Ersa baru saja memarkir mobilnya di pelataran minimarket. Tapi ia tidak punya niat untuk keluar. Ia sudah berniat dari rumah. Bahwa malam ini ia tidak akan melakukan bimbel yang terakhir. Supaya tidak ketahuan Damara ... ya caranya jangan pulang dulu.
Bukan tanpa alasan. Sakit perutnya belum reda. Ia sudah kepayahan menjalani bimbel-bimbel sebelumnya. Merasa tidak akan sanggup jika harus melanjutkan jadwal tidak manusiawi selanjutnya.
Lebih baik ia tidur saja. Lumayan nyaman dengan menurunkan posisi sandaran joknya. Ia menyalakan musik instrumental pengantar tidur. Jujur Ersa bukan tipe orang yang mudah tertidur. Kepalanya selalu berisik. Pikirannya selalu penuh.
"Kapan ya gue bisa kayak anak muda lain? Main ... punya temen ... seneng-seneng ... menikmati masa muda yang nggak dateng dua kali. Bukan malah belajar terus, sampai jadi kaum asam lambung akut ... sampai otak berasa mau meledak! Kira-kira Papa pernah merasa bersalah apa nggak, ya ... memperlakukan gue kayak gini?"
Ersa bermonolog dengan dirinya sendiri. Bertanya sendiri, dan dijawab sendiri juga.
"Duh ... kangen banget sama Mama. Mama kira-kira lagi apa, ya? Masih syuting kah jam segini? Mama pasti cape banget. Tapi Mama pasti bahagia. Karena mejalani hidup sesuai dengan apa yang Mama suka."
Ersa tersenyum mengingat wajah cantik Wina. Wanita yang selalu Ersa rindukan kehangatannya.
Tangan Ersa sudah gatal ingin mendial nomor Wina. Tapi ia urungkan. Takut mengganggu ibunya.
Ersa pun meletakkan ponselnya kembali. Pemuda itu mulai memejamkan matanya. Agak lama, sebelum ia akhirnya benar-benar bisa tertidur.
***
Jenar menuju ke ruang istirahat karyawan. Ia harus membangunkan Binar, karena waktu istirahat Binar sudah habis. Seperti biasa, Jena sebenarnya tidak tega. Tapi Binar sudah berpesan padanya untuk jangan lupa membangunkan tepat waktu.
Ya bagaimana Jena mau tega. Binar selalu datang dengan raut wajah lelah, kulitnya pucat, makin hari makin kurus, dan aroma khasnya tak pernah ketinggalan. Bau koyo.
"Bin ... Binar ... bangun dulu. Udah jam 11 lebih." Jena menggoyangkan lengan Binar perlahan.
Dan pemuda itu langsung bangun. Binar butuh waktu penyesuaian diri sebentar, sebelum bangkit dalam posisi duduk.
"Makasih, Jen. Gantian lo istirahat, gih. Gue mau cuci muka dulu." Binar beranjak ke kamar mandi.
"Gue istirahat di depan aja, ngaso sambil ngemil, nemenin lo kerja. Gue tadi siang tidur lama banget. Jadi sekarang gue bener-bener seger," jawab Jena.
Binar terlihat lebih segar setelah keluar dari kamar mandi. Jena membersamai langkahnya kembali ke belakang meja kasir.
"Bin ... coba lihat ke depan! Itu bukannya mobil teman lo yang kemarin, ya?" Jena menunjuk mobil hitam yang terparkir di halaman full paving di depan.
Binar mengikuti arah yang ditunjuk oleh Jena. "Iya, bener kayaknya. Ya berarti dia bimbel lagi di sebelah, Jen."
Jena menggeleng. "Nggak. Soalnya dari pertama dateng tadi, teman lo nggak turun dari mobil sama sekali, Bin."
"Masa?"
"Beneran. Cuma parkir."
"Aneh banget si Ersa." Binar tak habis pikir dengan kelakuan Ersa.
"Coba lihat deh, Bin. Jangan-jangan kenapa-kenapa lagi." Jena parno sendiri. Akibat terlalu banyak nonton cerita kriminal dan kumpulan kasus misterius. Sekarang pikirannya sudah ke mana-mana. "Jangan-jangan teman lo mati di mobil!"
"Huss ... mulutnya, Jen! Astaghfirullah! Kebanyakan nonton video investasi kamu!"
Jena hanya cengengesan. Tapi Binar jadi ingat di sekolah tadi. Ia dan Ersa secara kebetulan sama-sama berada di UKS. Kata suster ... Ersa juga asam lambung.
Sepertinya tidak ada salahnya melihat Ersa sebentar. Hanya untuk memastikan. Jangan-jangan hal ngaco yang dibicarakan oleh Jena ternyata benar. Kan bisa berabe, kalau halaman minimarket ini jadi TKP yang akan dikelilingi garis belang kuning hitam khas kepolisian.
"Coba gue lihat dulu, deh." Binar beranjak lagi dari balik meja kasir.
Langkahnya cepat keluar dari pintu minimarket. Agak ragu mendekat pada mobil Ersa. Apa lagi kalau ingat betapa menyebalkan manusia satu itu.
Binar coba mendekat ke arah jendela. Ternyata benar Ersa ada di dalam. Sedang tidur.
Eh ... gara-gara ucapan Jena tadi, Binar juga jadi ikut parno. Itu Ersa betulan tidur atau ....
Binar pun akhirnya mengetuk kaca jendela. Sengaja agak keras, niatnya supaya Ersa cepat bangun.
Tapi ternyata keputusan Binar mengetuk kaca jendela dengan keras itu ... salah.
Karena Ersa terbangun dengan terkejut. Seperti orang yang segaja dikagetkan.
Ersa seketika duduk tegak, tidak bersandar nyaman seperti sebelumnya. Ersa terlihat kebingungan. Jujur Binar merasa bersalah. Tahu lah ia rasanya dibangunkan dengan mendadak dikombo dengan suara yang keras.
Ersa mengernyit karena perutnya masih perih. Kepalanya juga berdenyut-denyut. Ia menoleh menyadari ada seseorang di balik pintu mobilnya.
Pikiran Ersa mulai mencerna. Dan akhirnya ia tahu, tersangka yang sudah membangunkannya ada orang itu.
Iya, manusia paling menyebalkan di dunia baginya ... si Binar-Binar itu!
Dengan emosi yang kembali memuncak, Ersa langsung membuka pintu mobilnya. Matanya nyalang menunjukkan betapa ia sangat marah pada Binar.
"Bisa nggak sehari aja jangan mancing emosi? Apa maksud lo gedor-gedor begitu? Mau bikin gue serangan jantung? Seneng gue mati?"
Binar sudah tahu akan seperti ini. "Nggak ada maksud jelek sama sekali. Cuma mastiin lo baik-baik aja. Soalnya aneh nggak turun dari mobil."
"Apa nggak bisa ngintip dari jendela? Nggak bisa lihat gue tidur?"
"Ya lihat ... tapi kan bisa jadi nggak sedang tidur."
"Lo ngarepnya apa kalau nggak tidur? Udah jelas-jelas mata gue merem!"
"Uhm ... sebenarnya lo tadi memang kelihatan seperti sedang simulasi mati."
Binar sengaja bicara seperti itu. Kadang ia heran, kenapa emosi Ersa selalu meledak-ledak. Padahal niatnya baik. Apa susahnya dihargai sedikit?
Ya mungkin Binar memang salah karena menggedor terlalu keras. Tapi sepertinya terlalu berlebihan jika Ersa seemosi ini padanya.
Kadang Binar bingung, apa salahnya? Sehingga Ersa selalu sentimen padanya?
Ersa dengan cepat turun dari mobilnya. Membanting pintu ketika kembali menutupnya.
"Maksud lo apa ngomong begitu? Simulasi mati? Lo aja yang mati sana!" Ersa mendorong Binar agak keras.
Karena Binar tidak siap, ia terdorong sampai jatuh terduduk.
Jena yang memperhatikan dari dalam minimarket, segera berlari keluar. Sepertinya interaksi antara Binar dan Ersa sudah menjurus ke arah tawuran.
"Weis ... kenapa malah dorong-dorong, woi!" Jena melotot pada Ersa.
Ia pikir Ersa itu kalem di balik sikap dan tampang cool yang terpampang nyata. Tapi ternyata ada sifat bar-bar di balik itu semua.
"Lemah banget didorong gitu doang jatuh!" ledek Ersa.
"Ya Binar lagi nggak siap. Lagian Binar emang lagi kurang sehat!" Jena yang menjawab.
Ersa menyeringai. "Belain aja terus! Udah sana, sekalian ditimang-timang di dalem!"
Jena sudah bersiap menjawab ucapan Ersa lagi. Tapi dicegah oleh Binar.
"Uda. Buang-buang tenaga. Mending kita balik kerja. Ini orang emang nggak bisa dikasih hati. Yang dia tahu cuma marah-marah."
Binar baru saja berdiri sembari menepuk-nepuk pelan bokongnya yang agak sakit gara-gara jatuh tadi. Jena untungnya menurut pada Binar. Mereka berjalan beriringan untuk kembali ke dalam minimarket.
Namun kemudian atensi mereka kembali teralihkan. Suara seperti benda jatuh yang cukup keras, dari arah belakang. Kompak sekali mereka menoleh, kompak juga pasang wajah syok.
Melihat manusia bernama Ersa yang tadi baru saja marah-marah. Baru saja mengatai Binar lemah ... malah tahu-tahu terkapar pasrah, di sebelah ban mobilnya sendiri.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor