Binar khawatir tidak ada waktu untuk mampir rumah sakit dulu menemui Pijar. Ternyata semesta sedang sedikit berpihak padanya. Warung nasi pecel tumpang tutup lebih awal saking larisnya.
Masih ada waktu 1 jam untuk bertemu dengan Pijar.
Pijar tidur saat Binar sampai. Wajar jika Pijar banyak tidur, selain karena kondisinya belum pulih, juga pasti adiknya itu bosan sendirian tak ada teman ngobrol. Ngobrol dengan pasien kanan kiri paling hanya sesekali.
Binar sebenarnya tidak ada niat untuk membangunkan adiknya. Tapi baru juga Binar masuk, Pijar sudah langsung bangun. Dan bocah itu menyambut Binar dengan senyumnya yang cerah. Yang seketika turut menciptakan senyum di wajah Binar.
Pijar selalu pucat. Bibirnya juga kering. Namun senyum cerahnya membawa keindahan tak terbanding. Salah satu favorit Binar di dunia ini.
"Kok bangun?" Binar menggeser kursi lebih dekat ke brankar Pija, menyamankan posisi duduknya.
"Ya bangun, lah. Pengen lihat kakakku bentar. Habis ini aku ditinggal sekolah!" Pijar cemberut pura-pura ngambek.
Binar terkekeh. "Sabar, hari Minggu nanti aku bisa temani kamu cukup lama. Aku nggak ada kegiatan yang berhubungan sama sekolah. Cuma kerja aja."
"Yes!" Pijar girang sekali.
"Mas Bin tidur dulu, gih. Agak pucet, kenapa? Nggak enak badan?"
Binar menggeleng. "Biasa, asam lambung semalam kumat. Tapi sekarang udah oke. Harusnya aku yang tanya, kamu gimana? Kapan selangnya dilepas itu?"
Maksud Binar adalah nasal kanula yang kemarin masih disematkan dalam hidung Pijar.
"Semalam, Mas. Alhamdulillah udah bagus saturasi oksigenku. Katanya kalau hari ini baik terus, besok udah boleh pulang."
"Alhamdulillah kalau gitu."
"Ngomong-ngomong novelku lolos seleksi lho, Mas!" Pijar menyampaikan berita baik itu.
Binar bangga sekali pada adiknya itu. "Alhamdulillah. Mas ikut seneng. Tapi ingat, harus nurut sama Mas, soal pengaturan waktu nulisnya."
"Siap, Bos!" Pijar memberikan gestur hormat. "Ya udah, Mas Binar buruan istirahat dulu. Lumayan bisa tidur setengah jam."
"Padahal masih pengen ngobrol sebenarnya, Dek."
"Iya, lah. Aku juga mau. Tapi masa aku tega biarin Mas nggak tidur sama sekali! Udah, buruan tidur!"
Binar siap-siap menggunakan kedua tangannya sebagai bantal, untuk tidur dengan posisi duduk, bersandar pada pinggiran brankar Pijar.
"Mending naik aja nggak sih, Mas? Biar makin berkualitas tidurnya!" Pijar menepuk sedikit sisi kosong di sebelahnya.
"Sempit!"
"Nggak apa-apa dari pada duduk begitu. Agak ndusel sedikit, malah romantis!"
"Romantis mbahmu!" Binar menghujat saran Pijar, tapi nyatanya ia tetap naik ke atas brankar.
Untung mereka berdua langsing-langsing, jadi lah brankar itu muat digunakan untuk berdua.
"Nanti bangunin. Jangan lama-lama, maksimal setengah jam!" pesan Binar.
"Oke!"
Binar mulai memejamkan matanya. Tak butuh waktu lama hingga Pijar mendengar dengkuran halus. Ia memperhatikan wajah damai kakaknya.
"Tidur nyenyak, Mas. Sehat-sehat! Jangan sampai sakit. Pokoknya aku janji bakal berusaha balas semua pengorbanan Mas Binar."
***
"Duh Pijar ... kan Mas bilang maksimal setengah jam!"
Binar baru saja selesai mandi bebek. Alias mandi asal basah.
Ia memakai seragamnya yang terlihat kusut akibat dilipat tapi diletakkan dalam tas.
"Ya sorry, Mas. Habisnya aku nggak tega bangunin Mas Bin."
Pijar merasa bersalah, tapi ia betulan tidak tega membangunkan Binar tadi. Eh, malah Binar bangun sendiri setelah 40 menit tidur.
"Ya tapi kan aku jadi terlambat banyak. Biasanya aku paling terlambat 5 menit. Nanti bisa lebih dari 10 menit."
"Kan aku udah minta maaf."
Pijar meyuapkan bubur ransumnya pada Binar. Toh nanti ia juga tidak akan bisa menghabiskan sendiri. Makanya sekalian ia bagi dengan Binar.
Binar terima-terima saja disuapi. Ia juga lapar. Dan tidak mau ambil risiko asam lambung naik lagi. Sedikit yang penting perutnya terisi.
"Aku berangkat, Dek!" pamitnya.
"Hap satu lagi!" Pijar kembali menodongkan sesendok bubur.
Binar menurut dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Dan langsung berlari pergi setelahnya.
***
Ya tidak salah. Selain dihukum lari keliling lapangan, pagi ini Binar dapat bonus membersihkan toilet segala. Tapi untuk membersihkan toilet, bisa ia lakukan nanti saat istirahat kata Pak Sastro.
Binar ngos-ngosan hebat setelah selesai berlari. Padahal biasanya tidak begini. Pasti pengaruh kondisi fisiknya yang masih belum fit.
Sejenak pijakannya terasa bergoyang. Pandangannya pun menjadi buram. Binar langsung menunduk supaya aliran darahnya cepat mengalir ke kepala.
Merasa lebih baik, Binar segera membersihkan diri ke toilet. Sebelum akhirnya bisa masuk kelas mengikuti pelajaran.
"Lemes, Bestie!" sambut Roy sesaat setelah Binar duduk di sebelahnya.
"Ssstt ... puyeng kepalaku jangan mancing emosi!"
Binar memperingatkan di awal, tidak mau pusingnya makin menjadi-jadi yang akan makin menyiksa dirinya sendiri.
Roy malah tertawa. Tapi ia menurut untuk diam. Lanjut mendengarkan penjelasan guru.
Nyatanya Binar gagal konsentrasi. Kepalanya pusing sejak bangun di rumah sakit tadi. Pusingnya tak kunjung membaik. Binar meletakkan kepalanya di atas meja, berbantalkan kedua tangan.
Guru di depan diam saja. Karena sudah biasa Binar seperti itu. Yang penting prestasi Binar tidak turun.
Sampai jam istirahat tiba, Binar masih dalam posisi yang sama.
"UKS sana!" titah Roy setelah guru keluar kelas.
"Masih disuruh bersihin toilet sama Pak Sastro," jawab Binar lesu.
"Halah, nanti aja kalau lo udah baikan. Memangnya si Sastro mau tanggung jawab kalau lo nyungsep ke lobang WC gara-gara keliyengan?"
Kepala Binar makin pening membayangkan dirinya nyungsep masuk WC.
"Ya udah, deh."
"Dianterin nggak?"
"Males. Bisa sendiri!"
"Nanti jalan sendiri tahu-tahu nyungsep ke tong sampah!"
"Lambemu!" Binar menguncir mulut Roy yang suka bicara sembarangan itu.
Roy meringis-ringis keasinan, gara-gara bekas kunciran tangan Binar di mulutnya. "Wuek!" Roy melet-melet.
Binar terkekeh sembari beranjak dari bangkunya. Berjalan gontai menuju ke UKS seorang diri.
***
Ersa kesal pada dirinya sendiri yang tak tahu diri. Padahal sudah jelas, Damara melarangnya makan mie instan di rumah, karena tahu Ersa selalu sakit perut setelahnya. Perkara acid reflux, alias asam lambung naik.
Apa lagi semalam Ersa makan mie instan jumbo, ekstra pedas pula. Belum lagi minumnya Iced Americano ukuran large. Sebuah combo yang fantastis. Ya jadi lah sekarang asam lambungnya kumat agak parah.
Di rumah tadi ia pura-pura baik-baik saja. Kalau ketahuan Damara malah kena omel. Sudah sakit, malah diomeli.
Jadi ia tetap berangkat sekolah. Tapi sampai sekolah ia langsung menuju ke UKS. Bahkan tasnya pun tidak repot-repot diantarkan ke kelas dulu.
Ia sudah diberi tablet kunyah pereda asam lambung oleh perawat jaga UKS. Sudah reda sih sakitnya. Tapi ya masih tetap sakit. Makanya ia belum kembali ke kelas.
Pintu masuk baru saja terbuka. Muncul orang yang memicu asam lambung Ersa naik lagi.
Kenapa Binar malah ikut-ikutan masuk ke sini, sih? Merusak ketenangan istirahat Ersa saja!
"Ada yang bisa dibantu?" tanya perawat yang jaga di sana, pada Binar. "Pucet begitu, pusing apa kenapa?"
"Asam lambung saya kumat."
"Oalah ... asam lambung lagi. Asam lambung semua. Kalian berdua kebanyakan nongkrong ngopi-ngopi kayaknya, nih!" Perawat itu asal tuduh saja, menyelaraskan fakta bahwa anak muda zaman now kebanyakan memang hobi ngopi sambil nongkrong.
Binar menoleh ke brankar sebelah. Agak kaget tahu itu Ersa. Dua malah sudah duluan di sana. Berarti tadi di kelas tidak ada Ersa, dong? Binar baru sadar.
"Nih." Perawat itu menyerahkan tablet yang Binar minta.
"Makasih, Sus." Binar langsung mengunyah tablet itu.
Kemudian ia berbaring pada brankar kosong lain. Bukan yang di sebelah Ersa. Tapi di ranjang sebelahnya lagi. Menyisakan satu brankar kosong di antara keduanya.
"Kok ya nggak diisi dulu yang sebelahnya itu!" komentar perawat itu.
"Nggak deh, Sus." Binar yang menjawab.
Ersa hanya melirik Binar yang sudah berbaring dengan nyaman. Tak mau asam lambungnya benar-benar naik lagi, Ersa langsung menutup tirai di sebelahnya.
Binar tidak peduli. Justru bagus karena ia tidak perlu repot-repot menutup tirai sebelahnya juga.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor