Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

"Udah kayak gini effort-nya Mbak Jen. Tapi Mas Bintang tetep aja not responding." Pijar membuka obrolan di dalam mobil.

Pijar duduk di sebelah Ersa. Sedangkan Binar di belakang. Formasi diatur Ersa.

Ersa tidak memberi tanggapan. 

"Gimana maksudnya, Dek?" Binar balik bertanya.

"Nggak usah pura-pura nggak paham! Mbak Jen naksir berat sama Mas Binar. Udah melakukan berbagai cara untuk dapat respons dari Mas Bin. Bisa-bisanya Mas Bin cuek terus!" Pijar mewakili isi hati Jena.

Ersa terlihat tak nyaman. Bintang masih memikirkan jawaban.

"Aku sama Jena berteman udah lama. Kamu nggak usah mikir kejauhan." Biar tetap menyangkal. Sebenarnya Binar jelas tahu.

"Tanggepin aja, Mas. Mbak Jena cantik, manis, baik, penyayang. Sayang banget kalau melewatkan cewek sepremium Mbak Jen. Nanti Mas Bin nyesel!"

Ersa batuk-batuk seperti keselek tokek terbang. Menjadikannya pusat perhatian untuk sejenak.

"Kenapa, Mas Ersa?" Pijar mencoba peduli.

"Batuk, Jar. Gitu aja lo tanyain." Ersa tidak ramah.

Pijar meringis, karena bukan itu maksudnya. Tapi ya sudah, lah.

"Kasihan Jena kalau sama aku. Aku tinggal kerja terus kasihan." Binar menjawab dengan bijak.

"Mas Bin ibaratnya tinggal milih. Jejeran cewek ngantre jadi pacarnya Mas Bin. Tapi kenapa gitu terus alasannya dari dulu? Sekali-kali Mas Bin juga harus seneng-seneng. Nyobain pacaran misalnya. Jangan mikirin kerjaan terus. Jangan mikirin aku terus!"

Entah sudah berapa kali Pijar membahas hal-hal seperti ini. Supaya Binar sesekali memikirkan dirinya sendiri.

"Dosa pacaran, Dek!" Binar menjawab dengan klise.

"Kalau ngomongin dosa, semua orang punya dosa. Tinggal milih aja mau ngelakuin dosa yang mana. Mas Bin pikir, sok nggak tahu perasaan orang lain itu nggak dosa?"

Kali ini Binar yang batuk-batuk. Ersa menengok dari spion dalam. Binar terlihat bingung harus menjawab apa.

"Mas Bin kenapa? Keselek dosa nyuekin hati para anak gadis orang?" Pijar malah bercanda.

"Udah, Dek! Itu sekolah kamu udah di depan!" tunjuk Binar.

Ersa menyalakan lampu sein, mereka menepi. Pijar siap-siap turun.

"Cepet amat ya. Aku belum selesai ngobrol masalah ini sama Mas Bin! Nanti malam kita lanjut. Jangan sok sibuk. Dulu wajar nggak ada waktu buat pacaran. Kalau sekarang ada. Mas Bin pulang dari tempat Mas Ersa maksimal jam 11 malam. Free sampai pagi, karena udah nggak kerja di tumpang pecel." Pijar masih belum selesai rupanya.

Pijar membuka pintu. Ia salim dulu pada Binar dan Elang.

"Jangan lupa obatnya!" peringat Binar.

"Ya."

Pijar menutup pintu kembali setelah turun. Ia melambaikan tangan seperti bocil PAUD yang baru diantar orang tua sekolah.

Ersa melajukan mobilnya. "Maju, lah! Gue bukan supir!" ketus Ersa.

"Gue maju ke situ?" Binar memastikan, sambil menunjuk tempat Pijar duduk tadi.

"Buruan!"

"Iya-iya! Tadi disuruh di belakang ... sekarang suruh maju!" Binar melakukan protes tipis-tipis.

"Itu kan tadi!" 

Perjalanan berlanjut. Ersa gatal sekali ingin bertanya .... "Beneran lo nggak mau respons Jena, Bin?"

Tapi pertanyaan itu tersangkut di kerongkongan. Sulit untuk benar-benar dilisankan.

***

Olimpiade hari ini berjalan dengan lancar. Dengan pengawasan yang ketat.

Soal yang berjumlah ratusan cukup membuat otak berasap. Olimpiade berlangsung selama kurang lebih 3 jam.

Binar menyodorkan bekal pemberian Jena pada Ersa. "Mau?"

Ersa jujur kaget. Tiba-tiba deg-degan tanpa sebab.

"Heh, dikasih orang itu dihargai! Kok malah dikasih ke orang lain!" Ersa kesal sekali pada Binar.

Padahal Jena sudah berusaha. Kok tidak dihargai begini. Padahal sebenarnya juga mau. Tapi tidak kebagian.

"Nggak bisa makan itu. Pedes," jawab Binar.

"Ya dimakan yang nggak pedes."

"Masa nanti sisanya dibuang, mubazir. Mumpung masih komplit, buat lo aja. Nanti gue makan di rumah. Masih ada sisa masakan pagi tadi.

Ersa masih kesal karena sikap Binar. Tapi ia juga tidak bisa menolak. Secara ia sudah mupeng sejak tadi.

"Ya udah kalau lo maksa. Taruh situ aja." Eraa menunjuk ke arah dashboard.

***

"Mbah, aku izin masuk, boleh? Mau ngobrol sebentar sama Tera," ucap Binar setelah selesai kerja.

"Makan dulu, Bin." Mbah Siti menyodorkan mangkok soto daging tidak pedas sama sekali untuk Binar. "Ini bener nggak pedes blas, kan? Kamu kenapa sekarang jadi nggak doyan pedes, Bin? Dulu kayaknya mau-mau aja pake cabe 3!"

Binar terkekeh. "Lambung lagi rewel, Mbah."

"Ini makan dulu. Lagian ngapain mau ngobrol sama Tera? Susah ngobrol sama dia. Butuh banyak tenaga." Mbah Siti frustrasi menghadapi cucunya sendiri. "Pantas aja orang tuanya nyerah. Anaknya modelan begitu!"

Binar meringis. Sebenarnya kasihan juga pada Tera. Semua orang berbicara hal buruk tentangnya.

"Mau ngobrol aja, Mbah."

"Kamu mau ngobrolin apa sama Tera? Ada urusan apa, sampai nunda makan setelah kerja? Kamu ... nggak naksir sama Tera, kan?"

Tebakan Mbah Siti sukses membuat Tera melotot. "Jangan salah paham, Mbah." Binar buru-buru meluruskan.

Ia akhirnya menjelaskan soal permintaan tolong Pak Sastro. Membuat Mbah Siti mengangguk mengerti.

"Guru tata tertib kewalahan sama kelakuan dia. Sampai minta tolong sama kamu begini!" Mbah Siti antara pasrah, sedih, dan marah.

"Aku mau coba ngobrol sama Tera dulu. Kalau di sekolah dia kabur terus tiap kali aku panggil."

"Ya udah kamu coba ngobrol sama dia nanti. Tapi makan dulu. Beneran, ngobrol sama Tera, butuh banyak tenaga."

Binar tidak enak menolak terus. Akhirnya ia menurut untuk makan dulu. Setelah itu baru ia masuk ke rumah Mbah Siti.

***

Binar berjalan hati-hati, takut menimbulkan suara yang tidak disukai Tera. Seperti biasa, gadis itu goler-goler pada kasur lantai yang digelar di depan televisi.

"Tera."

Tera menoleh. "Puas ngomongin gue sama Uti?" sewot Tera.

Oh, jadi Tera tadi dengar.

"Gue tadi minta izin sama Mbah Siti. Nggak ada maksud buat ngomongin lo. Mbah Siti tanya ngapain gue mau nemuin lo. Ya gue jawab apa adanya."

"Sadar nggak? Lo udah bongkar aib gue!" 

"Maaf, gue hanya coba melakukan permintaan tolong Pak Sastro, Ra. Ini juga demi kebaikan lo sendiri."

"Kebaikan apanya? Heh, asal lo tahu aja ... kelakuan baik nggak ada hubungannya sama penampilan. Banyak kok yang tampilannya rapi, tapi kelakuan busuk. Banyak juga yang tampilannya urakan ... tapi sebenarnya hatinya baik!"

"Iya, gue paham. Tapi sekolah ada aturan yang harus dipatuhi, Ra. Nggak baik kalau sampai dilihat pihak luar, soal penampilan lo yang nggak biasa ini."

"Peraturan ada untuk dilanggar, kan? Udah lah, lo nggak usah sok jadi pahlawan kesorean! Mending lo tolak aja permintaan tolong guru tatib nyebelin itu!"

"Gue udah telanjur nerima. Ini amanah. Yang nggak bisa gue ingkari begitu aja."

"Ya udah, terserah lo! Satu yang harus lo ingat ... gue nggak akan pernah berubah! Sekali pun mulut lo udah berbusa, gue bakal tetep begini!"

Binar tersenyum tipis. Sambil memikirkan kira-kira bagaimana cara membuat Tera mau berubah?

***

"Jangan males-malesan ... udah deket UAS! Harusnya sebagai mentor, lo lebih semangat ngajar!" Ersa langsung protes, karena Binar malah enak-enakan duduk bersandar di ujung sofa panjang.

"Lo ngerjain contoh soalnya dulu ... gue ngaso sebentar. Cape! Dari tempat Mbah Siti tadi langsung ke sini. Mau duduk bentar!"

"Beneran duduk doang? Orang merem gitu tadi!"

"Ya merem doang!"

"Awas aja kalau tidur! Jangan makan gaji buta!"

"Iya!"

Ersa lanjut mengerjakan contoh-contoh soal dalam bukunya. Lama-lama otaknya berasa ngebul. Ia menengok jam, sudah hampir 2 jam pasca Binar datang. Sudah lama juga ternyata.

Ersa menoleh pada Binar. Pemuda itu bilang tidak akan tidur. Tapi itu namanya apa kalau tidak tidur?

Ersa kesal sebenarnya. Tapi ia lanjut mengerjakan contoh soalnya, kemudian baru ia menghampiri Binar di sofa.

"Heh, bangun! Dibilangin jangan makan gaji buta! Molor aja terus!"

Mata Binar terbuka perlahan. "Ketiduran, Sa," jawabnya hampir tak terdengar. Suaranya pun serak.

"Guru les macam apa, muridnya suruh ngerjain soal, gurunya molor!"

"Ya harusnya lo bangunin gue."

"Enak aja nyuruh-nyuruh! Untung gue ini bos yang baik. Kalau enggak, udah gue pecat lo!"

"Jangan, dong! Kan tidurnya nggak sengaja!" Binar memelas.

"Nih, udah kelar. Sebagai gantinya ... biar nggak makan gaji buta ... lo periksa di rumah aja hasil kerjaan gue. Besok dibahas lagi di pertemuan berikutnya!"

Ersa melemparkan bukunya. Untung Binar cukup sigap. Kalau tidak, bisa-bisa kepalanya tambah puyeng terkena sudut buku yang lumayan tebal.

"Ya udah. Maaf. Besok-besok kalau gue ketiduran lagi, tolong lo bangunin."

"Ya jangan sampai ketiduran lagi!"

"Diusahakan, tapi nggak janji!"

"Ketiduran lagi gue pecat!"

Biar tidak menjawab lagi. Ia hanya segera membereskan barang-barang bawaannya. Dan berpamitan pulang.

"Salam ke Tante Wina kalau beliau udah pulang nanti."

"Nggak usah caper sama mama gue!"

"Astaga ... nitip salam doang!"

"Udah buruan sana pulang! Ditungguin Pijar!"

"Iya-iya!"

***

UAS berlangsung selama satu minggu penuh. Ada siswa yang stres memikirkan nilai. Ada yang santai seperti di pantai.

"Akhirnya ... kelar juga!" Roy lega sekali, setelah ini bisa bebas main. Sudah tidak ada beban.

"Setelah UAS, terbitlah remedial, Roy!" jawab Binar.

"Malah diingetin! Padahal gue udah lupa tadi!" Roy langsung sewot.

Binar terkekeh. "Yang tenang, remedial biasanya open book."

"Lah, iya juga! Alhamdulillah jadi napas lega, nih." Roy mengelus dadanya saking leganya.

"Murid lo kurang ajar nggak? Biar gue yang hajar kalau dia kurang ajar!" Roy bicara sambil melirik Ersa yang berdiam diri seperti batu di bangkunya.

Binar menggeleng. "Dia murid teladan dan penurut kok. Tapi dia emang kritis. Kalau gurunya salah, langsung dia koreksi!"

"Nah itu maksud gue. Dia manusiawi apa nggak waktu ngoreksi lo?" Roy benar-benar tidak terima jika Binar diperlakukan kurang baik. "Jangan mentang-mentang dia bos, jadi bisa seenaknya!" Roy sudah ambil ancang-ancang mau mendatangi Ersa.

"Dia nggak ngapa-ngapain gue!"

"Beneran?"

"Ya bener! Dia baik. Apa lagi sama Pijar."

"Sama lo enggak?"

Binar tertawa sembari menggeleng. "Ngajak gelut terus kalau sama gue."

"Nah kan ... ya udah dihajar aja!" Roy kembali ambil ancang-ancang.

"Heh, Roy ... ngapain, sih? Udah duduk!"

Ersa menoleh karena Roy dan Binar ribut terus. "Ngomongin gue ya kalian?" tuduhnya.

"Nggak usah kepedean!" jawab Roy. Padahal ya memang benar.

"Kalau berani ngomong di depan! Jangan beraninya di belakang doang!" Ersa makin sewot.

Keributan mereka mulai disadari oleh penghuni kelas yang lain.

"Heh, itu Roy sama Ersa mau gelut!"

"Eh, iya! Seru nih kayaknya!"

"Eh, sini ... ada yang mau gelut!"

Sementara Binar adalah satu-satunya yang sibuk berusaha melerai mereka.

***

Saat yang paling ditunggu tiba. Hari di mana para siswa menerima hasil belajar selama 1 semester. Sekolah lebih ramai dari biasanya. Wali murid berdatangan untuk mengambil raport anak atau pun kerabat masing-masing.

Di saat seperti ini, kadang Binar merasa sedih. Sudah lama ia tidak bisa menikmati momentum berharga seperti ini. Sudah beberapa semester terakhir, ia mengambil rapornya sendiri.

Untung hari pembagian rapor sekolah Pijar masih besok. Jadi jadwal tidak bentrok. Dan Binar bisa hadir untuk menjadi walinya.

Tidak apa-apa Binar mengambil rapornya sendiri. Asal Pijar jangan. Binar berharap, ia akan terus bisa menjadi wali untuk adiknya itu. Sampai lulus SMP. Sampai SMA. Dan seterusnya.

Binar memejam rapat. Pahit rasanya, setiap kali membayangkan, jika Pijar harus hidup tanpa dirinya juga.

Kelas mulai terisi penuh dengan para wali murid. Hanya Binar satu-satunya murid yang ada di antara mereka.

Binar sedikit takut saat melihat Damara di sana. Damara juga sempat meliriknya sekilas. Tatapan mata Damara selalu tajam padanya. Penuh dengan rasa benci.

Binar berharap itu hanya perasaannya saja. Lagi pula, memangnya atas dasar apa Damara benci padanya?

Wali kelas baru saja masuk. Membawa tumpukan rapor, yang sebagian dibantu oleh Ersa sebagai ketua kelas. 

Murid-murid menunggu di luar kelas, sambil menyimak di balik jendela kaca.

Proses terasa lama sekali. Karena semua sudah tidak sabar ingin mendengar soal pengumuman ranking semester ini. Sudah tidak sabar ingin melihat nilai masing-masing juga.

"Juara 1 paralel semester ini, masih dipegang oleh kelas kita. Juara 1 dan 2 paralel berasal dari kelas kita."

Wali kelas mulai sedikit mengucapkan bocoran. Jantung Binar dan Ersa sama-sama berdebar-debar. Berharap hasilnya sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Mereka merasakan hal sama, meski berada di tempat yang berbeda.

Sedangkan Damara sedang mengantisipasi. Masih sangat berharap bahwa putranya bisa meraih juara pertama. Ia mau tahu, apakah Ersa bisa menepati janjinya?

"Hanya saja ada sedikit perbedaan dibandingkan semester-semester sebelumnya. Ada sedikit pergeseran peringkat."

Lanjutan ucapan wali kelas menciptakan senyum tipis di wajah Ersa dan Damara. Namun tidak dengan Binar. Ya, ia memang merelakan posisi juara 1 bertahannya. Tapi bukan berarti ia tidak sedih kehilangan posisi itu.

"Selamat ... ranking 1 paralel semester ini berhasil diraih oleh ananda Ersaga Juang Damara. Dan ranking 2 paralel diraih oleh ananda Binar Gemintang Savarga."

Senyum tipis di wajah Ersa dan Damara, tergantikan oleh senyum yang lebih lepas. Kali ini Binar turut tersenyum walau tipis. Merasa bangga, karena itu artinya ia berhasil menjadi guru Ersa.

Namun dalam hati, rasanya ia masih sedikit tak rela melepaskan gelar juara satu bertahannya.

'Pak ... Bu ... nggak apa-apa, ya ... aku nggak ranking 1. Tapi aku melakukan ini bukan tanpa alasan. Aku janji bakal tetap jadi anak yang membanggakan buat Bapak dan Ibu.'

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Deep End
40      38     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Varian Lara Gretha
5472      1687     12     
Romance
Gretha harus mempertahankan persahabatannya dengan Noel. Gretha harus berusaha tidak mengacuUhkan ayahnya yang berselingkuh di belakang ibunya. Gretha harus membantu ibunya di bakery untuk menambah biaya hidup. Semua harus dilakukan oleh Gretha, cewek SMA yang jarang sekali berekspresi, tidak memiliki banyak teman, dan selalu mengubah moodnya tanpa disangka-sangka. Yang memberinya semangat setiap...
ONE SIDED LOVE
1513      668     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
29.02
440      235     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
Metanoia
3194      1159     2     
True Story
âťťYou, the one who always have a special place in my heart.âťž
Konstelasi
896      469     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Pulang Selalu Punya Cerita
890      617     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Ibu
539      323     5     
Inspirational
Aku tau ibu menyayangiku, tapi aku yakin Ayahku jauh lebih menyayangiku. tapi, sejak Ayah meninggal, aku merasa dia tak lagi menyayangiku. dia selalu memarahiku. Ya bukan memarahi sih, lebih tepatnya 'terlalu sering menasihati' sampai2 ingin tuli saja rasanya. yaa walaupun tidak menyakiti secara fisik, tapi tetap saja itu membuatku jengkel padanya. Dan perlahan mendatangkan kebencian dalam dirik...
WEIRD MATE
1571      755     10     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...