Pagi-pagi sekali, Pak Beno sudah menungguku di depan pintu. Aku memberikan koperku lalu masuk ke dalam mobil. Aku sedikit kesal karena semalam Papa gak pulang, tentu saja aku harus datang ke bandara sendirian.
“Pak, apa Papa udah nunggu aku di bandara?” tanyaku yang di gelengi oleh Pak Beno.
“Maaf Non, kayaknya Tuan Alfred sudah berangkat duluan. Jadi Nona akan terbang sendiri, nanti di bandara tujuan sudah ada yang menjemput Nona,” jawab Pak Beno membuatku menghela nafas.
“Pak, tapi kan ini penerbangan pertama saya,” jawabku mulai kesal, kenapa jadi seperti ini.
Belum juga liburan, mood ku sudah kacau.
Aku membuka ponselku, tidak ada pesan apapun dari Papa.
Aku kembali memasukkan ponselku ke dalam tas, berusaha menerima apa yang memang harus ku terima.
Sesampainya di bandara, aku segera turun dan berniat membawa koperku sendiri. Namun semua itu sudah dilakukan oleh Pak Beno, jadi aku hanya berjalan mengikutinya.
Dalam keheningan aku berusaha menstabilkan detak jantungku, ayolah ini mudah. Kamu hanya perlu duduk Alia, tidak ada yang sulit, ucapku dalam hati.
Untunglah Pak Beno membantuku check in, jadi aku tidak perlu kesusahan.
Aku hanya memperhatikan cara Pak Beno melakukannya, siapa tau kan nanti akan ada masanya aku terbang sendirian.
“Semuanya sudah saya urus Non, langsung masuk aja. Saya pamit ya Non, ada yang harus saya kerjakan lagi,” ucap Pak Beno yang aku angguki.
“Makasih Pak,” ucapku membuat Pak Beno mengangguk lalu meninggalkanku.
Setelah kepergian Pak Beno, aku segera masuk dan mencari tempat duduk sesuai nomor di tiketku.
Untung saja tempat duduk kupas di samping jendela, membuatku bisa tersenyum untuk sementara waktu, Mungkin mood ku akan naik lagi.
Aku kaget saat melihat kurus di sampingku terisi oleh Rafi.
“Lo mau ke mana? Kok bisa di sini,” ucapku membuat Rafi tersenyum.
“Sama kayak lo lah, kan tujuan kita sama. Makanya satu pesawat,” ucap Rafi santai membuatku menaikkan alis.
“Kok bisa, lo ngikutin gue?” tanyaku membuat Rafi menggeleng.
“Gak ya, gue juga gak tahu kalau bakal sebangku sama lo. Orang tua gue yang pesan tiketnya,” ucap Rafi membuatku semakin penasaran.
Namun rasa penasaran menghilang begitu saja karena pesan masuk dari papa di ponselku
Aku membaca pesan itu dan benar saja, ternyata orang tua Rafi adalah rekan bisnis Papa. Karenanya kami sengaja diberangkatkan bersama.
Aku membalas pesan Papa singkat, karena aku masih kesal. Walaupun di sini ada Rafi yang nasibnya sama sepertiku, aku tetap tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Papa.
“Santai aja, orang sibuk emang kayak gitu. Lo bakal terbiasa kedepannya, bahkan di keadaan yang paling gak lo sukai,” ucap Rafi membuatku menoleh.
“Jadi akan ada seperti ini lagi?” tanyaku membuat Rafi tersenyum.
“Mungkin, dan bisa jadi lebih parah dari ini,” jawab Rafi membuatku menghela nafas.
Setidaknya aku memiliki teman yang nasibnya sama, kukira hanya aku yang diperlakukan seperti ini.
“Ambil sisi positifnya, anggap aja ini latihan. Jadi suatu saat udah gak kaget kalau terjadi lagi,” ucap Rafi yang aku angguki.
Karena apa yang diucapkan Rafi masuk akal, semua bisa saja terjadi dan bahkan bisa lebih menyulitkan.
Aku segera menonaktifkan ponselku saat pesawat lepas landas, aku menikmati pemandangan di sampingku. Bukan samping kanan, tetapi samping kiri.
Setelah beberapa saat aku mulai mengantuk, membuatku segera memejamkan mata. Namun aku gagal memejamkan mata, karena Rafi terus saja memanggilku.
“Kenapa, gue ngantuk,” ucapku melirik ke arah Rafi.
“Lo mah gak asik, liat nih gue punya mainan baru,” ucap Rafi menunjukkan sesuatu di tangannya.
Aku hanya mengangguk, lalu memejamkan mata lagi.
“Jangan gangguin gue Raf,” ucapku saat Rafi mulai menggangguku lagi.
Ini adalah penerbangan pertama ku, tetapi momennya kurang pas. Harusnya aku terbang bersama Mama Papa tetapi pada kenyataannya aku terbang bersama Rafi.
Hal seperti ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku, ini seperti perjalanan lintas kota menggunakan bus yang bisa bertemu siapa saja secara random. Tetapi ternyata hidup orang kaya lebih luas, di pesawat hal-hal seperti itu bisa saja terjadi.
“Lo pernah berpikir gak sih kita bakal bertemu di pesawat, mana tujuannya sama,” ucapku membuat Rafi menoleh.
“Gak sih, cuman ya memang udah ditakdirkan kalau kita harus bareng kemana-mana,” ucap Rafi membuatku menaikkan alis.
“Raf, serius deh. Gue masih gak nyangka aja,” ucapku membuat Rafi tertawa.
“Nikmati aja Al, gue juga gak pernah berfikir ini bakal terjadi. Anggap aja ini kejadian luar biasa, kapan lagi kan,” ucap Rafi yang terpaksa aku angguki.
Walaupun memang ada benarnya apa yang Rafi ucapkan tapi ini terlalu dadakan dan tidak terprediksi.
“Ayo turun, lo ngapain diem aja,” ucap Rafi menyadarkanku dari lamunan.
“Udah sampe?” tanyaku yang di angguki oleh Rafi.
Untunglah Rafi sudah terbiasa, jadi aku tidak perlu kesusahan saat akan mengambil koperku. Semua diurus oleh Rafi, aku hanya mengikutinya sambil mengamati.
Setelahnya kami menunggu jemputan, tapi ada yang aneh. Kenapa aku harus bersama Rafi di sini, dari banyaknya orang kenapa dia yang bersamaku sekarang.
“Kenapa lo laper?” tanya Ragi membuatku menggeleng.
“Gak, aneh aja diantara milyaran orang harus banget gitu ketemu lo di sini,” ucapku membuat Rafi tertawa.
“Semesta merestui kita Al,” ucap Rafi membuatku menghela nafas.
“Bebas lo aja deh, tapi ya. Kenapa lama banget jemputannya sampe,” ucapku mengganti topik.
“Gak juga, tuh mobilnya,” ucap Rafi menunjuk mobil yang baru saja berhenti.
Dengan segera aku berjalan menuju mobil itu, mendahului Rafi yang mulai membuatku kesal.
“Bisa-bisanya gue di tinggalin, awas aja ya lo kalau minta bantuan ke gue nanti,” ucap Rafi lalu masuk ke dalam mobil, mendahului ku.
“Ish, lo mah gak mau ngalah,” ucapku menyusul Rafi masuk ke dalam mobil.
Untuk urusan koper, sudah ada yang membantu kami. Jadi kami hanya duduk dan menikmati perjalanannya.
“Nah sekarang kalau lo mau tidur gak papa, lama soalnya,” ucap Rafi memberikan jaketnya padaku.
“Makasih,” ucapku menerima jaket itu, karena aku lupa membawa jaket tadi.
“Kok lo tau, pernah ke sini?” tanyaku yang di angguki oleh Rafi.
“Tahun lalu gue kesini, acara yang sama sih kayak sekarang,” jawab Rafi membuatku mengangguk.
“Emang acaranya apa sih?” tanyaku penasaran.
“Liburan,” jawab Rafi membuatku menaikkan alis.
“Raf, serius gitu jawabnya,” ucapku membuat Rafi tertawa.
“Gue juga serius, lo juga bakal tau nanti di sana,” ucap Rafi membuatku mengangguk.
“Oke, gue gak akan tanya lagi. Gue mau tidur,” ucapku kesal, pada akhirnya lebih baik tidur daripada berbicara dengan Rafi.