Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

Ketika terbangun, Binar dibuat terkejut dengan sensasi berputar, yang menciptakan mual. Perutnya nyeri. Meski begitu ... Binar tetap berusaha duduk.

Jam menunjukkan pukul 2. Sudah lewat jam istirahat kedua. Kurang 2 jam lagi sebelum sekolah berakhir.

Lama juga ia tertidur. Harusnya badannya sudah segar. Tapi kenapa malah terasa makin remuk redam?

Binar mengambil ponselnya di atas nakas. Ada roti dan air mineral juga di sana. Ada satu lembar tablet pereda asam lambung. Binar mengira itu pasti dari Roy.

***

"Permisi, Pak. Maaf terlambat masuk," ucap Binar pada guru yang sedang mengajar.

"Dari mana, Binar?" tanya sang guru.

"Dari UKS, Pak. Tadi nggak enak badan." Sebenarnya sekarang pun masih tidak enak badan.

"Ya udah ... silakan duduk." Guru itu tidak banyak bertanya, karena memperhatikan rona Binar yang pasi.

"Terima kasih." Binar segera duduk di bangkunya.

"Udah enakan, Bin?" tanya Roy seketika itu juga.

"Lumayan. Thanks ya buat roti, air, sama obatnya," ucap Binar sekalian, takutnya lupa.

Roy mengernyit. "Apaan, Bin?"

"Tadi pas gue bangun, di nakas ada roti, minum, sama obat. Gue pikir lo yang kasih."

Roy menggeleng. "Bukan. Gue emang rencana ngajak lo makan. Tapi gue lihat lo pules banget. Nggak tega mau bangunin."

"Terus siapa yang ngasih, dong?" Binar jadi bingung sendiri.

"Fans lo mungkin. Kan suka banyak yang jadi stalker, mungkin pada tahu lo di UKS. Makanya ngasih makan sama obat."

"Lah, tapi kan gue punya asam lambung bukan rahasia umum, Roy."

"Ya fans lo bisa jadi juga ada yang tahu."

Sebenarnya selain Roy, ada juga murid di kelas ini yang tahu. Sebab pernah masuk UKS di saat yang bersamaan dengan Binar ... Ersa  orangnya.

Tapi mana mungkin Ersa yang memberikan makanan, minuman, dan obat itu?

Ersa sendiri sedang memperhatikan obrolan Binar dan Roy dari bangkunya. Ya bagus lah kalau obat dan rotinya sudah dimakan oleh Binar. Hitung-hitung balas budi karena Binar juga pernah menolongnya saat sakit. Walau pun disuruh bayar hutang.

***

"Mas Ersa ngapain ngikutin Mas Binar terus?" tanya Pak Hendro, yang sungguh penasaran.

Bukan hanya tadi pagi. Eh, setelah sekolah bukannya langsung pulang, malah minta Pak Hendro membuntuti Binar lagi.

"Kan aku udah bilang, aku cuma mau cari bukti, bahwa Binar itu emang suka cari perhatian!" jawab Ersa konsisten.

"Gimana cara cari buktinya?" bingung Pak Hendro.

"Ya begini, Pak. Udah lah, pokoknya ikutin Binar terus, sampai jam kerja Pak Hendro habis."

"Lho ... Mas Ersa nggak bimbel?"

"Libur dulu sehari. Lagian udah ngebul otak aku. Aku semester ini bakal jadi ranking 1 paralel, kok!"

"Seyakin itu, Mas?"

"Pak Hendro meragukan aku?" Ersa tersinggung jelas saja.

"Bukan begitu maksudnya ... tapi sejauh ini Mas Ersa sudah berusaha keras. Sampai jarang istirahat. Itu pun belum bisa mengalahkan posisi juara 1 bertahan, kan? Apa lagi kalau bolos bimbel begini!"

Ersa hanya diam. Pak Hendro tak tahu saja, bahwa Ersa sudah membuat kesepakatan dengan Binar.

"Nanti aku buktikan ... semester ini aku lah juara satunya!" Ersa berkata dengan yakin.

"Aamiin. Saya doakan yang terbaik. Soalnya saya suka prihatin lihat Mas Ersa kebanyakan jadwal."

"Pak Hendro aja prihatin. Apa lagi aku."

"Tapi kalau ketahuan bolos sama Tuan gimana, Mas?"

"Kalau Pak Hendro nggak cepu, Papa nggak akan tahu!"

"Bisa jadi Tuan ngirim mata-mata, Mas!"

"Ish ... dikira film thriller apa?"

Pak Hendro akhirnya pasrah mengikuti keinginan Ersa, untuk lanjut memantau Binar.

Ternyata Binar mengayuh sepedanya menuju ke tempat pemakaman umum. Agak seram karena hari sudah gelap.

"Mas Binar ke makam siapa, Mas?"

"Mungkin ke makam orang tuanya." Ersa menatap Binar berjalan cepat masuk ke area pemakaman, setelah memarkir sepedanya di depan.

Lantas apakah Ersa sudah percaya, bahwa orang tua Binar benar-benar sudah meninggal? Ersa sebenarnya belum terlalu yakin juga. Bisa jadi yang dikunjungi oleh Binar adalah makam orang lain.

***

"Assalamualaikum ... Bu ... Pak ...." Binar megusap batu nisan kedua orang tuanya yang sejajar.

Binar menyingkirkan daun-daun kering yang mengotori bagian atas makam Wanda dan Dimar.

"Maaf aku jarang ke sini, ya. Cuma Pijar yang rutin ke sini setiap Kamis sore. Aku sebenarnya juga mau rajin begitu. Tapi sulit bagi waktunya. Aku berusaha nggak menganggap ini semua sebagai beban. Karena aku ikhlas menerima ini semua, Pak ... Bu .... Berat memang ... tapi aku berhasil melalui semuanya selama ini. Walau pun istilahnya sambil jalan tertatih."

Binar tersenyum pada 2 makam itu, seolah-olah Wanda dan Dimar sedang membalas senyumnya.

"Aku sebenarnya agak takut akhir-akhir, Pak ... Bu .... Aku sering tahu-tahu cape banget. Kalau udah gitu badanku rasanya lemes, nggak ada tenaga. Perutku juga makin sering sakit. Awalnya aku pikir karena sering telat makan. Tapi ternyata nggak telat makan pun tetap sakit."

Binar jujur soal ketakutannya. Ini adalah tubuhnya. Ia yang paling paham, mana yang wajar, dan mana yang mulai aneh.

"Aku takut ... semoga ini bukan hal yang buruk. Soalnya Pijar masih butuh aku."

Binar sebenarnya tidak mau menangis. Tapi air matanya menetes begitu saja.

"Maaf aku cengeng, Bu ... Pak .... Aku kangen banget sama kalian. Kangen kita berempat kayak dulu. Aku doakan Bapak dan Ibu setiap hari. Semoga Bapak dan Ibu bahagia di rumah baru yang nyaman dan indah. Aku cuma sekadar bercerita, walau pun tahu Bapak sama Ibu juga sudah lepas urusan dunia. Dan nggak akan dengar juga soal apa yang aku bilang. Tapi aku tahu Allah dengar."

Setelah mendoakan kedua orang tuanya ... Binar pun beranjak dari sana. Ia tidak bisa lama-lama. Karena harus segera ke tempat Mbah Siti.

***

"Lho, Mas Binar kok ke arah berlawanan, Mas? Bukannya kalau mau pulang, harusnya ke arah sana?"

Pak Hendro lagi-lagi kebingungan. Mengingat ia sudah tahu di mana rumah Binar ... jadi ia juga tahu ke arah mana Binar harusnya mengayuh sepeda.

"Ya berarti dia belum mau pulang, Pak."

"Terus mau ke mana? Sama aja kayak Mas Ersa, nih. Pulang sekolah bukannya segera istirahat, malah ngelayap!"

"Jangan sama-samain aku dengan Binar!" kesal Ersa.

Yang membuat Pak Hendro tertawa. Lelaki paruh baya itu pun fokus mengikuti Binar lagi.

"Oh, Mas Binar ternyata lapar, Mas. Mau makan soto!" celetuk Pak Hendro setelah Binar memarkir sepedanya di depan kedai soto.

"Dia bukan mau makan itu. Dia kerja, Pak," jawab Ersa.

Masih terpatri dalam pikiran Ersa, betapa pucatnya Binar saat di sekolah tadi. Ia bisa melihat jelas raut lelah Binar ketika di UKS. Tidurnya gelisah, seperti menahan sakit.

Asam lambung Binar sedang rewel. Tapi Binar tetap harus bekerja.

"Lho ... sebenarnya Mas Binar punya berapa pekerjaan? Kok banyak amat?" Pak Hendro jadi bingung sendiri.

"Sepertinya 3. Nggak tahu, deh."

"Terus sekarang gimana? Kita pulang aja ya, Mas? Masa mau nunggu Mas Binar sampai selesai kerja?"

"Kan aku udah bilang tadi ... Pak Hendro harus antar aku memantau Binar, sampai jam kerja Pak Hendro berakhir. Udah ... di sini aja! Kalau Pak Hendro lapar, sana beli soto sekalian!"

Pak Hendro terkekeh. "Pengertian banget Mas Ersa. Tahu aja saya lapar."

Pak Hendro bersiap turun dari mobil. "Mas Ersa nggak turun sekalian? Belum makan, kan? Soto ini legend. Terkenal rasanya autentik. Makanya rame banget."

Ersa terlihat ragu. Takut ketahuan Binar. Atau membuat Binar curiga. Tapi ia lapar juga, benar kata Pak Hendro.

"Ya udah, deh!" Ersa akhirnya setuju.

Pak Hendro selalu senang setiap kali Ersa jadi penurut.

***

"Binar ... apa nggak bisa, sehari aja nggak telat? Kamu nggak lihat Mbah keteteran begini? Sana buruan kamu kerja!"

Baru juga Ersa dan Pak Hendro masuk, mereka sudah disuguhi pemandangan Binar yang sedang diomeli oleh mbah-mbah.

Ersa tertegun sesaat. Seumur-umur Ersa belum pernah diomeli orang lain. Paling banter mungkin Pak Sastro pelakunya. Itu pun tak seberapa. Satu-satunya orang yang terus mengomel padanya adalah Damara.

Diomeli oleh ayah sendiri saja rasanya menyakitkan. Apa lagi dibentak-bentak orang lain, di depan banyak orang pula.

Tapi Binar terlihat biasa saja. Ia malah tersenyum di balik wajah pucatnya. Melenggang pergi masuk toilet, keluar-keluar sudah ganti pakai kaos oblong.

Elang duduk di sisa bangku kosong yang ada. Sambil sedikit menjauh dari pembeli lain. Menyisakan ruang kosong untuk duduk Pak Hendro nanti.

"Mas Ersa tunggu sini. Biar saya yang pesan. Mau campur pakai jeroan atau daging aja?"

"Campur, Pak."

"Mau tambah gorengan jeroan?"

"Boleh. Usus aja kalau ada. Kalau nggak ada paru."

"Oke."

Pak Hendro menuju gerobak soto, mendekati pemilik kedai yang sudah tua tapi energik sekali. Sementara mata Ersa beralih pada Binar.

Selesai membuat es, Binar memindahkan semuanya ke atas nampan. Lalu mulai berkeliling ke bangku-bangku yang ada.

"Mau es teh apa es jeruk, Pak?" tawarnya.

"Es teh aja."

"Yang anget ada?"

"Ada, nanti saya buatin dulu, ya."

Binar lanjut melangkah menawarkan minuman. Sampai ia tiba di tempat duduk Ersa.

"Lho, Sa!" Binar menyapa temannya itu. Agak kaget dengan keberadaan Ersa di sana. Karena Binar tidak tahu kapan masuknya.

"Es jeruk 2." Ersa langsung mengatakan apa yang ia mau, sebelum Binar menawarkan.

"Oke." Binar meletakkan 2 gelas es jeruk di hadapan Ersa.

Pak Hendro baru saja kembali membawa dua mangkok nasi soto yang masih ngebul asapnya. Wanginya menguar, membuat perut makin keroncongan, ingin buru-buru makan.

"Mas Binar kerja di sini?" Pak Hendro ikut menyapa Binar. Duduk perlahan di sebelah Ersa.

"Iya, Pak. Selamat menikmati. Saya mau lanjut kerja dulu."

"Iya, Mas Binar ... semangat! Sabar ya ... Mbah Siti sepertinya agak galak." Pak Hendro terkekeh.

Binar tertawa kecil. "Sebenarnya baik kok. Cuman kalau sedang dalam tekanan suka emosi."

"Bipolar kali!" celetuk Ersa.

"Hus ... Mas Ersa ada-ada aja!" tegur Pak Hendro.

Ersa hanya mencebik, kemudian mulai menuang kecap manis dan sambal di mangkoknya. Tidak lupa memeras irisan jeruk nipis.

Binar pun berlalu. Membiarkan Pak Hendro dan Ersa makan dengan tenang.

Binar tidak tahu dirinya masih diikuti oleh sepasang sorot mata Ersa. Padahal tadi Binar terlihat sedih sekali ketika keluar dari area pemakaman. Tapi bisa-bisanya sekarang ia pasang wajah ceria, seolah tidak terjadi apa-apa.

Ersa bingung dengan dirinya sendiri. Karena ia jadi kepikiran Binar terus.

***

Meski sudah selesai makan, Ersa belum mau pergi. Ia kini berada di dalam mobil, bersama Pak Hendro. Masih mengawasi Binar yang bekerja keras melayani banyak pelanggan. Belum lagi ketika kena omel Mbah Siti.

"Mas Binar pekerja keras banget, ya. Kasihan sebenarnya. Semuda itu, harus menghadapi kerasnya dunia." Pak Hendro membahas Binar lagi.

Ersa hanya diam. Sebenarnya sedikit demi sedikit ia mulai percaya. Bahwa Binar bekerja keras bukan sekadar mencari perhatian.

Melainkan karena memang tuntutan kehidupan.

Namun sisi egois Ersa masih menghalangi rasa percaya itu.

"Saya lihat Mas Binar kok selalu kelihatan pucat gitu, ya? Apa memang begitu warna kulitnya? Kalau dibilang pucat karena jarang kena matahari nggak juga. Kan setiap hari kepanasan naik sepeda."

"Pak Hendro gimana, sih? Nanya-nanya sendiri. Dijawab-jawab sendiri." Ersa baru memberi tanggapan.

Pak Hendro pun terkekeh. "Habisnya Mas Ersa dari tadi diam aja."

Pak Hendro menghela napas dalam. "Kalau melihat orang-orang seperti Mas Binar ... saya jadi merasa bersyukur. Walau pun saya bukan orang berada, tapi setidaknya saya lebih beruntung. Pekerjaan saya nggak terlalu berat. Jam kerjanya juga teratur. Anak-anak saya di rumah, walau hidup apa adanya. Tapi mereka bisa sekolah dengan tenang. Tanpa harus bekerja keras seperti Mas Binar. Jujur saya salut banget sama kegigihan Mas Binar. Orang lain belum tentu kuat jika berada di posisi yang sama."

Ucapan panjang Pak Hendro membuat Ersa kembali terdiam lama.

Lantas bagaimana dengan Ersa?

Ersa yang notabene terlahir dalam keluarga berada. Sejak lahir sampai sebesar ini, tidak pernah merasakan yang namanya kesulitan finansial.

Satu-satunya kesulitan hidup yang ia alami ... hanya ekspektasi orang tua.

Jika dibandingkan dengan Binar ... tentu bebannya jauh lebih ringan.

Tapi ... ego Ersa belum mau mengakui hal itu. Ia tidak mau mengakui bahwa Binar memang lebih unggul darinya, dalam semua aspek.

***

Ersa baru sampai di minimarket mendekati jam 11 malam.

Tadi setelah jam kerja Binar di warung soto selesai ... Ersa menurut diajak pulang dulu oleh Pak Hendro.

Selain karena jam kerja Pak Hendro sudah hampir habis, juga karena Ersa sudah tahu ... setelah dari Mbah Siti ... Binar akan langsung ke minimarket.

Ersa hanya sebentar di rumah. Sepi di sana. Orang tuanya belum ada yang pulang.

Erss berangkat lagi sendirian. Seolah-olah ia akan berangkat ke jadwal bimbingan belajar yang kedua. Padahal Ersa nongkrong sendirian di cafe.

Ersa memperhatikan banyak anak muda yang datang dengan teman-temannya. Atau dengan keluarga. Ada juga yang dengan pacar.

Kapan Ersa akan merasakan hal seperti itu juga?

Ersa bermain game selama menghabiskan waktu di cafe. Sebelum akhirnya berangkat ke minimarket, seolah-olah ia akan pergi ke bimbingan belajar ketiga.

***

Baru juga parkir di pelataran minimarket, ia sudah dihampiri oleh Jena. Awalnya Ersa menduga gadis itu mau mencari masalah lagi dengannya.

Tapi semakin dekat, semakin terlihat bahwa raut wajah Jena sedang panik.

Ersa membuka pintu mobilnya. Belum sempat Ersa bertanya ... Jena sudah menarik tangannya, menggelandangnya masuk kedalam minimarket.

"Sa, gue minta tolong banget. Seandainya bisa ... gue akan nolong Binar sendiri. Tapi gue nggak bisa. Jam tutup minimarket masih lama. Gue bisa di sini sendiri. Yang penting lo tolongin Binar dulu!"

Jena berusaha menjelaskan. Menyisakan tanya di benak Ersa. Memangnya apa yang terjadi pada Binar ... sampai-sampai harus ia tolong?

Ersa menengok di balik meja kasir. Kosong. Tidak ada orang di sana.

Kemudian Jena lanjut menggandengnya masuk ke dalam ruang istirahat karyawan.

Ersa melihat Binar terbaring di sana. Matanya terpejam rapat. Tidurnya tampak tidak tenang. Alisnya bertaut seperti menahan sakit. Ia juga berkeringat banyak.

"Dia kenapa?" Jujur Ersa kaget. Karena tadi di tempat Mbah Siti ... bocah ini masih begitu bersemangat.

"Dia demam tinggi banget. Asam lambungnya kambuh kayaknya. Pas dateng tadi udah pucet. Kelihatan kalau lemes. Tapi tetap maksain kerja. Terus mungkin sekitar satu jam yang lalu, dia bilang mau istirahat sebentar. Udah kelihatan makin pucet, keringetan banyak. Setelah minimarket sepi nggak ada orang, gue nyusul ke ruang istirahat. Dia udah kayak gini. Gue coba bangunin nggak respons. Sumpah gue takut banget. Tolong bawa dia ke klinik ya, Sa. Habis itu langsung antar pulang aja. Lo tahu rumahnya, nggak?"

Ersa terdiam beberapa saat lamanya. Dan kemudian baru mengangguk mengiyakan pertanyaan Jena.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Bifurkasi Rasa
147      125     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Photobox
6398      1616     3     
Romance
"Bulan sama Langit itu emang bersama, tapi inget masih ada bintang yang selalu ada." Sebuah jaket berwarna biru laut ditemukan oleh Langit di perpustakaan saat dia hendak belajar, dengan terpaksa karena penjaga perpustakaan yang entah hilang ke mana dan Langit takut jaket itu malah hilang, akhirnya dia mempostingnya di media sosialnya menanyakan siapa pemilik jaket itu. Jaket itu milik Bul...
SATU FRASA
15863      3350     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
Ibu Mengajariku Tersenyum
2978      1186     1     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Interaksi
450      333     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Ketos pilihan
790      545     0     
Romance
Pemilihan ketua osis adalah hal yang biasa dan wajar dilakukan setiap satu tahun sekali. Yang tidak wajar adalah ketika Aura berada diantara dua calon ketua osis yang beresiko menghancurkan hatinya karena rahasia dibaliknya. Ini kisah Aura, Alden dan Cena yang mencalonkan ketua osis. Namun, hanya satu pemenangnya. Siapa dia?
Mengejar Cinta Amanda
2225      1191     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
Are We Friends?
4190      1260     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...
Mimpi & Co.
1264      802     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Pasal 17: Tentang Kita
140      60     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....