Binar sampai ketika murid yang lain rata-rata sudah dapat 3 kali putaran lari. Tanpa dihadang Pak Sastro pun, Binar secara sadar menghadap pada guru itu.
"Binar-Binar ... kamu ini sebenarnya kenapa? Sudah saya bilang berkali-kali, naik sepeda bukan alasan bisa terlambat seenaknya."
"Maaf, Pak. Bukan maksud saya nggak mendengarkan. Tapi memang ada alasan saya sering terlambat."
"Udah, nanti jelasin aja sama guru BK. Poin kamu udah lebih dari cukup untuk masuk BK lagi. Sekarang apa pun alasannya, kamu harus tetap dihukum. Seperti biasanya 10 kali keliling. Tapi ditambah bersihkan toilet, ya. Yang kemarin hukuman bersihkan toilet belum kamu jalani. Sekalian aja hari ini. Toilet cowok lantai 1 yang dekat kelas kamu, sama lantai 2 yang dekat perpustakaan."
Binar tersenyum kecut. "Pak boleh nggak kalau saya tunda besok aja hukumannya? Saya hari ini lagi cape banget. Dari semalam saya belum tidur sama sekali. Boleh ya, Pak ... besok, ya?" Binar berusaha menawar.
"Siapa suruh kamu nggak tidur? Udah ... buruan lari sekarang! Sebelum makin terlambat masuk kelas!"
Binar hanya menghela napas pasrah. Pemuda itu mulai berlari dengan tidak bersemangat. Sebab ia tidak bohong. Biasanya ia juga lelah. Tapi hari ini jauh lebih lelah.
Ia lihat ada Ersa juga sedang lari.
***
Baru juga duduk, Binar sudah harus berdiri lagi, sebab ada murid kelas sebelah yang mengantarkan surat panggilan untuknya.
"Waktunya curhat dong mah lagi, Bin?" Roy sudah langsung tahu.
"Biasa, lah." Binar berjalan gontai keluar kelas.
Ersa menatap punggung Binar, sampai teman sekelasnya itu menghilang di balik pintu. Ersa masih duduk diam, memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung.
***
"Assalamualaikum ... permisi, Bu Hamidah." Sebenarnya ruang BK sedang terbuka pintunya. Tapi Binar tidak masuk sebelum dipersilakan.
"Waalaikumussalam. Sini masuk, Bin."
Binar menurut, ia duduk manis di hadapan Bu Hamidah.
"Sudah tahu kan kenapa kamu sampai dipanggil ke sini?"
Binar mengangguk.
"Kenapa, Binar? Kamu itu salah satu murid berprestasi di sekolah. Tapi kenapa kamu hobi koleksi poin dengan datang terlambat hampir setiap hari? Kamu banyak dijadikan panutan. Banyak fans pula. Jadi contoh yang baik dong, Nak!"
Binar menghela napas. "Sebenarnya alasannya masih sama seperti yang sudah-sudah, Bu." Binar terlalu lelah untuk menjelaskan ulang.
"Binar ... maaf sebelumnya. Tapi kan kamu dapat beasiswa prestasi penuh. Lantas apa tidak berlebihan jika kamu ambil terlalu banyak pekerjaan? Bukan kenapa-kenapa. Tapi kamu juga butuh istirahat, Nak. Apa lagi kamu juga masih dalam masa pertumbuhan. Istirahat yang cukup itu perlu."
"Iya, saya paham, Bu. Kalau boleh memilih, saya juga maunya cukup istirahat. Sebenarnya pengeluaran saya bukan buat saya sendiri. Saya punya adik. Adik saya sakit, butuh biaya juga untuk berobat."
Binar rasanya sudah bosan menjelaskan hal yang sama berulang kali.
"Binar, saya butuh bicara sama orang tua kamu, ya. Saya buatkan surat panggilan. Kalau bisa tolong secepatnya bawa mereka ke sini. Ibu atau Ayah terserah. Dua-duanya datang semua lebih baik. Saya mau memberi sedikit pengertian, supaya mereka tidak membiarkan kamu bekerja terlalu keras seperti ini. Ini demi kebaikan kamu juga, Nak."
Binar tersenyum getir. "Maaf, Bu Hamidah. Saya maklumi kalau Ibu lupa, murid di sini bukan hanya saya. Sekali lagi saya sampaikan ... orang tua saya sudah meninggal dunia."
"Astaghfirullah ... innalilahi wa innailairajiun. Binar ... maafin Ibu, ya. Ibu benar-benar lupa."
"Nggak apa-apa, Bu. Saya harap, setelah mendengarkan penjelasan ulang ini, Ibu bisa memaklumi kenapa saya sebegitu sibuk. Saya nggak ada pilihan lain."
"Nak ... Ibu benar-benar minta maaf. Tapi apa juga sudah nggak ada saudara yang bisa membantu? Paman atau Bibi? Atau Kakek Nenek?"
Binar menggeleng. "Dulu kami tinggal berempat. Setelah orang tua kami meninggal, tinggal kami berdua. Mungkin keluarga besar memang ada, tapi kami tidak kenal. Dan tidak tahu juga mereka ada di mana."
Dulu setiap kali membahas soal keluarga besar, Binar memang selalu bingung. Ia pernah tanya pada orang tuanya, apa mereka tidak punya keluarga besar? Binar juga mau merasakan seperti teman-temannya. Berkumpul dengan keluarga besar ketika lebaran.
Jawaban mereka selalu konsisten, mereka sudah putus hubungan.
Bu Hamidah akhirnya memberi Binar nasihat bijak.
Obrolan mereka ternyata juga didengar oleh orang lain yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu. Orang itu adalah Ersa. Sesaat setelah Binar keluar dari kelas tadi, Ersa memutuskan untuk ikut keluar.
Izinnya ingin pergi ke toilet. Padahal tidak. Ia mau lanjut memantau Binar. Membuktikan bahwa anggapannya benar ... soal Binar yang suka cari perhatian.
Tapi yang membuat Ersa tertegun adalah ... jawaban Binar selalu konsisten. Entah itu saat ditanya oleh Bu Aisyah kapan hari, atau pun saat ditanya oleh Bu Hamidah sekarang.
***
Binar keluar ruang BK, bertepatan dengan bel istirahat. Ersa buru-buru bersembunyi di balik dinding, supaya keberadaannya tidak diketahui oleh Binar.
Ersa pikir Binar mau ke kantin. Sebab Ersa lihat sendiri, tadi pagi Binar hanya makan 3 sendok.
Ersa awalnya juga mau ke kantin. Karena perutnya keroncongan, akibat hanya sarapan 2 lembar roti tawar.
Ternyata langkah Binar malah menuju ke arah toilet laki-laki, dekat dengan kelas mereka.
Ersa yang penasaran, iseng ikut masuk. Toh di dalam ada banyak bilik. Tidak akan mencurigakan masuk toilet sama-sama.
Binar refleks menatap Ersa. Biasanya Binar setidaknya tersenyum atau menyapa. Tapi kali ini tidak. Raut lelahnya terlihat jelas. Mungkin suasana hatinya juga sedang tidak bagus setelah keluar dari ruang BK.
Binar mengambil peralatan kebersihan yang terletak di sebelah wastafel. Ia mulai mnjalani hukuman.
"Kang bersih-bersih toilet baru," ledek Ersa.
"Kalau nggak bantu, minimal diem!"
Ersa tidak menjawab lagi. Sepertinya Binar memang sedang tidak mood bicara pada siapa pun. Supaya tidak dicurigai sedang memantau ... Ersa masuk dulu ke salah satu bilik. Pura-pura menyiram air, sebelum keluar lagi.
***
Ersa ke kantin setelah itu. Nanti saja ia pantau Binar lagi, yang penting asam lambung aman dulu.
Selesai makan, Ersa sedang menunggu kembalian dari Ibu Kantin. Khusus ke sekolah, Ersa bawa uang tunai, itu pun sudah selalu tersedia di atas meja makan. Jaga-jaga jika Ersa tak sempat bertemu kedua orang tuanya sebelum berangkat.
Saat ini mata Ersa sedang tertuju pada roti dan juga air mineral yang ditata di rak.
Sejak semalam Binar tidak makan sama sekali. Pagi tadi cuma makan sedikit. Setelah sampai di sekolah masih dikerjai Pak Sastro.
"Ini kembaliannya, Mas!"
"Iya, makasih." Ersa hanya langsung megambil kembaliannya.
Ersa melenggang pergi, tidak jadi beli roti dan air mineral. Pikirnya kenapa juga ia peduli pada Binar?
Sebentar lagi bel masuk. Ersa pikir nanti Binar pasti sudah di kelas. Pasti Roy sebagai sahabatnya, sudah peka berbagi makana dengan Binar.
Tapi belum juga Ersa sampai kelas ... ia melihat Binar sedang naik ke lantai dua.
"Ke mana lagi itu bocah?"
Mumpung belum bel, Ersa melanjutkan misi memantau Binar. Ia ikut naik ke lantai dua, tapi lewat tangga lain. Tidak lucu kalau ia sampai kepergok sedang memantau rivalnya.
Ersa buru-buru sembunyi saat ia melihat Binar berjalan dari arah lain. Ersa mengintip dari balik dinding. Binar ternyata masuk ke toilet perpustakaan.
Jadi hukumannya masih belum selesai? "Pak Sastro parah juga ... hukum murid sampai segitunya!"
Ersa masih berdiri di sana untuk beberapa saat lamanya. Pustakawan baru saja keluar dari perpustakaan, berjalan lurus menuju toilet. Ersa dengar percakapan pustakawan itu dengan Binar.
"Lho, kok ngepel di sini?"
"Iya, Bu. Saya dihukum Pak Sastro."
"Oalah ... kasihan ... udah cepet-cepet aja ngepelnya. Toh udah bersih kok toiletnya."
"Nanti Pak Sastro marah."
"Nggak. Yang tahu cuma kamu sama saya. Saya janji nggak akan cepu. Kamu istirahat sana, cape banget kelihatannya. Keburu bel masuk."
"Makasih, Bu."
Ersa masih berdiri di sana. Binar baru saja keluar dari toilet, bertepatan dengan suara bel masuk. Binar lewat tangga yang sama dengan ketika naik tadi.
Ersa buru-buru turun kembali ke lantai 1, dengan tangga yang tadi juga. Ia sedikit berlari, tidak mau masuk kelas terlambat. Karena setelah ini adalah materi Sejarah, yang diajar Pak Sastro.
***
"Lho ... Binar kok nggak ada?" tanya Pak Sastro sesaat setelah mengabsen nama Binar.
"Binar tadi dipanggil Bu Hamidah. Belum kembali ke kelas sampai sekarang, Pak." Roy yang menjawab.
Ersa diam di bangkunya. Pikirnya setelah menyelesaikan hukumannya tadi, Binar akan cepat-cepat ke kelas. Mengingat ini adalah waktunya Pak Sastro.
Tapi Binae berani sekali malah tidak masuk kelas. Pikir Erda, mungkin saking laparnya, sehingga Binar ke kantin dulu untuk makan.
"Mungkin Binar masih menjalankan hukuman dari saya. Ya sudah lah, ditunggu saja. Mungkin sebentar lagi kembali."
Entah kenapa Ersa malah kesal. Pak Sasteo bicara begitu tanpa rasa berdosa sama sekali.
Dua jam pelajaran berlalu dengan cukup lama. Bukan karena materinya yang jelek, hanya saja cara mengajar Pak Sastro kurang menarik.
"Binar nanti suruh ketemu saya, ya, jam istirahat kedua. Masa ngepel toilet aja lama banget! Apa sebenarnya maunya? Kok makin hari makin sulit diatur!" kesal Pak Sastro.
"Maaf, Pak ... Binar pasti nggak ada maksud mengulur waktu. Dia belum kembali pasti karena ada hal penting." Roy berusaha membela Binar.
"Ya makanya biar tahu kenapa, nanti saya mau bicara sama dia, Roy. Tolong langsung sampaikan ke Binar aja nanti."
Roy sedang menahan kesal juga. "Iya, Pak."
Sepeninggal Pak Sastro ... masih ada waktu untuk menunggu guru berikutnya datang. Roy beranjak cepat dari bangkunya.
Ersa menatap Roy yang berjalan cepat seperti dikejar setan. Ersa yakin, Roy pasti sedang mencari Binar.
Karena Ersa masih terikat misi untuk memantau Binar ... ia pun turut beranjak.
***
Roy tanpa ragu menuju ke UKS. Karena setiap kali menghilang, Binar biasanya memang ke sana. Roy tidak sadar dirinya diikuti Ersa.
Roy mengetuk pintu terlebih dahulu. Pernah waktu itu langsung buka pintu, ia malah kena omel suster jaga.
Karena tidak ada jawaban, atau pun yang membukakan pintu ... Roy akhirnya masuk saja. Oh, ternyata meja suster jaga kosong.
Roy langsung masuk saja. Benar dugaannya, ada Binar yang sedang tertidur di salah satu brankar.
Niat Roy hanya ingin memastikan Binar baik-baik saja. Makanya mendekat. Roy jadi merasa bersalah. Karena Binar malah terbangun.
"Lho, kok bangun, Bin?"
"Roy ...." Binar terlihat bingung. Ia seperti terkejut sehingga langsung terduduk.
Binar mengeryit karena seketika itu juga, kepalanya terasa pening luar biasa. Perutnya juga terasa perih.
"Heh, kenapa? Udah, baringan lagi aja!" Roy makin merasa tidak enak. Apa lagi wajah Binar makin pucat.
"Ini waktunya Pak Sastro. Bisa dihukum lagi gue." Biar dikuasai rasa panik.
Roy terpaksa menjelaskan situasi yang sebenarnya. "Jam Pak Sastro udah habis, Bin. Tadi lo dicariin beliau. Katanya nanti jam istirahat kedua suruh nemuin beliau. Saran gue mending nggak usah. Pak Sastro lagi mode senggol bacok. Nanti biar gue yang ke sana ... ngasih tahu lo lagi sakit."
Binar akhirnya berbaring lagi dengan tenang. "Makasih ya, Roy. Nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada lo."
"Halah, kayak sama siapa aja. Terus sekarang gimana? Lo pusing? Serius pucet banget muka lo!"
"Tadi gue cuma ngerasa capek banget, setelah selesai ngepel. Gue mau istirahat bentar, sebelum masuk kelas. Malah gue ketiduran."
"Ya berarti beneran kecapean lo. Ya udah tidur aja. Tapi serius nggak ada keluhan selain cape?"
"Tadinya enggak. Tapi sekarang malah agak pusing. Sama perih perut gue."
"Belum makan pasti," tebak Roy.
Binar hanya cengengesan. "Kebiasaan lo, tuh!"
"Sorry, Roy. Habisnya akhir-akhir ini gue makin kehilangan nafsu makan. Gue juga bingung. Kalau belum lemes, belum gemetar ... gue baru ingat makan."
"Itu sinyal dari badan lo. Berusaha ngasih tahu, butuh istirahat. Gejala sekecil apa pun itu pasti ada sebabnya, Bin."
"Iya-iya, sorry!"
"Ya udah, mending sekarang lo tidur lagi aja. Biar gue kasih tahu Pak Sastro sekarang aja. Biar ada rasa bersalahnya si Sastro. Gara-gara dia lo jadi begini."
"Ngomongnya yang sopan tapi, Roy!"
Roy menyeringai. "Nggak janji, tapi diusahakan, deh. Ngomong-ngomong nanti gue langsung ke kelas, ya. Sekarang guru pasti udah di kelas juga."
Binar hanya mengangguk. "Sekali lagi makasih, Roy. Maaf gue sering repotin lo."
"Ngomong makasih sama maaf sekali lagi, gue tonjok lo!"
Binar berjengit ngeri. Membayangkan dirinya benar-benar ditonjok oleh Roy.
Roy melenggang pergi dari sana. Ersa yang sejak tadi berdiri di balik dinding ... mendengar semua obrolan mereka.
Setelah Roy berjalan melewatinya, Ersa juga melenggang pergi. Namun ke arah yang berbeda. Jujur Ersa agak menyesal karena tidak jadi beli roti dan air mineral tadi.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor