πππ
Sepertinya, menjadi diri sendiri akan lebih baik. Apalagi, bila memang sedang dalam pencari jati diri. Sehingga, tidak perlu menjadi orang lain. Namun, terkadang dalam proses tidaklah mudah seperti teorinya. Akan tetapi, berusaha tidak memakai topeng dalam menjalani kehidupan. Agar, hidup kita lebih tenang.
πππ
Libby membuka matanya, karena mendengar alarm berbunyi pada ponselnya. Ternyata, sudah menunjukan jam lima pagi. Ia bangkit dari ranjang, untuk bersiap-siap dengan segala hal sebelum berangkat sekolah.
Ia sadar, sekarang harus bisa menjaga diri saat berada di rumahnya sendiri. Terlebih, sudah memutuskan terus bertahan demi tujuan yang mungkin sulit dicapai. Akan tetapi, ia tetap akan mengusahakan keinginannya berjalan lancar. Sederhana. Karena, bukan serta merta mengenai harta. Namun, ia ingin Papanya terlepas dari pengaruh buruk Mawar. Mama tirinya.
Pun, Libby sadar Papanya memang sudah membenci dirinya sejak kepergian Mamanya. Ditambah, kehadiran Mawar dalam kehidupan Bimo semakin memperburuk situasi yang ada. Meskipun, Mawar pandai memanipulasi keadaan. Bahkan, memutar balikan fakta mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari wanita paruh baya itu.
Sejujurnya, ia tidak dianjurkan kembali tinggal di rumah itu. Karena, dapat memperburuk kesehatan mentalnya. Terlebih, Libby harus berhadapan dengan Mawar yang pasti tidak menyukai kehadirannya.
Sekitar satu jam berlalu.
Kini, Libby sudah mengunakan seragam sekolahnya dengan rapih. Siap untuk berangkat ke sekolah. Setelah siap, ia keluar dari kamarnya. Kemudian, melangkah menuruni anak tangga menuju ruang makan.
"Non, mau sarapan apa? Roti atau nasi goreng?" Bik Minah, asisten rumah tangga Libby menawarkan jamuan sarapan yang sudah tersedia di meja makan.
Libby tersenyum, lalu memperhatikan situasi yang ada. Belum terlihat kemunculan Bimo, Mawar, serta Yumika di sana. Sedikit merasa lega, ia mempunyai waktu sarapan dengan tenang.
"Nasi goreng aja, deh, Bik. Soalnya, udah sering sarapan roti." Libby mulai duduk pada kursi yang ada di sana. Lalu, Bik Minah menyiapkan makanan serta minuman untuk Libby.
Bik Minah, sudah bekerja di rumah itu sejak Libby masih kecil. Mungkin saja, sebelum Libby hadir di dunia ini. Wanita paruh baya itu, sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Libby. Bahkan, selalu menyayangi Libby setiap waktu seperti pada anaknya sendiri.
"Makan yang banyak, Non. Kalo misal masih kurang, atau nggak enak langsung bilang, ya." Bik Minah selalu tersenyum sembari memberikan perhatian pada anak majikannya itu. Karena, sudah bersama sejak bayi.
Libby mengangguk, seraya menyunggingkan senyum. Percaya, bila apa yang dimasak serta sajikan asisten rumah tangganya itu selalu enak. Terlebih, Bik Minah sudah hafal segala hal yang boleh dan tidak boleh dimakan Libby. "Makasih, Bik. Saya percaya masakan Bik Minah pasti enak. Nggak perlu diragukan lagi, malah bisa nambah makannya nanti."
Bik Minah tersenyum, senang mendapatkan pujian serta kepercayaan dari Libby. Tahu, bila anak majikannya itu memang sedari kecil memiliki sifat baik hati sekaligus ramah. Hanya saja, sedikit berubah saat berbicara dengan Bimo setelah kepergian Mamanya. Wajar saja, karena Bimo memang selalu menyalahkan kepergian istrinya kepada Libby. Anaknya. Padahal, semua hal buruk itu terjadi karena sudah menjadi takdir hidup yang tidak terhindarkan. "Nanti saya bakalan bekal juga, biar Non nggak perlu desak-desakan beli makan di kantin."
"Iya, Bik. Makasih udah selalu baik sekaligus perhatian sama saya dari dulu. Semoga, Bik Minah bisa selalu betah tinggal di sini. Soalnya, Bibik tau sendiri gimana keadaan rumah ini yang sebenarnya. Maaf... Kalo sekarang mungkin, sering liat saya bertengkar sama Papa." Libby merasa tidak enak, itu akan sedikit menganggu orang yang ada di rumah itu. Meskipun, sudah tak bisa dihindarkan kejadian seperti itu.
"Nggak apa-apa, Non. Bibik udah paham sama situasi rumah ini. Semoga secepatnya bisa membaik kayak dulu. Biar, nggak ada keributan itu bikin rumah ini makin panas." Bik Minah sadar, mungkin tidak mudah mengembalikan hal yang sudah rusak. Akan tetapi, tidak ada salahnya bila diusahakan terlebih dulu. Apapun hasilnya, ia berharap itu hasil terbaik untuk keluarga majikannya.
Tak hanya Libby yang sering mendapatkan perlakuan tak baik dari Mawar. Juga, Bik Minah yang selalu terlihat salah dalam melakukan segala pekerjaan rumah. Namun, asisten rumah tangga itu berusaha bertahan di sana. Percaya, bila situasi yang ada di rumah itu sekarang hanya sementara. Terlebih, ia sudah lama mengabdikan hidupnya pada keluarga Bimo. Itu membuat dirinya, memutuskan tetap ada di sana. Selama masih ada harapan situasi bisa membaik. Maka, Bik Minah tetap akan bertahan menjadi asisten rumah tangga di rumah Bimo.
"Tolong tetap bertahan disini, ya, Bik. Soalnya, nggak akan mudah bisa ada orang setia sekaligus kuat kayak Bibik buat jadi asisten rumah tangga sekarang." Libby harap, wanita paruh baya itu mau menemani dirinya untuk bisa mengubah situasi buruk pada rumah itu. Karena, ia yakin bisa perlahan memperbaiki keadaan. Meskipun, hanya peluang kecil bisa melakukannya. Akan tetapi, Libby akan selalu mencoba yang terbaik.
Bik Minah mengangguk, memang akan bertahan di sana. Karena, sudah lama juga bekerja dengan keluarga Bimo. Walaupun, sekarang sudah berubah tidak seperti dulu lagi.
Libby tersenyum, merasa lega ada sosok orang yang mendukungnya di rumah itu. "Makasih, Bik."
Kini, Libby mulai fokus melakukan sarapan. Memakan nasi goreng buatan dari Bik Minah. Mungkin, itu hal biasa dilakukan hampir semua orang. Akan tetapi, rasa setiap masakan berbeda satu sama lain.
Beberapa menit berlalu.
Libby sudah dalam perjalanan menuju sekolah menggunakan kendaraan umum. Karena, Bimo yang merupakan Papa Libby tidak mau mengantar anaknya ke sekolah. Akan tetapi, lelaki justru memperlakukan istimewa anak tirinya. Itu yang membuat Libby, terkadang iri dengan apa yang didapatkan oleh Yumika.
Pun, Libby sadar, tak mungkin mendapat kasih sayang dari Bimo. Papanya. Lantaran, Bimo memang sudah menganggap Libby yang menyebabkan kematian istrinya. Sehingga, akan tetap terlihat buruk di mata Bimo.
Tidak masalah bagi Libby, bila harus duduk berdesak-desakan dengan orang lain. Karena, ia memang menaiki kendaraan umum. Harus siap untuk berbagi tempat. Juga, ia bisa mendapat banyak pelajaran saat ada pada situasi seperti itu. Juga, melatih kesabarannya yang dulu mungkin tidak pernah merasakan kesusahan dalam hidupnya ketika kecil. Saat kondisi Papa serta Mamanya masih baik-baik saja.
Libby tersenyum, sembari memperhatikan sekitarnya. Ternyata tidak seburuk apa yang pernah dipikirkan. Keadaan angkutan umum memang cukup sesak. Namun, penumpang kendaraan itu tampak tidak banyak berbicara. Cukup tentram saat dilihat. Sehingga, dirinya tenang tak takut rasa traumanya muncul.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sekolah. Kini, Libby sudah berjalan menuju kelasnya. Ia bisa melihat tadi koridor masih cukup sepi. Mungkin, siswa maupun siswi datang pada saat bel masuk akan berbunyi. Wajar saja, mereka berangkat menggunakan kendaraan pribadi. Sehingga, tidak butuh terlalu banyak menghabiskan waktu di dalam perjalanan. Berbeda dengan dirinya, tapi ia cukup menikmati hidupnya.
Libby meluangkan waktu dengan membaca buku sebelum bel masuk sekaligus pelajaran berbunyi. Perlahan, siswa maupun siswi mulai berdatangan memasuki kelas XI IPA 1.
Tidak terlalu banyak interaksi terjadi pada kelas itu. Karena, isinya murid yang cukup ambisius. Sehingga, lebih banyak yang fokus belajar.
"Ternyata, lo malah udah sampai duluan. Padahal, tadi gue pikir terlalu pagi dari rumah." Sera memulai pembicaraan, saat sudah duduk di bangku sebelah Libby.
Libby tersenyum, sembari beralih menatap ke arah Sera. Sahabatnya. "Kebetulan tadi, aku naik angkot paling awal yang lewat. Jadi, mungkin emang lainnya masih pada di jalan."
"Kayaknya emang gitu. Soalnya, emang anak sekolah suka datang ke sekolah pas mepet jam masuk. Malah, kadang suka telat tapi nggak kapok-kapok kalo dapat hukuman." Sera seperti paham, dengan situasi yang ada. Itu memang sering terjadi pada sekitarnya. Jadi, sudah tidak kaget lagi ketika tetap ada hal seperti itu.
Pun, Libby setuju dengan perkataan Libby. Terlebih, memang hal itu terjadi di sekitarnya. Sehingga, pasti mereka paham pada kejadian itu. "Harusnya bisa dikurangi hal kayak gitu. Apalagi, bisa mempengaruhi sekolah mereka. Kan, bisa mengganggu jam belajar mereka di sekolah."
Sera mengangguk, yang dikatakan Libby memang ada benar. Akan tetapi, ada murid yang tidak peduli dengan aturan atau hal lainnya. Sehingga, akan tetap melakukan pelanggaran. Mungkin, sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan. Sebenarnya, bisa diperbaiki bila ada kesadaran dari diri mereka. "Bakalan susah kalo mereka emang nggak punya kesadaran diri buat berubah, Bby. Jadi, biarin ajalah kayaknya udah jadi kebiasaan. Tapi, kayaknya kelas kita nggak ada yang ngelakuin hal buruk kayak gitu. Siswi maupun siswa nya rajin sama pintar-pintar."
"Iya. Jadi, kita juga semakin termotivasi buat belajar makin rajin. Meskipun, ada persaingan tetapi itu terjalin dengan cara yang sehat." Libby tahu, berada di kelas unggulan memang terkadang tertekan. Namun, bisa diambil sisi positifnya mereka bisa semakin lebih giat belajar. Agar, bisa mendapatkan peringkat serta prestasi bagus.
Libby sadar, bila selalu dibandingkan dengan Yumika. Akan tetapi, ia akan tetap pada apa yang diyakini benar. Soal, mendapat prestasi pasti bisa melakukannya dengan baik. Bahkan, mungkin bisa bersaing berbarengan Semesta, Javian, Yumika, dan lainnya. Ia hanya butuh fokus belajar, serta berusaha lebih. Peringkatnya sekarang juga masih dibilang bagus berada pada posisi lima di kelas.
"Permen buat kalian berdua. Biar, hari kalian lebih manis." Semesta tanpa diduga muncul, lalu memberikan permen pada Libby serta Sera secara bergantian.
Libby maupun Sera beralih menatap Semesta. Tak habis pikir dengan kelakuan cowok itu. Terkadang, Semesta terlihat terlalu baik pada semua orang. Namun, mungkin itu sudah menjadi sifat Semesta. Hanya saja, adakalanya cowok terkesan seperti sedang menyimpan sesuatu hal terlihat misterius.
"Makasih, Ta. Nggak seharusnya lo bagi-bagi permen sama kita berdua." Libby merasa tak enak hati, meskipun tahu pasti Semesta tulus bila memberikan sesuatu pada orang lain.
"Iya. Lagipula, gue nggak terlalu suka makanan manis. Tapi, tetap aja makasih, ya, Ta." Sera tersenyum pada Semesta. Sadar, bila cowok itu memang memiliki sifat peka dengan sekitarnya.
Semesta menyunggingkan sembari mengangguk. Senang, bila melihat orang sekitarnya tersenyum bahagia."Iya sama-sama. Kalo masih kurang, bilang aja ke gue. Soalnya, gue bawa banyak di tas."
"Kayaknya, mending lo jual aja lumayan pasti, Ta." Sera memberikan sebuah ide sekaligus saran pada Semesta. Karena, ia pikir itu akan menguntungkan Semesta. Meskipun tahu, Semesta bukan murid kurang mampu. Ia berkata seperti itu hanya candaan.
"Ide bagus. Kapan-kapan deh gue jualan, kayaknya seru. Tapi, kalo banyak yang minat sama dagangan gue, sih. Hm... Lebih baik, gue bagi-bagi aja, deh. Soalnya, itu lebih mulia daripada kita cari untung." Semesta tersenyum, ide Sera memang bagus. Akan tetapi, ia lebih suka melakukan hal yang lain. Terlebih, tidak terlalu menginginkan mendapat keuntungan semata. Karena, ia memang tulus memberikan apapun yang dimiliki untuk orang terdekatnya. Itu sudah cukup membuatnya bahagia. Hanya dengan melihat senyuman dari orang-orang bisa membuat Semesta merasakan kebahagiaan tanpa perlu memikirkan untung maupun rugi.
Diam-diam, Libby memperhatikan Semesta merasa kagum dengan cara berpikir cowok itu. Ia ingin memiliki pemikiran seperti teman sekelasnya itu. Hanya saja, ia sadar manusia memiliki kelemahan serta kelebihan sendiri. Sehingga, tidak ada salahnya ia fokus dengan dirinya sendiri.
- To Be Continue -