πππ
Kebaikan sekaligus ketulusan memang terlihat saat kita merasa tidak dalam keadaan baik. Disitulah, kita bisa melihat segala hal. Sehingga, kita bisa memilah apa yang baik sekaligus tulus kepada kita. Karena, itu akan menentukan masa depan kita.
πππ
Sesampai di rumah sakit, Semesta memeriksa Auretta kepada dokter yang biasanya menangani gadis itu sesuai permintaan Januar. Karena, memang akan lebih baik ditangani dokter berpengalaman.
Semesta memilih duduk menunggu Auretta yang sudah berada di ruangan Galang. Sejujurnya, ia cukup mengkhawatirkan kondisi Auretta setelah kejadian tadi pagi. Akan tetapi, ia tak mau mencampuri urusan Auretta. Sehingga, ia memilih menunggu hasil pemeriksaan adik kelasnya itu.
Di dalam ruangan, Auretta mulai melakukan pemeriksaan bersama Galang. Hal itu, membuat Galang sedikit heran karena Auretta baru saja ke sana di hari sebelumnya. Akan tetapi, kini sudah kembali datang dengan kondisi tidak baik-baik saja. Bahkan, cukup terlihat jelas dari raut Auretta. Padahal, ia sudah mengingatkan untuk lebih berhati-hati. Ternyata, ketakutan Galang terjadi begitu cepat.
Auretta perlahan mulai menjelaskan apa yang terjadi serta dirasakannya. Galang paham, ternyata itu yang membuat keponakannya itu mengalami gangguan kecemasan cukup parah sekarang. Bahkan, seakan tidak bisa meluapkan emosinya. Hanya bisa terdiam, sembari merasakan sesak di dada.
"Untung saja, kamu cepat pergi dari tempat itu. Sekarang, kamu harus perlahan lupain apa yang dilihat. Kalo bisa, anggap kejadian itu nggak pernah ada. Soalnya, itu bisa kembali memicu gangguan kecemasanmu kalo terus mengingatnya." Galang berusaha memperingatkan serta menasihati Auretta. Berharap, gadis itu bisa dengan cepat melupakan pemicu penyakitnya kambuh. "Lebih baik, kamu membuka lembaran baru. Fokus sama kehidupanmu dulu, itu akan lebih baik buat kesehatan kamu. Lagipula, kamu masih muda."
Auretta menganggukkan kepalanya, ia memang sudah memiliki niat untuk membuka lembaran baru dengan melupakan rasa sukanya pada Javian. Tak mau, kembali merasakan kekecewaan. Karena, itu akan berpengaruh pada kesehatannya. "Iya, Om. Aku bakalan berusaha lupain semuanya. Terus, buka lembaran baru hidupku lagi. Kalo itu, emang benar-benar dibutuhin."
"Itu sangat dibutuhkan sekaligus penting buat kesehatanmu." Galang kembali mengingatkan Auretta.
Galang memberikan selarik kertas resep obat untuk Auretta. Karena, gadis itu memang membutuhkan beberapa obat guna mempermudah kesembuhannya. "Jangan lupa nanti obatnya rutin diminum. Nggak perlu nunggu kambuh kalo mau minum. Soalnya, kondisimu benar-benar lagi nggak baik."
"Baik, Om. Aku akan rutin minum obatnya sesuai anjuran." Auretta akan menuruti perkataan dari Om-nya. Karena, memang kesehatannya mengalami perkembangan pesat bila ditangani oleh Galang.
Galang tersenyum, sembari mengelus kepala Auretta. Berharap, tidak akan lagi terjadi hal buruk terjadi pada keponakannya. "Kalo ada apa-apa, langsung kabarin Om, ya."
"Oke siap, Om." Auretta tersenyum, lalu melangkah keluar dari ruangan Galang.
Semesta langsung berdiri, saat melihat Auretta keluar ruangan dokter. Ia cukup penasaran dengan hasil pemeriksaan gadis itu. Berharap, tidak ada sesuatu parah dialami Auretta.
"Gimana hasilnya? Lo harus gimana? Butuh penanganan ekstra, nggak? Kalo,--"
Auretta menggelengkan kepalanya, karena memang tidak membutuhkan penanganan khusus pada dirinya. Hanya saja, ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Agar, dirinya bisa sembuh lebih cepat.
Semesta sedikit merasa lega, melihat kondisi Auretta sepertinya sudah mulai membaik. Meskipun, masih belum mau banyak berbicara.
"Kondisi lo gimana?" Januar terlihat menghampiri Auretta dengan raut wajah khawatir. Karena, tahu pasti adiknya tidak baik-baik saja. Terlebih, video Javian dengan Caramel diputar pada khalayak umum.
"Aku nggak apa-apa, kok, Kak." Auretta berusaha menyunggingkan senyum pada Januar. Serta, mulai mengeluarkan suaranya kembali. Meskipun, belum terlalu banyak.
Januar sadar, bila kondisi Auretta memang sedang tidak baik. Terbukti, dari cara berbicara gadis itu. Terutama, saat ia mendengar penyebutan 'aku'. Auretta jarang menggunakan kata itu. Biasanya, digunakan hanya dengan Javian. Namun, kini juga pada dirinya yang biasa menggunakan 'lo-gue'.
Akan tetapi, Januar tidak akan terlalu membahas hal itu. Atau, mempermasalahkannya. Yang terpenting, Auretta kini sudah dalam keadaan cukup baik. "Kalo gitu, mending kita langsung pulang aja, Dek. Lain kali, jangan bikin khawatir lagi, ya."
Auretta mengangguk, tahu bila Januar pasti sangat mengkhawatirkan kondisinya. Terlebih, setelah kejadian tadi pagi di sekolah. Kemudian, ia beralih menatap Semesta yang masih diam memperhatikan interaksinya dengan Januar.
"Kita harus tebus resep obat ini, Kak? Soalnya, kata Om Galang aku harus rutin minum obatnya. Biar, kondisiku bisa lebih baik." Auretta memberikan kertas resep obat dari Galang kepada Januar.
Januar terdiam sejenak, mengingat dirinya lupa tidak membawa dompet miliknya. Padahal, sangat dibutuhkan pada saat itu juga. "Sori ... Dek. Gue lupa nggak bawa dompet. Tas gue tadi sengaja ditinggal di kelas pas mau pergi nyari lo. Kebetulan juga, hp gue nggak ada aplikasi mobile banking."
Auretta menghela napas, sama seperti Januar. Bahkan, dirinya memang selalu diberi uang cash tidak memiliki kartu ATM.
"Biar pake uang gue dulu nggak apa-apa. Kebetulan, gue ada pegangan, kok. Itu kalo kalian mau nerima bantuan dari gue." Semesta menawarkan bantuan pada kakak beradik itu. Berharap, keduanya mau menerima saran darinya. Meskipun, pasti mereka berdua sedikit gengsi menerimanya.
Januar maupun Auretta saling pandang, sepertinya tidak ada salahnya menerima bantuan dari Semesta. Lagipula, mereka bisa membalasnya nanti ketika sudah sampai di rumah. Bisa mengirimkan uang Semesta melalui transfer bank.
Januar mengangguk, tidak ada pilihan lain. Ia rasa, Semesta terlihat tulus ingin membantu. Meskipun, cowok itu terkadang membuat Auretta kesal. Namun, memang memiliki jiwa sosial tinggi. Sehingga, mau membantu siapapun yang membutuhkan bantuan.
"Nanti kalo udah sampai rumah, gue langsung transfer ke rekening lo." Januar tidak ingin memiliki hutang budi kepada Semesta.
Semesta menyunggingkan senyum, serta mengangguk paham. "Santai aja, Kak. Gue cuma niat bantu. Kebetulan aja, pas gue bisa."
Setelah itu, mereka bertiga melangkah menuju ke tempat obat untuk menebus obat yang dibutuhkan oleh Auretta.
"Makasih, Kak." Auretta merasa cukup banyak berhutang budi pada Semesta. Karena, cowok itu sudah membantunya. Membawanya pergi serta menenangkan dirinya. Itu membuatnya cukup terbantu. Ia tak bisa membayangkan bila tetap berada pada situasi chaos seperti pagi tadi. Pasti, bisa-bisa kondisinya lebih parah. Serta, orang-orang menjadi tahu tentang gangguan kecemasannya.
"Iya sama-sama. Jangan lupa istirahat yang cukup." Semesta mengingatkan sosok Auretta, agar kondisinya lebih tenang. Karena, itu akan sangat berpengaruh pada kesehatan Auretta. "Kalo emang butuh bantuan, gue siap bantu kapanpun lo butuh "
Januar cukup kaget dengan perkataan Semesta. Seakan, adik kelasnya itu paham pada apa yang dialami Auretta. Adiknya. Sepertinya, Semesta memang berpengalaman dalam hal itu. Sehingga, membuatnya penasaran pada sosok adik kelasnya itu. Ia memang tahu bila Semesta salah satu siswa paling berprestasi serta berpengaruh di sekolah. Akan tetapi, tak menyangka cowok itu bisa tahu sekaligus menangani kondisi Auretta.
"Kalo gitu, gue pulang duluan, ya. Sori... Kalo gue bawa Auretta pergi dari sekolah tanpa bilang ke lo, Kak. Soalnya, gue udah nggak punya banyak waktu liat kondisi Auretta mulai ketrigger sama situasi yang ada." Semesta mengatakan hal itu pada Januar. Sudah bersiap, bila akan mendapatkan omelan dari kakak Auretta. Ia hanya ingin menjauhkan Auretta dari situasi yang bisa membuat gadis itu tidak terkendali.
"Nggak apa-apa. Harusnya, gue malah berterima kasih ke lo. Udah mau bantu Auretta. Bawa dia pergi dari sekolah. Soalnya, kalo tetap di sana pasti kondisi dia bisa tidak terkendali." Januar tidak bisa membayangkan bila Auretta tetap berada di aula sekolah. Pasti, kondisinya akan lebih parah dari apa yang dibayangkan.
"Nggak masalah, Kak. Gue duluan, ya." Semesta kembali berpamitan pada Januar. Kemudian, beralih menatap serta menyunggingkan senyum pada Auretta. Berharap, kondisi gadis itu semakin membaik bila sudah beristirahat nantinya.
"Hati-hati di jalan."
Semesta tersenyum, lalu meninggalkan Auretta dengan Januar.
πππ
Sesampai di rumahnya, Semesta kaget dari kejauhan melihat ada seseorang berusaha mencelakai Mamanya saat sedang menikmati udara segar di luar rumah. Semesta langsung keluar dari mobil, lalu berlari menghampiri Mamanya yang sudah duduk jatuh pada tanah halaman rumahnya.
"Kurang ajar! Berani-beraninya anda datang ke sini, ingin mencelakai Mama saya!" Semesta berbicara dengan nada tinggi menyingkirkan tubuh wanita itu agar menjauh dari Mamanya.
Wanita itu tersenyum sinis, tak menyangka bila akan ketahuan oleh Semesta. Padahal, ia sudah datang lebih awal. Karena, mengira anak dari pemilik rumah itu sedang bersekolah. "Ternyata, saya datang pada waktu tidak tepat. Padahal, harusnya tidak ada orang yang tahu kedatangan saya ke sini."
"Apa masih kurang anda membuat keluarga orang tua saya hancur! Kali ini, apalagi lagi yang anda inginkan?" Amarah Semesta mulai memuncak tidak terima pada wanita yang sudah menghancurkan rumah tangga orang lain. Serta, menjadi penyebab rasa sakit yang dialami Alena. Mama Semesta.
"Saya menginginkan semua harta Papamu. Tapi, ternyata tidak bisa semua dimiliki. Karena, terhalang oleh kalian berdua!" Helena, wanita yang menjadi selingkuhan Papa Semesta sejak dulu kala. Bahkan, saat Semesta masih kecil. Padahal, wanita itu sudah mendapatkan segalanya dari Papa Semesta. Namun, sepertinya itu masih kurang di mata Helena. Sehingga, kini masih mengincar harta atas nama Alena serta Semesta.
Semesta tak habis pikir dengan kelakuan Helena. Seperti tak ada habisnya ingin memiliki semuanya. Padahal, setahunya Helena sudah menikah dengan lelaki yang lebih kaya daripada Papanya. Akan tetapi, sekarang masih mengincar harta orang lain. Sedari dulu, Papa Semesta telah memberikan segalanya untuk Helena. Ternyata, hal itu masih kurang. Benar-benar tidak tahu diuntung.
Sepertinya memang benar, Papa Semesta masih memiliki hubungan spesial dengan Helena. Meskipun, wanita itu sudah memiliki suami. Sehingga, kini Helena menginginkan harta milik Papa Semesta yang ada di tangan Alena serta Semesta.
"Jangan harap anda bisa mendapatkan semua itu! Karena, itu hak milik Mama saya sekaligus saya. Lagipula, anda cuma wanita licik selingkuhan Papa saya. Jadi, harusnya sadar posisi anda!" Semesta menatap sinis ke arah Helena. Karena, tidak akan membiarkan wanita itu mendapatkan apa yang diinginkan.
Helena kembali tersenyum sinis, sembari menatap Semesta. Tak menyangka, bila anak dari lelaki yang dicintainya itu kini sudah dewasa serta pemberani. "Saya akan mendapatkan semua harta Papamu. Termasuk, harta yang dimiliki kalian berdua."
"Jangan bermimpi! Cepat pergi dari sini. Atau, anda akan berurusan dengan polisi!" Semesta tidak ingin berlama-lama menghadapi wanita ular itu.
Semesta mengkhawatirkan kondisi Alena. Mamanya. Ia harap, Mamanya tidak tertekan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Helena. Selingkuhan Mamanya. Kemudian, ia membawa Alena ke dalam rumah. Berjanji, akan selalu melindungi Mamanya dari wanita ular seperti Helena.
Aku bakalan jagain Mama sebaik mungkin. Biar, wanita licik itu nggak bisa berusaha mencelakai Mama lagi.
- To Be Continue -