Bagaikan palu godam yang menghantam tanpa ampun, serangkaian kata dilontarkan oleh kepala sekolah dengan logatnya yang medok. Tatapan pria gendut itu tajam, sampai di bawah hidung, kumis tebalnya berkedut sesekali diikuti tarikan napasnya yang panjang dan kasar.
Pria itu membuka map biru seraya mengeluarkan secarik kertas menyakitkan, kemudian meletakkan di atas meja. “Setelah mempertimbangkan semua bukti dan masukan dari pihak terkait…” Ia berhenti sejenak, menatap Atha di hadapannya dengan tatapan kecewa. “Kami memutuskan bahwa Athariel Pradana tidak dapat dinyatakan lulus tahun ini.”
Sang ibu yang duduk di samping kanan Atha menarik napas tajam. Sedangkan, ayahnya langsung bersuara, nadanya bergetar menahan emosi. “Anak saya ranking dua paralel sejak kelas sepuluh, Pak. IP rapornya konsisten. Bahkan rekomendasi beasiswa sudah keluar. Dan sekarang Anda bilang—”
“Kami tidak hanya melihat nilai, Pak Pradana,” potong kepala sekolah, nadanya masih datar, nyaris sinis. “Ada insiden yang tidak bisa kami abaikan.”
Atha menatap ke bawah. Kata itu lagi: insiden. Satu kata yang menyimpan begitu banyak versi cerita, tapi tak satu pun datang darinya.
“Curang dalam ujian nasional, itu tidak bisa kami toleransi,” lanjut kepala sekolah, kini mengarah langsung pada Atha yang masih tertunduk. “Penjebakan dan plagiasi karya ilmiah milik orang lain adalah salah satu tindakan kriminal di dunia pendidikan dan kesusastraan, dan itu semua sudah beredar di media sosial sekolah. Bukti nyata sudah kami kumpulkan dari berbagai pihak…”
“Tapi kalian nggak pernah tanya ke aku langsung,” ucap Atha pelan, hampir tanpa nada. “Kalian ambil semua versi, kecuali versiku.”
Ibunya menoleh cepat, seperti tak menyangka Atha akhirnya bicara. Ayahnya mengepalkan tangan. Kepala sekolah hanya menghela napas.
“Justru itu masalahnya, Atha. Kamu tidak pernah menyangkal apa pun. Kamu hanya diam. Sekolah tak bisa membela siswa yang tidak mau membela dirinya sendiri.”
Atha menahan tatapannya agar tidak retak. Tidak di sini. Tidak sekarang.
“Ada alternatif yang bisa diambil,” lanjut kepala sekolah sambil menyodorkan secarik kertas lainnya dari dalam map biru. “Program remedial lanjutan. Satu tahun tambahan. Di Kelas 13. Di sana, kamu bisa perbaiki nilai … dan mungkin juga reputasi.”
Ibunya menoleh penuh harap. “Jadi … kalau anak saya ikut itu, dia masih bisa lulus?”
Kepala sekolah mengangguk kecil. “Setelah satu tahun. Dengan catatan: dia benar-benar berubah.”
“Dan kalau tidak?” tanya sang ayah.
“Berarti keluar dari sistem. Tanpa ijazah. Tanpa peluang kuliah formal. Secara legal, berhenti sekolah. Kecuali, mengulangnya lagi sampai tiga kali kesempatan terpakai habis.”
Ruangan itu kembali tenggelam dalam diam. Jam dinding berdetak seperti menyindir—waktu terus jalan, bahkan untuk mereka yang tersisih.
***
Lorong sekolah terasa lebih panjang dari biasanya. Langkah Atha menggema menyusuri jalur yang dulu menjadi saksi kejayaannya—sertifikat di mading, pidato-pidato di podium, tatapan penuh kekaguman dari guru-guru dan siswa lain. Semua itu kini menjadi siluet, bayangan kabur yang menjauh setiap kali ia mencoba menggapainya kembali.
Ia berbelok ke area belakang sekolah. Melewati gudang olahraga yang berkarat, halaman kecil penuh rumput liar, dan tangga beton dengan retakan samar di ujungnya. Satu-satunya tempat di sekolah yang tak pernah masuk dalam brosur penerimaan siswa baru.
Hingga akhirnya, ia berdiri di depan sebuah bangunan tua berwarna abu pudar. Catnya mengelupas. Jendela kayunya tertutup tirai usang. Di atas pintunya tergantung papan kayu kusam yang hampir jatuh, tulisannya nyaris hilang dimakan cuaca:
KELAS 13
Program Remedial Lanjutan
Tidak pernah disebut di upacara. Tidak muncul di daftar kelas resmi. Tak pernah dikunjungi oleh pengawas sekolah atau wali murid. Tempat bagi siswa yang ingin dilupakan—atau dipaksa untuk hilang.
Atha menatap papan itu cukup lama. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya, tapi ia tidak tahu apa—marah? Malu? Atau mungkin perasaan lebih mengerikan: kalah.
Tangannya menyentuh gagang pintu. Dingin. Sedingin tatapan orang-orang yang dulu memujanya.
“Dulu mereka panggil gue jenius,” pikirnya lirih. “Satu kesalahan, dan semua orang sibuk nyari alasan buat nendang gue ke bawah!”
Ia menutup mata sejenak, lalu menarik napas panjang dan mendorong pintu.
arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii
Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN