Tidak peduli seberapa keras kamu berusaha, jika baginya tidak terlihat … maka kamu hanya benda usang berdebu yang mengganggunya―Ren Dewandaru.
Criip … criip ….
Kicau burung tidak membuat Ren bangkit dari merebahkan diri pada lapangan berumput. Satu matanya terbuka perlahan. Angin sejuk menyapu tipis poni di ujung kening. Tangan Ren terangkat ke atas langit, coba menutupi sebagian wajahnya dari terik mentari, tapi percuma. Hmm, udara hangat pagi hari, desah Ren. Berulangkali ugh, akh, huft meluncur dari bibir mengering Ren, kerongkongan bak tanah kering kerontang―haus.
Tidak ada masa depan bagi remaja lelaki sepertiku. Aku takut pada impianku sendiri.
Apakah masih ada sedikit kesempatan bagiku hidup tanpa rasa khawatir?
Dalam hati Ren masih menyuarakan kegelisahannya.
Bruugh!
Berdebum ransel besar dilemparkan tepat di samping wajah Ren. Terkesiap, Ren pun melonjak kaget. Galang, temannya terkekeh. Tangan dan lengan belepotan cat minyak. Warna-warni seperti bunga menghiasi tanah legam. Sementara kaus olah raga Galang sudah tak keruan.
“Sepagi ini sudah berantakan,” dengus Ren memperhatikan, bau thinner cat menusuk hidungnya …“kali ini siapa yang kamu lukis?”
“Gojo Satoru!” seru Galang bangga. Melukis mural tokoh anime di dinding kelas bagian luar menjadi tugas Galang dan beberapa kawan, baru rampung pagi ini.
Ren mengangguk-anggukan kepala, ingin bertanya lagi, tetapi terlalu malas membuka mulut. Perutnya berisik belum sarapan. Seakan mengerti, Galang kemudian mengambil tempat di samping Ren. Duduk bersila dengan manis. Dibukanya tas ransel miliknya, susah payah karena resletingnya macet. Tas ransel hitam itu pun sama belepotan cat warna-warni seperti tangan pemiliknya.
Setelah berhasil membukanya, ada senyum semringah di wajah Galang. Lesung pipit menambah seri wajahnya. Tangannya jauh merogoh ke dalam tas. Berjejalan dengan kuas dan palet kotor yang dibalut kaus hitam yang lagi-lagi pun sama―belepotan cat. Galang berhasil meraih sekotak dus konsumsi berwarna putih. Kutebak pasti dari panitia pameran lorong. Siswa-siswa yang turut menghias sekolah memang mendapat konsumsi untuk mengganti jerih payah mereka. Melukis mural sendiri adalah bentuk dari agenda menghias sekolah sebagai pelaksanaan pameran lorong yang diadakan tiap tahun di sekolah seni rupa ini.
Dus konsumsi terbuka, Ren menelan ludah. Tergiur pada roti empuk isi daging yang menggoda juga memang karena lapar sekali.
“Konsumsi sekolah kita memang selalu enak-enak ya, Lang?” ucap Ren masih tidak bisa mengalihkan pandangan ke arah roti dalam dus konsumsi.
Lagi-lagi Galang terkekeh, diambilkan roti empuk itu untuk Ren dan sebuah nasi cokot berisi suwiran ayam untuk dirinya sendiri.
“Kemarin diajak ngelukis nggak mau,” ejek Galang.
“Bukannya nggak mau, tapi nggak ada motor buat bolak-balik,” ujar Ren beralasan. Mulutnya sibuk mengunyah. Cacing-cacing di perutnya justru tambah bernyanyi setelah kunyahan pertama tertelan.
“Kalau tahu itu alasannya, aku kan bisa jemput Ren!” sungut Galang.
“Nggak mau ngerepotin kamu Lang,” ujar Ren tersenyum. Satu roti empuk telah habis tertelan, berpindah ke perutnya yang masih berisik.
“Masih lapar?” tanya Galang lembut. Ren mengangguk pelan, tapi tangannya sigap menerima uluran risoles mayo dari tangan Galang. Melihat Ren melahap rakus makanan yang diberikan olehnya, membuat raut muka Galang menjadi penuh kekhawatiran. Terbukti beberapa detik kemudian Ren tersedak, tapi tetap enggan memuntahkan isi mulutnya. Cepat-cepat menjejalinya dengan air minum setengah liter yang juga berasal dari ransel Galang.
Galang tertawa terbahak. Dilemparkannya tisue dan dus konsumsi yang kini kosong.
“Kamu rakus sih ..!” ledeknya masih tertawa.
Setelah berhasil menguasai keadaan, kondisi perut mereka juga sudah kenyang, Ren dan Galang kembali mengobrol. Sorak sorai murid-murid yang tengah berlomba mengisi kegiatan classmeet terdengar dari arah lapangan basket.
“Kamu nggak ikut lomba Ren?” tanya Galang memastikan. Ren menjawab dengan menggeleng.
“Kamu ini, apa sih yang mau kamu ikuti!” ujar Galang sewot.
“Eh, jadi anak kelas kita kebagian gambar Jujutsu Kaisen?” tanya Ren mengalihkan pembicaraan.
“Bukan kebagian ya … memang itu usulan anak Animasi. Kalau anak-anak DKV sama sekali nggak berbau anime, tema mereka cerita rakyat,” kata Galang menjelaskan.
Wush … wush ….
Lapangan berumput yang biasa digunakan untuk upacara atau orientasi siswa baru itu memiliki dua pohon besar di tengah lapangan. Dahannya berayun-ayun merontokkan dedaunan. Duduk berdua dengan Galang di tengah lapangan begini, mengingatkan Ren pada masa orientasi siswa baru dua tahun lalu. Di sinilah dengan posisi yang sama, Galang mengajak berkenalan lebih dulu. Membagi bekal makan siangnya dan berceloteh banyak hal, tanpa rasa sungkan kepada Ren. Mereka berada di satu kelas yang sama―jurusan Animasi. Sesama penyuka anime membuat mereka cepat dekat. Hal itu membuat Ren mulai percaya diri dan mudah beradaptasi dengan siswa lainnya. Terlebih Ren terpilih sebagai ketua kelas jurusan Animasi yang hanya terdiri satu kelas―jurusan DKV dan Seni Lukis bisa sampai tiga kelas. Selama dua tahun Ren menjadi ketua kelas banyak hal membuatnya berpikiran terbuka. Mulai meninggalkan kehidupan monoton yang dijalani dari usia sepuluh tahun. Ren begitu memikat dengan segala kelebihan dan serba bisanya, terkecuali kelaparan yang sering mengganggunya membatasi sinarnya untuk memesona. Ren berubah lesu dan malas jika tidak sarapan dan katanya juga tidak sempat meminta uang saku. Masalah internal di keluarga menjadi sumber masalahnya.
Sebaliknya Galang, ibunya yang seorang guru TK sering membekalinya makanan dengan kotak bekal bergambar Doraemon, sesekali bergambar Naruto berwarna orange. Nasi yang dibentuk lucu dengan berhias mi sebagai rambut dan biji kedelai sebagai mata, membuat Galang malu dan akhirnya menghibahkan makanan tersebut untuk Ren secara diam-diam. Syaratnya hanya satu, Ren tak boleh ungkapkan hal ini pada siswa lain, apalagi sampai mengadu pada ibu Galang. Tentu saja syarat yang masuk akal untuk Ren sanggupi. Ren senang karena bisa makan bekal buatan rumah, sedangkan Galang senang bisa makan di warmindo samping sekolah. Sebuah simbiosis mutualisme antara Ren dan Galang, makin membuat mereka yakin untuk alasan apa Tuhan mempertemukan mereka. Terkadang, Ren lupa bila Galang sebaya dengannya. Galang itu satu-satunya orang yang mengkhawatirkan Ren sudah makan atau belum, perhatian yang melebihi ayah Ren di rumah. Sebab itu Ren sering bercanda menyebut “Papa” pada Galang. “Papa beri aku makan dong!” canda Ren diiringi timpukan remasan kertas ujian berbentuk bola―biasanya kertas ujian bahasa Inggris milik Galang yang nilainya selalu di bawah KKM.
Selama dua tahun ini―kini mereka kelas XI―beberapa murid juga menjadi dekat. Berawal dari penugasan kerja kelompok pembuatan film Animasi yang berisi tujuh anak, membuat tujuh remaja tersebut sering berkumpul dan tentu saja nonton anime bersama. Ketujuhnya berbeda selera dalam berbagai hal, tapi tidak dengan anime. Persamaan lainnya bagi tujuh remaja yang tengah puber itu adalah, sama-sama tidak memiliki pacar atau gebetan. Mereka justru terlihat memiliki kantung mata saat minggu pagi karena malam minggunya diisi dengan maraton anime semalaman.
Tap … tap … tap ….
Suara sepatu berlarian datang mendekat. Itu Vanila dan Chiya. Terengah-engah mengatur napas di hadapan Galang dan Ren yang menertawakan penampilan keduanya yang amburadul. Tepung di sekujur tubuh. Bercampur keringat di kening, hidung dan area mulut. Kaus olah raga mereka basah pada bagian punggungnya.
“Main game apaaan sih Pan, Chi?” tanya Ren kepo, kedua tangan Ren bergantian membersihkan tepung-tepung di atas kepala Vanila dan Chiya.
“Huh, ketua kelas apaan kamu ngilang!” seloroh Chiya.
“Iya nih, dicariin kita dari tadi, loh!” ucap Vanila ngedumel.
Ren tertawa garing. Dalam hati berucap, mereka nggak tahu saja, kalau sampai aku turun ke lapangan , bisa pingsan aku tadi!
“Ren tadi belum makan, kalau belum ketemu aku, belum makan dia,” ujar Galang seraya memonyongkan bibirnya.
“Yuk Ren, Lang … kita kasih support Kama, Jaya dan Petra,” ajak Vanila menarik tangan Galang dan Ren hampir bersamaan.
“Basket?” tanya Ren memastikan.
“Iya, mixed, campuran!” ujar Chiya lagi.
Anak perempuan bertubuh tinggi dan langsing di kelas mereka bisa di hitung jari, pantas saja Petra terpilih mewakili kelas bersama Kama dan Jaya yang memang telah bergabung dalam klub basket sekolah mereka.
Ren dan Galang akhirnya menuruti kemauan dua teman mereka, mengikuti berjalan menuju lapangan basket. Bersungut-sungut karena tak mau merasa gerah sedangkan euforia di lapangan basket ketika perlombaan berlangsung pasti mendesak pengap, sesak dan panas menghadirkan sumuk ―kalau orang jawa bilang.
Dari jauh kelebatan bayangan Petra mendominasi tangkapan mata Ren. Gadis itu memang luar biasa berkilau. Bukan karena matahari yang sinarnya mulai menggigiti kulit melainkan memang Petra begitu piawainya memainkan bola di antara tubuh-tubuh jangkung lainnya. Sedikit minder merasuk di hati Ren. Sebagai remaja pria, tinggi badannya terkalahkan oleh Petra. Ren sering menyalahkan dirinya yang tidak menyerap gizi dengan baik. Berbeda dengan Kama dan Jaya, kembar yang bertubuh tinggi tegap dan jago olah raga. Satu-satunya yang Ren banggakan dari dirinya hanya raut wajah yang konon katanya―menurut teman-teman―manis dan sedap dipandang. Tahi lalat kecil nangkring di pipi kanan Ren, hal tersebut jadi ciri khas tersendiri bagi Ren.
“Ren Dewandaru!” panggil seseorang melambaikan tangan. Itu Kama yang tengah minum di pinggir lapangan. Petra di sebelah Kama tersenyum kecut dan Jaya nyengir kuda menyambut kedatangan Ren dan tiga teman lainnya. Petra mengenakan seragam basket sekolah. Gadis itu juga menguncir ekor kuda rambut sebahunya. Tampak cuek dengan gaya tomboy dan celana pendek yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Ren membuang muka. Kaki yang sangat membuat iri, pikirnya.
Rambut keriwil Jaya naik turun ketika mengguncang bahu Ren. Lomba basket memang telah berakhir. Kedatangan Ren dan Galang tadi bersamaan dengan bunyi peluit panjang berakhirnya pertandingan. Kelas Animasi terkalahkan oleh kelas patung yang kebanyakan bertubuh tinggi dan tegap. Tetapi sampai ke babak final saja sudah sangat lumayan mengingat persiapan latihan mereka amatlah mepet.
Petra mengusap lehernya dengan handuk yang disodorkan Vanila. Mendekat pada Ren hendak ucapkan sesuatu, tapi Ren keburu menghindar. Ren sebal saat berdiri di sebelah Petra, jika harus itu pun terpaksa. Tambah terlihat pendek, Chiya dan Vanila pasti cekikikan membanding-bandingkan. Biasanya Ren menanggapi dengan tertawa garing, sejujurnya dalam hati sudah sangat muak jika dibanding-bandingkan dengan siapa pun. Hal itu karena di rumah pun Ren selalu dibandingkan dengan kakak tirinya yang berkuliah jurusan Matematika di salah satu perguruang tinggi negeri. Alasan Ren memilih sekolah seni membuat ayahnya kecewa. Sejak kecil hobi gambarnya memang tidak pernah didukung. Satu-satunya orang yang mendukung hanya ibu kandung Ren yang kini telah tenang di sisi Tuhan.
Galang asyik menceritakan lukisan muralnya yang telah selesai. Mereka sepakat akan langsung melihatnya setelah ini. Apalagi anak-anak kelas mereka melukis Jujutsu Kaisen, tambah bikin penasaran. Ren masih juga melirik Petra, gaya Petra yang macho sekaligus cantik di waktu bersamaan membuatnya sering tertegun lama menatap gadis itu berbicara. Anehnya rasa iri di hati Ren untuk ukuran tinggi badan hanya dirasakan kepada Petra saja. Tidak untuk Kama dan juga Jaya, terlihat wajar tinggi 180 cm untuk lelaki remaja berusia 18 tahun yang juga giat menekuni olah raga. Ren yang tak sampai 170 cm, hanya berjarak tipis lebih pendek dari Galang dan masih lebih tinggi daripada Vanila juga Chiya. Sedangkan di sebelah Petra yang 179 cm, Ren merasa sebagai liliput. Mungkin memang terlalu berlebihan. Hiperbola Ren sering kumat bila suasana hatinya tak baik.
“Ayok, setelah ini makan di kantin, aku traktir!” tukas Petra. Disambut riuh senang suara Galang, Vanila, Chiya, Kama dan Jaya.
“Kamu ikut kan Ren?” tanya Petra menyentuh bahu Ren yang mengakibatkan mata Ren melotot. Petra langsung sadar dan terkekeh. Petra bukannya tak tahu, aturan tak tertulis di kelompok mereka―aturan yang dibuat Ren―Petra tak boleh berdekatan apalagi menyentuh Ren. Gengsi Ren terlalu tinggi bila berhadapan dengan Petra.
“Ayolah ikut, makan siang loh ini, lumayan Ren!” ujar Kama dengan suara medhoknya.
Akh ya, satu lagi yang membedakan Kama dan Jaya selain kacamata pada Jaya. Bicara Kama terlalu medhok sedangkan Jaya tidak.
Ren mengangguk pasrah. Ren memang lupa membawa uang saku, atau lebih tepatnya tadi pagi sengaja tidak sarapan agar tidak bertemu ayahnya. Hal tersebut berulang kali dilakukan, sehingga teman-teman sudah terbiasa menerima Ren yang mengeluhkan lapar. Lagipula Ren tak mau melihat teman-temannya sedih, makan siang tanpa dirinya. Diam-diam kekaguman Ren pada Petra bertambah besar. Tumbuh besar di panti asuhan dan tak pernah tahu siapa orang tua kandungnya membuat Petra begitu dewasa. Terbiasa berdagang sedari SD, membuat Petra dapat menghasilkan uang sendiri. Kali ini bukan orang lain yang membandingkan, Ren sendiri dalam hatinya tanpa sadar selalu membandingkan. Posisi dirinya yang masih memiliki keluarga dan bertempat tinggal di rumah nyaman justru terlihat menyedihkan dibandingkan Petra yang harus bangun pagi-pagi sekali dan tidur cukup larut untuk mengurus adik-adik pantinya.
Tidak jadi pergi ke kantin karena penuh dengan anak-anak berbau keringat setelah pembubaran Classmeet. Tujuh remaja puber tersebut memutuskan pergi ke warung mi ayam di seberang sekolah seni ini.
Sejenak melupakan masalah tingggi badannya, kali ini Ren makan dengan lahap dan tenang. Suara sruut … sruut … serta suara sumpit beradu terdengar paling mencolok dari mangkuk Ren. Petra duduk di seberang meja, berhadapan dengan Ren. Mengamati Ren yang fokus pada mangkuknya saja sampai-sampai tidak menyimak isi obrolan mereka sejak tadi.
“Makan dengan pelan, Ren!” tegur Petra lembut.
“Ren nggak sangu pasti ribut lagi sama ayahnya!” seru Jaya spontan yang langsung dipelototin lima anak lainnya.
“Hush!!!” serempak lima anak mengingatkan Jaya.
Jaya mengedikkan bahu. Terkadang dia memang tak pikir panjang jika bicara. Kembarannya menyikut lengan Jaya supaya tak mengucapkan apapun lagi. Untunglah Ren tidak terpengaruh. Semangkuk mi ayam tandas dalam sekejap.
“Mau lagi Ren?” tanya Petra menawari.
“Boleh??” tanya Ren dengan mata berbinar.