“Ema nyariin gue?”
“Hah?”
Rei keceplosan. Iya langsung menggeleng dan meralat omongan. “Sorry, maksud gue. Nyari orang yang mirip sama gue itu ternyata nggak gampang. Gue sadar kalau barangkali itu cuma halusinasi nggak masuk akal.”
“Itu juga ‘kan yang kemarin gue bilangin ke lo?” Langit mengambil guling, memiringkan tubuhnya di atas kasur sampai wajahnya harus mendongak ke atas ketika menanggapi Rei. “Lo udah punya segalanya. Mas sama Mbak lo juga sayang banget sama lo, apa lagi yang lo cari? Udah cukup, Ma.”
Sejauh ini, tampaknya Rei berada di posisi yang aman karena Langit tidak tampak curiga sama sekali dengan dirinya. Cowok itu bicara lugas, tidak tampak aneh dengan gelagat Rei yang barangkali memiliki perbedaan dengan Ema. Meski terkadang wajah heran Langit yang berkerut itu sesekali benderang di mata Rei.
“Jangan pergi tanpa kabar lagi, ya?” kata Langit.
“Peduli amat lo sama gue!”
“Ih, culas amat sih, dari tadi? Masih marah, ‘kan? Iya, ‘kan? Biasanya walaupun ngambek lo tuh lembut banget kalo ngomong. Bener-bener butuh psi—”
“Psikiater?” sambung Rei kesal. “Itu melulu yang lo bilang!”
Langit tertawa. Kali ini gantian melempar guling ke arah Rei yang baru saja merebahkan tubuh hingga tubuhnya mengambul di kasur.
“Ntar malem kalo lo udah enakan, kita nonton, yuk! Gue yang traktir, deh. Hitung-hitung buat nebus rasa bersalah gue karena bikin lo jadi skibidi kaya gini.”
“Rese banget lo ngatain gue skibidi!”
Terpulang dari apa yang membuat Rei penasaran soal cerita Langit, tampaknya ia harus menggunakan berbagai cara bagus untuk meyakinkan banyak orang. Ia tidak lagi peduli dengan maksud cerita itu, benar atau tidaknya, faktanya sekarang ia sudah berada di posisi yang paling baik. Ema sudah tiada, dan hanya Rei yang ada.
Keesokan harinya, acara menonton TV bersama Vivi dan Wirya menjadi hal yang menegangkan. Kematian seorang gadis di sebuah bengkel tayang di beberapa kanal berita kriminal. Kedua kakak palsunya itu sempat tertegun, tapi untungnya reporter tidak memperlihatkan wajah korban karena tidak diizinkan oleh pihak keluarga. Rei langsung mengambil remot dan menggantinya ke acara lain.
Lantas ia panik. Di media sosial berita tentang pembunuhan itu juga muncul dan menjadi pembicaraan selama dua hari berturut-turut. Entah untuk ke berapa kalinya, ia beruntung karena tidak ada satu pun wajah korban berseliweran di sana. Apa itu berarti paman dan bibinya juga percaya kalau yang terbunuh itu adalah Renata? Keponakan yang sejak kecil mereka asuh.
Dari keterangan sumber yang ia baca di berita daring, rumah korban dimasuki perampok dan terdapat perlawanan beberapa kali hingga perampok itu memutuskan untuk menghabisi nyawa seorang gadis berinisial RR (16 tahun). Warga setempat yang melihat kondisi pintu bengkel terbuka pagi-pagi sekali membuat mereka curiga dan terkejut mendapati RR sudah tewas bersimbah darah. Pemilik rumah kontrakan yang merupakan paman dan bibi korban datang empat jam setelah mendapat kabar dari tetangga dekat. Hingga peristiwa itu dilaporkan, polisi masih mencari pelaku.
Sejauh ini, semua berjalan sebagaimana mestinya. Rei tersenyum, menggigit bibirnya gemas, lantas ia berdiri di depan panel kaca gedung mall yang memperlihatkan pemandangan ibu kota Jakarta. Dari belakang, Langit menepuk bahu dan menggandeng tangannya sampai ke pintu masuk bioskop
****
“Lo suka filmnya?” tanya Langit saat mereka baru keluar dari bioskop. Orang-orang ramai membicarakan keseruan film marvel yang baru saja mereka tonton.
Rei tentu tidak bisa menyembunyikan perasaan gembiranya. Sejak dulu ia sangat menyukai film superhero Marvel dan berangan-angan menontonnya di bioskop bersama teman, tapi ia tidak pernah merasakannya karena keterbatasan ekonomi.
“Suka banget, Lang. Gue suka semua film-film Marvel, kalau bisa gue tonton ulang semua film-film mereka dari tahun dua ribu empat belas.”
Langit tersenyum. Ia bisa melihat betapa antusiasnya gadis itu bahkan ketika ia baru saja membeli tiket. “Itu berarti dari zaman om Tony Stark masih jaya-jayanya, dong.”
“Nah, iya! Bener. Gue pengen nonton dari awal kayanya.”
“Lo bisa nonton semua film Marvel di platform streaming film, Ma.”
“Masa?” Rei hampir limbung saat ditabrak ringan oleh pengunjung yang berjalan cepat di koridor gedung bioskop.
“Bukannya lo berlangganan?” Langit memicingkan mata seolah merasakan keanehan.
