Ia tak mungkin tega mengatakan hal yang sebenarnya, lalu melihat mereka menyesali kesalahan yang telah membuat ia terjebak dalam tipu dayanya sendiri. Walau bagaimanapun, kedua saudara palsunya itulah yang telah membantunya keluar dari kesulitan hidup; membantunya menemukan makna baru dalam masa pendewasaan; membantunya mewujudkan semua keinginan juga cita-cita yang―bahkan tak pernah terpikir sebelumnya. Lalu Rei menyerah, ia pun berlalu dari masa lalu dan kembali bertekad untuk mempertahankan semua ini sesempurna mungkin.
Hari minggu yang melelahkan menyapa mereka ketika kembali ke rumah setelah liburan yang cukup mengesankan. Kini saatnya berurusan dengan sekolah. Rei mendapat predikat yang cukup lumayan untuk masuk di SMA Negeri 1. Ia berhasil melewati tiga hari masa orientasi yang cukup melelahkan, menyebalkan dan hampir saja membuat ia latah―memukuli kakak seniornya yang bersikap kurang ajar padanya―memperlakukannya seolah-olah ia perempuan yang tak punya prinsip.
Seorang guru mata pelajaran fisika yang akrab dipanggil Bu Saragih―dan sekaligus sebagai wali kelasnya―memberlakukan peraturan tempat duduk. Rei ditempatkan di bangku paling belakang karena tinggi badannya yang membuat ia harus menjadi siswa yang mengalah. Tempat duduk yang paling tak ia sukai. Orang yang duduk di belakang biasanya cenderung terbelakang, identik dengan murid pemalas yang tak tahu apa-apa selain tertawa keras-keras, mencontek dan sekaligus meja yang paling cocok untuk tidur saat mendapati pelajaran yang membosankan.
Jika disuruh memilih, ia akan minta duduk di bagian tengah barisan, atau depan adalah pilihan yang tidak terlalu buruk. Para guru akan lebih mudah mengingat wajah serta namamu jika kau duduk di barisan depan. Dan bersiap-siaplah untuk menjadi orang pertama yang ditunjuk maju ke depan saat menyelesaikan soal.
Langit, sahabatnya yang baru ia kenal lewat kompilasi dusta-dustanya menjadi teman pertama di sekolah yang sama. Ia sedikit terkejut saat mengetahui Langit adalah sahabat Ema yang tergolong pintar meski dalam segi perekonomian keluarga Langit berada di kelas menengah. Meski hingga sekarang cowok itu masih di bawah pengawasan Rei, tidak ada hal yang krusial mengenai perubahan identitas dirinya di mata Langit. Setidaknya itu yang Rei perhatikan.
Jam istirahat pertama menjadi momen menyenangkan bersama Langit. Mereka duduk di kantin, terhanyut dalam pembicaraan heboh. Dari arah pintu masuk kantin, dua orang cewek berpenampilan rapi dan bersih tanpa ada noda sedikitpun di sepatunya datang menghampiri mereka.
Langit memicingkan mata, menyikut lengan Rei. “Siapa? Lo kenal sama mereka?”
Rei tidak ingin buru-buru menjawab. Ia tentu tidak kenal dengan dua cewek itu, tapi bisa saja justru mereka yang kenal dengan Ema versi asli. Jika mereka adalah teman lama Ema, mustahil rasanya Langit juga tidak mengenalnya. Akan tetapi, Langit dan Ema saja berasal dari SMP yang berbeda.
"Hai, Ema!" panggil salah satu dari kedua cewek itu.
"Hai!" sapanya balik dengan ekspresi sedikit bingung melihat wajah asing mereka.
"Gue nggak nyangka lo sekolah di sini juga," pekik salah seorang berkacamata minus sembari tersenyum. Itu adalah senyum keramahan terindah yang pernah dilihat Rei, "kita satu kelas loh!"
"Hah? Memangnya kenapa?" tanya Ema tak mengerti. Kenapa dia harus kasih pengumuman ke semua orang kalau dia masuk ke Smansa? Memangnya penting?
"Ya ampun! Lo nggak lupa ‘kan sama temen SMP lo ini?"
"Temen SMP?" Wah gawat! Gimana jalannya gue kenal sama temen-temen SMP-nya Ema?
"Grace!" Cewek itu menunjuk dirinya sendiri meyakinkan Rei bahwa dia adalah teman semasa SMP dulu. “Kita tuh pernah cheerleader bareng! Lo yang selalu pegang pompom kebalik! Dan lo yang suka bilang “Goyang kanan” padahal kita udah loncat-loncat ke kiri!”
Rei memandangi mereka satu per satu dengan ekspresi bingung bercampur linglung. Iya menggigit bibir gugup. “Haha ... ya ampun, klasik banget. Itu ... gue banget.” Ema yang dulu ternyata seabsurd itu, pikirnya dalam hati.
"Baru tiga mingguan lulus, udah amnesia aja sih?" cibir salah satunya yang bertubuh agak gempal.
Rei melirik bordiran nama di dada kanan seragam gadis itu yang bertuliskan ‘Sarah Klasiona’.
Sarah menatapnya curiga. “Lo baik-baik aja, Ma? Lo kayak ... beda,” tiliknya yang kemudian melirik ke teman sebelah Rei yang tersenyum-senyum melihat mereka.
“Iya. Biasanya lo langsung nyodorin meme kalau awkward. Sekarang malah diem. Lo lagi detoks otak, ya?” tanya Grace dengan wajah canda khas.
Rei tertawa nyengir menanggapi humor Grace dan Sarah ketika mereka mulai duduk bersama mereka. “Iya! Detoks jiwa juga. Gue ikut retret ke hutan bambu selama liburan.”
“Hutan bambu?” tanya Grace.
“Ya, terus gue nemu kedamaian hati, tapi konsekuensinya gue harus kehilangan ingatan masa lalu.”
Langit tertawa kecil disusul Grace yang tertular.
“Tunggu! Lo kena amnesia?” Sarah penasaran.
Rei mengangkat bahu. “Bisa dibilang gitu. Gue Ema yang baru. Upgrade. Versi 2.0.”
Sarah melotot. “Ini sih bukan upgrade, tapi reboot!”
Grace dan Sarah tertawa lebar hingga suara mereka menyeluruhi kantin.
"Oh iya! Ini, kenalin temen gue. Namanya Langit. Langit, kenalin ini Grace dan yang rada tobrut itu Sarah." Ema memperkenalkan Senja pada Grace dan Sarah yang manyun karena dikatain tobrut.
Sarah beranjak memesan makanan, sedangkan Grace duduk di hadapan Rei dengan pandangan yang hampir tak lekang dari wajah Rei. Sesekali Rei mendapati Grace meliriknya tajam. Ia berusaha untuk tidak berprasangka buruk. Sedekat apa Grace dengan Ema dulunya? Ia akan menelusurinya nanti sepulang sekolah. Sesuatu di dalam ponselnya pasti menyimpan jejak tentang hubungan mereka.
“Gue denger dari temen-temen, katanya lo sempat hilang beberapa hari pas liburan kemarin? Beneran?” tanya Grace tanpa basa-basi pada Rei.
Tempe goreng yang baru saja ia gigit mendadak terasa pahit di mulut. Ia mencoba menetralisir keadaan untuk tidak terlalu terbuka pada siapa pun kecuali Langit yang pernah tahu tentang alasan klise Ema kabur waktu itu.
“Cuma sehari doang. Maklumlah proses pencarian jati diri. Rencananya gue mau ke gunung Kidul, tapi takut duluan sama penghuni-penghuninya.”
Langit tertawa. “Kaya mau menimba ilmu kanuragan aja lo, Ma.”
“Gila, ya. Di situasi rawan gini lo masih bisa bercanda.”
Kunyahan di mulut Rei langsung berhenti mendengar kalimat Grace yang didukung dengan senyuman miring yang tampak menakutkan. Langit dan Rei saling memandang sesaat.
“Ra - rawan gimana maksud lo, Grace?” Pertanyaan tersebut seharusnya keluar dari mulut Rei, tetapi entah bagaimana, Langit mewakili isi hatinya.
Tiba-tiba suasa di meja itu suram bagi Rei. Wajah Grace tampak tidak ramah, tidak seperti pertama kali ia datang satu menit yang lalu. Apa jangan-jangan ia juga tahu mengenai Ema?
“Gue tahu tentang lo, Ema,” ucap Grace sambil tersenyum miring.
“Tahu tentang apaan?”
Pertanyaan Rei seakan ringan di telinga Grace. Sementara degup jantung di dalam dada Rei cukup memungkinkan baginya untuk dilanda serangan panik.
Grace menunduk, memainkan layar ponselnya, tetapi bola matanya naik menatap Rei yang masih tak berkedip. “Memangnya lo lupa sedekat apa kita dulu? Kita—”
Kalimat Grace terputus ketika Sarah tiba-tiba datang dengan suara lantang dan senampan penuh makanan. “Gue pesenin lo mi ayam, Grace. Ini mi ayam pertama yang kita rasain di kantin sekolah baru. Kita harus rayakan ini!”
Keceriaan yang dibawa Sarah membuat kemuraman menjadi terang benderang. Rei berpura-pura untuk tidak mengerti apa yang dikatakan Grace meski sejatinya ia penasaran dengan kalimat selanjutnya. Grace tertawa, tetapi sesekali ia melirik Rei. Begitupun dengan Langit yang tampak tidak menikmati suasana canggung.
***
Tidak ada waktu untuk bersantai. Rei langsung menghempaskan tubuhnya di kasur begitu sampai di rumah sepulang sekolah. Ponsel di dalam tas diambil cepat dan langsung mecari tahu tentang Grace. Ini tindakan yang entah ke berapa kali dilakukan Rei semenjak ia betul-betul terobsesi dengan kehidupan Ema.
Ia membuka aplikasi pesan, mencari nama Grace di kolom pencarian kontak. Ya, dia menemukannya, tetapi hanya ada pesan-pesan singkat yang tidak terlalu akrab. Seputar pertanyaan tugas sekolah, atau pesan soal Grace yang ingin meminjam buku mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tidak ada pesan teks yang menyiratkan kedekatan mereka. Sangat berbeda dengan histori obrolan Langit dan Ema. Mereka terlihat begitu dekat dan wajar jika Langit sempat curiga dengan Rei.
Grace tahu sesuatu. Sesuatu apa? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di dalam otaknya. Ia mencoba kembali mengobrak-abrik isi laci meja belajar Ema, potongan-potongan kertas yang ia temukan dibaca satu per satu. Namun, yang ada hanya tulisan-tulisan hasil cetak printer berupa kata-kata motivasi, foto-foto idol Korea, foto dirinya yang dalam versi muka datar tapi dirobek dan disandingkan dengan foto dirinya yang lain berwajah penuh senyum hingga terkesan ada dua orang yang sama. Rei terdiam sesaat. Foto yang sebelah kiri ditulis ‘Ema’ menggunakan spidol tinta merah, sedangkan sebelah kanan diberi tanda tanya. Ia membalikkan kertas yang digunakan untuk menempel dua foto tersebut, tetapi tidak menemukan apa-apa.
Sesuatu di dalam dirinya diterpa rasa penasaran yang sulit dimengerti. Tampaknya Ema tahu sesuatu mengenai mereka berdua. Rei sudah ditargetkan sejak sekian lama. Pertemuan yang terkesan kebetulan itu bisa saja rencana yang memang sudah dipersiapkan Ema agar unsur ketidasengajaannya terjaga baik-baik.
Lantas apa yang hendak disampaikan Ema? Mengapa ia tidak memberitahukannya saja malam itu tanpa harus melewati pagi yang pada akhirnya membuat maut memilih salah satu di antara mereka?
Rei terduduk lemas. Ia terguncang. Ini merupakan suatu kejadian yang tidak akan mengubah prinsipnya sebab ia telah siap menerima konsekuensi apa pun.
Ema ... sial banget kamu ketemu dopleganger T_T
Comment on chapter Chapter 3 - Darah dan Pelarian3 bab nya bikin penasaran, selanjutnya ?