Suara lonceng pintu terdengar, namun tidak membuat karyawati toko bunga menoleh ke arah pintu, sebab seorang karyawati toko tersebut tengah sibuk menata bunga-bunga di rak dekat pintu kaca. Perempuan itu tahu, jika ada pembeli yang datang, dia tidak menanggapi karena di toko berwarna cat putih gading ini masih ada karyawan yang lain.
"Permisi, Mbak?"
Perempuan itu tidak menoleh, selain masih sibuk menata bunga-bunga, dia juga tidak peduli. Sampai-sampai Jihan tidak tahu jika di belakangnya seorang pembeli tengah mengusap lehernya, antara malu, kikuk, dan sedikit kesal juga. Namun pria muda dengan tinggi lebih dari seratus delapan puluh sentimeter itu ingin mencoba bersuara lagi, agar sang karyawati menoleh padanya.
"Mbak? Halo? Mbak bisa dengar saya, kan?"
Kemudian Jihan mendengkus, dengan malas dia menoleh. "Ada apa?" Begitu tanyanya dengan tampang datar.
Pria muda bernama Natha agak tersentak karena karyawati tersebut memasang tampang yang sama sekali tidak ramah, tapi Natha tidak peduli karena yang menjadi pedulinya sekarang adalah bisa berbicara dengan karyawati tersebut.
Sempat berdeham sebentar, sampai akhirnya Natha kembali bersuara. "Di sini jual bunga hawthorn?"
Perempuan itu mengangguk singkat masih memasang tampang datarnya dengan telunjuk kanan mengarah pada rak bunga yang ada dipojok kiri. "Bunganya di sebelah sana."
"Terima kasih." Sempat Natha memberikan seulas senyum pada karyawati tersebut, namun tidak ada tanggapan dari perempuan berkucir ekor kuda itu.
Kembali, Natha mengusap lehernya dan kali ini diiringi oleh ringisan pelan. Berhubung dirinya sudah mengetahui bunga yang ingin dibeli ada di mana, Natha melangkah menuju rak dipojok kiri. Pria muda itu sempat menoleh ke belakang, mengamati sebentar karyawati yang telah mencuri perhatiannya, Natha melihat jika perempuan itu melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.
Natha tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan hawthorn, bahkan tidak sampai lima menit. Laki-laki itu berjalan dengan beberapa tangkai hawthorn di tangannya.
Sedikit penjelasan. Hawthorn adalah bunga berkelopak merah muda, putih, dan merah. Bunga hawthorn mekar di bulan Mei yang biasanya dikaitkan dengan orang-orang kelahiran bulan kelima. Dalam tampilannya bunga hawthorn cukup mirip dengan bunga sakura serta bunga dogwood, selain itu pohon hawthorn ditumbuhi oleh berry kecil yang disebut haws. Bunga hawthorn menawan, melambangkan keceriaan dan arti harapan.
Langkah Natha terhenti, bukan di depan meja kasir, bukan juga di hadapan rak bunga yang lain, melainkan berdiri di samping karyawati tadi dan tidak lupa menampilkan senyum khasnya yang menawan.
"Mbak? Bunga hawthorn seperti ini bukan?" Natha sebenarnya sangat tahu bentuk dari bunga tersebut, namun dia sengaja bertanya seperti itu dengan alasan yang sederhana, Natha ingin mengajaknya bicara lagi.
"Ya." Begitu jawabnya dengan lirikan secepat kilat.
Seketika senyum khasnya terhempas, tergantikan oleh menipiskan bibir karena Natha sengaja melakukannya dan lelaki jangkung itu kembali mengusap lehernya.
"Mbak, kalau di sebelah sanaㅡ"
"Jika sudah selesai, Anda bisa langsung ke kasir."
Saat mendapat tanggapan kurang mengenakkan di hati, Natha mengerjapkan mata. Lelaki itu tidak tahu jika karyawati tersebut 'sangat' tidak ramah, dia pikir hanya 'sedikit' tidak ramah. Dan Natha juga baru tahu jika karyawati seperti itu masih bertahan bekerja di tempat ini. Apakah para pembeli tidak protes atas sikap buruknya itu? Entahlah, Natha tidak tahu. Tapi yang jelas dirinya harus segera memberi jarak pada karyawati tersebut.
