πππ
Rasa takut serta khawatir kadang datang secara tiba-tiba. Apalagi, bila melihat orang seperti dalam bahaya. Sehingga, mungkin kita akan secara tidak terduga tergerak untuk mencegah hal yang mungkin terjadi dirasa berbahaya.
πππ
Semesta hampir setiap malam sibuk dengan laptopnya. Mengerjakan sesuatu yang mungkin tidak banyak orang ketahui. Itu salah satu rutinitas pekerjaan yang ditangani. Butuh konsentrasi serta kecerdikan dalam menjalankannya.
Tidak lupa, Semesta menjalankan tugas sekolah. Belajar segala mata pelajaran yang sudah diberikan guru di sekolah. Meskipun, ia harus pintar membagi waktu antara pekerja rahasia dan sekolahnya. Itu tidak masalah baginya. Karena, semua bisa dikerjakan secara bergantian.
Semua dilakukan demi bertahan hidup. Serta, ingin meninggalkan rumah Papanya. Lantaran, sudah muak dengan perilaku lelaki yang seharusnya menjadi panutan bagi Semesta. Akan tetapi, lelaki itu sudah tidak memberi contoh baik sedari Semesta kecil. Itu membuatnya, tak ingin terus tinggal bersama Papanya. Terlebih, kondisi Mamanya yang bisa dibilang tidak baik-baik saja. Terasa tersiksa dengan keadaan.
Pun, Semesta yakin Papanya belum berubah dari apa yang sudah pernah terjadi. Sehingga, akan lebih baik bila Mamanya dijauhkan dari Papanya. Agar, kondisi Mama Semesta bisa perlahan lekas membaik.
Sudah sedikit merasa lelah, Semesta memutuskan berpindah ke arah ranjangnya dari meja belajar. Lalu, ia membaringkan tubuh lelahnya. Mencoba memejamkan mata, karena hari sudah mulai larut.
Gue harap, hari-hari ke depan lebih baik sekaligus menarik.
πππ
Suasana sekolah masih terasa asri saat Auretta memasuki area sekolah. Gadis itu memang sengaja berangkat lebih awal. Agar, bisa menikmati udara yang masih segar.
Kini, senyum Auretta mengembang sembari memperhatikan situasi sepi koridor saat menuju kelasnya. Ketika sampai di kelasnya, ia meletakan tas ransel miliknya. Lalu, memutuskan untuk keluar kelas berniat untuk berkeliling sekolah sebelum ramai para siswa maupun siswi berdatangan.
"Kalo gini, kan asik buat keliling." Auretta menyunggingkan senyum, sembari berjalan menyusuri koridor dekat kelasnya. Lantaran, ia lebih suka suasana sepi daripada ramai. Itu bisa membuatnya lebih nyaman. Berbeda, bila ramai disertai berbagai pembicaraan atau teriakan itu bisa memicu dirinya merasa cemas serta sesak. Bahkan, bisa membuatnya pusing.
Keputusannya untuk pindah memang tidak salah. Orang tua Januar juga sangat menyayangi dirinya. Meskipun, bukan merupakan orang tua aslinya. Karena, mereka adalah adik dari Mamanya.
Pun, Auretta memang tidak ingin lagi tinggal bersama Papa kandungnya karena sudah mempunyai kehidupan baru. Tak hanya itu, Papanya menikah tidak lama setelah kepergian Mamanya. Itu membuatnya cukup kecewa. Padahal, rasa kehilangan belum sepenuhnya hilang. Namun, Papanya justru sudah menemukan pengganti Mamanya. Sepertinya, ada sesuatu dibalik semua itu.
Mama tiri Auretta tidak sebaik ketika berada di depan Papanya. Bahkan, wanita itu sering mengatakan hal yang tidak baik pada Auretta. Bahkan, perlahan merusak mental gadis itu. Bagaimana tidak, saat kehilangan sosok Mama kandungnya Auretta masih kecil. Sehingga, kini masih terkadang merasa tak nyaman dengan sekitarnya.
Perlahan, Auretta melangkahkan kaki menuju ke arah atap sekolah. Karena, ia berpikir sepertinya pemandangan dari atas gedung akan terlihat indah sekaligus sejuk. Hal itu, bisa membuatnya merasakan kenyamanan.
Sesampai di atap sekolah. Auretta berdiri sembari membentangkan tangan sembari menikmati semilir angin segar dari atas sana.
Tanpa diduga, ada seseorang melihat keberadaan Auretta yang sedang menikmati udara pagi dari atap sekolah. Sedikit khawatir, karena posisi gadis itu di tepian serta terlihat seperti akan melakukan sesuatu buruk.
"Ngapain dia di sana kayak gini? Jangan bilang, kalo mau bunuh diri. Gue harus cepat-cepat ke atas sana." Semesta sudah memarkirkan motor miliknya. Kemudian, ia berlari menuju atas gedung sekolah. Takut, bila Auretta akan melakukan tindakan buruk.
Pun, Semesta teringat bila Mamanya sempat akan melakukan tindakan bodoh itu. Untung saja, semua rencana buruk itu bisa dicegah. Pemikiran untuk berbuat seperti itu gara-gara mengetahui apa sudah dilakukan oleh suaminya. Papa Semesta. Padahal, saat itu Mama Semesta sudah merasa menjadi istri yang baik. Akan tetapi, sepertinya itu tetap kurang di mata Papa Semesta.
Semesta pikir, harus mencegah Auretta melakukan tindakan yang buruk. Selain itu, bukan merasa lega justru akan merugikan diri sendiri. Sehingga, kini Semesta terus secepat mungkin menuju atap sekolahnya.
Bisa-bisanya dia punya pikiran bodoh kayak gitu. Padahal, kalo ada masalah bisa cerita ke orang terdekat yang bisa dipercaya. Atau, kali kesusahan bisa minta tolong orang lain.
Semesta benar-benar tidak akan ada hal bodoh dilakukan oleh Auretta. Lantaran, hidup gadis itu masih memiliki banyak waktu. Apapun masalahnya, berniat bunuh diri bukanlah solusinya.
Sesampai di atas gedung sekolah. Semesta langsung menetralkan napasnya yang terengah-engah karena berlari secepat mungkin menaiki tangga sekolah. Dan, kini harus secepatnya menahan Auretta agar gadis itu tidak melakukan tindakan mengakhiri hidup secara bodoh.
Dengan cepat, Semesta menarik tangan serta tubuh Auretta ke dalam pelukannya. Sembari, menjauhi tepian rooftop.
"Jangan ngelakuin hal bodoh! Kalo ada masalah nggak perlu punya niatan bunuh diri kayak tadi. Itu nggak akan menyelesaikan masalah, justru bisa menambah masalah. Selain itu, merugikan diri sendiri. Jadi--" Semesta benar-benar khawatir, tapi di sisi lain lega bisa mencegah niat buruk Auretta.
Auretta terdiam serta merasa bingung atas tindakan tiba-tiba yang dilakukan Semesta. Menarik dirinya ke dalam pelukannya, lalu menuduhnya akan bunuh diri.
"Apa-apaan, sih, Kak? Gue nggak ada niat buat bunuh diri, ya. Di sini cuma lagi nyari angin segar, sekaligus menikmati udara pagi." Auretta sembari melepaskan diri dari dekapan Semesta. "Modus banget lo peluk-peluk gue!"
Mendengar perkataan Auretta, sontak membuat Semesta merasa sedikit malu telah berburuk sangka pada Auretta. Akan tetapi, posisi gadis itu memang terkesan ambigu. Seperti, akan melakukan tindakan bunuh diri dengan menjatuhkan tubuh dari atas gedung sekolah. "Gue nggak modus! Cuma,--"
"Terserahlah. Dari kemarin kan emang lo kayak sengaja cari perhatian sama gue. Dengerin ya, gue udah punya cowok yang baik hati, setia, dan sayang banget sama gue. Jadi, mending lo nggak usah modus, deh." Auretta cukup percaya diri, bila Semesta ingin mencari perhatian padanya sejak pertama kali bertemu.
Semesta menghela napas, tidak habis pikir dengan Auretta. Padahal, ia benar-benar khawatir sekaligus takut bila gadis itu mungkin akan melakukan tindakan buruk di sana. Walaupun, ternyata dugaannya salah. Namun, posisi Auretta memang bisa mengundang pemikiran buruk orang yang melihatnya.
"Lain kali, tolong jangan berdiri di tempat berbahaya. Itu bisa bikin orang lain salah paham kan maksud gue. Jadi, tolong ingat itu biar nggak ada orang yang salah sangka lagi." Semesta sedikit kesal dengan respon dari Auretta. Niat baiknya, tidak dianggap sama sekali. Walaupun, ia memang salah paham dengan apa yang dilakukan Auretta.
"Makanya, lain kali jangan sok tau. Mana udah berpikir buruk juga." Auretta masih menatap sebal mendapati apa yang sudah terjadi. "Gue sama sekali nggak ada niat bunuh diri. Lagipula, gue baik-baik aja nggak ada masalah."
Semesta tersenyum, mendengar penuturan dari mulut Auretta. Sadar, bila gadis itu sebenarnya menyimpan suatu masalah yang cukup merusak mentalnya. Akan tetapi, kali ini memang mungkin gadis itu benar tidak berniat bunuh diri. Karena, tidak terlihat sedang tertekan atau berpikir berlebihan.
Sepertinya, ia memang sudah salah mengira tentang apa yang dilakukan Auretta. Ia sadar betul dengan itu. Hanya saja, ia tetap harus memperhatikan Auretta. Lantaran, sedikit tahu kondisi mental Auretta. "Sori... Kalo gitu, gue duluan."
"Nah... Gitu dong dari tadi. Lagipula, kalo ada yang liat kita nanti bakalan ada yang salah paham. Apalagi, tadi kita--"
Semesta tersenyum menggoda kepada Auretta. Sadar, bila takut ada yang melihat adegan saat Auretta dalam pelukan Semesta. "Tenang aja, kayaknya belum banyak yang datang. Di sini juga nggak ada cctv."
Sebenarnya, Semesta sedikit berbohong mengenai CCTV. Karena, ia tahu di sana ada benda itu. Bahkan, mengetahui secara tepat letak CCTV-nya. Namun, ia akan mengurus hal itu. Dan, tidak akan ada yang mengetahui interaksinya dengan Auretta. Takut, bila akan menjadi perbincangan hangat para murid maupun guru.
Auretta masih terdiam, berharap memang tidak ada yang mengetahui keberadaannya sekarang bersama Semesta. Karena, mungkin itu akan menjadi masalah ke depannya. Ia tak mau, sampai ada kesalahpahaman. Terlebih, bila diketahui oleh Javian. Meskipun, Javian bukan tipe pencemburu. Tetap saja, jangan sampai cowok itu tahu serta salah mengira. Itu bisa membuat hubungannya renggang.
"Gue duluan, ya. Aman kok, nggak akan ada yang liat kita di sini. Nggak usah takut gitu." Semesta tahu, Auretta mulai berpikir berlebihan. Itu akan membuat kondisi gadis itu tidak baik.
Auretta memanyunkan bibirnya, entah kenapa masih kesal dengan Semesta. Padahal, cowok itu terkesan baik padanya sedari tadi. "Sok tau banget, sih. Udah sana buruan pergi, Kak!"
Semesta tersenyum, lalu melangkah pergi meninggalkan Auretta yang masih berada pada rooftop sekolah.
Agar, tidak ada yang curiga telah terjadi pertemuan tidak sengaja antara dirinya dengan Semesta. Auretta memilih tetap di rooftop beberapa waktu.
Sementara itu, Semesta baru saja sampai di kelasnya. Kemudian, ada seseorang menghampiri cowok itu dengan tersenyum sangat manis.
"Lo habis dari mana, Ta? Tadi, gue liat motor lo udah terparkir." Caramel mulai berbicara, dengan Semesta yang baru saja duduk pada bangkunya.
"Hm... Gue tadi--"
- To Be Continue -