Ketika bangun, Pijar sudah berada di kamar rawat. Ia lihat Binar tertidur dalam posisi duduk, dengan berbantalkan kedua tangan, yang diletakkan di atas pinggiran brankar. Binar masih pakai seragam sekolah.
Mereka tidak sendiri. Mengingat asuransi mereka kelas 3, jadi kamar rawatnya pun menyesuaikan. Ada 6 brankar yang dibatasi sekat kelambu. Dan yang terisi ada 3 brankar.
Pijar coba mengingat apa yang terjadi. Sudah cukup lama sejak terakhir kali ia opname. Mengingat semenjak menginjak usia remaja, penyakitnya jarang kambuh.
Pijar ingat. Tadi saat pelajaran matematika, ada kuis dadakan dari Pak Mukhlis. Kondisi Pijar memang sudah turun sejak semalam. Namun anak itu tidak terlalu mengindahkan sinyal tubuhnya. Ia hanya mengandalkan pikiran positif, yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Ternyata ia kalah oleh kuis matematika. 'Payah!'
Kasihan Binar, harus izin sekolah demi dirinya.
Bertambah lagi lah kesibukan kakaknya. Binar sudah cukup lelah dengan semua rutinitas harian yang seakan tak ada habisnya. Malah Pijar mengerjainya seperti ini.
Pijar menyentuh telapak tangan kakaknya perlahan. Cukup untuk membuat Binar seketika terbangun. Bukan sekadar bangun, Binar sampai tersentak. Seperti baru saja dibangunkan dengan keras.
Pasti itu karena kondisi psikis Binar, yang dipenuhi rasa khawatir pada Pijar. Makanya sedikit-sedikit langsung kaget dan panik.
"Alhamdulillah, kamu udah bangun, Dek. Gimana? Ada yang sakit? Masih sesek? Sakit nggak dadanya?" Binar langsung memberondong Pijar dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
Napas Pijar jadi sesak betulan karena rentetan pertanyaan itu. Bukan karena jantungnya kumat lagi. Tapi karena ia merasa bersalah.
"Maaf ya, Mas." Suara Pijar bergetar di balik masker oksigennya.
"Kok malah minta maaf?" Binar kebingungan, seraya menyugar rambut Pijar.
"Maaf aku nggak bisa jaga diri."
"Bukan salah kamu. Ngapain minta maaf?"
"Tadi Pak Mukhlis ngomong apa, Mas?"
Walau Pijar sama sekali tidak sadar dalam prosesnya dibawa ke rumah sakit. Tapi ia sudah tahu bahwa wali kelasnya lah yang mendampinginya selama proses itu berlangsung. Sebab dulu juga begitu. Apa lagi tadi kejadiannya saat kelas Pak Mukhlis juga.
Binar tersenyum tipis. "Beliau nyeritain kronologi kamu pingsan waktu kuis matematika."
"Terus ngomong apa lagi?"
Binar tahu apa yang sedang dikhawatirkan oleh Pijar. "Beliau bilang, katanya kamu ikut kompetisi menulis novel."
Tampang sedih Pijar semakin kentara. "Mas Binar nggak marah?"
Binar terkekeh kali ini. "Nggak. Masa adik Mas ikut lomba marah. Justru Mas bangga, dong! Tapi lain kali, kalau mau ikut-ikut lagi ... harus bilang dulu, ya."
"Maafin aku ya, Mas. Aku sebenarnya bukan mau menyembunyikan. Tapi aku nggak mau Mas Bintang makin sibuk mikirin gimana aku harus bagi waktu, supaya nggak nge-drop. Ternyata aku gagal ngatur waktu sendiri. Aku janji lain kali bakal lebih tahu diri."
"Hei ... nggak gitu maksudnya. Kenapa tahu diri segala, sih? Pokoknya janji, jangan diulangi lagi! Jangan dibiasain nggak terbuka sama Mas. Jangan bikin Mas merasa nggak dibutuhkan sama kamu."
"Ya mana mungkin. Mana bisa aku hidup tanpa Mas Binar. Aku butuh Mas Binar selamanya!"
Binar baru saja menekan tombol nurse call di sebelah brankar Pijar. "Oke. Aku juga senang kamu bergantung sama aku, Dek."
Seorang perawat baru saja datang. Memeriksa saturasi oksigen Pijar, yang ternyata sudah cukup baik.
"Maskernya saya lepas, ya. Diganti sama nasal kanula, supaya lebih nyaman." Suster itu mohon izin terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan.
Pijar hanya mengangguk pasrah. Toh ini juga demi kenyamanannya sendiri.
"Mas Binar, saya dapat pesan dari dokter. Mas Binar suruh nemuin beliau di ruangannya sekarang." Perawat itu menyampaikan amanah yang ia emban.
Binar dan Pijar saling bertatapan sekilas. Sel otak mereka sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang sama.
"Baik, Sus. Terima kasih." Binar beralih pada Pijar. "Mas keluar dulu sebentar, ya. Kamu baik-baik di sini. Itu HP kamu di atas nakas, biar nggak gabut!"
Pijar terkekeh. "Iya, Mas."
***
Binar sebenarnya takut masuk ke dalam ruangan dokter Surya -- yang sekarang sudah ada di hadapannya. Namun tangan itu tetap bergerak untuk memutar knop.
Dokter Surya segera menatapnya, yang baru kelihatan sedikit, sebab pintu belum ia buka sepenuhnya.
"Ayo silakan masuk, Binar." Dokter Surya seakan tahu anak itu sedang ketakutan, butuh sedikit dorongan supaya lebih berani.
Binar terkekeh malu. Sedikit mempercepat pergerakannya.
"Silakan duduk, Bin." Wajah dokter Surya dihiasi senyum yang menenangkan. Namun ternyata tidak berhasil untuk membuat Binar ikut tenang.
Ia duduk di hadapan dokter Surya. Mempersiapkan jantungnya sendiri, supaya tidak terlalu heboh setelah mendengar apa pun yang akan diucapkan oleh dokter Surya setelah ini.
"Jadi begini, Binar. Setelah pemeriksaan irama jantung yang kami lakukan ... adik kamu mengalami aritmia. Yaitu, ketidak stabilan irama jantung. Oleh karenanya, kami harus menambah obatnya. Nanti Pijar harus check up lebih sering juga. Tapi tenang, ini hanya sementara. Setelah irama jantungnya teratur, pengobatan Pijar bisa kembali seperti sebelumnya. Untuk check up-nya, bisa dicover sama asuransi. Namun untuk obat tambahannya ... maaf harus saya sampaikan ... belum ada obat yang terdaftar masuk dalam jenis-jenis obat yang tercover asuransi."
Dokter Surya pelan-pelan sekali menjelaskannya. Ia bisa melihat perubahan air muka Binar. Sebab sang dokter sangat tahu bagaimana kondisi keluarga kecil Binar dan Pijar. Mengingat sang dokter sudah kenal mereka sejak masih kecil dulu. Sejak mereka masih punya orang tua.
Sebenarnya bukan hal sulit bagi dokter Surya untuk membantu mereka -- untuk mengkover beberapa obat Pijar yang tidak terdaftar dalam asuransi -- yang sekarang malah tambah.
Tapi ... Binar yang tidak mau merepotkan.
"Jangan, Dok. Saya punya pekerjaan kok. Saya bisa usahakan buat bisa bayar obatnya Pijat sendiri. Saya nggak mau hutang budi, Dok. Hidup kami sudah berat. Jangan makin dibebani dengan hutang budi."
Begitu jawaban Binar setiap kali dokter Surya menawarkan bantuan.
Namun dokter Surya sepertinya tidak bosan, untuk menawarkan hal yang sama pula.
"Untuk obat yang baru saja ... biar saya yang tanggung soal itu, Binar. Tolong kamu setuju, ya! Ini demi Pijar. Demi kamu juga. Supaya kamu nggak terlalu cape kerja. Kasihan badan kamu, Bin."
"Memangnya obat barunya semahal itu, Dok?"
"Harganya sih, hampir sama seperti obat rutin Pijar yang lain. Hanya saja, Pijar akan butuh terus obatnya, kan. Izinkan saya bantu untuk obat yang baru saja. Gimana?"
Binar tersenyum. "Dokter Surya baik sekali sama kami. Terima kasih ya, Dok. Saya doakan Dokter sekeluarga senantiasa berkah hidupnya. Saya janji, suatu saat nanti saya akan balas kebaikan Dokter Surya."
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor