Binar tidak langsung kembali ke kamar Pijar. Ia kini berdiri di depan wastafel, berhadapan dengan cermin yang merefleksikan dirinya.
Dokter Surya memang menolongnya menalangi biaya obat Langit. Tapi obat itu harus terus dikonsumsi sementara waktu ini. Tidak mungkin Binar terus menjagakan bantuan dokter Surya selama waktu itu.
Binar melepas kalung yang melingkar di lehernya. Kalung emas dengan liontin berbentuk semanggi.
Kalung ini adalah pemberian kedua orang tuanya. Kalung yang istimewa, sebab pada liontin semangginya ... terdapat inisial nama mendiang kedua orang tuanya.
Inisial itu adalah WD. Wanda dan Dimar.
Karena ini adalah kenang-kenangan dari kedua orang tuanya, Binar selalu memakai kalung ini, tak pernah melepaskannya, dalam keadaan apa pun.
Namun saat ini, Binar sedang butuh uang untuk membayar obat Pijar selanjutnya. Sepertinya terlalu egois, jika ia ngeyel mempertahankan kalung ini. Sementara nyawa adiknya lah yang jadi taruhannya.
Sebenarnya gaji yang didapat Binar sudah cukup banyak, apalagi dia punya 3 pekerjaan.
Hanya saja banyak hal-hal tak terduga. Obat yang tidak dikover asuransi pemerintah itu ... cukup mahal.
Sepertinya Binar berencana akan menjual kalungnya saja.
Atau ... bisa digadaikan mungkin?
Setidaknya ia tidak akan sepenuhnya kehilangan kalung yang berharga ini. Ia masih bisa mengumpulkan uang lagi sedikit demi sedikit untuk menebus cicilan gadainya.
Rasa rindunya pada kalung ini nanti masih bisa ditahan. Sementara obat untuk Pijar, tidak bisa ditunda pemberiannya.
***
Binar pasang tampang ceria saat kembali masuk kamar Pijar. Adiknya itu sudah menyambutnya dengan tatapan yang penuh tanya. Pijar pasti sudah menunggunya sejak tadi -- juga menunggu cerita Binar, soal apa yang sudah diberi tahukan dokter Surya -- tentang perkembangan kondisinya.
Binar sengaja pasang tampang ceria, supaya Pijar tidak terlalu tegang. Binar akan jujur. Namun ia punya cara cerita yang bisa diterima oleh Pijar ... tanpa harus menambah beban kerja jantung adiknya.
"Gimana, Mas? Apa kata dokter Surya?"
Binar duduk di kursi sebelah brankar terlebih dahulu. Ia masih mempertahankan senyum indahnya.
"Nggak apa-apa. Cuma debar jantung kamu itu nggak beraturan, Dek. Tapi tenang, itu bukan sesuatu yang buruk, kok."
"Obatnya nambah?"
Binar mengangguk. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu sembuh dulu, kan? Kamu kan udah pinter minum obat. Tambah satu resep lagi pasti bukan masalah besar. Sama jadwal check up kamu perlu ditambah intensitasnya untuk sementara waktu."
"Bukan masalah aku keberatan minumnya, Mas. Tapi obatnya dikover asuransi, nggak? Obatnya mahal apa nggak?"
"Astaghfirullah ... tanya satu-satu, Dek! Hehe. Obatnya nggak dikover asuransi. Tapi kamu nggak usah khawatir. Kamu jangan remehkan gaji Mas, dong! Rugi Mas punya 3 kerjaan sekaligus ... kalau ternyata nggak bisa buat beliin kamu obat! Lagian yang resep awal, ditalangi sama dokter Surya, Alhamdulillah."
"Serius gaji Mas cukup buat nebus resep yang selanjutnya?"
Binar mengangguk tanpa keraguan. Binar sebenarnya punya bakat akting, kan? Ia sudah layak mendapatkan piala Oscar sebagai actor of the year.
"Mas udah kasih semuanya ke aku. Makasih, Mas. Aku akan berusaha menang dalam lomba. Nanti uangnya semua bakal aku kasih ke Mas. Hitung-hitung buat sedikit balas jasa buat Mas. Aku janji, aku bakal hasilkan banyak uang di masa depan ... buat membahagiakan Mas Binar."
Air mata Pijar sudah menetes.
"Kok malah nangis! Udah dong, Dek. Malu itu dilihat pasien sebelah!" Binar menghapus air mata adiknya.
Pasien brankar sebelah seusia Pijar, korban tabrak lari. Bocah itu memang tersenyum geli melihat Pijar menangis.
Tapi Pijar cuek saja. Ia lanjut menangis sampai puas.