Rei mencoba berimprovisasi sebab tampaknya ada kesalahpahaman di antara mereka. “Baru habis langganannya tadi malam, belum gue perpanjang. Lupa.”
“Yakin?”
“Maksudnya?”
Langit mengibas tangan di muka. “Udah lupain aja. mending kita makan, gue laper banget. Kita makan di tempat kesukaan lo aja, ya?”
Mampus gue! ujarnya dalam hati.
Rei tidak pernah tahu apa yang disuka dan apa yang tidak disukai Ema. Penelusurannya belum sampai sejauh itu. Ia bisa saja mengakui diri sebagai seseorang, tapi ia tidak akan bisa berpura-pura untuk waktu yang sangat lama dan mengikuti cara Ema. Eksperimental tentang peningkatan kepribadian akan menjadi senjata ampuh untuk meyakinkan orang-orang bahwa ia bisa lebih baik dari Ema yang dulu.
Pertemuannya pertama kali dengan Langit seakan membuka jalan untuk mencari tahu kepribadian Ema lebih jauh. Beberapa perbedaan tampak sulit, tapi sebagian bisa diakali dengan caranya sendiri. Cewek itu sangat membenci lauk sejenis ikan air tawar, sedangkan Rei doyan-doyan saja kecuali sayur daun singkong seperti yang bi Maria sering masakkan untuknya.
Ema yang dulu adalah gadis lemah lembut dan lebih suka menjadi pendiam, sedangkan Ema yang sekarang lebih lincah dan mudah bergaul dan sulit menyembunyikan emosi. Ema yang dulu lebih suka biskuit rasa kacang dan terkadang menggantinya menjadi biskuit Oreo. Ema yang sekarang bahkan tak pernah mau terpisah dari crackers gulanya yang selalu ia sandang di samping tempat tidur atau menyimpannya ke dalam toples dan meletakkannya di atas meja depan TV agar ia bisa dengan mudah mengambilnya sambil menonton.
***
Terkadang Vivi tidak mengerti dengan perubahan tingkah laku adiknya. Dia tidak pernah melihat Ema bermurah hati pada ART-nya, ia tidak pernah melihat Ema tertawa lepas dan riang ketika berkumpul bersama sebelumnya, ia tidak pernah melihat Ema yang dulu berteman dan bermain dengan anak-anak di komplek perumahan.
Ema yang Vivi kenal sekarang selalu membawa kamera DLSR ke mana-mana dan sesuka hatinya mengambil foto. Vivi tak pernah sekalipun melihat Ema―sholat dengan sangat khusyuk di kamarnya. Tak jarang air mata Vivi lirih ketika pertama kali melihat adiknya sholat dan berdoa dengan kesadaran diri sampai meneteskan air mata.
Kasih sayang itu semakin besar, lebih besar daripada sebelumnya. Sedikit banyaknya kehadiran Rei di rumah itu, telah menimbulkan dampak perubahan yang sangat besar bagi keluarga kecil tersebut. Keinginan Vivi untuk menjaga dan melindungi adiknya itu pun semakin kuat tak terpatahkan. Setidaknya Rei berhasil mengubah imej tentang Ema yang dulu. Itu semua ia lakukan dengan jujur, apa adanya dan tanpa harus berpura-pura.
Sayangnya, Vivi menemukan keganjilan. Saat ia masuk ke kamar Rei dan melihat adiknya keluar dari kamar mandi dengan rambut dibalut handuk, Vivi melihat sebuah bekas luka goresan di kening adiknya yang tampak seperti bekas jahitan. Sekitar satu setengah senti. Setahu Vivi, Ema tidak pernah mengalami luka di bagian kening atau semacamnya, tapi bekas luka itu jelas mengundang rasa ingin tahu.
"Ema? Ada bekas luka di kening kamu. Itu kenapa?"
Rei langsung gugup ketika menyadari ia lupa menutupi guratan luka di keningnya. Ia terdiam seketika. Telapak tangannya mendarat menutupi dahi kirinya.
"Serius Mbak Vivi nggak tahu? Mbak lupa?”
“Lupa gimana?” tanya Vivi semakin penasaran.
“Waktu kelas tiga SD Ema ‘kan pernah jatuh dari sepeda. Ini bekas luka udah lama banget.” Iya membuka balutan handuk, membiarkan rambutnya yang basah menjuntai sebelum menyalakan hairdyer.
“Masa, sih?” Vivi semakin bingung. Jawaban yang diterima merangsang otaknya mengingat-ingat masa Ema kecil, tapi ia sama sekali tidak mendapatkan gambaran seperti apa yang diterangkan Ema. "Mbak gak inget apa-apa? Apa bener itu bekas luka waktu kamu kecil?"
"I-iya, Mbak," jawabnya gugup.
"Tapi kok baru kali ini Mbak ngeliatnya?" Jarinya menyentuh guratan luka yang membekas cukup ngeri.
"Selama ini kan lukanya Ema tutupin pakai poni, jadi nggak keliatan." Ema menepis tangan Vivi. Kemudian mengalihkan pembicaraan. "Udahlah, Mbak. Gak penting! Ema mau ngeringin rambut dulu, nanti kita terlambat ke acara sekolahnya Billy."
Ema ... sial banget kamu ketemu dopleganger T_T
Comment on chapter Chapter 3 - Darah dan Pelarian3 bab nya bikin penasaran, selanjutnya ?