Dero akhirnya duduk. Kursi tunggu itu dingin terkena angin malam, tapi dia tidak tampak peduli. Tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan bertumpu di lutut, dan bahunya menegang seolah tubuhnya menolak kenyamanan. Atha melirik sekilas—bukan dengan tatapan menghakimi, tapi dengan sorot hati-hati, seperti sedang mengamati binatang liar yang untuk pertama kalinya tidak menyerang.
Lelaki cepak itu mengeluarkan sebungkus rokok murahan, kemudian menyalakannya dengan korek yang semula ada di saku jaketnya. Tak ada suara di antara mereka beberapa detik. Hanya napas, embusan asap rokok, sedikit gemerisik dedaunan, dan suara kipas dari dalam minimarket yang masih menyala. Dunia terasa pelan. Dan akhirnya Dero bicara, dengan nada yang berat namun nyaris lelah.
“Gue enggak janji jawab semua pertanyaan lu,” katanya pelan, hampir seperti peringatan. “Tapi ya. Niko sempat ngehubungin gue.”
Kepala Atha langsung menoleh. Tatapannya penuh tekanan, tapi bukan marah. Lebih seperti... harapan yang disambung paksa. “Kapan?”
Dero mengangkat bahu kecil. “Beberapa hari lalu. Pake nomor baru.”
“Nomor baru?”
“Iya. Gak ada namanya, gak ada foto. Tapi gue tahu itu dia. Cara dia nulis… lu tau kan gimana Niko ngetik, dia punya gaya sendiri. Dan isinya... khas dia juga ada tertandanya huruf N.”
Atha menggigit bibir bawahnya. Selama ini dia bolak-balik ke rumah Niko, menunggu balasan chat dari nomor lama yang terus-terusan cuma centang satu. Sementara ternyata Niko menghubungi orang lain. Empat hari lalu.
“Apa dia bilang?” tanyanya cepat.
Dero tak langsung menjawab. Dia mengangkat ponsel dari saku, menyalakannya sebentar, lalu memandang ke layar sejenak—mungkin memastikan dirinya tidak mengada-ada.
“Isinya cuman satu kalimat,” gumamnya. “Gue masih simpen.”
Atha menunggu. Rasanya jantungnya berdetak lebih cepat dari waktu.
Dero membacakan dengan datar, tapi suaranya terdengar pelan, seperti mencoba menjaga kata itu tetap lembut meski artinya menusuk.
“Kalau nanti gue enggak ada, jangan kaget ya,” Dero membaca ringan kalimat yang memiliki unsur berat tersebut.
Kepala Atha langsung kosong. Seolah kata-kata itu merontokkan semua harapan yang dia bangun perlahan selama sebulan terakhir. Ini bukan hanya pesan singkat. Ini terdengar seperti pamit.
Atha mencengkeram kedua tangannya. “Itu... serius banget.”
“Iya,” balas Dero. “Makanya gue juga bingung.”
“Kenapa lu gak bilang siapa-siapa?”
“Karena waktu itu... gue mikir dia cuma lagi drama. Gue kira itu bercanda. Atau marah. Atau testing reaksi.”
“Tapi sekarang dia beneran gak ada, Der.”
Dero menunduk. Untuk pertama kalinya, dia tidak menjawab dengan membentak atau menyindir. “Iya gue tau,” katanya akhirnya. “Gue cuma... terlalu banyak mikir hal buruk tentang dia. Jadi pas dia kirim itu, gue pikir dia cuman cari perhatian.”
Atha menghela napas. Rasanya dunia yang sudah lama hening kini makin kehilangan bentuknya. Mereka duduk begitu saja di kursi itu, dua remaja yang sama-sama tidak punya pegangan, mencoba mengurai benang kusut yang tak mereka pahami sejak awal.
Dan meski tak ada kesimpulan malam itu, satu hal jadi jelas: mungkin keduanya sama-sama merasa gagal menjaga satu orang yang mereka, dengan cara yang aneh dan bertolak belakang, pedulikan.
Minimarket sudah menutup rolling door sepenuhnya, menyisakan cahaya redup yang menyapu trotoar. Jam di layar ponsel Atha menunjukkan pukul 22.30. Keduanya sudah diam cukup lama di kursi itu, bersandar ke sandaran kursi dengan kepala sedikit menunduk, menatap ujung sepatu yang berdebu.
Suasana setelah percakapan tadi tidak tegang, tapi ganjil. Seperti ada yang mengendap-endap di antara mereka tapi belum punya bentuk. Canggung. Sunyi. Tapi bukan sunyi yang ingin diusir—lebih seperti sunyi yang membuat keduanya terpaksa jujur dengan dirinya masing-masing.
Dero bangkit lebih dulu, menyibak udara malam yang mulai lembap.
“Gue balik duluan,” ucapnya sambil mengangkat sedikit tas selempangnya.
Atha ikut berdiri. “Bareng gue aja naik motor. Lu ke arah mana?”
Dero langsung menoleh, alisnya naik setengah. “Ngapain gue nebeng elu.”
Atha mengangkat bahu. “Udah malem. Udah lewat jam sepuluh. Lu mau jalan kaki?”
“Udah biasa juga.”
“Tapi tadi lu hampir jatuh ketiduran waktu duduk,” balas Atha santai.
Dero mendesah. Dia sempat diam lima detik, lalu mengangguk, setengah malas. “Yaudah.”
Mereka berjalan berdampingan menuju motor Atha yang terparkir sendirian di halaman parkiran minimarket, menghadap ke arah jalan yang mulai jarang-jarang dari kendaraan lewat. Tidak ada yang bicara waktu Atha mengenakan helm. Mereka berangkat dalam diam.
Jalanan malam sudah hampir kosong. Hanya ada suara angin dan kadang-kadang lampu mobil yang menyala dari arah berlawanan. Dero memeluk tasnya, duduk agak kaku di belakang, seperti tidak terbiasa dibonceng. Atha menyetir dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan tanpa terburu-buru.
Setelah beberapa menit, Atha bersuara. “Kelas 13 tuh isinya orang-orang aneh. Tapi lu kayak... sedikit ada warasnya juga.”
Dero tertawa kecil, kering. “Wah. Terima kasih atas penghinaan halusnya.”
Atha nyengir. “Enggak serius. Gue pikir lu bakal kayak sok banget. Tapi ternyata lu juga manusia.”
“Gue emang manusia. Cuma, ya... manusia yang agak lebih jahat.”
“Tapi enggak sebangsyul yang gue kira.”
“Gue bisa lebih bangsyul kalau mau. Lu tau sendiri gue gimana, dan ya, gue masih gak suka sama yang namanya Athariel Pradana, jangan lupain itu.”
Percakapan itu tidak panjang, tapi cukup untuk mencairkan sisa-sisa dinding yang masih berdiri di antara mereka. Dero mulai bersandar sedikit lebih santai. Atha merasa suasana ini, anehnya, terasa ringan.
Di sebuah perempatan, Atha kembali bertanya, suaranya agak hati-hati, “Lu deket banget ya dulu sama Niko?”
“Dulu, iya, meski kita beda dua tahun,” jawab Dero setelah jeda. “Tiap sore bareng, nongkrong, kadang ke studio latihan bareng. Tapi... makin ke sini, dia makin susah dipegang. Ngilang, muncul, ngilang lagi.”
“Ada masalah?”
Dero tak langsung menjawab. “Entah. Gue enggak tahu. Atau... pura-pura enggak tahu.”
Mereka tiba di gang tempat Dero tinggal. Atha memarkir motor di ujung jalan, dekat tiang listrik yang lampunya sudah kuning. Dero turun, membuka helm pelan, tapi tidak langsung masuk. Dia berdiri di samping motor, menatap jalan yang mereka lewati barusan.
Setelah beberapa detik, Dia bertanya—pelan, nyaris seperti gumaman. “Lu kenapa segitunya nyariin dia? Suka?”
Tanpa butuh waktu yang lama, Atha langsung menyangkalnya, “Jangan gila lu, ya. Bukan, tapi karena dia satu-satunya yang bikin gue ngerasa gak sendirian waktu pertama masuk Kelas 13. Lu sendiri ngehina gue, kan?”
Dero menoleh sebentar. Tidak tersenyum. Tidak juga marah. Tapi sorot matanya berubah sedikit—menjadi sesuatu yang tidak bisa diartikan begitu saja.
“Gue masuk dulu,” katanya akhirnya, suara kembali datar.
Atha hanya mengangguk. “Oke.”
Dero melangkah ke arah rumahnya, lalu membuka pagar kecil yang berderit. Sebelum masuk ke dalam, dia sempat berhenti sebentar, punggungnya menghadap Atha.
Lalu tanpa menoleh, remaja itu berkata, “Dia juga pernah bilang... hal yang mirip soal lu.”
Pintu rumah Dero pun menutup pelan.
Mendengar itu, Atha diam sejenak, lalu putar balik motornya pelan, menyusuri jalan yang mulai sepi.
Rumah Atha gelap di bagian depan, hanya lampu taman kecil yang menyala. Dia buka pagar besi tanpa suara. Motor Atha masuk ke halaman rumah secara perlahan—sepelan mungkin. Sudah hampir tengah malam. Roda depan sempat nyangkut sebentar di ambang paving yang retak, tapi dia menahan diri untuk tidak mengeluh. Rumah ini tidak besar, jadi semua suara bisa saja tembus dinding. Atha mematikan mesin, menurunkan standar, dan dorong pelan-pelan sampai benar-benar berhenti.
Lampu luar dibiarkan menyala. Tidak ada yang memarahinya malam-malam begini. Ayah dan ibunya sudah tidur sejak berita terakhir di TV selesai.
Pintu kamar Atha langsung dibuka tanpa bunyi. Dia hafal cara nariknya. Kaki diletakkan di ubin dingin, langkah masuk dua kali, lalu rebah. Kasur tipis, tapi cukup untuk malam-malam yang seperti ini.
Ponselnya di saku celana masih terasa hangat. Atha menariknya keluar seraya menyalakan. Layar langsung menyala dengan notifikasi tetap nihil. Yang muncul di sana hanya jam digital menunjukkan pukul 23:05.
Dia membuka aplikasi pesan instan. Masih sama: Niko. Foto profil masih ada, tapi sudah lama tidak diganti. Terakhir dibaca? Tidak ada. Status terakhir online? Hilang.
Dan baru di situ Atha sadar. Dia lupa. Dia lupa bertanya. Nomor barunya. Nomor baru yang dipakai Niko untuk menghubungi Dero.
“Sial,” gumamnya pelan sambil memejamkan mata. Dia kesal pada dirinya sendiri. Padahal beberapa puluh menit lalu mereka telah banyak berbincang—bahkan bisa dibilang cukup hangat. Namun kini, justru dia melupakan hal yang paling penting untuk ditanyakan.
Dengan gerakan setengah enggan, Atha membuka grup percakapan kelas. Dia menggulir layar perlahan. Berbagai foto tidak penting, stiker berlebihan, serta obrolan tak tentu arah yang selama ini tidak pernah dia baca, memenuhi ruang obrolan.
Akhirnya dia menemukan nama Dero. Tanpa pikir panjang Atha mengetuknya. Masuk ke jendela percakapan pribadi. Riwayat pesan? Tidak ada. Memang, mereka belum pernah saling berkirim pesan secara langsung sebelumnya.
Atha mulai mengetik.
“Gue lupa tadi nanya... itu nomor Niko yang baru masih lu simpen gak?”
Lalu dia ragu. Pesan itu dihapus. Dia mengetik ulang. Tidak jauh berbeda. Kemudian dia kirimkan.
Menunggu selama beberapa menit.
Hanya satu centang.
Atha meletakkan ponselnya di atas dada, lalu menarik napas panjang. Dia sendiri tidak tahu apa yang sedang dirinya harapkan. Mungkin balasan yang cepat. Mungkin keajaiban kecil.
Ponsel bergetar.
Satu notifikasi masuk.
Dari Dero.
“Masih. Mau?”
Atha segera membalas.
“Kirim aja. Gue coba cek.”
Beberapa detik kemudian, satu deretan angka masuk. Hanya nomor. Tanpa nama. Tanpa keterangan tambahan.
Atha menyalinnya, lalu menyimpannya sebagai kontak baru. Namun setelah itu, dia hanya terdiam. Dia tidak langsung menekan apa pun. Tidak langsung menghubungi. Nomor tersebut terasa berat. Seperti sebuah pintu yang mungkin saja terbuka atau justru menunjukkan bahwa tidak ada siapa pun di baliknya.
Dia memandangi layar ponsel itu lama. Sampai akhirnya, Atha mengunci ponsel dan meletakkannya di sisi bantal. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya, seperti baru saja menyelesaikan hal besar, padahal tidak ada yang selesai. Nomor itu kini tersimpan di kontaknya—tanpa nama, tanpa foto, hanya barisan angka yang terasa seperti kode menuju sesuatu yang belum pasti.
Dia menatap langit-langit sebentar, kemudian membalikkan badan, merebah telentang di kasur yang dinginnya belum sempat dihangatkan tubuh. Suara kipas berputar lembut, satu-satunya hal yang bersuara di ruangan itu. Tapi suara itu tidak bisa menenangkan pikirannya.
Setelah beberapa menit menatap kosong, Atha akhirnya menggeser tangan pelan, mengambil ponsel kembali. Jemarinya sempat ragu, namun akhirnya menyentuh ikon telepon.
Layar menyala. Nomor itu terpampang jelas.
Dia tekan panggilan. Tahan napas.
Nada sambung. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Tidak ada jawaban.
Atha langsung menutupnya. Ada perasaan aneh yang menyesap pelan-pelan dari dadanya, merambat ke bahu, ke perut, dan berakhir pada jemari yang menggenggam ponsel lebih erat dari seharusnya.
Dia kembali meletakkan ponsel. Kembali merebah. Kembali mencoba bersikap biasa.
Lima detik kemudian, ponsel itu bergetar.
Atha refleks menoleh. Layar menyala terang di ruang gelap itu, menampilkan tulisan sederhana namun cukup untuk membuat detaknya melompat:
Nomor Tidak Dikenal – Memanggil.
Atha langsung bangkit duduk. Dadanya berdegup cepat. Lelaki itu tidak sempat berpikir panjang. Langsung menekan tombol hijau.
Panggilan tersambung.
Namun tidak ada suara.
Tidak ada sapaan. Tidak ada jeda nada sambung yang biasa muncul. Hanya dengungan pelan. Seperti suara elektronik yang jauh, teredam... dan entah kenapa, terasa terlalu nyata.
Lalu Atha mendengarnya.
Napas. Panjang, pelan, terputus, dan berat—seperti seseorang sedang menahan diri. Atau sedang berada dalam ruang sempit yang tidak memungkinkan banyak suara.
Atha menguatkan suara, meski lirih.
“...Niko?”
Hening.
Tidak ada jawaban. Hanya napas itu, masih ada. Terus ada. Tapi tanpa kata.
“Kalau lu denger suara gue... jawab, dong.”
Masih tidak ada respons.
Satu detik. Dua detik. Lima. Napas itu berhenti.
Panggilan terputus.
Bunyi khas itu muncul, singkat, lalu layar kembali gelap.
Atha masih menatapnya. Tidak bergerak. Bahkan napasnya sendiri seperti ikut tertahan, takut kalau suara sekecil apa pun akan memecahkan keheningan yang kini terasa terlalu padat.
Dia coba menelpon balik. Namun hanya muncul satu tulisan di layar:
Nomor tidak dapat dihubungi.
Layar ponsel itu kembali gelap. Tapi kali ini, kegelapan terasa lebih pekat dari sebelumnya.
Atha meletakkan ponsel di pangkuannya. Pandangannya kosong. Kepalanya penuh. Tapi tidak ada satu pun pikiran yang bisa diurai dengan logis.
“Kalau itu bukan Niko...” gumamnya, hampir tak bersuara, “...lalu siapa? Dan kenapa dia diam?”
arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii
Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN