering begitu, belum ada penjelasan resmi dari Bu Neena mengenai penugasan magang, tetapi semua telah heboh, akibat Vanila yang tanpa pikir panjang menyebarkan hal yang belum pasti.

Ren menyapa beberapa teman yang menyadari kedatangannya, sementara beberapa teman lainnya tengah mengerubungi meja Vanila. Termasuk Kama, Jaya, Petra dan Chiya. Ren membetulkan hoodie cap agar lebih banyak menutupi wajahnya. Namun, terlambat Ren tak bisa menghindar dari lirikan curiga Petra. Ren mencoba menyapa dengan santai, tetapi Petra langsung berdiri dan menurunkan hoodie cap di atas kepala Ren. Memegangi pipi  Ren cepat disertai bunyi mengaduh dari Ren yang kesakitan.

“Bengkak, Ren. Anak mana yang berbuat begini?!” tanya Petra penuh emosi. Vanila dan Chiya memekik terkejut. Anak lain yang tidak memperhatikan jadi turut berdiri dan mengamati. Ren tak suka menjadi pusat perhatian. Tak ingin merusak pagi cerah kelas animasi dengan cerita dukanya. Yeah, duka untuk Ren. Tak ada yang perlu dibanggakan dari berita pemukulan ini. Sebab bukan ulah anak SMA lain atau bekas tawuran, melainkan ulah ayah kandung yang seharusnya menjadi tempat ternyaman karena kini Ren tak memiliki ibu. Ren mendengus dan menampik kasar tangan Petra. Semua bergumam, mendengungkan simpati. Ren tidak suka.

 

Kama, Jaya saling lirik dan mencoba membubarkan kerumunan. Membawa Ren menepi dan menceritakan hal lain. Ini tentang motor yang ditinggal di rumah Galang. Hari ini Galang tidak masuk sekolah, tadi sempat mengabarkan hal ini pada Kama. Galang izin sakit kepada wali kelas, padahal sebenarnya yang sakit ibu Galang. Dia hanya menemani ibunya memeriksa kesehatan di rumah sakit besar. Tentunya mengantre lama, bisa sampai sore jika menunggu giliran mendapat obat. Untuk itu rencana mereka mengambil motor siang hari pun terpaksa batal.

 

“Duh!” lagi-lagi Ren mengaduh. Bisa gawat kalau motor gagal dibawa pulang hari ini. Membayangkan murka ayahnya dengan wajah merah padam, berkacak pinggang sambil membanting barang-barang pribadi Ren di kamar membuatnya gelisah.

 

Petra tidak menyimak cerita Kama justru masih fokus pada pipi Ren. Biarpun Ren menolak perhatiannya, Petra tidak peduli.

“Jadi, siapa yang memukulmu?” Petra ngotot bertanya.

“Bukan urusanmu!” bentak Ren mulai kesal.

“Reeeen, Petra hanya khawatir,” ucap Vanila membela Petra. Tak suka Petra selalu diperlakukan dengan ketus oleh Ren. Yeah, walaupun Petra sendiri sering galak pada Ren.

 

Chiya tiba-tiba melompat. Berlari ke arah pintu kelas yang masih terbuka. Bertepatan itu dering bel tanda masuk bergema. Seseorang celingak-celinguk di luar pintu, mencari-cari sosok di dalam kelas.

“Hey, Foya!” sapa Chiya menepuk bahu gadis berpotongan wolf cut itu. Gadis bernama Foya tersebut membalas sapa Chiya dan tersenyum.

“Mana Ren?”  tanya Foya pada Chiya.

“Tuh!” Chiya menunjuk dengan dagunya ke arah Ren yang memakai hoodie, kali ini Ren menyembunyikan pipi bengkaknya dengan masker yang diberikan Vanila.

 

“Kenapa Foya?” Bukan Ren yang menjawab, tapi Petra yang maju menghampiri Foya di samping Chiya.

 

Ren dan lainnya ikut mendekat. Foya jadi merasa terkepung. Kenapa suasananya tegang begini ya, pikir Foya.

