Binar bekerja dengan semangat. Sementara Ersa memperhatikan dari dalam mobil. Jujur ia agak takjub dengan energi yang dimiliki Binar. Bisa-bisanya manusia tidak tidur sama sekali semalaman? Dan Binar selalu seperti itu setiap hari?
Ersa mengecek ponselnya, ada pesan baru dari Wina.
'Menginap di rumah siapa, Sayang? Maaf Mama baru balas, ya. Baru bisa pegang HP. Kamu jangan lupa makan ya, Nak. Jangan lupa sholat. Mama sayang banget sama Ersa.'
Pemuda itu tersenyum menerima kata sayang dari ibunya. Wina memang selalu semanis itu. Kalau kata gen z, bahasa cinta Wina adalah word of affirmation.
Ersa menulis pesan balasan untuk Wina.
'Di rumah temen sekelas. Oke, Ma. Mama jaga kesehatan juga. Aku juga sayang Mama. Mau cepet ketemu Mama lagi.'
Ersa baru saja mengirim pesan itu. Ia serius, ia benar-benar mau segera bertemu dengan Wina lagi. Ingin menghabiskan waktu berkualitas bersama. Melepas rasa rindu yang sudah lama tertahan.
Ketika Binar selesai kerja di warung pecel tumpang, hari sudah terang benderang. Karena memang sudah jam setengah tujuh lebih.
Binar menggedor kaca jendela mobil Ersa. Ersa menurunkan jendela dengan malas.
"Kenapa, sih?" ketusnya.
"Ya udah, gue pikir lo ketiduran."
"Kan bisa ngintip aja buat lihat. Nggak harus gedor-gedor!"
Binar terkekeh. Sebenarnya wajah Binar terlihat lelah. Matanya pun sayu karena menahan kantuk. Dari dekat seperti ini, Ersa bisa melihat fisik Binar yang jika bisa bicara ... pasti sudah demo besar-besaran minta diistirahatkan.
"Gue udah di atas sepeda ini. Kalau ngintip harus turun dulu. Nanti ngulur waktu. Lo pulang aja sana ... nggak bawa seragam pasti, kan? Gue juga mau pulang dulu sebentar."
Setelah mengatakan itu, Binar bergegas mengayuh sepedanya. Binar agak ngebut, takut terlambat.
Ersa pun segera tancap gas dari sana. Bukannya ngebut, Ersa sengaja berjalan lambat. Karena ia ingin tahu ke mana arah Binar pergi. Ini semua masih berhubungan dengan rasa penasaran Ersa, yang kepo ingin tahu seberapa miskin Binar ... sampai-sampai harus punya beberapa pekerjaan paruh waktu sekaligus?
Ternyata arah rumah Binar searah dengan jalannya pulang. Jarak rumah Binar cukup jauh dari warung pecel tumpang. Sampai di rumah, Binar berlari masuk.
Ada remaja laki-laki yang menyambutnya di ambang pintu. Sudah rapi mengenakan seragam SMP. Itu pasti adiknya Binar yang diceritakan oleh Jena.
Sebenarnya rumahnya Binar tidak jelek-jelek amat kok. Standar lah seperti rumah pada umumnya. Ersa jadi kurang begitu percaya kalau Binar benar-benar miskin.
Ersa sebenarnya juga iri, Binar lelah pulang kerja ... tapi kedatangannya disambut dengan hangat oleh sang adik.
Sedangkan Ersa ... mana pernah disambut begitu setiap kali ia pulang? Siapa yang sudi menyambutnya? Paling juga Pak Hendro. Itu pun hanya sambutan sapaan formalitas.
Duh ... jadi emosi lagi Ersa. Ia buru-buru lanjut tancap gas.
Karena kondisi rumah Binar yang tidak jelek ... Ersa belum mau percaya Binar benar-benar miskin. Makanya Ersa masih belum puas menjalani misinya untuk mencoba jadi Binar.
***
Saat Ersa sampai, Damara sudah berangkat. Elang sebenarnya bersyukur karena tidak harus bertemu dengan Damara. Karena ia pasti akan kenal omel.
"Dari mana Mas Ersa? Saya kaget, datang-datang kok mobilnya Mas Ersa nggak ada. Saya cari ke dalam juga nggak ada. Saya tanya Tuan, ternyata nggak pulang semalaman." Pak Hendro benar-benar jadi satu-satunya orang yang menyambut kedatangan Ersa.
"Aku padahal udah bilang Papa, nginep di rumah temen," jawab Ersa sebelum bergegas masuk.
Ersa mandi secepat kilat. Pakai seragam juga secepatnya. Tak sempat sarapan, ia hanya menyomot 2 lembar roti tawar. Ia makan di dalam mobil.
"Harusnya besok-besok kalau nginep lagi, pulangnya lebih pagi, Mas. Nanti Mas Ersa pasti terlambat." Pak Hendro sudah duluan masuk mobil, duduk di balik kemudi.
"Iya, nanti pasti aku dihukum lagi sama Pak Sastro. Tapi jangan langsung ke sekolah deh, Pak."
"Lha terus ke mana?"
"Nanti aku kasih tahu. Jalan aja dulu."
Pak Hendro dibuat bingung dengan kelakuan Eraa yang tak biasa. Tapi ia mau tak mau harus tetap menurut.
***
Binar mana sempat sarapan. Ia pasrah disuapi oleh Pijar selama memakai sepatu di teras. Walau pun hanya sempat 3 sendok.
"Mas berangkat, Dek. Ojolnya udah Mas pesenin. Uang saku sama ongkos ojol di atas meja." Binar berlari menuju sepedanya.
"Iya, Mas. Hati-hati, ya. Semangat!"
"Kamu juga semangat!"
Binar mengayuh sepedanya secepat kilat. Ia tidak tahu bahwa aktivitasnya sejak tadi dipantau oleh Ersa dari kejauhan.
"Itu adiknya Mas Binar ya, Mas?"
"Iya kali!"
"Ganteng-ganteng ya mereka. Pasti orang tuanya bibit unggul, deh!"
Ersa tidak memberi tanggapan. Hanya menunjukkan tampang kesal.
"Mas Ersa juga ganteng kok. Ganteng pol!" Pak Hendro sadar karena Ersa kesa, sebab lelaki itu malah memuji Binar dan adiknya.
"Udah jalan sekarang, Pak. Agak ngebut aja. Keburu makin telat!"
"Harusnya Mas Binar diajak bareng aja tadi, Mas!" saran Pak Hendro.
"Idih ... ogah! Nanti dia jadi tahu aku pantau!"
Pak Hendro cengengesan. "Ya nggak apa-apa. Sekali-kali menunjukkan kepedulian sama teman itu boleh banget lho. Sering-sering malah lebih baik lagi."
"Siapa juga yang peduli sama dia? Orang aku cuma penasaran pengen tahu kesibukannya. Aku mau membuktikan kalau dia cuma tukang caper!"
"Hah? Tukang caper gimana?"
"Halah, susah jelasinnya. Pak Hendro nggak akan ngerti!"
Pak Hendro makin dibuat bingung dengan kelakuan Ersa. Lelaki itu tancap gas agak dalam, supaya anak majikannya tidak makin terlambat.
Untung Pak Hendro sudah berpengalaman. Jadi jarak tempuh ke sekolah bisa dipercepat. Walau pun pada akhirnya tetap terlambat juga.
"Wah, telat beneran, Mas!"
"Iya, udah tahu!"
Ersa buru-buru turun. Membiarkan Pak Hendro segera pergi.
"Ini lagi ... Ersa telat lagi!" Ia disambut hangat oleh Pak Sastro. "Udah sini gabung sama yang lain!"
Di depan Pak Sastro memang sudah berbaris beberapa siswa yang terlambat.
Ersa segera bergabung. Ia sedang malas berdebat. Jujur, ia ngantuk sekali.
Barusan siswa terlambat itu mendengarkan betapa mantap ceramah Pak Sastro, dengan berbagai hiasan kata mutiara.
Ersa tidak memperhatikan ucapan Pak Sastro. Matanya fokus menatap jalanan di depan. Binar belum terlihat batang hidungnya. Pasti perjalanannya masih jauh. Mengingat kecepatan sepeda pasti kalah jauh dibandingkan kecepatan mobil.
Ersa jadi ingat nasihat Pak Hendro tadi.
"Harusnya Mas Binar diajak bareng aja tadi, Mas!"
Ersa menggeleng, berusaha menepis kata-kata Pak Hendro yang terus terngiang di otaknya.
Kenapa harus diajak berangkat bersama? Toh biasanya Binar juga naik sepeda setiap hari.
Eh, tapi selain kata-kata Pak Hendro ... ada hal lain yang terus terngiang dalam otak Ersa juga.
Yaitu ketika Ersa melihat Binar disuapi oleh adiknya tadi. Sebuah keakraban antar saudara yang tak pernah Ersa rasakan. Saudara saja tak punya, kan?
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor