Aku memarkirkan sepedaku dengan gemetar, bagaimana tidak. Mama sudah menungguku di depan pintu sambil menatapku tajam. Aku berjalan pelan, menunduk sambil merapalkan semua doa yang aku hafal.
“Kamu dari mana saja, jam segini baru pulang? Mana gak bawa belanjaan, mau jadi apa kamu?” bentak Mama membuatku takut.
“Maaf Ma, tadi Alia kekunci di uks,” ucapku membuat Mama menggeleng.
“Alasan saja, gak mungkin itu,” ucap Mama lalu meninggalkanku.
Aku masih saja diam, tidak berani masuk ke dalam. Karena di dalam sudah ada Kak Bela yang siap melakukan apapun padaku, apalagi kali ini aku tidak membantunya sama sekali.
“Cepet masuk, ngapain diem disitu. Gak ada yang mau nolongin lo,” ucap Kak Bela sambil menarik tanganku.
Aku pasrah, aku berjalan mengikuti Kak Bela. Aku tahu, sebentar lagi akan ada air yang melayangan di atas kepalaku.
“Byur,” siraman air dari Kak Bela membuatku basah kuyup.
“Lo mau apa sih sebenernya, lo gak bisa ya pulang seenaknya kayak gitu. Awas besok lagi lo gak bantuin gue, gue bisa lakukan hal yang lebih kejam dari ini,” ucap Kak Bela membuatku semakin diam.
Rumah ini bukanlah sebuah rumah untukku, dimana rumah yang katanya tenang? Aku sudah tidak memiliki tempat berpulang, rumah yang nyaman hanya ada di dalam imajinasiku.
“Al, cepet bantuin Mama. Kamu ngapain sih lama-lama di sana, gak usah gangguin Bela,” teriak Mama membuatku sakit.
Mama tidak tahu apa yang Kak Bela lakukan padaku, selalu saja Mama berfikir aku yang mencari gara-gara. Bahkan Mama tidak pernah membelaku lagi.
Jadi, alasan apa yang membuatku masih bertahan di rumah ini?
Karena mendengar teriakan Mama, Kak Bela meninggalkanku. Aku segera berganti pakaian dan membantu Mama di dapur.
Seperti biasa, rutinitas ku kali ini adalah membantu Mama menyiapkan makan malam. Dimana Kak Bela, orang yang seharusnya membantu Mama di sini? Jangan bertanya apapun, sudah pasti dia tidak akan mau menyentuh dapur. Hidupnya seperti ratu yang ingin selalu dilayani, bagaimana bisa Mama nurut saja sama Kak Bela. Apa yang dia lakukan pada Mamaku, aku tidak bisa berpikir terlalu jauh akan semua hal yang terjadi.
“Kenapa Al?” tanya Mama tiba-tiba membuatku menggeleng.
“Gak papa Ma, aku lagi mikirin tugas buat besok,” ucapku sambil tersenyum, Mama hanya mengangguk lalu melanjutkan pekerjaannya.
Kami di dapur hanya diam, Mama tidak memarahiku lagi namun Mama juga tidak mengajakku berbicara.
Seperti ada yang aneh, tapi apa. Banyak skenario yang tercipta di otakku, tapi aku memilih diam. Seperti ini lebih baik kan, daripada Mama selalu memarahiku.
Selesai memasak, aku bergegas kembali ke kamar. Aku harus mengerjakan beberapa tugas yang terabaikan. Sebelum Kak Bela menggangguku lagi dan tugasku akan terabaikan lagi.
Aku memang tidak pernah makan bersama mereka, Kak Bela selalu menatapku tajam jika aku bergabung di meja makan. Padahal gak salah kan kalau aku bergabung, aku juga ingin merasakan hangatnya keluarga seperti dulu. Namun itu semua hanya ada di imajinasiku, semua yang terjadi malah sebaliknya.
Aku mengerjakan tugasku sambil meneteskan air mata. Tawa bahagia dari Mama, Ayah dan Kak Bela membuat hatiku perih. Apakah aku terlupakan, memang kehadiranku disini salah. Apa mungkin Kak Bela lebih bahagia jika aku pergi, tapi Mama apakah dia akan menahanku.
Selesai mengerjakan tugas aku memejamkan mata sebentar, aku ingin beristirahat sebelum teriakan Kak Bela membuatku harus terjaga sepanjang malam.
Baru saja aku memejamkan mata, Kak Bela sudah membangunkanku.
“Cepet lo kerjain tugas gue, besok harus udah selesai atau lo akan gue kasih hukuman lagi,” ucap Kak Bela sambil menaruh buku-bukunya lalu meninggalkan kamarku.
Aku menatap tumpukan buku-buku itu, aku tidak bisa menolaknya.
Sebelum mengerjakan tugas-tugas itu, aku ke dapur untuk minum dan makan. Aku sangat lapar, semoga saja masih ada sisa makanan untukku.
Aku melihat Ayah ada di dapur, karenanya aku mengurungkan niatku untuk ke dapur dan akan kembali ke kamar. Namun Ayah sudah melihatku jadi terpaksa aku tersenyum dan melanjutkan jalanku.
Aku tidak membenci Ayah, walaupun dia cuek dan seperti tidak peduli. Namun Ayah tidak pernah membentakku, atau menyuruhku hal macam-macam. Aku bersyukur, setidaknya masih ada orang yang sedikit berperasaan di sini.
Setelah Ayah meninggalkan dapur, aku segera mengambil piring, nasi, serta lauk untuk aku makan. Aku harus mengisi energi dahulu, sebelum berperang menyelesaikan tugas-tugas dari Kak Bela.
Belum selesai aku makan, Kak Bela tiba-tiba muncul di dapur sambil menatapku kesal.
“Lo kenapa sih selalu bikin kesel,” ucap Kak Bela tiba-tiba membuatku menghentikan makan.
“Maaf,” ucapku pelan, tidak berani menatap Kak Bela.
“Gue biarin lo makan dulu, tapi awas aja abis ini lo gak ngerjain tugas gue. Gue udah muak sama kehadiran lo di sini,” ucap Kak Bela tiba-tiba lalu meninggalkanku.
Apakah aku sakit hati dengan perkataannya, tentu saja. Tapi apa hak ku untuk menangis, dulu aku yang memilih keluarga ini kan. Memang kehadiranku selalu salah, entah dimana pun aku berada selalu saja seperti ini.
Tolong, sampai kapan hal seperti ini berakhir. Aku ingin hidup bebas, tanpa tekanan dan aku ingin melakukan apapun yang membuatku bahagia.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, membuatku segera menyelesaikan makanku dan kembali ke kamar.
Pukul 11 malam aku sudah harus tidur, atau besok pagi aku akan bangun kesiangan dan mendapatkan masalah lagi. Aku berusaha menguatkan hatiku, meluruskan niatku. Tolong, bertahan sebentar lagi. Setelah sekolahku selesai, aku bisa bebas kan. Pergi kemanapun yang aku mau, meninggalkan keluarga ini, meninggalkan Mama dan meninggalkan rasa sakit yang ku pendam sekian lama.
Aku berusaha keras menyelesai tugas milik Kak Bela, aku berusaha paham dan mengerti semuanya. Atau jika pekerjaanku mendapatkan nilai jelek, aku akan mendapatkan cacian dari Kak Bela.
Kenapa hal-hal sekecil ini harus berbohong sih, tapi anggap aja ini pelajaran baru. Ilmu baru yang harus aku pelajaran, karena kedepannya entah aku bisa berkuliah atau tidak. Masih hidup saja sudah bersyukur, tapi apa yang harus aku syukuri di kehidupan ini.
Pukul 10.50 aku sudah menyelesaikan tugas milik Kak Bela, aku menghela napas lega. Akhirnya aku tidak harus begadang lagi. Aku akan memberikan tugas-tugas ini ke Kak Bela besok, kalau aku memberikan sekarang maka aku akan mendapatkan tugas tambahan. Karena Kak Bela tidak suka melihatku hidup tenang.
Aku teringat dengan laki-laki yang tadi menolongku di sekolah, wajahnya tidak asing. Aku seperti pernah melihatnya, tapi kapan? Kenapa aku bisa lupa, apa karena terlalu banyak tekanan di hidupku. Tapi, kenapa laki-laki itu masih ada di sekolah? Apakah dia yang mengunciku, itu tidak mungkin kan. Bukannya laki-laki itu sudah bilang alasannya, aku harus mempercayai ucapan penolongku.
Aku lupa menanyakan namanya, aku terlalu gugup karena sudah sore dan belum pulang. Apakah laki-laki itu akan kesal padaku, kecewa karena aku pergi begitu saja. Tapi harusnya tidak kan, aku sudah berterima kasih dan aku tidak seberarti itu di hidupnya. Aku hanya orang yang kebetulan di tolong dan tidak berefek apapun untuk hidupnya.
Sudah Al, gak usah memikirkan banyak hal. Gak usah bikin skenario yang bikin gila, stop. Lebih baik istirahat dan siapin energi buat besok.
Pukul 11.30 aku baru bisa memejamkan mata semoga mimpiku kali ini indah. Tentang penolongku di sekolah tadi, karena aku ingin bertemu lagi dengannya.