Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

Tsa … tsas ….

Di luar sana hujan deras. Tujuh remaja terperangkap di kamar yang tidak sempit, tidak luas. Hanya sesak oleh rak-rak buku karena pemiliknya cukup banyak mengoleksi buku-buku bacaan. Gemuruh petir menggelegar, meruntuhkan sisa-sisa harapan untuk pulang cepat. Ren membisu dekat jendela, pasti pulang terlalu malam akan mendapat makian kembali dari sang ayah. Pukul sebelas malam … Chiya sudah panik, Vanila terus menggerutu. Hanya Petra dan Galang yang tenang. Kalau Galang, tentu saja tenang, ini kan rumahnya. Ibu Galang sibuk menelepon wali murid lainnya, orang tua dari teman-teman Galang yang kini berada di rumahnya. Terjebak hujan setelah kerja kelompok tugas pembuatan animasi 3D yang memerlukan waktu lama. Itu yang diketahui ibu Galang, tapi sebenarnya … bocah-bocah remaja itu banyak menyia-nyiakan waktu sebelum hari hujan. Mereka justru menonton anime Wind Breaker season 2 yang baru rilis.

 

Krieeet … suara pintu kamar terbuka, ibu Galang muncul dari balik pintu. Seperti  biasa ia berusaha menenangkan anak-anak yang terlihat cemas―takut dimarahi sesampainya di rumah nanti. Kalau boleh jujur, sebenarnya mereka lebih senang berada di rumah Galang yang menurut mereka paling nyaman karena ibunya selalu menyuguhkan kudapan enak.

 

“Lang, bilang ke ayahmu untuk antar teman-temanmu!” perintah ibu Galang.

“Huft!” Galang mendengus kesal. Hal ini tak luput dari perhatian Petra.

“Ibu sudah bilang ke orang tua mereka, termasuk ibu pantinya Petra, jika akan mengantar pakai mobil, kasihan hujan. Biar motor ditinggal dulu di sini!” serunya lagi.

“A-anu, kami menginap saja Tante,” ujar Kama terbata. Tadi ia dan kembarannya memang memutuskan untuk menginap. Sudah izin ke bunda dan katanya boleh. Akan tetapi ibu Galang berpikiran berbeda.

“Izinnya kan kerja kelompok, Nak. Apa kata wali kelas nanti kalau kerja kelompok saja sampai menginap,” tutur ibu Galang lembut.

“Apa ayah mau mengantar, Bu?” tanya Galang ketus, kali ini bukan hanya Petra, Ren juga merasa aneh dengan respons Galang. Vanila dan Chiya bergumam merasa tak enak hati jika merepotkan. Namun, ibu Galang meyakinkan mereka agar tak perlu khawatir. Senyum tulus diberikan sebelum akhirnya menghilang dari pintu bersama Galang yang hendak menemui ayahnya. Petra dan Ren saling berpandangan. Tanpa bicara mereka tahu apa yang dipikirkan satu sama lain. Tapi mereka diam dan tak mau membahas lebih lanjut.

 

Tangan Chiya yang usil mengutak-atik barang di rak Galang. Penuh dengan desain karakter anime berupa stiker, pin, ganci―buatan Galang sendiri.

“Iiih, waifu Galang seksi-seksi,” celoteh Chiya.

“Chiyaaaa! Kamu masih kecil, nggak boleh lihat!” pekik Jaya, menghalangi tangan Chiya yang mulai membuka gambar-gambar koleksi Galang.

“Huh, apa bedanya sama kamu?” dalih Chiya.

“Tentu saja beda, aku dan Kama kan sudah 18 tahun,” kekeh Jaya.

“Huh!” Chiya memonyongkan bibirnya cemberut. Teman-temannya memang paling sering melarang Chiya mengetahui apa yang lebih dulu mereka ketahui. Usia Chiya paling muda di antara bertujuh. Ini akibat nenek Chiya sudah menyekolahkannya sejak 2,5 tahun di playgroup. Akhirnya semua menjadi lebih cepat bagi Chiya. Akhir kelas XI saja, Chiya baru berulang tahun ke-16. Itu artinya saat lulus setahun yang akan datang, Chiya pun baru sweet seventeen. Sedang manis-manisnya masa harus kuliah, itu kalau menurut Chiya.

