Wirya hampir terjatuh dari kursi mendengar nada tinggi adiknya. Akan tetapi, itu adalah permintaan, berubah pikiran adalah hal yang wajar, bukan?
"Oke. Kita bakal pergi ke sana. Tapi setelah keadaanmu membaik dan kamu nggak bersikap kayak orang amnesia lagi."
Rei semakin yakin. Kini ia telah bertumpu pada bebatuan yang cukup kuat menahan bobot tubuhnya untuk mencapai puncak. Tinggal beberapa tanjakan lagi, ia akan sampai pada tanah datar. Rei hampir berhasil. Kalau tidak menjadi Ema, ia tak mungkin bisa pergi ke sana. Maka ia harus punya kekuatan untuk berani melakukan ini semua. Ada landasan pacu yang hendak membawanya pada arena kebahagiaan. Karena hanya dengan cara ini, Rei bisa merubah hidupnya untuk hal yang lebih menjanjikan.
Apa kabar paman dan bibinya? Pasti mereka akan mengira bahwa yang tewas terbunuh itu adalah keponakan mereka. Tak ada bukti yang bisa membenarkan bahwa yang tergeletak bersimbah darah itu adalah seorang Rei. Mereka punya wajah dan tubuh yang sama persis. Benda-benda milik Ema semuanya berada di tangan Rei tanpa harus berpindah tangan atau kembali pada pemiliknya. Semua orang yang pernah mengenal Rei akan mengira dia sudah mati. Meskipun dalam keadaan yang amat sangat mengenaskan.
Hanya dengan cara merahasiakan semua inilah ia bisa keluar dari keterpurukan juga kesusahan yang tak berujung. Menjadi seorang Ema kiranya bukanlah hal yang harus ditakuti atau dipersulit. Kenyataannya, kedua orang tolol itu sangat yakin dan percaya bahwa ia adalah adik kandung mereka. Maka ia tak perlu memikul kesalahan itu sendirian. Merekalah yang telah membuat ia terjebak dalam situasi rumit seperti ini. Menggoda iman dan juga niat baiknya yang pada mulanya bermaksud menolong mereka dari sebuah kenyataan yang harus dihadapi. Kini, Rei punya cerita yang berbeda. Tak buruk bila harus menjadi seorang Ema kelihatannya.
Ia hanya butuh penyesuaian, maka semuanya akan berjalan normal sebagaimana biasanya.
***
Vivi tak sengaja lewat dan mendapati adiknya termenung di undakan tangga. Ia pun datang menghampiri Ema, duduk merapat di sampingnya, menyentuh bahu Ema perlahan.
"Kenapa masih di sini?"
Ema hanya tersenyum.
"Mbak antar kamu ke kamar ya? Kamu mandi terus habis itu tidur. Ayo!" Vivi menarik tangan Ema kemudian menuntunnya ke lantai atas. Ada living room yang lebih indah dari pada yang lantai bawah, lebih luas dan mungkin bisa dipakai untuk main bulu tangkis.
Mereka masuk ke dalam kamar milik Ema yang luas dan memiliki furnitur serta aksesori klasik terlihat jelas melalui pola penataan yang cenderung simetris dan geometris. Kasur dengan selimut berwarna coklat tua dan bantal berwarna capucino membuat ia ingin segera menggeluti guling-guling yang tersusun rapi di situ.
Itu adalah kamar tidur yang sangat luas, luasnya hampir sama dengan rumah kontrakan Rei sebelumnya. Dengan menempati kamar ini, ia akan merasa bagaikan berada di dalam hotel berbintang lima. Ada TV layar datar di hadapannya. Sebuah lukisan duplikat berjudul The dream karya Pablo Picasso terpampang di dinding atas tempat tidur. Atau jika ia ingin menjajal atau memilih baju, ia bisa membuka lemari selebar tiga meter dengan koleksi baju-baju mahal di dalamnya. Rei akan menunggu saatnya nanti.
Rei telah sampai di dalam kamar mandi yang dipenuhi dengan aksesori batu alam dan kayu serta tata pencahayaan yang sangat menawan, menciptakan nuansa alami yang tak terhingga. Rei bahkan tidak melihat setetes air sedikitpun di kamar mandi ini. Lantainya kering dengan sentuhan keramik piccaso di mana-mana. Sangat jauh berbeda dengan rumah yang ia tempati sebelumnya, di mana-mana becek, di mana-mana kain kotor bergelantungan, bau pesing, bau kloset yang tidak disiram atau tersumbat, aroma parit pembuangan yang meluap dari lubang got . Tidak seperti di sini, semua serba keset dan harum. Benar-benar menakjubkan. Ia tak pernah menyangka bahkan bermimpi akan memiliki kamar mandi semewah ini.
Shower bewarna keperakan itu menitikkan derasan air ke atas kepalanya. Ia duduk meringkuk dengan tubuh telanjang. Seluruh beban yang tadinya menekan kepalanya terasa meluntur seiring dengan sebuah keputusan gila yang harus siap ia tanggung seumur hidup. Ia pernah membaca buku fiksi ilmiah yang menjelaskan bahwa kita semua punya kembaran, hanya saja kita tidak akan pernah berjumpa dengan mereka karena, dapat menyebabkan dunia kita jadi berbenturan.
Dan memang begitu, kini dunia Rei dan Ema telah berbenturan cukup keras hingga menimbulkan retakkan-retakkan yang bahkan tak bisa diperbaiki seperti semula. Terlalu nekad mungkin, dan ini lebih sulit dibandingkan ia harus menjadi seorang Rei. Mereka pasti akan mengutuknya hidup-hidup, menyalahkannya karena telah meninggalkan Ema dalam keadaan sekarat tanpa meminta bantuan orang lain.
Jika saja mereka tidak bertemu, atau jika saja Rei yang berada di tempat tidur pagi itu. Barangkali dia lah yang akan tewas.
***
Sehabis mandi, Rei teringat dengan ponsel milik Ema yang masih ada di saku jaket. Ia berpikir dengan benda itu maka segala hal tentang kepribadian, kebiasaan, hingga orang-orang yang berada di sekitarnya bisa dipelajari. Ia mengisi daya ponsel yang untungnya punya sistem operasi android seperti yang biasa ia gunakan. Ketika layarnya menyala, ia menyeringai puas karena ternyata ponsel tersebut menggunakan face unlock.
Rei menaruh layar tepat di depan wajahnya, seketika kunci terbuka dan ia berteriak kecil seolah menemukan peti harta karun. Hal pertama yang ia telusuri adalah aplikasi pesan. Siapa saja orang-orang yang sering berinteraksi dengan Ema, termasuk seseorang yang paling dekat dengannya kecuali Wirya dan Vivi yang sudah barang tentu.
Di sana, ia menemukan kontak paling atas bernama Langit yang dari gambar profilnya merupakan cowok yang wajahnya hanya tampak dari samping. Dari percakapan terakhir dua hari lalu, tampaknya Ema berencana bertemu dengan Langit. Lantas entah apa yang terjadi, Langit mengirimkan pesan-pesan yang tak dibalas Ema di malam gadis itu menginap di rumah Rei. Sebelum Ema terbunuh tepatnya.
—----------------------------------------------------------
Tujuh Lapis Langit
Lo, marah sama gue? please telepon gue balik Ma.
Gue bukannya nggak mau nemenin lo pergi, gue pikir lo bercanda. Mbak Vivi bilang lo nggak pulang-pulang dari kemarin sore.
—-------------------------------------------------------------
Pesan terakhir dikirim satu jam yang lalu. Kemudian belasan panggilan tak terjawab dari Langit. Entah kenapa Rei begitu penasaran. Barangkali ada hubungan spesial antara Langit dengan Ema, apakah mereka berpacaran? Atau sekadar teman yang saling membutuhkan? Pesan-pesan sebelumnya dibaca Rei dengan penuh ketelitian hingga ia bisa menarik kesimpulan kalau Langit tampaknya sangat perhatian atau dalam bahasa lain suka dengan Ema.
Namun Langit tidak pernah mengatakannya secara frontal. Dari tulisan yang dikirim Langit, Rei menebak kalau Langit satu-satunya cowok yang saat ini dekat dengan Ema. Belum selesai ia menelusuri hal-hal penting di dalam ponsel itu, ia dikejutkan dengan ketukan pintu kamar dari luar.
“Siapa?” tanyanya sedikit ragu.
“Ini Gue, Ma,” jawab seseorang bersuara pria di luar sana.
Itu bukan Wirya, lalu siapa? Terus terang Rei belum siap untuk bertemu siapa-siapa. Namun ketika ia ingin berteriak untuk tak memberikan izin, engsel pintu itu sudah bergerak dan pintu terbuka.
Seorang cowok bertubuh tinggi dan berambut ikal berdiri di depan pintu. Ia mengenakan celana joger dan kaos oblong berwarna hitam. Rei melihat layar ponsel, mengklik foto profil Langit, dan ia spontan dilanda kecemasan karena kini Langit ada di dalam kamar. Tersenyum dan sedang berjalan ke arahnya.
Rei turun dari kasur, berdiri tegap memandang Langit gugup.
“Lo ke mana aja, sih? Gue khawatir banget pas Mbak Vivi kasih tau kalau lo nggak pulang-pulang dari kemarin. Hape lo pake nggak aktif lagi!”
“So … sorry, gue nggak ngabarin lo.”
Kening Langit berkerut heran. Ia mendekat, menatap wajah Rei lekat-lekat hingga membuat jantung Rei semakin tak keruan. Aroma Langit terhidu harum, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis membuat Rei semakin gugup. Takut kalau-kalau Langit melihat perbedaan dirinya dengan Ema yang asi, ia membuang muka, membelakangi Langit yang tampak heran.
“Ngapain lo ke sini?” tanyanya.
“Gue pikir lo masih marah sama gue. Tapi denger lo bilang sorry, gue jadi makin yakin apa yang dibilang Mbak Vivi soal keanehan lo itu nyata.”
Mata Rei membelalak. Memangnya apa saja yang sudah Vivi ceritakan pada Langit? Kalau sampai Vivi cerita tentang Ema yang katanya dibunuh perampok, maka habislah dia.
“Memangnya Mbak Vivi ngomong apa?”
“Katanya lo butuh psikiater atau dukun. Kayanya lo beneran kena guna-guna.”
“Sialan!” Rei melempar guling ke dada Langit. “Gue gak gila apalagi kerasukan setan! Gue cuma rada linglung nahan laper kelamaan.”
Langit menghempaskan bokongnya di kasur. “Kaya orang miskin aja lo sampe nggak bisa makan.”
“Diem, deh. Gue lagi capek pengen istirahat! Kalau nggak ada yang penting mendingan lo pulang,” cibirnya, berharap Langit pergi secepat mungkin dari hadapannya.
“Soal misi rahasia lo sebelum kabur itu,” kata Langit. “Gue minta maaf nggak bisa nemenin lo. Tapi gue pengen tahu, apa lo berhasil ketemu sama dia?”
Rei menoleh cepat ke Langit yang kini menengadahkan wajahnya menunggu jawaban. “Maksud lo? Ketemu siapa?”
Kini giliran Langit yang tampak sedikit terkejut. “Bukannya lo bilang ke gue kalau lo pengen cari cewek yang terus-terusan datang ke mimpi lo? Yang mukanya mirip banget sama lo.”
Bibir Rei setengah menganga mendengar kalimat Langit. Ia terdiam selama beberapa detik yang panjang.
“Tuh, kan! Beneran lupa. Bener apa yang dibilang Mbak Vivi. Lo butuh psikiater!”
Tidak sepatah kata pun yang sanggup dikeluarkan Rei. Ia justru bertanya-tanya, apa mungkin Ema muncul sore itu bukan karena kebetulan? Tetapi telah direncanakan matang-matang untuk memenuhi ambisinya bertemu dengan orang yang mirip dengannya.
Ema ... sial banget kamu ketemu dopleganger T_T
Comment on chapter Chapter 3 - Darah dan Pelarian3 bab nya bikin penasaran, selanjutnya ?