Karena secara tidak langsung Natha mendapat penolakan, Natha mencoba untuk mengerti, dirinya menebak jika perempuan itu sedang dalam kondisi suasana hati yang sangat buruk.
Meski langkahnya cukup berat untuk pergi, kedua kakinya telah membawanya di depan meja kasir, setelah itu Natha menaruh hawthorn di atas meja untuk dibayar sekaligus dikemas. Sembari menunggu, Natha beberapa kali menoleh ke arah karyawati yang tidak bersikap ramah padanya, kemudian lelaki itu menghela napas.
Jujur saja, tempat ini bukanlah tempat pertama kalinya Natha bertemu dengan perempuan itu. Namun, baru kali pertama ini Natha berinteraksi langsung dengannya. Dan satu hal lagi, meski Natha pernah bertemu dengannya di hari-hari, minggu-minggu, bahkan bulan-bulan sebelumnya. Natha belum tahu siapa nama perempuan berambut hitam dengan kucir ekor kuda itu, karena sikapnya, membuat Natha semakin penasaran.
Natha menoleh ketika dirinya sempat mengamati perempuan itu. "Saya boleh tanya sesuatu nggak, Mas?" Dirinya bertanya pada lelaki bertubuh gempal yang mengemas bunga pesanannya.
Mendapat pertanyaan dari sang pembeli, sambil tersenyum ramah dia pun mengangguk singkat. "Boleh, dong. Kakak mau tanya apa? Pasti alamat rumah saya, ya?" Begitu tebaknya yang diiringi oleh kekehan kecil di bibirnya.
Natha tahu perkataannya adalah candaan, maka dari itu Natha ikut terkekeh beberapa saat, setelahnya Natha menggeleng pelan.
"Bukan, Mas." Arah pandangnya terarah kembali pada karyawati tidak ramah yang masih menata bunga-bunga di tiap-tiap rak. Sambil berkata telunjuknya mengarah pada perempuan tersebut. "Karyawati yang itu namanya siapa, ya?"
Karyawan pemilik tubuh gempal mengikuti ke mana telunjuk Natha berarah, menyadari siapa orangnya, karyawan tersebut manggut-manggut. "Oh, dia namanya Jihan, Mas."
Jihan adalah namanya? Oke, Natha akan mengingat nama tersebut dimulai dari detik ini.
"Kenapa, Kak? Kakak dijudesin sama dia, ya?" Tebakan karyawan tersebut mendapat anggukan singkat dari Natha.
Terdengar helaan napas panjang yang berasal dari hidung karyawan bertubuh gempal tersebut, dengan perasaan tidak enak hati karyawan itu kembali berkata, "Maaf ya, Kak. Tolong dimaklumi, Jihan orangnya memang begitu. Jangankan sama pembeli sama rekan kerjanya aja juga dijudesin, termasuk saya."
Laki-laki yang bekerja di bagian kasir itu sedikit mencondongkan wajahnya. "Omong-omong, Kak. Waktu itu pernah ada pembeli yang protes langsung ke pemilik toko ini," bisiknya seraya melirik ke arah Jihan sebentar.
"Kata pembeli yang protes itu, Jihan nggak ramah dan nggak sopan juga, intinya sih Jihan harus dipecat. Tapi karena pemilik toko ini terlalu baik, Jihan nggak dipecat. Tapi dia pindah posisi, yang sebelumnya kerja di bagian kasir, jadi ngurusin bunga kayak sekarang. Walaupun judes, tapi hasil kerjanya bagus banget.
"Selain judes, Jihan itu susah banget diajak bergaul, dia orangnya pendiam. Tapi sekalinya ngomong bisa bikin hati meringis-ringis. Terus, ya. Di setiap saya atau karyawan lain ajak Jihan buat makan bareng diluar, dia selalu nolak dan sampai sekarang saya nggak tahu alasannya. Kesal sih sama sifatnya, tapi di lain sisi saya kasihan sama dia."
Kening Natha mengerut mendengar bisikan karyawan itu. "Kasihan kenapa?"
Kembali, Natha mendengar helaan napas dari sumber yang sama. "Waktu itu, saya pernah lihat dia nangis di ruang istirahat sendirian. Omong-omong saya lihat dia nangis di tempat itu sampai tiga kali loh."