 

Hujan masih juga deras di luar sana. Lagu-lagu My Chemical Romance mengalun dari spotify Galang. Remaja satu itu memang penyuka grup band emo. Sedikit berbeda dengan teman lainnya yang lebih menyukai K-pop dan J-pop.

 

“Eh, kalian tahu tidak?” tanya Vanila tiba-tiba. Memecah kebisuan.

Semua mata melihat ke arahnya. Beberapa hanya melirik malas.

“Menurut Bu Neena, sebentar lagi kita magang,” ucapnya semangat.

“Sudah tahu!” ketus Petra.

Chiya langsung merengut. Ren membelanya.

“Dengerin dulu Petra!” ujar Ren menengahi.

“Jadi, menurut Bu Neena … pas kerja magang nanti, kita nggak boleh gambar anime,” ucapnya berapi-api.

“Haah?? terus aku gambar apa dong?” tanya Chiya khawatir.

“Bukankah art style kita anime semua,” Kama ikut berkomentar.

“Kecuali Petra tuh!” celetuk Jaya.

Ren mengembuskan napas lalu melirik Petra. Si empunya wajah yang kini dipandangi teman-temannya tetap diam, tenang saja. Rambut Petra tergerai, separuh menutup sebagian wajah. Saat ini posisi duduk Petra terlihat santai satu kaki menekuk dan satunya lagi diluruskan, bersandar dinding dekat rak buku Galang yang penuh komik dan novel jadul bekas ibunya.

 

“Tanggapanmu Petra!” Ren tak sabar melihat cueknya Petra.

“Apa?? ya, biasa saja Ren. Apa pun desain karakter yang ditentukan Bu Neena untuk kita, ya kita harus terima,” kata Petra ketus.

“Yee, Petra sih enak bisa chibi, kalau kita gimana?” keluh Vanila lagi.

“Ya, belajarlah!!” seru Petra sewot. Teman-temannya bergumam, tak puas dengan ucapan Petra. Mereka tahu betul, bukan tak bisa bila mencoba  style baru, hanya saja sudah terlalu nyaman dengan anime style yang telah mendarah daging.

“Apa itu sudah pasti, Pan?” tanya Ren ragu.

“Ren Dewandaru, kamu ini ketua kelasnya, ketua kelompok juga, harusnya kamu dong yang pertama tahu!” ujar Jaya sambil menimpuk Ren dengan snack keripik yang masih terbungkus plastik.

Vanila mengangguk pasti. “Aku diberitahu langsung oleh Bu Neena saat pengajuan storyboard,” ucapnya kemudian.

“Salahnya di mana dengan anime style???” tanya Kama tidak terima dengan informasi barusan.

Ren menggeleng-gelengkan kepala, lainnya berdengung tak jelas. Masing-masing jadi emosi dengan pembahasan ini. Terkecuali Petra tentunya. Bahkan Petra jadi sasaran sebalnya teman-teman karena style Petra memang berbeda dari lainnya.

 

“Stop! Stop! Heh!” seru Petra galak pada kelima temannya itu.

“Sudah jauh hari kubilang 'kan, kita harus coba berbagai art style atau mati kutu nantinya,” kata Petra coba berbicara lembut.

“Tapi kita kan cinta anime Pet,” ujar Jaya tak mau kalah.

“Pat, pet, pat, pet … sudah kubilang ya, sebut namaku lengkap!” seru Petra menimpuk Jaya dengan snack keripik di dekatnya.

Snack keripik itu berputar-putar terus dari tadi. Lebih baik aku makan, ya?” ujar Chiya mengambil snack berbentuk stick rasa jagung tersebut. Menit selanjutnya ketika teman-temannya masih membahas tentang anime style yang harus mereka ubah. Chiya masih bergelud dengan kemasan snack itu. Chiya lemah dalam soal buka membuka. Sesuatu yang sangat mudah bagi orang lain tetapi tidak bagi Chiya. Padahal soal pelajaran akademik, di antara mereka bertujuh Chiya paling pintar.

 

Ren tak sabar melihat Chiya, merebut kemasan snack tersebut, meremas sampai terdengar bunyi ploop! Hanya dengan satu tangan. Chiya hampir melompat saking girangnya.

“Terima kasih, Ren,” ucap Chiya manja. Ren tertawa melihat Chiya gembira. Petra mendecih.

“Kalian salah paham dengan maksud Bu Neena,” ujar Petra meneruskan pembahasan.

“Maksudnya?” tanya Ren yang perhatiannya kembali pada sosok Petra.

“Saat kita magang nanti, di sebuah studio animasi milik anak bangsa sendiri. Yeah tentu saja harus lebih mengutamakan ciri khas dan budaya negara sendiri ‘kan? Sedangkan anime itu khas Jepang. Kalau semua memakai style yang sama nantinya kita tak memiliki jati diri.” Petra mencoba menjelaskan dengan bahasa bayi pada teman-temannya yang sulit menerima koreksi.

 

Akh, itu kan katamu, Petra!” ujar Kama menimpali.

“Terserahlah kalau tak percaya!” ucap Petra sewot. Kakinya yang panjang menjejak kesal, hampir mengenai kepala Jaya yang posisinya tiduran menyamping di lantai. Jaya melotot pada Petra.

“Hey, kita satu kelompok. Masalah kita pecahkan bersama,” ujar Ren menengahi. Sebagai ketua kelompok, sepatutnya Ren menjadi jembatan apabila terjadi perbedaan pendapat atau adu argumen yang menemui jalan buntu.

“Kalau aku sih, nggak mau mengubah style,” celetuk Kama.

“Ya, apalagi desain karakter kita sudah terbentuk, ganteng-ganteng, cantik-cantik.” Chiya membanggakan hasil jerih payahnya.

“Iya, masa genre gore pakai chibi style,” gumam Chiya.

“Ya, enggaklah! Malah jadi imut,” tawa Kama dan Jaya berbarengan.

 

Bugh!

Petra sengaja membanting buku Galang di lantai. Mukanya memerah menahan marah.

“Kalian tahu enggak sih, yang dimaksud Bu Neena? Mengubah style anime kita bukan untuk projek film ini tetapi untuk magang kerja nanti!” dengusnya kesal.

“Oh,” kata Chiya dan Vanila saling pandang.

“Jadi storyboard Vanila ditolak tidak?” tanya Ren memastikan.

“Revisi, tapi kan sudah acc desain karakternya. Vanila cuma dibilangin loh, kalau sebaiknya belajar memakai style lain. Sebab tempat magang kita nanti tidak menerima gambar anime,” jelas Petra menekan kesabarannya yang setipis tisue supaya teman-temannya dengan macam-macam pemikiran itu bisa memahami.

 

Kama, Jaya terdiam. Dalam hatinya masih bersungut-sungut, merasa tidak terima akan sesuatu. Tapi mereka takut ungkapkan, segan sama Petra. Chiya telah menghabiskan snack stick jagungnya. Dijilatinya jemari yang penuh micin, lalu sibuk mencari tisue. Vanila menggerutu, dibantunya Chiya mencari tisue.

“Makanmu seperti anak kecil!” sungut Vanila.

 

Ren menyandarkan kepalanya pada dinding dekat pintu, berhadapan dengan Petra yang menatapnya tajam. Wajah Petra tampak songong, dagunya terangkat, satu lututnya naik, seolah menantang jika masih ada yang ngeyel dengan anjuran Bu Neena.

 

“Kamu saja yang jadi ketua!” ujar Ren pada Petra, dagunya ikut terangkat. Adu songong, tak ada yang mau mengalah.

“Lah, kok gitu???” balas Petra masih dengan dagu terangkat.

“Yeah, habis kamu yang paling mimpin di sini!” ujar Ren masih dengan nada tinggi.

“Iiiih, kalian kenapa sih?” sela Vanila. Perasaannya mulai tak enak. Biasanya Ren jarang tersinggung.

 

Kama dan Jaya yang tadinya sudah mau menerima tentang perubahan style ini, mulai berulah kembali.

“Iya, seharusnya sebagai anak didik kita nggak mau diatur-atur,” kata Kama.

“Yeah, sama saja bohong kalau setelah projek film kita nggak bebas lagi sesuai style kita. Jaya ikut menimpali.

 

“Tugasnya pendidik ya mendidik anak didiknya, Kama, Jaya! Terus apa gunanya sekolah nggak mau dididik???” Bola mata Petra rasanya mau keluar, menurutnya pikiran teman-temannya itu terlalu bebal dan egois. Namun, menurut teman-temannya justru Petra seperti Bu Neena yang egois.

 

Hanya selisih paham tentang kengototan anak remaja. Cukup buat Petra pusing karena tidak merasa bagian dari dunia mereka. Terbiasa mengalah, sebab segala pilihannya memengaruhi situasi untuk adik-adiknya di panti. Sisi remajanya tergerus oleh kepahitan hidup. Menurut Petra, teman-teman yang tinggal di rumah dengan keluarga, mana mengerti arti berjuang seperti dirinya. Ada banyak hal di dunia ini tidak berjalan sesuai keinginan. Jika untuk hal sekecil mengubah art style saja, teman-temannya menaruh ego yang teramat tinggi, lantas bagaimana dengan hal lain yang lebih dianggap remeh.

 

“Bagiku mengubah style itu bukanlah hal kecil,” ucap Ren seolah mendengar suara berisik dalam kepala Petra.

 

Petra menarik napas dan mengembuskannya panjang. Saat itulah, bunyi berderit pintu membuka terdengar. Galang muncul dengan tatapan risau, tambah bingung lagi ketika melihat atmosfer dalam kamarnya suram. Teman-temannya terdiam. Galang yang tak tahu apa-apa mengira teman-temannya itu khawatir karena telah  larut malam.

 

“Baiklah, mari kuantar pulang!” serunya memecah keheningan. Respons teman-teman hanya tersenyum. Lantas mengemasi tas masing-masing. Vanila dan Chiya yang biasa mudah tertawa, kali ini tidak. Mereka saling pandang. Ren dan Petra masih saling tatap dengan sorot tajam. Galang mulai menyadari ada yang tidak beres.

 

“Hey, ada apa ini?” tanya Galang pada Kama dan Jaya yang telah berdiri sembari menggendong ransel.

 

Secara singkat Kama menerangkan apa yang barusan menjadi pokok pembahasan kelompok mereka. Galang mengangguk-angguk mengerti. Ren dan Petra tidak bersuara saat Kama, Jaya, Chiya dan Vanila berebut menerangkan pada Galang atas respons mereka terhadap imbauan Bu Neena. Ren dan Petra sibuk membereskan lantai yang kotor. Kerja sama mereka berdua tetap bagus kendati saling diam. Baik Ren maupun Petra tak mau meninggalkan kamar Galang dalam kondisi berantakkan.

 

“Sudah hampir dua belas malam, sebaiknya pembahasan art style kita teruskan besok pagi saja. Ayahku sedang mengeluarkan mobil di garasi. Aku akan menemaninya mengantar kalian,” cetus Galang.

 

Mereka semua setuju. Rencananya sepulang sekolah besok, mereka akan besama-sama ke rumah ini lagi dengan menggunakan bus kota dengan tujuan mengambil motor masing-masing. Kecuali Chiya dan Vanila yang memang membonceng Ren dan Petra tadi siang.

“Lain kali, kalau kerkel … nggak usah nonton Wind Breaker dulu,” kata Petra ketus. Dilewatinya Ren yang berdiri di dekat pintu sambil melirik sinis. Ren merasa tertembak tanpa persiapan. Memang menonton tadi adalah usulannya, dipikirnya makan dan nonton tidak membutuhkan waktu lama. Alhasil, kerja kelompoknya hanya 30% saja.

