Wirya dan Vivi beserta satu-satunya putra yang ia miliki sedang duduk di ruang tunggu Jurys Inn Hotel. Menunggu Ema kembali.
Lima jam yang lalu Rei memohon untuk pergi ke suatu tempat sendirian, ia tak menjelaskan kepada kedua saudaranya akan pergi ke mana di kota yang sangat-sangat asing ini. Belfast, Irlandia.
Ya, Wirya mengabulkan permintaan adiknya itu setelah melihat kondisi mental Ema yang mulai pulih dari keanehannya belakangan ini. Kini setelah lelah berwisata seminggu penuh mengelilingi bagian terindah di Irlandia Utara, sudah saatnya untuk mereka kembali ke negara asal. Lima menit yang lalu, Wirya baru saja mengembalikan kunci kamar hotel kepada resepsionis cantik yang terus memandangi kegelisahan sekelompok turis asing yang sedang duduk di ruang tunggu.
Ema pernah pergi dan menghilang. Seharusnya Wirya ingat akan hal itu dan tidak seharusnya mengizinkan Ema pergi sendirian. Ini adalah kota, di mana penduduknya semua berbahasa inggris. Sedangkan Ema, hampir setiap semester mendapatkan nilai enam di rapor.
"Apa dia nggak bilang mau pergi ke mana?" tanya Wirya pada Vivi yang masih duduk santai menonton kembali video yang mereka rekam selama liburan. Kastil Belfast muncul di layar ponsel pintarnya. Vivi dan Ema bergaya seperti pembawa acara Jelajah yang sering ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Mendeskripsikan sebuah bangunan kastil yang menghadap ke teluk Belfast dengan air lautnya yang berwarna biru jernih. Bangunan indah itu masih tampak kuno, namun sangat terawat, bersih dan juga menarik dengan hiasan taman bunga di setiap sisi kastil. Billy tertawa melihat tayangan itu.
"Dia bilang cuma ke toko mainan. Barangkali mau beli oleh-oleh buat temennya," jawab Vivi masih tak mau memisahkan matanya dari video.
Layar berganti slide. Kini terlihat rekaman perjalanan yang diambil Ema saat mereka berkunjung ke Antrim Coast. Melalui rute yang sempat membuat mereka terkagum dengan suasana pedesaan yang hijau, tata kotanya yang sangat menunjukkan bangunan khas Irlandia dengan arsitektur georgia. Keadaan kota yang terlihat sangat tenang dan menarik perhatian.
Wirya bangkit berdiri. Melihat jam tangan rolexnya. Sudah hampir lebih dua jam mereka menunggu dan Ema tak kunjung kembali. Ia harus melakukan sesuatu, bagaimana bisa Vivi bersantai-santai, tertawa di sofa kecokelatan itu bersama Billy sedangkan di kejauhan sana ada sesuatu yang tak bisa ditebak dan bisa saja menimpa adiknya.
"Vivi! Ema belum balik, apa kamu nggak khawatir?"
Vivi melepaskan pandangan dari handycam, lantas tersenyum kecil ke arah Wirya. "Dia pasti balik, Mas. Belfast kota yang aman."
Ada desahan napas di dada Wirya. Mereka harus sampai di bandara Internasional Belfast pukul tiga sore, sedangkan jarum di jam tangannya itu kini sudah bergeser ke angka satu.
"Ema pernah minggat dari rumah. Gimana kalau kali ini dia benar-benar minggat?" Jika seseorang pernah melakukan kesalahan, bukan tak mungkin orang tersebut akan melakukan kesalahan yang sama. Minggat, barangkali Ema sudah mulai kecanduan dengan aktivitas itu.
"Dia udah janji sama aku pergi cuma dua jam. Sebentar lagi dia pasti balik."
"Kamu terlalu yakin!" suara Wirya melesat ke udara seperti pengecam cambuk.
***
Sampai di mana kesabaran seseorang mulai kentara batasnya, di situlah emosi biasanya meluap hampir tak teredam.
Dunia tak sekecil yang kita bayangkan, masih banyak tempat yang belum pernah kita pikirkan ternyata menyimpan bukti keberadaan jejak langkah yang pernah ditelusuri. Dalam jarak yang begitu jauh, terkadang seseorang hanya sanggup membayangkan keberadaan itu nyata di pikirannya, padahal sesungguhnya itu tak sama seperti apa yang dikira.
Begitu kuatnya keyakinan Rei bahwa ia pasti akan berhasil mencapai saatnya. Tujuh hari berada di Belfast, ia telah berpeluh keringat dan air mata demi mencari dua buah makam berpenghunikan jasad kedua orang tuanya. Sepuluh tahun yang lalu―ketika umurnya masih enam tahun―itu adalah saat terakhir ia menginjakkan kaki di Negara tersebut. Semua keadaan telah berubah. Ia masih sangat kecil untuk mengingat semua tempat dan keadaan yang ada.
Rumah penduduk semakin rapat dan berlomba-lomba untuk memperluas halaman rumah. Kedai-kedai minuman diramaikan dengan hingar bingar musik di sana-sini, sedikit banyaknya Rei telah mengerti bahasa inggris dari apa yang sempat diajarkan oleh papanya ketika masih kecil. Ia tak sempat memperdalam, ia hanya tahu bagaimana mendengarkan orang asing berbicara dalam bahasa inggris lalu menanggapinya dengan jawaban seadanya.
Belfast ... Belfast ...
Rei telah berulang kali mencoba mengingat, memastikan apakah ada kota lain yang sempat ditinggali kedua orang tuanya. Ia sama sekali buta, tak ingat dan tak menahu harus ke mana arah yang ia tempuh untuk menelusuri jejak peninggalan papanya. Ini adalah makam ke tiga yang telah ia kunjungi. Di Negara yang mayoritas penduduknya adalah penganut katolik dan kristen, akan sangat sulit untuk menemukan satu buah saja makam seorang muslim. Ini seperti mencari udang di dalam kolam ikan mas. Seseorang bisa tersesat dalam situasi yang memaksa dirinya untuk terus berusaha menemukan petunjuk.
Satu saja makam orang muslim. Para penduduk Belfast yang memeluk islam, biasanya menguburkan anggota keluarga mereka yang telah meninggal, tak jauh dari tempat tinggal keluarga yang ditinggalkan. Atau di tanah lain milik orang tersebut. lalu, kalau sudah begitu, Rei tak punya cara lain kecuali: merelakan.
Menyerah bukanlah sebuah alasan, ia sudah bertindak terlalu jauh hanya untuk memperoleh kesempatan emas ini. Arca berupa batu nisan bertuliskan nama kedua orang tuanya, seandainya saja Rei diberi waktu lebih lama lagi untuk tinggal di sini, pasti ia akan menemukan itu.
Namun, yang ada hanyalah kelelahan. Rei telah berkeliling kota untuk waktu yang cukup memakan habis tenaga serta rasa malu. Bertanya pada setiap orang yang melintas, pada penjaga toko roti, supir taxi, bahkan penjual sepatu. Tak ada yang mengenal keluarga Rhevan. Menepis sedikit kisah; Rei mulai tidak yakin pada cerita bibinya yang mengatakan bahwa papanya adalah seorang pengusaha ekspor impor sepatu terkenal di Irlandia. Tak cukup bukti untuk memperkuat cerita itu.
Kini ia tak punya keputusan, berlama-lama di tempat yang tak ia kenal lagi bisa membuat pikirannya tak menentu. Ia pun kembali ke Jurys Inn Hotel, tempat kedua kakak palsunya menunggu.
Setelah selesai mengembalikan sepeda yang ia sewa dari toko sepeda, Rei meringankan kaki dengan kepala tertunduk kecewa. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku mantel hangat. Sebentar lagi mereka akan keluar dari suhu sebelas derajat ini.
Mukanya memerah, ia telah berusaha sedari tadi untuk membuat wajahnya seceria mungkin. Namun ketika Rei tiba di hadapan Wirya dan Vivi, mata sayunya tak dapat menipu, meskipun senyum bertengger di balik raut ketegarannya.
"Kita pulang," katanya mengejutkan mereka.
Vivi bangkit dari duduk santainya, layar ponsel itu masih memperlihatkan adegan yang di latar belakangi Albert Clock.
"Hei! Kami pikir kamu mau minggat lagi " seru Vivi sambil menggelengkan kepalanya, menganggap ketidakwajaran adiknya yang bisa ditangkap juga oleh Wirya. "Vivi bilang juga apa, Mas. Ema pasti bakal balik."
Wirya memperhatikan wajah Ema. Akhirnya ketahuan juga, pikir Ema. "Kamu habis nangis? Kenapa?"
Dada penuh kekecewaan itu membusung seraya dengan tarikan napas Rei. Ia sudah melakukan hal paling berdosa, berkonsekuensi tinggi, tapi mengapa tak ada pengorbanan yang seharusnya membuahkan hasil. Jika hanya sebatas ini, lebih baik ia menyerah dan mengembalikan segalanya ke posisi semula. Membuat derajat perilakunya menyesuai sebagaimana seharusnya. Rei berdehem, membersihkan rongga di tenggorokannya.
"Nggak ada apa-apa," jawabnya berusaha bersikap netral.
Vivi mendekatkan wajahnya, memastikan. "Apa kamu merasa lebih baik sekarang?"
"Dari segi mana?" pikir Rei dalam hati.
"Kamu nggak kasih tau ke kita pergi ke mana, kami cemas nungguin kamu, Ma."
Mungkin inilah saatnya. Rei menarik kopernya, mencari tempat yang lebih leluasa. Agar suaranya tak menggema di gedung hotel ini. "Sama sekali enggak," jawabnya sambil berjalan dengan beban tarikan yang lumayan berat.
Wirya memicingkan mata, tangan kanannya menarik koper sedangkan tangan kirinya menggendong Billy kerepotan. Tapi telinganya masih sanggup menangkap sinyal-sinyal keresahan dari mulut adiknya. "Maksudmu? Kamu pikir apa yang Mas harapkan dari kamu dari liburan ini? Dan sekarang kamu bilang gak ada apa-apanya?"
Sebuah taxi berwarna putih dengan sengaja berhenti tak jauh dari mereka. Seolah mengumpankan diri untuk mendapatkan penumpang. Wirya melambaikan tangan bermaksud memanggil. Taxi itu berhenti tepat di hadapan mereka. Sang supir, lelaki berambut hitam dan bertubuh jangkung keluar dari sana dan menawarkan bantuan untuk menaruh bawaan mereka ke dalam bagasi.
"Kalian pikir aku minta berkunjung ke Belfast untuk bersenang- senang?" Ia meringis tawa, "kalian salah paham."
Tangan kanan Vivi yang tadinya hendak membuka pintu taxi, terhenti mendadak. "Apa? Apa Mbak gak salah denger?"
Baiklah, Rei biarkan mereka terbawa emosi. Barangkali dengan begitu mereka akan marah, kecewa lalu meninggalkan ia sendiri di Negara ini. Dengan begitu, ia akan punya lebih banyak waktu untuk meneruskan misi semula.
Rei menundukkan dagu, menelan air ludahnya kemudian menatap kedua pasang mata yang memperlihatkan ribuan tanda tanya seolah akan mencuat keluar.
"Dari awal aku udah bilang, kalau aku bukan Ema." leher Vivi terlihat menegang. "Waktu aku berumur delapan tahun, papaku yang seorang warga Negara Irlandia beserta mama meninggal dalam sebuah kecelakaan. Mereka dimakamkan di sini. Di Belfast, setidaknya itulah yang kutahu."
"Ema?" Wirya membenarkan posisi anaknya yangsudah lebih dulu masuk ke dalam taksi. "Lagi-lagi kamu bicara ngaco."
"Aku rasa kalian sudah tahu, alasan kenapa aku memilih pergi ke Irlandia."
Ya Tuhan, ini perbuatan paling nekad yang pernah dilakukan Rei seumur hidupnya. Mengakui kesalahan―kebohongan sendiri di hadapan korbannya. Ia bahkan memasang wajah garang menantang, seperti hendak menyombongkan diri. Bangga setelah melihat ekspresi keterkejutan Wirya dan Vivi yang ternyata―bisa membuat ia menitikkan air mata. Tatkala menyadari kebodohannya selama ini, karena telah membohongi orang sebaik mereka.
"Aku harus berhenti sampai di sini. Semuanya selesai." Ia mengambil langkah mundur menjauh, "terserah kalian mau melakukan apa padaku. aku bakal terima."
"Cuma sampai di sini?" Vivi merentangkan tangannya lalu jatuh di antara kedua paha. Sedangkan Wirya masih kerepotan menyikapi Billy. "Kamu kembali ke rumah, ngomongin hal-hal bodoh nggak masuk akal. Seperti orang amnesia, lalu tiba-tiba kamu bertingkah aneh dan mengakui diri sebagai Ema. Apa kamu sadar sama apa yang sudah kamu buat? Tentang perasaan kami? Kamu anggap kami orang tolol?"
Ketika Rei terdiam―tak menjawab―ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya yang dingin. Tapi ternyata mereka masih ada di dalam lobby hotel. Sama sekali belum bergerak kemana-mana.
BERSAMBUNG
Ema ... sial banget kamu ketemu dopleganger T_T
Comment on chapter Chapter 3 - Darah dan Pelarian3 bab nya bikin penasaran, selanjutnya ?