Ternyata bukan hanya karyawan itu saja, Natha juga pernah melihat Jihan menangis. Namun, tempatnya berbeda dan sebanyak tiga kali juga. Dan sampai saat ini, Natha begitu penasaran hal apa yang membuat perempuan itu bersedih.
"Dia sedih karena apa?"
"Saya nggak tahu, saya nggak berani tanya. Takut kena semburan paku dari mulutnya."
Karyawan bertubuh gempal yang baru Natha ketahui namanya Beno dari name tag-nya bergidik ngeri, mungkin sedang membayangkan tentang seramnya Jihan jika dia sedang berbicara.
Tatapan mata Beno mengarah kembali ke arah Jihan sebentar, dia melihat perempuan itu masih sibuk dengan pekerjaannya. "Omong-omong, sampai sekarang saya belum lihat dia ketawa. Jangankan ketawa, senyum aja belum pernah."
Seketika Natha terdiam, keinginannya untuk mengenal perempuan itu semakin kuat. Natha jadi teringat oleh ucapan sang nenek, waktu Natha masih kecil neneknya pernah berkata, jika ada seseorang yang jarang tersenyum atau tertawa, itu tandanya seseorang tersebut menyimpan tawa serta senyum yang sangat menawan dan berharga.
Kira-kira hal apa ya, yang membuat Jihan bahagia? Apakah senyum serta tawanya bisa membuat orang lain, terutama Natha terpesona? Jika benar, Natha ingin menjebloskan dirinya pada pesona Jihan yang masih terkunci rapat.
"Semuanya jadi berapa, Mas?" Natha bertanya ketika dirinya sudah tersadar dari lamunan singkatnya.
"Dua ratus ribu rupiah," jawab karyawan tersebut yang diiringi oleh seulas senyum ramah.
Natha segera mengeluarkan dompetnya, mengambil beberapa lembaran uang sebesar harga bunga pesanannya. Dengan senang hati Beno menerima uang tersebut.
"Terima kasih, Kak. Kapan-kapan datang lagi, ya."
"Iya, sama-sama." Natha menyahut, kemudian pandangan matanya sempat teralihkan ke arah hawthorn yang sudah dibungkus rapi.
Karena hawthorn, ada seulas senyum berkunjung di bibirnya. "Oiya, Mas. Tolong kasih bunga ini buat Jihan, ya. Salam dari Natha."
Meski Beno sempat melongo beberapa detik setelah mendengar ucapan pembelinya, pada detik selanjutnya Beno mengangguk singkat mengiyakan.
Sebelum pergi, Natha mengamati Jihan sekali lagi. Seperti harapan pada bunga itu, semoga Jihan menerimanya meski Natha tahu kemungkinannya tidak lebih dari sebesar biji semangka.
***
Jihan sibuk bekerja, sibuk menata bunga-bunga yang baru datang ke tiap rak masing-masing. Baginya, pekerjaannya menata bunga-bunga seperti ini cukup menyenangkan, karena secara tidak langsung menatap bunga-bunga cantik itu bisa membuatnya sedikit lebih tenang. Saking menikmati menata bunga pekerjaannya hampir selesai, saking fokusnya dalam bekerja perempuan itu sampai tidak menyadari jika seseorang sedang berdiri di belakangnya dengan hawthorn di tangannya.
Beno berdiri di belakang Jihan bukan tanpa alasan, ia mendapat pesan dari sang pembeli untuk memberikan bunga itu pada Jihan. Tidak ingin berlama-lama berdiri di belakang Jihan, Beno berdeham pelan sebagai tanda jika dirinya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi Jihan termasuk semua ucapan ketusnya yang menusuk hati.
"Jihan."
Ketika namanya disebut, Jihan menoleh ke arah sumber suara. Lalu ketika Jihan menatapnya, Beno langsung menyerahkan hawthorn di tangannya, karena hal tersebut kening perempuan itu mengerut.
"Tadi ada pembeli kasih bunga ini buat kamu. Kalau nggak salah sih namanya Natha. Soalnya dia pesan, salam dari Natha, gitu."
Ucapan Beno tidak mendapat balasan, alasannya Jihan masih tidak percaya ada orang asing yang memberinya hawthorn. Apa maksudnya? Dan apa alasan orang itu memberinya bunga.
Karena Jihan hanya diam memandang bunga itu tanpa mengambilnya. Beno kembali berdeham pelan. "Tolong diterima, ya."
Tiga kata yang Beno ucapkan, membuat tangan kanan Jihan refleks mengambilnya. Hawthorn telah pindah ke tangan Jihan, karena urusannya sudah selesai Beno buru-buru pergi, sementara Jihan menatap bunga itu lekat-lekat.
***
Jihan mengamati hawthorn pemberian dari seseorang tidak dikenal, mengamati bunga cantik itu cukup lama, sampai akhirnya helaan napas terdengar. Hawthorn cantik dan harum itu menjadi salah satu isi dari tempat sampah di depan toko bunga, Jihan membuangnya dan segera memasuki toko bunga untuk kembali bekerja.
Selama beberapa menit Jihan berpikir. Apa maksud dari laki-laki itu memberinya bunga? Padahal Jihan sama sekali tidak mengenalnya. Orang asing tiba-tiba memberinya bunga, bukankah hal tersebut terdengar aneh dan mencurigakan? Tapi, ya sudahlah. Jihan tidak mau terlalu ambil pusing untuk memikirkan hal tersebut, dan dirinya menganggap jika pemuda tersebut adalah orang iseng yang ingin menghambur-hamburkan uangnya saja.
"Kenapa bunga pemberian saya dibuang?"
Jihan tersentak, cukup terkejut atas suara yang terdengar dari belakangnya. Refleks dirinya menoleh menatap datar pemuda jangkung yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya. Dan satu lagi, Jihan tidak mengenal siapa pemuda itu.
Sorot matanya terlihat kecewa terlebih saat pemuda tersebut melirik sejenak pada hawthorn yang berakhir di tempat sampah, lantas tangannya mengambil bunga itu untuk ia selamatkan. "Kamu nggak suka bunga, ya?"
Jihan ingin membantah, hanya saja lidahnya terasa kaku hingga mengakibatkan kata-katanya tertahan di tenggorokan. Hawthorn itu cantik dan Jihan bukan manusia pembenci tanaman cantik, hanya saja menerima pemberian dari sosok asing lah membuatnya tidak ragu untuk menolak. Karena lidahnya masih terasa kaku, Jihan memilih untuk pergi dari posisinya berdiri. Lebih baik menyibukkan diri dengan pekerjaan daripada terjebak dalam situasi yang tidak dia sukai.
Kepergian Jihan menimbulkan kekecewaan yang semakin membungkus sempurna perasaan Natha. Karena sikap Jihan yang benar-benar tidak ramah, Natha menghela napas, tersenyum kecut untuk dirinya sendiri. Hari ini Natha telah membuang-buang waktu, tenaga, serta lembaran uangnya.
Dan Natha tidak sampai menduga jika reaksi Jihan akan seperti itu. Tapi tak apa, sebagai manusia baik, Natha masih bisa bersabar karena baginya menunggu hasil yang manis selalu membutuhkan proses panjang dan pahit.
Meski harapan menjadi taruhan. Natha sangat yakin, suatu saat nanti Jihan akan menerima eksistensinya. Entah kapan, tapi yang jelas Natha percaya dengan dirinya sendiri. Sekali lagi, Natha memandang hawthorn di tangannya, menghela napas sebentar kemudian membungkukkan badannya sedikit untuk menaruh hawthorn di atas keset toko karena pikirnya menaruh di atas keset lebih baik daripada di tempat sampah. Sebab Natha yakin pasti akan ada seseorang yang mengambilnya kemudian menaruh bunga itu di tempat lebih layak.
Dengan membawa rasa kekecewaannya, Natha pergi dari toko bunga bersama motor kesayangannya. Terlebih dahulu, Natha memakai helm sebelum menjalankan motornya juga meninggalkan area toko bunga.
Dari dalam toko, melalui jendela kaca diam-diam Jihan memperhatikan Natha. Laki-laki itu telah pergi dengan kendaraan beroda dua miliknya. Beberapa menit kemudian Natha tidak terlihat pada indra penglihatannya, Jihan kembali keluar ke tempat ia membuang hawthorn. Dan perempuan itu tidak terkejut saat hawthorn berada di atas karpet, di dekat kakinya. Jihan mendengkus pelan, kemudian mengambil hawthorn tidak yang bersalah itu. Ia tidak tega sekaligus merasa bersalah, karena bunga secantik hawthorn amat tidak cocok berakhir di tempat sampah, Jihan akan menaruhnya di tempat semestinya.