“Oh, ya. Petra rampungkan saja animatic yang jadi tugasmu!” balas Ren “menembak” Petra, tapi malah Vanila yang menjawab,-

“Nanti, setelah revisiku disetujui Bu Neena,” jawabnya lemas.

Petra kembali tersenyum sinis pada Ren yang menggaruk kepala.

***

 

Hujan telah reda. Pukul dua dini hari, Ren masih gelisah di atas kasur. Benar dugaannya, setelah Galang dan ayahnya berpamitan, ayah Ren muncul dan menggampar pipinya. Nyerinya masih terasa hingga kini. Panas dan nyeri di area pipi. Ren tidak menggubris kicauan buruk ayahnya pada dirinya. Jelas Galang maupun ibunya di telepon telah menjelaskan dengan cukup baik, sebab hujan yang membuat satu kelompok itu terkendala pulang sedari sore. Yeah, walaupun Ren juga tahu itu hanya alasan yang dibuat-buat oleh teman-teman dan juga dirinya. Tidak mau cepat pulang ke rumah masing-masing―itu alasannya.  

 

Ayah Ren terus saja menyalahkan dan menunjuk-nunjuk muka Ren dengan dalih main sampai lupa waktu sampai-sampai meninggalkan motor yang dipakai bersama. Motor Bang Aldo―kakak tiri Ren―sedang berada di bengkel. Ayah Ren menyuruh anak tirinya itu untuk mau meminjam motor Ren. Di mana-mana anak kandung yang lebih diutamakan, ini berbeda … bagi Ren kasih sayang ayahnya jauh lebih banyak tercurah pada anak tirinya itu. Anak dari istri yang teramat ia banggakan. Istri ayah Ren itu menggantikan posisi ibu Ren yang meninggal ketika Ren duduk di bangku kelas empat SD. Kira-kira usia Ren saat itu sepuluh tahun. Namun, tak sekali pun hubungan mereka menjadi dekat. Layaknya sebuah keluarga. Ren tidak berniat membuka diri, begitu pun ibu tiri yang tak berniat mendekatkan diri, anehnya ayah Ren cosplay menjadi keluarga cemara, antara mereka bertiga saja … sedangkan Ren jauh melihat dari pojok ruang tersisa.

 

Cih, tiap orang dewasa memakai topeng. Tidak ayah atau ibu tiri. Mereka semua berpura-pura sebagai keluarga harmonis. Padahal itu semua tergantung pada keuntungan masing-masing.

****

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
658      348     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
The Boy Between the Pages
1539      929     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
Werewolf, Human, Vampire
4188      1271     1     
Fan Fiction
WATTPAD PUBLISHED STORY!(username: msjung0414) 700 tahun lalu, terdapat seorang laki-laki tampan bernama Cho Kyuhyun. Ia awalnya merupakan seorang manusia yang jatuh cinta dengan seorang gadis vampire cantik bernama Shaneen Lee. Tapi sayangnya mereka tidak bisa bersatu dikarenakan perbedaan klan mereka yang tidak bisa diterima oleh kerajaan vampire. Lalu dikehidupan berikutnya, Kyuhyun berub...
Ketika Kita Berdua
37970      5446     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Konfigurasi Hati
548      378     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Return my time
319      271     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Time Travel : Majapahit Empire
53364      5558     10     
Fantasy
Sarah adalah siswa SMA di surabaya. Dia sangat membenci pelajaran sejarah. Setiap ada pelajaran sejarah, dia selalu pergi ke kantin. Suatu hari saat sekolahnya mengadakan studi wisata di Trowulan, sarah kembali ke zaman kerajaan Majapahit 700 tahun yang lalu. Sarah bertemu dengan dyah nertaja, adik dari raja muda Hayam wuruk
Gloomy
608      400     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
The Diary : You Are My Activist
14871      2527     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1259      776     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...