Binar sebenarnya terharu dengan kata-kata yang diucapkan oleh Pijar tadi. Ia pun juga ingin menangis saking terharunya. Tapi jelas ia tahan tangis itu.
***
Binar baru ada waktu untuk mengecek ponselnya. Pijar sudah tertidur lagi, setelah menangis tadi. Ada banyak pesan dari Roy.
'Kenapa tahu-tahu cabut? Langit kenapa?'
Binar tersenyum karena Roy langsung tahu kepergiannya berhubungan dengan Pijar.
'Si Ersa nyebelin banget. Bu Endah nyuruh dia bikin dispensasi buat lo ke guru piket. Eh, malah nyuruh gue. Itu orang kenapa, sih? Curiga dia sebenarnya cewek! Habisnya PMS terus!'
Kali ini Binar tertawa seketika.
Dari pada suara tawa kecilnya mengganggu istirahat Pijar, dan pasien lain dalam kamar ini, Binar akhirnya memutuskan untuk keluar ruangan.
Binar duduk di salah satu bangku panjang yang menempel di dinding. Kemudian baru lanjut membaca pesan Roy lagi.
'Bales dong, Bin! Masa nggak ada waktu buat bales sama sekali?'
Itu dikirimkan oleh Roy 10 menit yang lalu. Dari pada ia balas melalui chat juga, Binar memutuskan untuk mendial nomor Roy saja. Ia mau bicara agak lama dengan Roy.
"Woi, akhirnya ada kabar juga lo. Jadi si Pijar kenapa lagi?"
"Tadi pingsan di sekolah. Terus dibawa ke UGD. Tapi Alhamdulillah sekarang udah nggak apa-apa kok."
"Alhamdulillah kalau gitu. Ini gue lagi duduk di tempat guru piket. Nungguin ada yang balik. Jam istirahat pada ngilang!"
"Haha, namanya aja jam istirahat, Roy. Tapi makasih, lho!"
"Tapi gue beneran kesel banget sama si Ersa. Pengin tak kunyah ubun-ubunnya."
Binar tak bisa menahan tawanya kali ini. Tapi ia tahan-tahan supaya tidak terlalu lepas.
"Tadi lo dipanggil sama Bu Aisyah!" Roy menyampaikan informasi penting itu.
"Dipanggil kenapa?"
"Ya mana gue tahu. Palingan ada lomba, kayak biasanya. Ersa semangat banget. Dia lagi ketemu sama Bu Aisyah sekarang. Kayaknya aji mumpung banget. Mumpung lo nggak ada!"
"Oh, Ersa juga dipanggil."
"Iya, kalian berdua dipanggil. Dia over semangat sampai melalaikan tugasnya sebagai ketua kelas. Asem emang!"
"Sabar, Roy ... sabar!"
"Lo kan tahu gue ini orangnya sabar. Ya cuma sama si Ersa doang nggak sabarnya!"
Binar tergelak lagi. "Roy, gue sebenarnya mau cerita sesuatu."
"Cerita apaan? Ya cerita aja, mumpung belum bel." Suara Roy berubah dalam mode serius.
Binar menceritakan perihal obat baru Pijar, dan juga rencananya menjual kalung.
"Lah ... jangan, Bin! Kalung itu kan berharga banget buat lo."
"Ya terpaksa, Roy."
"Bin ... sesekali minta tolong itu nggak dosa, lho. Lo punya sahabat yang berhati malaikat bernama Roy ini. Sekadar mengingatkan kalau lo lupa. Lo butuh berapa, sih? Gue transfer sekarang. Atau nanti pulang sekolah gue antar tunai ke rumah sakit!"
"Nggak enak, Roy."
"Apanya yang nggak enak? Kalau lo nolak ... gue nggak mau temenan sama lo lagi!"
"Yah ... jangan gitu dong, Roy!"
"Ya makanya itu, lo harus mau terima uang dari gue! Gue tahu kalung itu berharga banget buat lo. Hidup lo udah cukup menyedihkan, Bin. Jangan ditambah kadar kesedihannya, dengan kehilangan kalung itu!"
Binar berpikir keras untuk memutuskan hal ini. "O-oke ... gue mau. Tapi gue nggak mau terima cuma-cuma. Gue maunya ini adalah hutang. Gimana?"
"Astaghfirullah ... terserah lo, deh! Yang penting terima dulu uang gue. Biar bisa beliin obat buat Pijar."
"Iya, Roy. Makasih, ya."
"Sekali lagi bilang makasih, bukan duit yang gue kirim, tapi santet!"
Binar tergelak sekali lagi akibat bakat melawak alami Roy.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor