Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Flowers Learn to Smile Again
MENU
About Us  

Suatu waktu, Jihan pernah berharap tentang keinginannya untuk lenyap dari dunia ini. Karena baginya, seluruh dunia sangat gelap, mata yang berair karena menangis di setiap malam tidak membuatnya lebih baik, justru sebaliknya, Jihan begitu takut. Takut akan esok hari yang membuatnya kecewa, takut jika semuanya tidak baik-baik saja, dan takut atas kemungkinan tidak terduga yang terjadi di hari selanjutnya.

Meringkuk di atas kasur membiarkan perasaan sedih menguasai dirinya, entah saat ini sudah malam keberapa Jihan masih merasakan kesedihan atas kepergian orang-orang tersayangnya. Apakah semesta tidak tahu tentang perasaannya yang begitu menyedihkan? Jika boleh Jihan berkomentar, maka kalimatnya berisi tentang semesta yang bekerja sangat mengecewakan.

Sulit berdamai meski pikiran berusaha untuk mengikhlaskan. Kehilangan orang-orang tersayang apalagi untuk selamanya bukanlah hal mudah, terlebih Jihan tidak punya penguat selain dirinya sendiri. Hampir dua tahun hidup sendirian tanpa teman dan keluarga, perlahan telah membuatnya berubah.

Jihan telah kehilangan dirinya yang dahulu, hidup layaknya sebongkah robot yang tidak punya hati. Karena hal apa lagi yang Jihan tunggu di dunia ini, selain kematian? Dan beberapa bekas luka sayatan di pergelangan tangan adalah bukti sesungguhnya, jika dia membenci dirinya sendiri.

Jendela kamar yang dibiarkan terbuka, mempersilakan angin malam masuk hingga membuatnya kedinginan. Jihan tidak peduli, meski angin bisa membuatnya sakit namun angin adalah satu-satunya tamu dengan suka rela mampir ke dalam rumahnya yang tidak bernyawa.

Dahulu, rumahnya itu penuh dengan warna, maksudnya penuh dengan berbagai macam suasana dan perasaan. Contohnya ketika Jihan memenangkan olimpiade, saat Jihan pulang ke rumah ibu adalah orang pertama yang menyambutnya dengan pelukan hangat serta ucapan selamat, lalu pada malam harinya saat ayah pulang bekerja, ayah juga mengucapkan selamat sembari memberinya hadiah.

Lalu saat Jihan menangis karena mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya, orang tuanya selalu ada untuknya, menghiburnya dengan berbagai macam cara agar dirinya bisa senang kembali. Dan di setiap tahunnya, saat dirinya ulang tahun selalu ada perayaan di rumah ini meski sekadar kue tar dan satu kado saja.

Rumah yang Jihan tempati begitu banyak memori masa lalu tersimpan, mungkin jika memori tersebut berbentuk sebuah compact disc di setiap malamnya yang gelap, dia akan duduk terdiam di depan televisi untuk menonton memorinya berulang kali, karena setiap saat Jihan selalu merindukan orang tuanya.

Rumah yang menjadi alasannya untuk segera pulang saat sekolah, bukan lagi rumah yang dia tunggu di penghujung detik-detik saat kepulangannya dari kampus maupun tempat kerja. Rumahnya yang nyaman, tidak senyaman dahulu. Suasana rumah ini benar-benar berubah, rumah yang dahulu membahagiakan, tidak lagi dirasakan.

***

Jihan melangkahkan kakinya, memasuki minimarket dekat rumahnya yang berada di ujung jalan. Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan saat ini masih banyak orang-orang berkeliaran, ada yang menggunakan kendaraan maupun melangkahkan kaki seperti Jihan.

Perempuan itu mempunyai alasan untuk mampir sebentar ke minimarket, membeli kebutuhan wanita jika kedatangan tamu bulanan. Pertama stoknya sudah habis dan kedua menurut perhitungan kalendernya tamu bulanannya akan datang tiga hari lagi, lalu menginap selama enam sampai tujuh hari di dalam tubuhnya.

Karena minimarket cukup ramai, Jihan harus menunggu beberapa saat karena beberapa orang sempat menghalangi jalannya, dan sampai lah dia berdiri di depan rak bermacam-macam pembalut wanita untuk membeli salah satunya.

"Hei, Jihan!"

Suara seseorang yang menyebut namanya membuat Jihan menoleh, sosok asing yang memberinya bunga hawthorn tadi siang menunjukkan dirinya di hadapan Jihan sambil memamerkan senyuman lebar.

"Enggak nyangka, ya. Kita ketemu lagi." Begitu katanya seraya terkekeh pelan atas pertemuan tanpa disengaja antara dirinya dan Jihan.

"Mau beli apa?" Natha bertanya, namun dua detik kemudian dia tersenyum simpul dengan menggaruk belakang kepalanya meski tidak gatal. "Enggak usah dijawab, saya udah tahu kok kamu mau beli apa."

Dirinya merasa malu sendiri, jelas saja. Untuk apa Natha bertanya jika perempuan itu sedang berdiri di depan rak dengan tangan yang terjulur mengambil pembalut wanita.

Jika Jihan hanya membeli kebutuhan wanita, maka Natha membeli satu bungkus kuaci serta minuman kopi dalam kemasan botol. Keduanya keluar dari minimarket secara bersamaan, tapi di sini Natha sengaja mengikuti langkah Jihan dengan maksud menemaninya pulang.

Jihan yang menyadari atas eksistensi Natha langsung menghentikan langkahnya, dengan salah satu alis yang terangkat sedikit Natha juga ikut menghentikan pergerakan langkah kakinya.

"Kenapa berhenti? Ada yang lupa dibeli, ya?"

Mendapat pertanyaan seperti tadi membuat Jihan mendengkus, sembari menoleh sorot matanya terlihat agak galak.

"Kamu."

Tanpa sadar alis Natha saling bertaut. "Ya?"

"Kenapa kamu masih ada di sebelah saya?" tanya Jihan seraya menampilkan tampang datar andalannya.

Natha tidak langsung menjawab, karena laki-laki berpakaian kaus abu-abu berlengan panjang dan memakai celana bahan berwarna hitam garis-garis, menipiskan bibirnya beberapa saat, kemudian berucap, "Supaya kamu ada temannya."

Meski sekarang sudah malam, berkat pencahayaan lampu jalan di atas mereka. Natha dapat melihat jika bola mata Jihan bergerak memutar. "Enggak perlu, saya nggak butuh teman."

Kembali Jihan berjalan, tidak memedulikan suara Natha yang terus memanggil namanya. Sikap serta perkataan Jihan tadi membuat Natha berpikir sejenak, memangnya semudah apa sih perjalanan hidup Jihan hingga perempuan itu sampai berkata jika dirinya tidak membutuhkan teman? Karena setahu Natha, manusia itu adalah makhluk hidup yang bisa dikatakan saling membutuhkan satu sama lain. Maka kehidupannya akan sangat sulit jika hidup sendirian.

Melihat Jihan yang berjalan beberapa meter darinya, Natha segera menyusul. Saat keduanya kembali berjalan berdampingan, Natha menjelaskan secara rinci alasannya menemani Jihan yang belum sempat tersampaikan. "Saya nggak akan biarkan kamu pulang sendirian karena kamu perempuan, dan perempuan itu nggak baik jalan sendiri malam-malam begini."

Penjelasannya serta keberadaanya membuat Jihan menghentikan langkahnya lagi. "Saya nggak takut, karena saya sudah terbiasa sendirian!"

Melihat sorot mata Jihan, entah kenapa ada perasaan kasihan yang muncul. Dari tatapan matanya menjelaskan jika Jihan adalah seseorang yang terbiasa dengan kegelapan, hidup di antara bayangan, dan menganggap jika orang-orang di dunia ini telah memunggunginya, lalu hatinya telah mengeras, terselimuti oleh kabut tebal, terkelilingi oleh jurang yang terjal, begitu gelap dan menakutkan.

Karenanya, Natha bergeming sembari berpikir, menerka apa yang terjadi pada perempuan itu. Apakah Jihan memiliki masa lalu dengan rasa amat nyeri di dada yang terasa sampai sekarang? Atau memang perempuan itu memiliki sifat yang buruk sejak lahir? Tapi, bukankah sesuatu yang buruk terjadi karena ada hal yang menyakitkan sebelumnya? Seperti terlahir nya orang jahat karena kebaikannya selalu diabaikan.

Berhubung Natha masih bergeming melamun di tempatnya, Jihan segera pergi meninggalkan Natha seorang diri, tidak peduli jika laki-laki itu akan kerasukan roh jahat atau sebagainya. Tersadar dari lamunan karena Jihan yang bergerak, Natha kembali menyusulnya tapi tidak memanggil nama Jihan berulang kali seperti sebelumnya. Jihan melirik, mendengkus sebal atas sifat Natha yang keras kepala. Sudah beberapa kali dirinya menyuruh laki-laki itu untuk pergi, namun tetap saja Natha menganggap jika ucapannya bagaikan semut menumpang lewat.

Tidak ada dialog yang tersusun di antara keduanya, pertama karena Jihan tidak ada keinginan sama sekali memulai obrolan dan kedua Natha terlalu bingung untuk memulai dari mana tentang topik obrolan, sekalipun Natha beberapa kali melirik pada perempuan itu, Jihan terlalu fokus pada arah jalannya tidak menoleh atau melirik sedikit pun pada laki-laki tampan di sebelahnya, mungkin karena Jihan telah menganggap Natha adalah bagian dari bayangannya.

Tanpa sadar Natha menghela napas, jujur saja dirinya tidak betah jika harus diam berlama-lama seperti ini, sangat canggung dan entah kenapa membuatnya agak gugup. Masih dalam kesunyian, keduanya terus melangkah, ketika arah mereka menuju persimpangan jalan. Sesaat Natha melebarkan matanya dua detik dan disusul oleh senyum lebarnya. Natha melihat sesuatu tepatnya di pinggir jalan, di bawah lampu jalan yang menyala terang.

Ada si cantik tepi jalan yang kadang eksistensinya sering diabaikan. Berlari kecil Natha menghampiri, meninggalkan Jihan yang justru terdiam dengan satu pertanyaan di benaknya, yaitu 'kenapa laki-laki itu begitu gembira saat melihat bunga-bunga di tepi jalan?' padahal bunga tersebut adalah bunga liar yang tumbuh sembarang di tepi jalan. Entah kenapa, Jihan malah melangkahkan kaki kurusnya mendekati Natha yang masih tersenyum lebar menatap bunga-bunga tersebut.

Menyadari keberadaan Jihan yang berdiri di sampingnya membuat Natha menolehkan kepalanya menatap Jihan. "Udah lama banget saya nggak lihat bunga-bunga ini," Laki-laki itu menghela napas kemudian kembali menatap pada objek sebelumnya, kali ini mengamatinya lebih lekat, "Meskipun liar, mereka tetap cantik."

Begitu ucap Natha dengan sorot mata yang berbinar-binar. Omong-omong, bunga-bunga yang Natha sebut cantik berwarna ungu. Namanya kencana ungu, bunga liar yang tumbuh sembarang tanpa mendapat perawatan dari tangan-tangan manusia, bunga pemiliki warna ungu yang mempunyai biji kering yang dapat meletup jika terkena air.

"Meski liar, mereka banyak manfaatnya." Natha berujar seraya memetik satu bunga berwarna ungu tersebut.

Jarang ada yang tahu, jika bunga yang tergolong dalam spesies Ruellia Tuberosa bisa dijadikan obat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Mungkin jika semua orang tahu tentang manfaat tanaman liar tersebut, orang-orang akan berbondong-bondong merawatnya. Mereka memang liar, tapi bukan berarti sesuatu yang liar dapat merugikan banyak orang.

Omong-omong, Natha tahu berbagai macam bunga di dunia ini, karena dahulu sewaktu dirinya masih kecil, Natha sering membantu neneknya di akhir pekan untuk merawat bunga-bunga di halaman belakang rumah sang nenek. Natha memiliki pemikiran jika bunga tersebut ingin diselipkan di antara telinga dan helaian rambut panjang Jihan yang tergerai, tapi niatnya langsung diurungkan karena sudah pasti Jihan akan menolak. Lagi pula keberadaan Natha masih asing untuknya.

Lalu perempuan itu menatap beberapa detik pada langit malam gelap yang dihadiri oleh sekumpulan bintang dan bulan sabit, keberadaan benda-benda langit tersebut mempercantik tampilan malam ini. Hari semakin malam, itu tandanya Jihan harus segera pulang meski di rumahnya tidak ada siapa-siapa.

Sekali lagi, sebagai tanda perpisahannya di persimpangan jalan. Perempuan itu menatap Natha tanpa ekspresi.

"Saya mau pulang, omong-omong cukup sampai di sini aja, kamu nggak perlu temani saya sampai rumah. Karena saya nggak butuh teman."

Usai berkata, Jihan berjalan dengan cepat, bahkan hampir berlari. Perempuan itu bahkan tidak memberikan Natha kesempatan untuk berkata-kata. Meski perkataan Jihan sudah jelas untuk tidak mengikuti atau mengantarnya sampai ke rumah. Laki-laki jangkung itu sama sekali tidak peduli, bahkan saat jarak antara keduanya sudah cukup jauh. Natha mulai melangkahkan kakinya menyusul Jihan, tentunya tanpa di sadari oleh perempuan itu.

Natha memang keras kepala, tapi di sisi lain dirinya tidak bisa membiarkan begitu saja Jihan pulang sendirian di malam hari seperti ini meski perempuan itu menolak berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali. Natha hanya takut, terjadi hal yang tidak diinginkan, terlebih laki-laki itu juga tidak tahu ada bahaya apa yang sewaktu-waktu dapat mengancam Jihan. Walau dari jarak yang cukup jauh, Natha selalu mengawasi Jihan yang masih baik-baik saja.

Layaknya seorang mata-mata yang berjalan sambil sembunyi-sembunyi, di saat Jihan menoleh ke belakang beberapa kali, Natha selalu berhasil bersembunyi di belakang mobil, tempat sampah, maupun tembok.

Untunglah saat beberapa menit kemudian, Jihan telah sampai ke rumahnya dengan selamat karena di belakang mobil Natha melihat Jihan memasuki sebuah rumah. Di rasa Jihan telah benar-benar memasuki rumahnya, laki-laki itu tidak lagi bersembunyi di belakang mobil.

Natha melangkahkan kakinya menuju rumah Jihan, sekadar penasaran saja seperti apa penampakan rumah perempuan itu. Meski cahaya lampu di rumahnya tidak begitu terang, di depan gerbang Natha bisa melihat rumah Jihan cukup asri sebab banyak tanaman yang tumbuh di halaman depan.

"Ngapain kamu di sini? Kamu masih ikutin saya?!"

Natha tersentak, dia benar-benar terkejut karena kehadiran Jihan yang tiba-tiba ada di hadapannya. Bahkan saking terkejutnya laki-laki itu memundurkan langkahnya. Natha pikir Jihan sudah masuk ke rumah tapi ternyata dia bersembunyi di balik tembok gerbang rumahnya.

Saat Jihan menatapnya tajam serta menunggu jawabannya, Natha justru mengusap belakang lehernya sembari mencari alasan. "Ah. Itu. Enggak kok, kebetulan aja saya lewat sini."

Natha tidak lagi mengusap belakang lehernya, dia justru menatap sekelilingnya, terlebih pada rumah Jihan. Natha sengaja menghindari beradu pandang dengan si pemilik rumah.

"Ternyata rumah kamu di sini, ya?" Di akhir kata laki-laki itu tertawa hambar.

Ayahnya Jihan pernah berkata, ciri-ciri orang sedang berbohong itu tidak ingin menatap lawan bicaranya, dan Natha baru saja melakukannya.

Sebelum bersuara, Jihan menghela napas sementara kedua tangannya terlipat di depan dada. "Saya tahu gimana gelagat orang bohong."

Ucapan Jihan membuatnya terdiam, tatapan matanya tidak lagi fokus pada sekelilingnya karena sekarang Natha menunduk lalu diam-diam meringis pelan. Perempuan itu tahu saja jika Natha berbohong.

Karena hari semakin malam, Jihan sudah sampai rumah dengan selamat, dan tidak ingin terjebak dengan situasi seperti ini. Natha memilih mengakhiri atau mungkin lebih tepatnya menghindari.

Lalu dia berdeham pelan kemudian mengangkat kepalanya dengan seulas senyum tipis di bibirnya. "Yaudah, ya. Kalau begitu saya pulang dulu."

Sementara itu Jihan hanya diam dan menatapnya tajam, tidak membalas ucapan Natha meski laki-laki itu pergi dengan melambaikan tangannya.   

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A D I E U
2282      938     4     
Romance
Kehilangan. Aku selalu saja terjebak masa lalu yang memuakkan. Perpisahan. Aku selalu saja menjadi korban dari permainan cinta. Hingga akhirnya selamat tinggal menjadi kata tersisa. Aku memutuskan untuk mematikan rasa.
Premium
RARANDREW
19441      3765     50     
Romance
Ayolah Rara ... berjalan kaki tidak akan membunuh dirimu melainkan membunuh kemalasan dan keangkuhanmu di atas mobil. Tapi rupanya suasana berandalan yang membuatku malas seribu alasan dengan canda dan godaannya yang menjengkelkan hati. Satu belokan lagi setelah melewati Stasiun Kereta Api. Diriku memperhatikan orang-orang yang berjalan berdua dengan pasangannya. Sedikit membuatku iri sekali. Me...
Bintang, Jatuh
4177      1704     0     
Romance
"Jangan ke mana mana gue capek kejar kejar lo," - Zayan "Zay, lo beneran nggak sadar kalau gue udah meninggal" - Bintang *** Zayan cowok yang nggak suka dengan cewek bodoh justru malah harus masuk ke kehidupan Bintang cewek yang tidak naik kelas karena segala kekonyolannya Bintang bahkan selalu mengatakan suka pada Zayan. Namun Zayan malah meminta Bintang untuk melupakan perasaan itu dan me...
Rembulan
1365      795     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
AM to FM
2      2     1     
Romance
Seorang penyiar yang ingin meraih mimpi, terjebak masa lalu yang menjeratnya. Pertemuannya dengan seseorang dari masa lalu makin membuatnya bimbang. Mampukah dia menghadapi ketakutannya, atau haruskah dia berhenti bermimpi?
Maju Terus Pantang Kurus
3511      1503     4     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Andai Kita Bicara
1471      963     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Senja di Pelupuk Mata
720      474     1     
Short Story
Telah lama ku menunggu senja datang dengan membawa sejuta senyuman. Kesendirian telah mengutukku beberapa tahun silam. Sunyi beserta sepilah teman yang senantiasa menemani hari-hariku. Tak memiliki saudara adalah garis takdir untukku. Tinggal di desa yang penduduknya acuh akan sekitar bukan pilihan utamaku. Aku melarikan diri dari gubuk tempat dimana aku dibesarkan. Pernikahanku berlangsung tanpa...
Man in a Green Hoodie
5316      1370     7     
Romance
Kirana, seorang gadis SMA yang supel dan ceria, telah memiliki jalan hidup yang terencana dengan matang, bahkan dari sejak ia baru dilahirkan ke dunia. Siapa yang menyangka, pertemuan singkat dan tak terduga dirinya dengan Dirga di taman sebuah rumah sakit, membuat dirinya berani untuk melangkah dan memilih jalan yang baru. Sanggupkah Kirana bertahan dengan pilihannya? Atau menyerah dan kem...
Triangle of feeling
517      369     0     
Short Story
Triangle of feeling sebuah cerpen yang berisi tentangperjuangan Rheac untuk mrwujudkan mimpinya.