Rei mulai tahu bagaimana cara menikmati hidup. Ia belajar menyetir mobil dan meninggalkan rutinitas mengotak-atik motor. Ia belajar bagaimana cara merawat tubuh. Mulai dari facial, body treatment, hingga memperlakukan rambutnya dengan sangat istimewa. Membuat penampilannya sesempurna mungkin hingga mengkilap. Ia belajar bagaimana nada suara serta cara orang-orang kaya berbicara. Topik-topik yang selalu mereka perbincangkan mulai dari selebriti, pejabat, dan semuanya itu membuat ia merasa ingin muntah.
Ia belajar untuk bisa mengenali merek fashion terkenal dan membedakannya dengan yang palsu; seperti Prada, Jimmy Choo, Chanel, Hermes, Burberry, Louis Vuitton; dan semua hal yang mewah juga gemerlap. Ia belajar bagaimana cara menggunakan M-Banking―dan terkejut setengah mati ketika melihat jumlah saldo yang menakutkan. Oleh karena itu ia juga belajar bagaimana meniru tanda tangan Ema yang asli. Ia belajar―belajar membuat semuanya tampak sempurna dan sepuas mungkin, menjelajahi kenikmatan hidup yang tak pernah terpikir sebelumnya.
***
Saat-saat makan merupakan momen terpenting bagi keluarga ini―acara yang harus direncanakan, diresapi, dan juga dinikmati. Makan malam mesti selalu hangat, dan dihidangkan dengan menu yang istimewa. Serta hiasan-hiasan di setiap sajian masakan untuk membangkitkan selera.
Ia bahkan hampir tak tahu bagaimana tata krama di meja makan. Vivi selalu menegur setiap kali sendoknya berdenting keras di piring (padahal menurutnya itu bukanlah suatu hal yang seharusnya tak perlu dilarang). Saat ini pun, sepertinya ia harus belajar lebih keras untuk bisa menguasai etika menjadi orang kaya.
Ternyata, itu lebih sulit daripada pelajaran matematika atau tenses bahasa Inggris. Bi Nah menghidangkan sajian lezat di depan matanya. Dan dalam hitungan detik, Ema berhasil menghabiskan tiga ekor ayam goreng dalam tiga puluh kali gigitan. Untuk yang satu ini, sendok dan garpu tak punya peranan penting dalam acara makan malam. Di tengah kelahapannya, tak sengaja ia bersendawa keras. Vivi dan Wirya langsung melempar tudingan menjijikkan padanya.
"Ema! Jorok banget sih!" tegur Vivi mendelikkan mata.
Rei menyengir. "Sorry! Mbak, Mas! Gak sengaja―" Ia bersendawa lagi.
Vivi menghela napas kesal. "Astaga ... punya etika nggak sih kamu? Cara duduk kamu itu! Bisa nggak sih, nggak pake gaya angkat kaki?"
Ema manyun, menurunkan satu kaki, kemudian melanjutkan makannya kembali. "Huhhh ... hari gini Mbak tuh masih aja mikirin sopan. Yang namanya makan itu harus dinikmati, nabi Muhammad aja mengajarkan kita seperti itu." Vivi terdiam, sedangkan Ema tetap mengambil nasi dan meletakkannya kembali ke atas piring.
Sekilas, Vivi menyadari sesuatu. Ada sesuatu yang berbeda di sekitar jemari adiknya. Benda pemberiannya itu seharusnya ada di antara jemari lentik Ema.
"Cincin yang Mbak kasih ke kamu mana? Kenapa nggak kamu pakai?"
"Hah?" Wajah Ema tiba-tiba pucat, kalimatnya tergugup bingung. "Mmm ... cincinnya ...." Ia memutar-mutar pikirannya untuk mencari alasan yang tepat agar Vivi tidak curiga terhadap gerak–gerik anehnya. "Maaf, Mbak. Cincinnya lepas terus jatuh di kamar mandi masuk got, Ema udah berusaha untuk mengambilnya, tapi nggak bisa. Ema minta maaf banget, Mbak. Bukan maksud Ema–"
"Cincin itu berharga lho, Ma ... kenapa gampang banget kamu menghilangkannya?" Nada suara Vivi sedikit menaik. Ia tampak semakin kesal pada adiknya yang hanya bisa tertunduk kikuk sambil melunakkan kunyahan di mulutnya. "Mbak lihat akhir-akhir ini sikap kamu tambah aneh tau nggak?"
Kini Rei menghentikan semua gerakkan anggota tubuhnya, bahkan napasnya pun hampir terhenti. Sedikit terkejut, ternyata selama ini Vivi menyadari perbedaan itu.
"Ya udah, kalau udah hilang mau diapakan lagi?" Wirya membela. Dan Ema sedikit lega "Gak usah marah-marah gitulah, Ema jugakan nggak sengaja."
"Vivi bukannya marah, Mas. Vivi Cuma kasih tau ke Ema, supaya dia itu bisa jaga barang baik-baik." Kini kedua bola mata Vivi menyorot ke arah Ema. "Makanya lain kali kalau punya barang itu hati- hati."
Rei meneguk segelas air putih. Ia lega. Bisa melewati pertanyaan yang baru saja terlontar dari Vivi. Ia pun dengan cepat menyudahi makan malamnya. Setelah itu melarikan diri dari ruang makan sebelum mereka bertanya semakin jauh tentang banyak hal yang tak ia ketahui sama sekali. Setidaknya, kamar tidur adalah tempat yang paling aman untuk sementara waktu.
Rei sedang duduk bersandar di kasur empuknya. Ia berharap, keadaan di luar kamarnya kembali normal tanpa ada lagi prasangka-prasangka curiga yang diidap kedua saudaranya―terutama Vivi.
Di dalam kesendirian, kedua tangannya sibuk membolak-balik album foto yang terkadang membuatnya tertawa sendiri. Dilihat dari sudut mana pun, wajah Ema yang asli begitu mirip dengannya. Ia tak tahu, mengapa Allah merencanakan semua ini untuknya. Sesaat ia terpikir, bagaimana kalau Ema adalah saudara kembarnya yang terpisah dari mama dan papa Rhevan, atau sebaliknya. Akan tetapi, ia menyangkal hati kecilnya itu, ini semua hanyalah kebetulan baginya. Dan tak ada yang perlu diselidiki. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja selama ia bisa menjaga sikap dan menjauhi orang-orang yang pernah terlibat dengannya dulu sewaktu dirinya menjadi seorang Renata.
Tiba-tiba saja pikirannya mengingat peristiwa mengerikan dua minggu yang lalu. ia ingin tahu bagaimana nasib Ema yang terbunuh waktu itu, bagaimana reaksi paman dan bibinya ketika pulang dan mendapati gadis yang mereka kira adalah keponakannya tewas tak bernyawa lagi. Mereka pasti akan sangat terpukul dan kehilangan kalau saja Rei benar-benar meninggal, nisan di makamnya pasti tertulis nama Renata Rhevan. Dan semua orang yang mengira itu adalah jenazahnya, akan memanjatkan doa–doa atas nama Rei, bukan Ema. Itulah sebabnya, Rei selalu menangis ketika mendoakan keselamatan dan kelapangan alam kubur untuk Ema. Karena tak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk berdoa selain dirinya sendiri.
Ia membalikan lagi album foto di tangan. Ada foto Wirya dan istrinya, ketika mereka baru menikah. Dua bulan yang lalu, mereka bercerai dikarenakan ulah istrinya yang berselingkuh dengan pria lain. Wirya memenangkan hak asuh atas Billy ketika ia masih berusia satu tahun dua bulan.
Di luar sana, halilintar bergemuruh sangat kuat, memekakan telinga dan mengejutkan jantungnya. Lamunannya pun hilang. Pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Vivi masuk tergesa-gesa kemudian naik ke atas kasur dan dengan cepat menyergap tubuh adiknya. Tidak tahu dengan apa yang terjadi pada wanita yang sudah Rei anggap sebagai kakak kandungnya.
Vivi memegangi kepala dan menutup telinga Rei rapat-rapat. Napasnya hangat.
"Kamu nggak usah takut, Mbak ada di sini. Oke?"
Rei mengerutkan keningnya tak mengerti dengan sikap Vivi yang aneh, padahal baru beberapa menit yang lalu perempuan itu berdebat dengannya dan hampir bertengkar saling mempertahankan argumen.
"Mbak kenapa, sih? Kok tiba-tiba meluk Ema kayak begini? Emangnya ada apa?"
Vivi terheran, kemudian melepaskan pelukannya dengan cepat. "Apa kamu gak denger suara petir? Kamu kan pobia suara petir dari kecil, Ma?"
Rei membelalakkan matanya. Lagi-lagi dia salah mengambil sikap. Wajar saja karena ia tak tahu pobia yang dimiliki Ema sesungguhnya, bukan pobia Ema yang satu ini. Apa boleh buat, ia sudah terlanjur salah mengambil sikap. Sebaiknya ia mengatakan kalau pobia suara petir yang selama ini diidapnya sudah hilang dan musnah.
"Iya, Ema memang pobia suara petir dari kecil. Tapi sekarang udah enggak lagi, Mbak. Karena Ema sadar, suara petir kayak gitu tuh gak akan bikin aku terbunuh." Rei tersenyum, dan disusul juga dengan senyuman dari bibir Vivi yang disertai belaian lembut di kepalanya. Vivi masih menganggap Ema seperti anak kecil yang penakut, barangkali Ema yang dulu memang iya, tapi Ema yang sekarang jauh lebih pemberani dan lebih mandiri.
"Syukurlah kalau gitu. Itu artinya Mbak gak perlu mencemaskan kamu setiap kali ada suara petir." Mereka saling berpandangan, tatapan mata mereka sangatlah lekat. "Mbak lihat, kamu banyak berubah sejak kamu pulang dari pelarian. Kamu jadi lebih berani, mandiri, penyayang dan kamu juga jadi lebih sering shalat. Boleh Mbak tahu? Apa yang bikin kamu banyak berubah?"
Rei menelan saliva, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang menyerang. Jawaban itu harus logis dan tepat. Ia tidak mau sampai terjebak untuk kesekian kalinya.
Rei menundukkan kepala menyembunyikan wajahnya dari tatapan tajam Vivi, berbicara sedikit tergugup. "Waktu itu ... Ema ketemu sama seorang gadis yang hebat. Dia miskin, tapi dia punya segala kebaikan dalam dirinya. Dia mengajarkan Ema bagaimana menghargai orang lain yang lebih susah. Memberi tahu Ema bagaimana menghadapi hidup yang sulit dengan berjuang dan kerja keras sampai mendapatkan apa yang kita inginkan. Dan dia menuntun Ema untuk merasa kecil dihadapan Allah yang telah memberikan kita kesempatan hidup. Semua yang dikatakannya, membuat Ema sadar, bahwa hidup nggak selamanya baik. Ada kalanya kita harus punya persiapan untuk menghadapi saat-saat terburuk dalam hidup. Caranya adalah dengan berbuat yang terbaik untuk orang lain dan diri sendiri." Karangan yang pantas mendapat nilai sempurna.
Vivi tertegun mendengar keterangan adiknya. Ia tidak pernah tahu kalau adiknya bisa sebijak dan sepintar itu berkata-kata. Selama ini Vivi selalu menganggap Ema sebagai anak yang manja dan bergantung pada orang lain, tapi ternyata ia salah. Adik kecilnya kini sudah mulai beranjak dewasa, sudah bisa memahami lingkungan sekitarnya.
Ia sangat senang sebagai seorang kakak. Tubuhnya merapat lebih dekat di samping Ema. "Mbak selalu senang kalau kamu berubah ke arah yang lebih baik. Kamu udah hampir dewasa, Ma. Si kecil Ema yang dulu manja sekarang udah bisa mandiri. Mbak takjub."
Vivi melihat album foto di pangkuan Ema. Ia membukanya dan melihat foto di mana tertera wajahnya, Wirya, serta mama dan papa. Di foto tersebut mereka baru saja merayakan ulang tahun Wirya yang ke delapan tahun. Jarinya mengusap-usap foto mamanya.
"Mama dan juga papa pasti senang melihat ketiga anaknya bisa hidup mandiri seperti sekarang." Tanpa disadari, air matanya menitik.
Rei bisa melihat butiran air mata itu sangat bening di mata Vivi.
"Mbak?" sebut Rei lirih.
Namun Vivi tak mau meredakan air matanya, ia ingin air mata ini dijadikan sebagai pendamping kenangan.
"Kamu lihat wajah papa di foto ini?"
Rei melihat ke mana jari Vivi mengarahkannya tepat di atas foto papa.
"Papa adalah seorang ayah yang sangat hebat. Dia selalu berjuang segenap kekuatannya untuk menjaga dan merawat ketiga anaknya yang ditinggal mama yang meninggal setelah beberapa hari melahirkan kamu.
"Meskipun papa sangat sedih kehilangan sosok seorang istri, dia tetap tegar dan berusaha mencarikan nafkah dan kehidupan yang layak untuk kita. Pada masa itu kehidupan kita sangatlah melarat. Miskin nggak punya apa-apa. Cuma sebuah rumah makan yang dijadikan tempat berjualan papa ketika siang, dan kamar tidur ketika malam."
Rei mendengarkan curahan hati Vivi dengan sepenuh hati. Meskipun suara petir di luar sana terus bersaut-sautan.
"Tapi papa nggak pernah menyerah. Dia terus bekerja keras sampai akhirnya punya rumah makan sendiri dan terus berkembang sampai akhirnya punya sepuluh cabang rumah makan. Usaha papa terus berkembang pesat, dia memberanikan diri membuka restoran baru yang akhirnya banyak diminati para pecinta kuliner. Sampai akhirnya, papa punya kerajaan bisnis yang hebat, yang dia bangun dari hasil jerih payahnya sendiri selama bertahun-tahun. Dia papa yang sangat membanggakan. Sampai dia meninggal dua tahun yang lalu pun, papa tetap memberikan yang terbaik untuk kita. Papa sudah menyediakan warisan yang sama rata buat kamu, Mbak, dan Mas Wirya.
"Mbak dan Mas Wirya udah mulai mengelola bagian restoran kami, dan sekarang giliran kamu yang mengelola restoran kamu sendiri. Sesuai pesan papa, kamu boleh mengelola restoran Ilalang setelah kamu berusia genap enam belas tahun."
Spontan Rei terkejut. Umurnya masih lima belas tahun dan mereka sudah merencanakan ini sejak Ema kecil. Mengelola sebuah restoran di usianya yang masih sangat belia. Bahkan seperti apa bentuk atau letak restorannya pun ia tidak tahu sama sekali.
Keluarga macam apa ini? Yang dengan mudah menyerahkan perusahaan pada seorang gadis yang masih belia, yang masih butuh bermain dan bergaul dengan anak-anak lain. Sedangkan ia harus mengelola perusahaan dengan susah payah dan bersiap diri untuk dibayang-bayangi pekerjaan yang menumpuk.
"Seandainya aja papa dan mama masih ada, pasti mereka senang melihat kamu udah sebesar ini. Pinter lagi." Vivi mengusik-usik rambutnya lantas memberi pelukan gemas sampai giginya bergemeretak.
Mama yang Mbak maksud bukanlah mamaku, tapi aku berharap sebagai Rei, agar mamaku pun senang di sana. Dan jika yang Mbak maksud adalah mamanya Ema, aku berharap Ema bisa bertemu dengan papa dan mamanya. Seperti apa yang dia bilang padaku tentang kerinduannya terhadap sosok seorang mama terakhir kali bertemu.
Ema ... sial banget kamu ketemu dopleganger T_T
Comment on chapter Chapter 3 - Darah dan Pelarian3 bab nya bikin penasaran, selanjutnya ?