“Oh, kamu pakai masker, Ren. Aku tidak mengenali, habis ketutup begitu,” lanjutnya setelah melirik Petra, “karya untuk pameran lorong dikumpulin paling lambat besok, ya! Tinggal anak animasi, nih!”

 

Menanggapi perintah Foya hanya dengan anggukan kecil. Ren merasa ada banyak sekali hal yang harus cepat dilakukan. Pastinya tidak semua bisa dilakukannya seorang diri.

“Kalian bisa membantuku?” tanya Ren pada Petra dan si kembar kribo―siapa lagi kalau bukan Kama dan Jaya. Untunglah, ketiga temannya itu paling bisa diandalkan. Sebenarnya Petra yang dapat diandalkan dalam situasi apa pun, si kembar hanya pihak yang membantu.

 

Suasana ribut mendadak senyap. Semua anak bergegas duduk ke bangku masing-masing. Foya dan Chiya yang berdiri di ambang pintu menoleh dan menemukan Bu Neena, wali kelas animasi tengah berdiri hendak memasuki kelas.

“Oh, silakan Bu,” ucap Foya sembari berpamitan kembali ke kelasnya sendiri―Foya anak kelas lukis.

 

“Dah, Foya!” teriak Chiya. Menyalami Bu Neena kemudian kembali ke bangkunya di samping Vanila.

“Akrab sekali sama Foya?” bisik Vanila.

“Dia tetanggaku,” bisik Chiya ke telinga Vanila.

 

Di dalam kelas Bu Neena mulai menagih progres film. Masing-masing kelompok berdiri bersama ketuanya, menerangkan sejauh mana progres tersebut.

 

Tiba giliran kelompok tujuh, kelompok yang diketuai Ren. Bu Neena tampak terkejut dan ingin memrotes penampilan Ren yang tak melepas Hoodie di dalam kelas. Tapi bukan Ren namanya jika tak memiliki banyak akal, sebelum Bu Neena sempat membuka mulut,  Ren terbatuk-batuk dengan lebay.

 

“Kemarin, pulang hujan-hujanan sama Galang Bu,” ucapnya beralasan.

“Kamu flu?? iya, nih. Galang juga izin karena bapil―batuk pilek,” ujar Bu Neena. Bola matanya silih berganti menatap murid-murid yang berdiri canggung itu.

 

“Karena Ren sedang flu, biar saya mewakili ketua menerangkan progres kami, Bu!” kata Petra menawarkan.

“Okey, silakan!” ujar Bu Neena mempersilakan untuk memulai.

 

Tidak sedikit pun ada kalimat terbata-bata yang Petra ucapkan. Menjelaskan dengan detil hampir tanpa komplen sama sekali dari Bu Neena. Penjelasannya mengenai tugas storyboard dan modelling 3D yang dikerjakan bersamaan oleh Vanila dan Chiya, hampir tanpa cela. Bu Neena bergumam, memeriksa sekali lagi hasil akhirnya dan menyetujui dengan senyum.

 

“Yeah, bagus lanjut ke animatic saja, siapa yang pegang?” tanya Bu Neena sambil menurunkan kacamatanya.

“Saya dan Ren Bu,” ujar Petra cepat. Melirik Ren yang terpaku pada laptop Vanila di atas meja Bu Neena.

 

“Oh, ya … izin menggunakan lab komputer saat ngeblender, boleh  Bu? Soalnya laptop saya tidak support untuk pengerjaan animatic 3D,” tanya Petra hati-hati.

“Boleh, boleh ..!” Bu Neena mengangguk-anggukkan kepala.

 

Petra menoleh ke arah Ren, tapi Ren diam saja. Jelas ada rasa tidak suka tersirat dari kedua sorot mata Ren.

 

Selanjutnya, Bu Neena menyinggung penugasan magang untuk kelompok tujuh. Kali ini pun Ren banyak diam. Si kembar dan dua gadis ceriwis banyak mengajukan pertanyaan. Masih tidak terima jika karya mereka diatur-atur begitu. Berdalih sebagai anak seni yang bebas berekspresi. Jika studio animasi tersebut menghendaki style berbeda―bukan anime― masih banyak anak lain yang menguasai. Si kembar dan dua ceriwis berani beradu argumen dengan Bu Neena. Sampai kelompok lain turut mendengarkan.

 

Petra memberi kode dengan menowel lengan Ren. Sayangnya, Ren cukup menyebalkan bagi Petra. Tidak berkomentar apa pun, tidak mendukung temannya atau pun menghentikan mereka terus membantah Bu Neena. Lantas Bu Neena menarik napas di puncak kesabarannya menghadapi gen-z yang dibilang kritis dan berani menyuarakan pendapat itu.

 

“Kalian tahu tidak, kelompok tujuh … benar yang kalian bilang itu … studio animasi bisa saja atau dengan mudahnya menemukan siswa magang denga style yang sesuai dengan mereka. tapi itu artinya, kalian tidak mendapatkan pekerjaan ini,” jelas Bu Neena mencoba sabar.

 

“A-apa maksud ibu?” tanya Vanila tergagap.

Hmm, yeah. Semua ada takarannya masing-masing, manusia itu berkembang dan menyesuaikan. Jika pola pikir kalian itu stuck di tempat berdalih prinsip, kebebasan  atau apalah, maka kalian tidak akan belajar banyak hal. Padahal banyak sekali loh hal baru untuk menggali potensi kalian,” ujar Bu Neena panjang lebar.

 

“Baiklah, Bu Neena. Kami akan patuh di mana kami ditempatkan. Bila memang harus menyesuaikan, maka kami siap menyesuaikan keahlian kami,” cetus Petra mengakhiri perdebatan Panjang itu. Menarik lengan teman-temannya untuk mundur dan kembali duduk ke bangku masing-masing. Mengabaikan raut muka teman-teman yang masih belum puas dengan keputusan Petra, melirik Ren dan menarik sikunya pelan,-

“Ren kita harus bicara!” bisik Petra.

***

 

Mengaduk es teh dengan malas. Wajah Ren makin menyebalkan. Hanya mereka berdua di kantin yang sepi. Beberapa hilir mudik mengenakan kaus bernoda cat mirip Galang saat melukis mural.

“Masih ada dinding yang dilukis, ya?” tanya Petra basa-basi.

Tak juga direspons. Petra menghentakkan kaki kesal. Ditariknya kursi Ren menggunakan kakinya yang panjang. Sebuah tindakan nyeleneh supaya kursi Ren mendekat ke arahnya.

“Apa-apaan sih Petra?!” seru Ren marah.

Petra tertawa. Mengatakan dia sudah menahan sabar dari tadi. Bahkan menyogok Ren dengan makanan kantin pun sudah. Makanannya habis dimakan, tapi Ren tetap diam saja. Sambil terus mengomel, Petra menumpahkan es batu dari gelas es tehnya yang telah tandas. Mengambil sebuah sapu tangan warna pink dengan gambar hello kitty di sudutnya. Menaruh es di tengah sapu tangan dan membungkusnya. Pelan, mengulurkan tangan dan menyentuh bengkak di pipi Ren dengan es batu terbungkus kain itu lembut. Ren terkesima, ingin menolak tapi terlalu nyaman perasaan diperhatikan ini. Sentuhan dengan kelembutan dan penuh perhatian seperti ini, telah lama Ren rindukan. Petra merawat luka Ren hati-hati.

 

“Sebenarnya apa yang menimpa dirimu Ren?” tanya Petra hati-hati. Tangannya hendak menyentuh langsung bengkak tersebut.

“Akh, bukan urusanmu,” jawab Ren sembari menghindari sentuhan tangan Petra.

Mereka terdiam. Petra terlihat kecewa. Entah bagaimana cara agar Ren luwes berbicara dengannya.

“Kamu saja yang jadi ketua kelompok,” ujar Ren tiba-tiba.

Petra terperanjat sejenak. Lalu mengulum senyum dan tertawa terbahak.

“Jadi kamu marah karena alasan itu?” tanya Petra seolah tak percaya, “kekanakan sekali, padahal kan aku membantumu karena melihatmu terus meringis menahan nyeri ketika membuka mulut atau tersenyum, lalu bagaimana caramu menjelaskan panjang lebar tugas kelompok kita tadi, Ren?!”

Kali ini giliran Ren yang membuka matanya lebar-lebar, tak menyangka perhatian Petra sedetil itu.

“Baiklah, maaf, Ren. Lain kali aku tidak mengambil wewenangmu,” ujar Petra mengalah.

 Seketika Ren merasa bersalah. Ngambek karena luapan emosi sesaat. Seharusnya Ren justru berterima kasih pada Petra yang telah banyak membantunya, termasuk menyiapkan dan mengumpulkan karya anak-anak animasi untuk pameran lorong―yang ditagih Foya.

 

“Te-terima kasih, Petra ….”

 

Hmm, yeah. Kamu mudah tersinggung, mungkin disebabkan hal lain. Luka di pipimu itu, mencurigakan.”

 

“Luka ini tak seberapa, besok juga hilang,” ujar Ren menyeringai.

“Kurasa, yang jadi masalah bukan luka di pipimu, Ren. Melainkan luka di hatimu, tak mudah untuk pulih!”

 

Ren terhenyak, menyeruput gelas es tehnya sendiri dan bergegas ingin pergi. Namun tak lupa mengucapakan terima kasih untuk traktiran Petra.

 

Secepatnya Ren berjalan menjauh, berlari sejauh mungkin dari Petra yang membuatnya gusar. Gadis itu bukannya tak baik, hanya saja seluruh perkataannya adalah benar. Ren merasa tertampar, kali ini bukan di pipi seperti ayah menamparnya tadi malam, tetapi di hati. Gadis itu, Petra. Seolah menempatkan Ren pada ruang istimewa … ruang berisi layak dicintai, layak diperhatikan. Bukan ruang tersisa yang sekian lama Ren rasakan, suram dan dingin.

 

***

 

Kembar berambut keriwil mengembang datang menghampiri Petra. Menanyakan apa bisa menemani mereka menjadi wakil kelas animasi membantu panitia pameran lorong.

“Bagaimana dengan Ren?” tanya Petra, tak mau salah langkah yang membuat Ren ngambek lagi seperti tadi.

“Ren nggak bisa, katanya sih terkendala motor. Malah sekarang dia mau cepat-cepat ke rumah Galang ambil motor. Soalnya mau dipakai kakaknya. Sudah kubilang Galang-nya saja masih di rumah sakit,” ucap Kama.

“Kok, nggak bareng kita ngambilnya?” tanya Petra heran.

“Yeah, takut digampar ayahnya lagilah!” seru Jaya, diiringi sikutan kecil dari Kama. Terlambat, Petra yang pintar telah menemukan jawaban dari pertanyaannya mengenai pipi bengkak Ren. Si kembar saling pandang. Namun, Petra hanya diam saja mengamati gerak-gerik keduanya.

 

Mengingat kembali bayangan punggung Ren yang menjauh tadi. Punggung yang mengingatkan Petra pada anak baru panti asuhan yang duduk membisu di sudut meja panti. Merenung dan suram. Sendirian dan merasa terbuang.

****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sebab Pria Tidak Berduka
120      100     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Kaca yang Berdebu
112      92     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Da Capo al Fine
332      279     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
RUANGKASA
45      41     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Love after die
473      322     2     
Short Story
"Mati" Adalah satu kata yang sangat ditakuti oleh seluruh makhluk yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Semua yang bernyawa,pasti akan mati... Hanya waktu saja,yang membawa kita mendekat pada kematian.. Tapi berbeda dengan dua orang ini, mereka masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Dmitri, sang malaikat kematian. Tapi hanya 40 hari... Waktu yang selalu kita anggap ...
Can You Hear My Heart?
536      321     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Di Antara Luka dan Mimpi
760      438     66     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Bukan kepribadian ganda
9611      1862     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Behind The Spotlight
3403      1678     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Aku Benci Hujan
7346      1934     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...