Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

"Oh, ini yang namanya Binar. Masya Allah, gantengnya!" Wina terkagum-kagum melihat sosok teman yang sempat diceritakan Ersa.

Binar sebenarnya sedang kaget. Dengan tahu Ersa anak dari Winona Larasati, sudah membuatnya syok. Eh, orangnya tahu-tahu ada di depan matanya.

Lebih kaget lagi, ternyata Wina sudah mengenal dirinya.

Boleh kah Binar tertawa? Tidak menyangka Ersa ternyata membicarakan dirinya juga di belakang!

"Makasih udah mau jadi mentornya Ersa ya, Binar." Wina berterima kasih dengan tulus.

"Nggak masalah, Tante. Saya yang makasih dikasih kerjaan."

"Masya Allah, saya kesemsem beneran, ganteng banget kamu!" Wina malah lanjut terpesona.

Binar tersipu-sipu dipuji oleh aktris kesayangan Mbah Siti ini. "Makasih, Tante!"

"EHEM!" Ersa sengaja berdeham keras.

Menyadarkan 2 orang itu, bahwa ada manusia lain di sana. Kenapa bertingkah seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua?

"Cie ... cemburu ya, mau dipuji ganteng juga, ya?" Wina malah meledek anaknya.

"Nggak! Aku nggak usah dipuji juga udah mutlak ganteng!" kesal Ersa.

"Iya-iya ... anak Mama emang terganteng sealam semesta. Tapi gantengan Binar dikit." Wina terkikik.

"Gimana konsepnya? Udah dibilang terganteng sealam semesta, tapi kok ada yang lebih ganteng?" Ersa makin kesal jadinya.

Wina malah tertawa. Mana Binar ikut-ikutan tertawa.

"Ternyata di rumah juga sama aja. Ngambekan!" celetuk Binar.

"Ya emang begitu dia. Suka tantrum!" Wina tak ada habisnya meledek anaknya sendiri. "Sa kamu gimana, sih? Masa Binar datang nggak kamu kasih apa-apa. Mejanya kosong melompong begitu."

"Lah, di sini kami belajar, Ma. Bukan mau mukbang! Mejanya ya dipenuhi buku. Kalau ada makanan malah tumpah repot!" Ersa padahal bukannya tidak memberikan. Tapi belum. Niatnya nanti saja kalau sudah selesai belajar.

"Jangan ngeledek kamu ... di rumah kita mejanya banyak. Bukan cuma 1. Kan makanannya bisa ditaruh di meja lain!" Wina kembali menyalahkan Ersa.

"Gitu ya. Biasanya manis banget sama aku. Begitu ada dia, jadi nyebelin gini Mama."

Ersa fokus saja pada bukunya. Binar yang bingung harus bagaimana, berakhir mengikuti apa yang Ersa katakan.

"Kalau gitu Tante buatin makanan sama minuman dulu ya, Binar."

"Nggak usah repot-repot, Tante. Tadi saya udah makan." Bintang makin merasa tak enak.

"Nggak apa-apa, Sayang. Cuma cemilan."

"Dih, si mama. Belum apa-apa udah panggil sayang!" Ersa protes lagi.

"Duh, Sa ... jangan sentimen gitu, dong! Ya Mama manggil sayang. Kan dia teman kamu. Yang berarti juga anak Mama dong!"

Ersa meringis. "Ya terserah Mama aja, deh!"

Wina tidak menanggapi drama Ersa lagi. Binar yang menegur Ersa. "Jangan gitu sama mama lo dong, Sa!"

"Jingin giti simi mimi li ding, Si!" Ersa malah menirukan peringatan Binar, dengan menggantikan semua huruf vokal menjadi i semua.

***

Binar buru-buru menuju ke ruang guru. Kalau yang memanggil Bu Aisyah, ia tak perlu deg-degan. Masalahnya ini yang memanggil Pak Sastro.

Walau sudah biasa bertemu Pak Sastro, tapi tidak biasanya lelaki itu memanggil murid ke ruang guru. Kira-kira ada apa? Bintang sibuk menerka-nerka sejak tadi. 

"Permisi, Pak." Binar agak ragu mendekat. "Pak Sastro manggil saya?"

"Iya, Bin. Sini kamu duduk!" Pak Sastro menunjuk kursi di hadapannya.

Binar berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati deg-degan. "Ada apa ya, Pak?"

Pak Sastro pasang tampang susah. Seperti beban hidupnya besar sekali.

"Mumet saya, Bin. Kamu udah insaf. Eh, tiba-tiba ada yang baru datang!" Pak Sastro malah curhat.

Binar jadi bingung. Ia dipanggil hanya untuk jadi teman curhat?

"Sabar, Pak. Saya tahu Pak Sastro guru hebat. Murid-murid jadi tertib di tangan Pak Sastro."

"Saya butuh bantuan, Bin." Pak Sastro terlihat kacau.

"Bantuan apa, Pak? Jika bisa bantu, saya bersedia. Supaya beban yang Bapak rasakan, bisa sedikit lebih ringan."

Jawaban Binar membawa secercah harapan bagi Pak Sastro.

"Kamu mau bantu saya, Binar?"

"Jika bisa akan saya bantu."

"Kamu pasti bisa, Bin. Kamu murid yang paling bisa diandalkan. Kamu pasti ingat sama Tera, kan? Si rambut merah!"

Tidak perlu diperjelas pun, Binar juga sudah paham siapa Tera. Mengingat mereka setiap hari bertemu di kedai soto.

"Jadi begini, Bin. Hingga detik ini, Tera masih nggak mau ganti warna rambutnya. Nggak cukup sampai situ, seragamnya itu lho, dibuat ngepres bodi banget. Masih ada lagi, di kelas dia nggak pernah ngapa-ngapain selain bengong. Nggak dengerin penjelasan guru. Nggak mau ngerjain tugas. Pokoknya semua guru mengadukan kelakuan Tera. Saya sudah coba ngobrol baik-baik sama dia. Tapi tanggapannya di luar ekspektasi. Katanya dia sebenarnya udah nggak mau sekolah. Dipaksa orang tuanya buat sekolah. Saya sudah menasihati dia. Saya juga kasih iming-iming hadiah. Tetap nggak mempan."

Pak Sastro curhat panjang lebar. Binar tidak menanggapi dulu. Membiarkan Pak Sastro menyelesaikan penjelasannya tanpa dijeda.

"Karena berbagai macam cara nggak mempan, saya coba melakukan pendekatan lain. Saya tanya dia udah punya teman apa belum? Dia jawab nggak punya. Saya lanjut tanya, dia udah kenal sama murid lain apa nggak. Awalnya dia nggak mau ngaku. Tapi setelah saya cecer, dia akhirnya bilang kenal kamu. Nah ... maka dari itu, saya minta tolong ya, Bin. Kamu kan murid teladan dan berprestasi. Tolong bantu kendalikan dia."

"Lho, kok jadi saya, Pak?"

"Ya kan kamu yang kenal dia, Bin. Jujur saya kewalahan. Baru ini saya nemu murid modelan begitu. Saya udah tua, takut darah tinggi."

"T-tapi ... caranya gimana, Pak?"

"Pokoknya coba kamu lakukan pendekatan pelan-pelan, sebagai teman. Dia pasti mau lebih terbuka kalau saya seumuran. Mungkin dia sungkan sama saya, jadi malah nggak bisa masuk nasihat saya. Tenang, ini nggak gratis, Bin. Nanti kamu akan saya kasih hadiah

Binar terdiam seribu bahasa. Pikirannya sudah jauh sekali

***

Hari olimpiade tiba. Kali ini dilaksanakan di gedung serba guna, yang letaknya cukup jauh dari sekolah. Ersa diizinkan oleh Wina naik mobil.

"Binar sekalian diajak bareng, Nak," pesan Wina.

"Nggak, ah. Biasanya juga naik sepeda dia," tolak Ersa.

"Lho, naik sepeda?"

"Iya. Kenapa? Jangan bilang Mama mau beliin dia mobil? Nggak usah sok dermawan, Ma. Anakmu ini lho, belum Mama belikan mobil!"

Wina tergelak. "Ya nggak gitu. Mama belum sekaya itu. Mobil Mama juga baru satu, itu pun bukan mobil mewah. Lagian kamu udah punya mobil, kan. Yang dibeliin Papa. Masa mau minta dibeliin Mama mobil juga!"

"Ya kalo Mama sampai beliin Binar mobil, berarti aku duluan yang seharusnya dibeliin!"

"Astaghfirullah ... nggak ada yang mau beliin Binar mobil. Paling juga motor!"

"Ma, aku aja nggak dibeliin motor. Masa Binar dibeliin!"

