Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

Binar pulang dari proyek sekitar pukul 2 malam. Pijar sudah tertidur lelap. Binar sudah lama sekali tidak tidur di kasur mereka ini. Akhirnya, ia tidur di sini lagi sekarang.

Binar membersihkan diri dulu. Berganti pakaian yang nyaman. Binar merebahkan dirinya di sebelah Pijar.

"Alhamdulillah, mulai sekarang kita jadi ada waktu lebih lama, Dek. Kita bisa ngobrol lebih banyak. Mas pikir dipecat dari minimarket adalah akhir dari segalanya. Ternyata, justru ini awal yang baru. Aku juga udah izin berhenti dari warung tumpang pecel. Biar istirahatnya cukup. Badanku mulai protes ternyata, Dek."

Binar merapikan anak rambut Pijar. "Kita ngobrol selepas subuh nanti ya, Dek. Mimpi indah."

***

Pijar terbangun dengan sedikit terkejut. Namun rasa bahagianya lebih besar. Bagaimana tidak? Tahu-tahu ia melihat sang kakak ada di sampingnya.

Pijar sampai menoel pipi kakaknya. Takut hanya mimpi atau ilusi. Atau malah penampakan.

Tapi Binar konkrit sekali wujudnya. Meyakinkan Pijar, itu memang benar-benar kakaknya.

"Mas Binar!" Pijat menggoyangkan lengan Binar perlahan.

Tak butuh usaha lebih, Binar membuka matanya. Telinga Binar menangkap ada suara pujian sebelum subuh. Terdengar dari mushola tak jauh dari sini.

"Udah mau subuh, ya?" gumamnya seraya bangun ke posisi duduk.

"Aku nggak tahu apa yang terjadi. Tapi aku seneng ada Mas Binar di sini," ungkap Pijar.

"Mas mau cerita tapi agak panjang. Tapi kamu tolong tenang mendengarnya. Aku nggak mau lihat kamu kambuh." Binar memperingatkan.

Pijar mengernyit. "Emangnya semengejutkan apa? Tenang, Mas. Jantungku sampai saat ini masih oke. Ya walau pun letoy dikit."

"Alhamdulillah aku udah dapat kerjaan baru, Dek. Kerjanya nggak lama. Gajinya gede."

"Lho, kerjaan baru?"

"Ya, sebenarnya aku dipecat dari minimarket. Maaf nggak langsung jujur, ya. Jujurnya nunggu dapat kerjaan baru yang pasti. Soalnya aku nggak mau bikin kamu kepikiran. Tapi tenang. Yang penting sekarang aku udah kerja lagi." Binar menjelaskan dengan tenang, dengan raut wajah yang terus tersenyum.

Itu juga adalah salah satu usaha Binar untuk senantiasa membuat Pijar tenang.

Jujur Pijar terkejut. Namun ia buru-buru berusaha mengontrol pikirannya. Berusaha menenangkan hatinya, karena walau pun dipecat, Binar sudah dapat pekerjaan baru.

Pijar memaksakan senyumnya. Ia cukup tahu diri. Ia tidak berhak marah, karena Binar memberi tahunya belakangan.

"Kalau boleh tahu kapan itu kejadiannya? Apa waktu Mas Binar sering lembur itu?"

Binar terhenyak. Terkejut jelas. Karena tebakan Pijar akurat. Benar, kan? Adiknya itu perasa. Firasatnya kuat.

Dan saat itu sebenarnya Binar juga sedang sakit. Bibir Binar seakan kelu. Ia ... belum bisa terus terang soal itu.

"Baru-baru ini, Dek," jawab Binar akhirnya. "Belum lama kok."

Kalau ia terus terang, Pijar akan lanjut bertanya apa saja yang Binar lakukan selama menunggu pekerjaan barunya? Binar tidak bisa terus terang soal pekerjaannya di proyek.

Tahu Binae dipecat dari minimarket saja Pijar sudah terkejut. Apa lagi tahu Binar kerja nguli.

"Serius baru-baru ini, Mas?"

"Serius, Dek. Alhamdulillah langsung dapat kerjaan baru yang menjanjikan. Aku ... juga mau istirahat lebih. Jadi aku udah pamit dari warung. Soalnya gaji dari kerjaan yang baru udah cukup banyak. Aku bersyukur banget sama kerjaan yang baru ini."

Senyuman Pijar sekarang lebih lepas. "Aku seneng ... lega juga karena Mas Binar jadi punya lebih banyak waktu buat aku. Dan lebih seneng lagi, karena Mas Binar jadi punya lebih banyak waktu buat istirahat."

Binar mengangguk samar.

"Kalau boleh tahu, apa masalahnya kok Mas Bin bisa sampai dipecat? Aku kenal banget sama kakakku sendiri. Mas Bin itu pekerja keras dan jujur. Jadi nggak mungkin melakukan kesalahan yang aneh-aneh."

Binar menceritakan kronologi kejadiannya. Ia tidak menutupi soal hal ini. Toh ia sudah dapat ganti yang jauh lebih baik.

"Ersa ngerasa bertanggung jawab. Makanya dia ngasih kerjaan. Tapi kami sama-sama dapat benefit."

"Papanya Mas Ersa kok gitu, ya. Pantes aja Mas Ersa nggak betah di rumah. Pasti tertekan banget Mas Ersa." Pijar prihatin dengan nasib Ersa. "Ternyata orang kaya hidupnya nggak selalu enak."

Binar terkekeh. "Ya gitu. Kalau kata Ibu Bapak dulu ... urip iku sawang sinawang. Kita lihat hidup orang lain sepertinya enak, nggak ada masalah. Tapi kita nggak tahu kenyataan yang sebenarnya seperti apa. Yang kaya belum tentu lebih bahagia. Yang miskin apa lagi."

Mereka tertawa bersama karena gurauan Binar.

***

Hari ini setelah sekian lama, Binar bisa sampai sekolah tanpa terlambat. Baru jam 06.30, ia sudah tiba. Benar-benar rekor. Suasana hati Binar juga lebih baik, karena ia tak perlu berperang dengan waktu, dengan kondisi yang selalu kelelahan. Setidaknya pagi ini ia tidak menambah jumlah koyo di punggung atau pun anggota tubuhnya yang lain.

"Aduh!"

Orang itu memekik, seolah ia saja yang tersakiti. Padahal Binar juga merasa sakit. Seperti baru diseruduk banteng.

"Lo punya mata, nggak? Gue segede ini, nggak kelihatan mata lo?"

Selain mengaduh heboh, orang itu juga menyalahkan Binar atas insiden tabrakan tadi. Padahal jelas-jelas ia lah yang menabrak Binar. 

Orang ini benar-benar mencolok penampilannya. Sehingga Binar langsung bisa mengenalinya.

"Tera?" 

Merasa namanya disebut, Tera akhirnya juga memperhatikan orang yang ditabraknya dengan lebih detail.

"Lo ... pembantunya uti gue, kan?" Tera tak kalah terkejut. "Gede juga nyali lo. Bela-belain jadi pembantu di kedai soto, tapi berani sekolah di tempat mahal kayak gini!" Tera meremehkan.

Binar hanya tersenyum. Wajar kalau Tera bertanya-tanya. Tidak tahu saja kalau selama ini Binar mengandalkan beasiswa.

Dulu saat Binar pertama masuk sini, orang tuanya masih hidup. Dimar dan Wanda itu sangat sadar akan pentingnya pendidikan. Makanya walau pun mahal, mereka memasukkan Binar ke sekolah ini.

Pijar pun sama, selalu disekolahkan di tempat yang terbaik.

Soal biaya bisa dicari katanya. Saking ingin menyekolahkan anak-anak mereka di tempat yang terbaik ... mereka rela banting tulang mati-matian. Dan berakhir nekat kerja jadi TKI. Namun malah dihadapkan dengan maut.

Sekarang tugas Binar mewujudkan keinginan orang tua mereka. Binar bisa saja pindah ke sekolah negeri yang dari segi biaya jelas-jelas lebih terjangkau. Ia juga bisa memindahkan Pijar.

Tapi Binar tidak mau. Karena bukan itu yang diinginkan oleh mendiang kedua orang tua mereka.

"Biar pinter sekolah di sini," jawab Binar.

"Hilih ... biar pinter apaan? Gue nggak ada waktu buat lo! Gue buru-buru!" Tera berlari meninggalkan Binar.

Binar bingung kenapa Tera lari tunggang langgang seperti dikejar syaiton. Hingga beberapa saat kemudian, Binar akhirnya tahu apa alasan Tera berlari.

Ternyata ia memang sedang dikejar. Namun bukan oleh syaiton. Melainkan oleh Pak Sastro.

Pak Sastro yang ngos-ngosan segera menghampiri Binar. "Bin, tumben kamu nggak terlambat!" 

"Alhamdulillah, Pak. Insya Allah mulai sekarang saya nggak akan terlambat lagi."

"Bagus lah kalau begitu. Dengan begitu saya nggak harus hukum kamu lagi. Rasanya kayak trauma saya hukum kamu. Ngerasa bersalah juga. Yang gara-gara kamu tumbang waktu menjalankan hukuman."

"Hehe, waktu itu saya emang lagi kecapean, mana masuk angin pula."

"Masuk angin gundulmu, Bin! Lhawong keadaan kamu kelihatan serius. Bikin saya takut!"

"Yang penting sekarang saya udah nggak apa-apa, Pak."

"Iya. Ngomong-ngomong kamu lihat ada siswi rambut kobong lewat sini, nggak?"

Binar tak dapat menahan tawanya. Jelas yang dimaksud Pak Sastro adalah Tera. Mengingat Tera rambutnya merah gonjreng.

"Tadi lari ke sana, Pak," lapor Binar. Sengaja terus terang, biar seru.

"Kok bisa-bisanya dia berani sekolah dengan rambut gonjreng begitu! Duh ... kamu udah insaf datang terlambat, malah ada yang gantiin jadi bulan-bulanan saya ini!"

"Sabar ya, Pak. Semangat main kejar-kejarannya!"

Pak Sastro langsung sewot. "Main kejar-kejaran mbahmu kutilen kui!"

Pak Sastro berlalu menuju arah yang ditunjuk oleh Binar. Sementara Binar masih tertawa kecil, mengayunkan langkah menuju kelasnya sendiri.

***

"Tera itu lho, Bin. Pulang sekolah mukanya kusut macem baju nggak disetrika. Kamu tadi ketemu Tera di sekolah? Sekolahnya sama kayak kamu."

Mbah Siti curhat perihal kelakuan cucunya. Binar langsung teringat pertemuannya dengan Tera tadi.

"Iya, Mbah. Ketemu pas aku baru sampai sekolah. Aku kaget tahu-tahu ada Tera."

"Mbah lihat kamu sekolah di sana kok pinter. Udah gitu sopan, beradab. Mbah makanya rekomendasi seolah itu ke orang tuanya Tera. Mereka setuju. Dia sekelas sama kamu nggak, Bin?"

"Nggak, Mbah. Tera kelas berapa sekarang?"

"Kelas 11 apa gimana. Mbah lupa. Kok aneh sekolah zaman sekarang. Kelas sampai 11. Dulu namanya SMA ya cuma kelas 1, 2, 3 aja."

Kelakuan Mbah Siti kadang memang membuat Binar tertawa. "Sebenarnya sama aja, Mbah. Cuma sekarang hitungan kelasnya diteruskan. Mulai kelas 1 SD sampai SMA diurutkan. Kalau kelas 11, berarti setara kelas 2 SMA. Tera berarti adik kelas aku. Soalnya sekarang aku udah kelas 12. Alias kelas 3 SMA."

Binar menjelaskan secara pelan-pelan dan terperinci, supaya Mbah Siti tidak bingung.

"Oalah, begitu. Ya semoga Tera ada perubahan setelah sekolah di sana. Maksudnya minimal rambutnya jangan kayak obong-obong begitu. Ora ilok! Apa lagi anak perempuan."

Obong-obong berarti membakar sampah dalam bahasa Jawa. Nyala apinya besar, sehingga mirip dengan warna rambut Tera.

"Tenang, Mbah. Di sekolah ada guru tata tertib yang teladan. Pasti bisa bikin Tera berubah kok," jawab Binar yakin.

Kini raut wajah Mbah Siti tampak lebih cerah. "Alhamdulillah kalau gitu. Semoga Tera beneran bisa cepat berubah."

***

Lokasi apartemen tempat tinggal Ersa, ternyata cukup jauh dari kedai soto Mbah Siti. Binar kewalahan mengayuh sepedanya. Tapi ia semangat, di hari pertamanya menjadi tutor les privat. 

'Gue jemput di lobi. Kalau nggak punya kartu akses nggak bisa naik lift!'

Binar baru tahu ada hal-hal semacam ini. 

Tapi kalau dipikir-pikir, itu demi keamanan semua pihak juga. 

Sepeda Binar terlihat paling kasihan di parkiran. Semua yang berjejer adalah mobil mewah. Atau minimal motor. 

Binar masuk ke lobi. Ersa sudah duduk di salah satu sofa.

"Lama amat!" kesal Ersa.

"Ya sorry. Kelar dari Mbah Siti langsung ke sini gue. Jauh ternyata." Binar coba menjelaskan.

"Jangan kebanyakan ngeluh! Banyak-banyak bersyukur!"

"Siapa yang ngeluh? Gue cuma jelasin!"

"Sama aja!"

Ersa masuk duluan ke lift. Binar mengekor di belakangnya. Binar sebenarnya cukup dibuat takjub dengan setiap sisi apartemen mewah ini, yang terlihat begitu artistik dan elegan.

Lift mengantarkan mereka ke lantai 11. Binar masih membuntut ke mana pun Ersa pergi. Hingga akhirnya mereka sampai di kamar 1109.

Ersa membuka pintu unit apartemen itu dengan kode sandi. 

Binar kini salah fokus dengan hal lain lagi. Yaitu foto wanita cantik yang terpampang nyata dengan ukuran besar, di bagian ruang tamu unit itu.

"Itu Winona Larasati, kan? Lo ngefans ya, Sa?" tanya Binar.

"Lo tahu artis juga ternyata. Kirain nggak ngurus soal begituan," jawab Ersa

"Kalau sekelas Winona Larasati, siapa yang nggak tahu? Aktris legenda begitu! Mbah Siti di kedai setiap hari nonton sinetron beliau. Jadi gue lumayan tahu soal beliau juga." Binar teringat betapa Mbah Siti memang adalah fans berat dari sinteron kejar tayang yang dibintangi Wina.

Ersa tidak menjawab omongan panjang kali lebar Binar. Ersa masuk ke salah satu kamar. Karena tidak dipersilakan ikut, Binar hanya menunggu di ruang tamu. Masih dalam posisi berdiri, dan sibuk melihat banyak foto Winona Larasati yang berjejer di dinding.

Agak aneh, sih. Jika memang murni hanya ngefans ... lantas kenapa fotonya sampai difigura dengan mewah? Sudah begitu sampai banyak sekali dicetaknya. Sebucin itu, kah?

Ersa kembali dengan menyangklong tasnya. Ia duduk di atas karpet bulu ruang tamu. Di antara set sofa dan meja kaca yang serba mewah.

"Ngapain berdiri doang di situ? Buruan ke sini! Jangan makan gaji buta!"

Binar lekas menurut. Ia duduk di sebelah Ersa. "Sa, kok di salah satu foto, Winona Larasati  pernah foto sama lo? Kamu kayaknya masih kecil banget. Kok bisa udah kenal sama beliau sejak kecil?" Binar benar-benar bertanya karena tidak tahu.

Ersa menyeringai. "Ya gimana nggak kenal? Orang itu mama gue!"

"Ha?"

"Mama pinter jaga privasi gue selama ini. Gue jadi bisa tetap hidup dengan damai. Walau status gue sebagai anak artis."

"Ternyata lo anaknya Winona Larasati!" Binar benar-benar terperangah.

Ersa menaik turunkan alisnya dengan songong. Membuat Binar tertawa, lalu melempar Ersa dengan salah satu bantal di sofa.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
418      282     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
14864      2045     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
Ikhlas Berbuah Cinta
898      688     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Sweet Punishment
170      105     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
Unknown
255      207     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
In the Name of Love
726      442     1     
Short Story
Kita saling mencintai dan kita terjebak akan lingkaran cinta menyakitkan. Semua yang kita lakukan tentu saja atas nama cinta
IMAGINE
382      272     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Lingkaran Ilusi
10042      2159     7     
Romance
Clarissa tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Firza Juniandar akan membawanya pada jalinan kisah yang cukup rumit. Pemuda bermata gelap tersebut berhasil membuatnya tertarik hanya dalam hitungan detik. Tetapi saat ia mulai jatuh cinta, pemuda bernama Brama Juniandar hadir dan menghancurkan semuanya. Brama hadir dengan sikapnya yang kasar dan menyebalkan. Awalnya Clarissa begitu memben...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Matahari untuk Kita
696      404     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...