πππ
Kita harus memiliki banyak harapan. Karena, itu akan bisa terwujud bila kita mempunyai keyakinan kuat. Jadi, jangan pernah menyerah dengan situasi yang ada. Harus tetap semangat, berusaha, serta banyak berdoa. Agar, apa yang kita inginkan bisa terwujud.
πππ
Galang tersenyum, menyadari keponakannya memang selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Tanpa tahu, mungkin di kemudian hari akan mengalami sesuatu buruk. Karena, gangguan kecemasan datang di saat tidak terduga.
"Kabarin aja kalo mau main ke rumah Om, ya." Galang tersenyum pada Auretta. Karena, sudah menganggap gadis itu seperti anak kandungnya sendiri.
Auretta tersenyum, sembari menganggukkan kepalanya. Galang memang selalu memberi perhatian sekaligus menyayangi dirinya. Itu membuat Auretta nyaman saat berada di dekat Galang. "Iya, Om."
Pemeriksaan kesehatan Auretta sudah selesai. Auretta berpamitan untuk pulang pada Galang. Karena, hari sudah semakin sore. Ditambah, ia merasa tak enak pada Javian yang menunggunya.
Auretta melangkah keluar dari ruang pemeriksaan sembari menyunggingkan senyum pada Galang. Dibalas, senyuman oleh Galang.
Galang harap, Auretta tetap bahagia tidak ada masalah menghampiri. Agar, kesehatan keponakannya itu tidak terganggu. Ia percaya, bila sekarang Auretta berada di dekat orang-orang baik. Sehingga, ia tidak perlu terlalu khawatir seperti dulu saat Auretta tinggal bersama Papanya.
Saat Auretta sudah sampai di depan ruang pemeriksaan. Javian langsung menyambut kekasihnya dengan senyuman manis.
"Udah selesai pemeriksaannya? Semoga hasilnya baik, ya. Soalnya, aku liat dari kemarin kondisimu lebih baik." Javian akhir-akhir ini sudah melihat banyak perubahan pada Auretta.
Auretta menyunggingkan senyum, sembari mengangguk. "Iya. Kondisiku emang udah lebih baik dari sebelumnya. Jadi, kamu maupun Kak Januar nggak perlu terlalu khawatir. Cuma, aku emang butuh ketenangan aja. Jangan dekat orang ribut, atau teriak-teriak. Itu bisa memicu gangguan kecemasanku."
"Aku bakalan selalu jagain kamu. Biar, nggak dalam situasi buruk. Kalo ada disituasi sulit, langsung aku bawa pergi dari sana." Javian ingin selalu ada sekaligus melindungi Auretta. Kekasihnya.
Auretta mengangguk, tahu bila kekasihnya itu pasti akan berusaha selalu melindunginya. Meskipun, mungkin itu tidak mudah. Karena, bisa saja dirinya terjebak dalam situasi tidak terduga di saat sosok Javian tidak ada di sampingnya. "Makasih, udah selalu ada buat aku, ya."
"Iya sama-sama. Pokoknya, kalo mungkin kamu udah ngerasa nggak enak badan atau ada gejala gangguan kecemasanmu mau kambuh bilang aja. Aku bakalan langsung samperin kamu. Soalnya, kita beda kelas dan angkatan." Javian memang kakak kelasnya Auretta. Tidak bisa terus mengawasi kekasihnya itu. Sehingga, berharap Auretta memberi kabar bila merasakan hal mulai tidak mengenakan pada tubuhnya.
"Oke siap, Kak." Auretta tersenyum, tahu Javian akan melakukan apapun untuknya. Asal, masih dalam konteks positif. Itu yang membuatnya sangat menyayangi Javian. Perasaan sayang itu semakin hari tambah besar. Wajar saja, itu dirasakan karena mereka merupakan sepasang kekasih.
Javian menarik tangan Auretta untuk pergi dari tempat itu. Agar, bisa cepat sampai di rumah Januar. Lagipula, hari mulai sore. Takut, bila akan terlalu sore mengantarkan Auretta pulang. Itu akan menjadi masalah besar. Januar bisa mengomelinya. Meskipun, bukan pertanda marah. Mungkin hanya, karena cowok itu mengkhawatirkan kondisi adiknya. Hal wajar dirasakan oleh seorang kakak pada adiknya. Terlebih, Auretta itu seorang gadis yang harus dijaga serta lindungi. Jangan sampai ada sesuatu buruk terjadi pada Auretta.
"Langsung pulang, kan? Soalnya, udah sore takut ditungguin sama Kak Januar." Javian ingat, bila Januar sering menunggu kepulangan Auretta. Memastikan keadaan adiknya dalam kondisi baik-baik saja.
Auretta mengangguk, tahu apa yang dikatakan Javian memang benar. Januar selalu mengkhawatirkan dirinya mungkin karena tahu memiliki penyakit cukup perlu diperhatikan. Jangan sampai pergi sendirian. Karena, takut bila kambuh tidak ada yang mengetahui serta menolongnya. "Iya, Kak. Pasti Kak Januar udah nunggu aku di teras. Kayak biasanya, kalo aku belum pulang tepat waktu."
"Makanya, kali ini kita harus bisa cepat sampai rumah. Biar, Kak Januar nggak cemas nungguin kamu." Javian pun akan melakukan hal sama seperti Januar bila ada di posisi kakak sepupu Auretta. Apalagi, tahu bila gangguan kecemasan tidak tahu kapan maupun dimana kambuhnya. Entah ada orang yang mengetahui serta bisa menolong atau tidak. Sehingga, Auretta memang butuh selalu dalam pengawasan.
Beberapa menit kemudian, setelah menempuh perjalanan beberapa kilometer. Mobil Javian sampai di area rumah Januar. Benar saja, Januar sudah duduk pada kursi yang ada di teras rumahnya. Seakan sudah menunggu kepulangan Auretta sedari tadi.
"Tuh kan benar dugaan kita benar. Kak Januar emang suka gitu, perhatian sekaligus rasa khawatirnya berlebihan." Auretta tersenyum, melihat sosok Januar sedang duduk menunggunya sedikit gelisah.
Javian tersenyum, sudah tidak kaget dengan kelakuan Januar. Paham Januar sering melakukan hal itu saat Auretta belum pulang sampai rumah kalau sudah hampir malam. Karena, ia memang mempunyai tanggung jawab sekaligus rasa peduli pada Auretta. "Malah bagus kalo gitu, artinya Kak Januar emang sayang banget sama kamu."
Auretta mengangguk, sembari tersenyum. Yang dikatakan Javian memang benar adanya. Meskipun, terkadang berlebihan tapi tetap saja itu wujud kasih sayang Januar padanya. Terlebih, ia sudah menjadi bagian anggota keluar Januar sekarang. Orang tua Januar sudah menganggap seperti anak kandung mereka sendiri. Walaupun, ia memang merupakan keponakan orang tua Januar.
"Kak Januar sayang banget sama aku. Sampai-sampai kadang terlalu berlebihan, tapi aku nggak masalah. Malah senang, ada orang yang menyayangiku seperti itu." Auretta tak mempermasalahkan sikap protektif Januar. Karena, tahu cowok itu sangat menyayangi dirinya seperti adiknya sendiri.
Auretta keluar dari mobil Javian. Kemudian, mulai menghampiri Januar yang sudah bangkit dari duduknya hendak menghampirinya.
"Sori... Kak. Gue pulang kesorean, ya? Soalnya, tadi agak keasikan ngobrol sama Om Galang. Maklum kan udah lama nggak ketemu. Walaupun, baru beberapa minggu, sih. Tapi, tetap saja gue banyak ngobrol sama beliau." Auretta mulai menjelaskan alasan tentang keterlambatan pulang pada Januar.
Januar diam-diam menghela napas, sembari menatap Auretta. Kemudian, menganggukkan kepala paham dengan apa yang disampaikan adiknya. "Lain kali, jangan terlalu sore pulangnya, Dek. Tau sih, habis ketemu Om Galang. Cuma, gue lumayan khawatir aja. Soalnya, udah mau malam."
"Sori, Kak. Soalnya, emang dari rumah sakitnya tadi emang kesorean. Untung aja, nggak terlalu kena macet di jalan." Kali ini, Javian yang meminta maaf pada Januar. Merasa tak enak mengantarkan Auretta terlalu sore. Meskipun, dengan alasan yang jelas.
"Iya nggak apa-apa, kalo gitu lo langsung masuk aja. Terus mandi biar fresh. Soalnya, udah keliatan lusuh sekaligus bau. Jadi, sana masuk buruan!" Januar sedikit mendorong Auretta untuk masuk ke dalam rumahnya.
Kemudian, Januar beralih menatap Javian yang masih memperhatikan kepergian Auretta. "Lo juga pulang, Jav. Ini udah mau malam, takut dicariin orang tua lo."
Javian tersenyum, lalu menganggukkan kepala. Kemudian, melangkah pergi meninggalkan Januar. "Gue pulang duluan, Kak. Maaf... Kalo tadi jadi nungguin terlalu lama."
"Nggak apa-apa, santai aja. Kan udah biasa kayak gitu." Januar memang sering menunggu Auretta jika belum sampai rumah sepulang sekolah.
πππ
Semesta duduk sembari memegang tangan Alena. Mamanya. Meskipun, wanita paruh baya itu selalu diam dengan tatapan kosong. Sudah cukup lama Alena mengalami depresi. Sehingga, membuat Semesta terkadang sedih bingung harus berbuat apa untuk bisa menyembuhkan Mamanya. Akan tetapi, ia yakin suatu saat nanti Mamanya bisa kembali sembuh seperti sedia kala.
Sepertinya, masih butuh waktu serta biaya untuk penyembuhan Alena. Namun, Semesta tidak mempermasalahkan hal itu. Apapun, akan dilakukan agar Mamanya bisa sembuh. Ia sudah bekerja keras, menantang bahaya demi mendapatkan sedikit demi sedikit uang.
Uang hasil kerja keras Semesta selalu digunakan untuk membayar suster yang merawat serta menjaga Alena. Mama Semesta. Tak hanya itu, untuk menebus beberapa obat penunjang kesembuhan Mamanya.
"Mah... Ayo sembuh, biar kita bisa ketawa bareng lagi. Nggak cuma itu, pasti aku bakalan bikin bawa bahagia. Jadi, tolong jangan terlalu larut dalam pemikiran negatif itu." Semesta sedari dulu tahu, penyebab Mamanya seperti itu karena mengetahui Papa Semesta mempunyai hubungan khusus dengan wanita lain. Mungkin dulu, Semesta hanya bisa diam saja sembari menangis melihat kondisi Mamanya menjadi seperti sekarang ini. Namun, sekarang ia bukan anak kecil lagi. Sehingga, akan mengusahakan kesembuhan wanita paling disayanginya sembuh dari depresi.
Semesta bertahan di rumah itu, hanya demi Alena. Mamanya. Karena, ia masih mencari tempat tinggal lain yang layak untuk ditinggalinya bersama Mamanya. Itulah impian Semesta untuk saat ini. Ia sudah memiliki sedikit biaya.
"Kayaknya, kita harus pindah ke apartemen, deh, Mah. Soalnya, percuma tinggal di sini Papa nggak peduli sama kita. Seta lagi siap-siap mau beli apartemen yang terjangkau terus dekat sekolah. Biar, nggak terlalu jauh jaraknya. Jadi, Seta bisa cepet ketemu Mama pas pulang sekolah." Semesta sudah mempersiapkan beberapa uang untuk membeli apartemen. Sepertinya, harus secepatnya dilaksanakan.
Alena hanya diam, tetap tidak memberi respon apapun pada Semesta. Meskipun, cowok itu sudah berbicara cukup panjang. Akan tetapi, Semesta harap Mamanya secepatnya sembuh. Kesembuhan Alena segalanya untuk Semesta. Karena, ia tak tega melihat kondisi Alena terdiam dengan tatapan kosong setiap harinya.
- To Be Continue -