"Lho, kamu mau motor?"

"Nggak tahu ah. Mama ngeselin!"

"Lho kalo mau bilang dong!"

"Ga usah beliin Binar motor, apa lagi mobil! Biarin naik sepeda aja, biar kuat, nggak makin jompo!"

"Hus ... masa masih muda dikatain jompo!"

"Dia emang jompo. Ke mana-mana bekalnya koyo! Masa Mama nggak nyium bau badannya? Koyo semua itu nempel di punggung!"

"Oalah, jadi bau koyo itu dari badannya Binar." Wina baru ngeh. Ia memang sempat bingung, kenapa kok tiba-tiba di apartemennya tercium bau koyo.

Kalau dipikir-pikir ya benar. Karena bau itu hanya ada tiap kali Binar datang.

"Aku berangkat, Ma. Doain lolos ke tahap nasional," pamit Ersa.

"Iya, semangat, Sayang. Anak mama emang pinter. Semoga kamu sama Binar sama-sama lolos ke tahap nasional!"

Ersa memutar matanya jengah. "Doain anakmu aja bisa nggak, Ma?"

Wina lagi-lagi tertawa. "Astaghfirullah, anak mama cemburuan banget!" Wina mengacak rambut Ersa gemas.

Tak peduli Ersa kesal karenanya.

***

Padahal tadi ia menolak disuruh Wina menjemput Binar. Tapi Ersa saat ini sudah sampai di rumah Binar dan Pijar.

Binar sedang mengelap sepedanya di teras. Sementara Pijar dengan telaten menyuapi kakaknya itu. Kenapa mereka selalu mesra begitu, sih? Jiwa iri Ersa meronta-ronta. Sebagai anak tunggal, ia sama sekali tidak relate dengan adegan-adegan seperti itu.

"Mas Ersa." Pijar menyambut Ersa dengan girang.

"Sa, pagi-pagi udah sampai sini aja." Binar turut menyambutnya.

"Kalau nggak disuruh sama Mama, nggak bakal gue ke sini," jawab Ersa.

Padahal ia ke sini atas inisiatif sendiri. Wina memang meminta Ersa, tapi kan Ersa menolak.

"Tante Wina minta kamu ke sini buat apa?" Binar lanjut bertanya.

"Suruh ngajak berangkat bareng ke lokasi! Sebenarnya gue males. Tapi mau gimana lagi!"

Pijar tertawa mendengar jawaban Ersa. Ya karena Pijar tahu bahwa Ersa sangat kemusuhan dengan Binar. Jadi kesannya lucu saja kalau tiba-tiba Ersa berbuat baik pada kakaknya.

"Ikhlas, nggak?" tanya Binar.

"Lumayan. Itung-itung nyicil pahala!" jawab Ersa sekenanya. "Jar, sekalian bareng aja. Lumayan nambah uang saku. Dari pada buat bayar ojol duitnya!"

Letak gedung serba guna itu memang satu arah dengan lokasi sekolah Pijar.

"Oke, aku mau!" Pijar langsung mengiyakan.

"Kalau gitu sepedanya aku masukin dulu," Binar mengambil alih stang sepedanya, menuntun masuk ke rumah.

"Jangan lama-lama keburu telat!" peringat Ersa.

"Iya-iya!"

Seseorang baru saja datang, naik motor sendiri. Kedatangannya menjadi pusat perhatian semua orang.

"Assalamualaikum." Ia jadi agak canggung karena ternyata bukan ia satu-satunya tamu yang sedang berkunjung.

"Waalaikumussalam." Tiga orang di sana menjawab hampir bersamaan.

Makin canggung rasanya karena tamu itu ternyata adalah satu-satunya wanita di sana.

"Ngapain pagi-pagi ngapel?" tanya Ersa.

Mata gadis itu memicing saat tahu tamu yang datang adalah Ersa. Ia belum sempat memperhatikan tadi. Karena mobilnya beda dengan yang dulu biasa dipakai pergi ke minimarket.

"Lo juga ngapain pagi-pagi udah di sini, Sa?" Jena balik bertanya.

Di pertemuan terakhir mereka, keduanya sudah cukup akrab. Tapi karena sudah lama tidak berinteraksi, mereka jadi saling berjarak lagi.

Binar selesai memasukkan sepedanya, baru saja mengunci rumah mereka.

"Udah mau berangkat, Bin? Ini, tadi Mama masak banyak. Gue ingat lo hari ini waktunya olimpiade. Nih, buat bekal." Jena memberikan bekal itu pada Binar. "Langit juga, nih. Tenang itu nggak berminya. Nggak banyak dibumbui juga."

Situasi jadi makin canggung karena Ersa jadi satu-satunya yang tidak dapat bekal.

"Makasih ya, Jen. Jadi repotin. Sampaikan ke mama lo, makasih banyak. Lain kali nggak usah gini. Nggak enak gue jadinya." Binar jujur soal rasa tak enaknya.

"Makasih ya, Mbak Jen!" Pijar pun berterima kasih.

"Ini nanti gue bagi sama Ersa. Nanti kami olimpiade bareng," lanjut Binar.

"Nggak usah ngerasa nggak enak, Bin. Kayak sama siapa aja." Jena beralih pada Ersa, merasa tidak enak. "Ya kan gue nggak tahu ada lo, Sa. Kalau tahu yang gue bawain sekalian." Jena menjelaskan.

"Nggak butuh juga gue. Orang tadi udah sarapan sehat bergizi kok. Mama juga udah ngasih uang aku banyak, buat beli makan siang!" Ersa menjawab dengan ketus.

Jena mencebik. "Iya-iya. Yang paling sarapan sehat bergizi. Yang paling dikasih uang saku mama!" ledek Jena.

Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat lamanya. Keduanya sama-sama tidak betah lama-lama saling melakukan kontak mata. Makanya mereka hanya melakukan selama beberapa detik, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah lain.

Sebenarnya mereka sama-sama sedang membatin. Sekian lama tidak bertemu, Ersa merasa Jena makin manis. Sekian lama tidak bertemu, Jena merasa Eesa makin berkarisma.

Bagaimana ya menjelaskannya. Jelas-jelas Ersa seumuran Binar. Dan Binar lebih muda dari Jena, yang sudah lulus sekolah 2 tahun lalu. Tapi Ersa benar-benar memancarkan kharisma yang aur-auran.

Tapi Jena tidak mau mengakui secara terang-terangan. Ersa pun sama. Apa lagi Ersa tahu bahwa Jena naksir Binar. Sudah masuk dalam kategori bucin!

"Ayo berangkat! Ntar telat!" ajak Ersa.

"Yuk!" jawab Binar.

"Lho, jadi kalian berangkat bareng bertiga?" jujur Jena agak kaget.

Seingatnya Ersa dan Binat tidak seakrab itu. Oalah, Jena baru sadar. Kalau dipikir-pikir untuk apa Ersa pagi-pagi datang ke sini, kalau tidak untuk menawarkan tumpangan?

Jena tanpa sadar tersenyum. Bagus lah kalau sekarang mereka jadi akrab. Lebih baik seperti itu, dari pada bermusuhan seperti dulu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Rumah?
54      52     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Kama Labda
546      341     2     
Romance
Kirana tak pernah menyangka bahwa ia bisa berada di jaman dimana Majapahit masih menguasai Nusantara. Semua berawal saat gadis gothic di bsekolahnya yang mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan seseorang dari masa lalu. Dan entah bagaimana, semua ramalan yang dikatakannya menjadi kenyataan! Kirana dipertemukan dengan seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah raja. Akankah Kirana kemba...
KUROTAKE [SEGERA TERBIT]
5978      2101     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Susahnya Jadi Badboy Tanggung
5822      1862     1     
Inspirational
Katanya anak bungsu itu selalu menemukan surga di rumahnya. Menjadi kesayangan, bisa bertingkah manja pada seluruh keluarga. Semua bisa berkata begitu karena kebanyakan anak bungsu adalah yang tersayang. Namun, tidak begitu dengan Darma Satya Renanda si bungsu dari tiga bersaudara ini harus berupaya lebih keras. Ia bahkan bertingkah semaunya untuk mendapat perhatian yang diinginkannya. Ap...
Imperfect Rotation
155      136     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
DREAM
813      514     1     
Romance
Bagaimana jadinya jika seorang pembenci matematika bertemu dengan seorang penggila matematika? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah ia akan menerima tantangan dari orang itu? Inilah kisahnya. Tentang mereka yang bermimpi dan tentang semuanya.
Babak-Babak Drama
470      325     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
353      259     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
I Found Myself
41      37     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Sosok Ayah
907      504     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)