Nenek Sihir yang dimaksud oleh Binar, adalah pemilik warung soto daging tempat remaja itu bekerja. Warung Soto bernama 'Soto Daging Mbah Siti' itu, buka dari jam 4 sore, sampai jam 9 malam.
Tapi lebih sering tutup sebelum itu, karena selalu langsung diserbu oleh pembeli begitu buka.
Lokasinya strategis, mudah ditemukan. Salah satu sebab warung itu selalu ramai, selain karena memang sudah terkenal dengan rasanya yang autentik.
Kalau istilah zaman sekarang, sotonya sudah menjadi legenda.
"Telat lagi kamu, Binar! Saya kebingungan dari tadi melayani pembeli sendirian. Kalau emang udah nggak niat kerja, mulai besok kamu nggak usah balik lagi. Sejak awal saya udah kasih tahu kamu, boleh kerja walau masih sekolah. Tapi kamu nggak boleh menggunakan alasan sekolah untuk bisa datang terlambat!"
Binar sudah tahu ini akan terjadi ... diomeli lagi. "Maaf ya, Mbah. Saya pulang sekolah langsung ke sini, ganti baju doang di rumah, langsung nggenjot sepeda lagi!"
"Alasan aja kamu! Udah sana cepat bikin es teh sama es jeruk! Kayak biasanya, buat yang banyak sekalian, biar nanti orang-orang ambil sendiri di meja. Habis itu cepat ke sini buat antar-antar pesanan!"
"Iya, Mbah."
Binar buru-buru terjun ke dapur -- dari pada diomeli lebih parah. Saking ramainya, malam ini warung sudah tutup pukul 8. Binar dan Mbah Siti baru saja selesai beres-beres.
Mbah Siti sedang menghitung hasil penjualan hari ini. Hasil kerja Binar selama 4-5 jam di sini, dihargai 50 ribu. Tapi Mbah Siti selalu memberi bonus. Kadang 10 ribu. Kadang 20 ribu.
"Makasih ya, Mbah Tapi Mbah Siti apa nggak rugi kasih aku bonus terus tiap hari?"
"Nggak. Udah Mbah hitung semuanya kok. Itu bukan bonus, itu uang jajan. Tiap lihat kamu, Mbah selalu ingat cucu. Kangen sama cucu-cucu tapi ketemu pas lebaran doang."
Binar tersenyum. Memang sebenarnya Mbah Siti itu orangnya baik. Hanya saja orangnya bersumbu pendek. Gampang tersulut emosi di saat genting.
Contohnya saat warung sedang ramai-ramainya, tapi Binar malah terlambat. Makanya Binar sampai punya panggilan sayang padanya -- Nenek Sihir.
Kalau sudah tutup begini -- saat kondisi sudah tenang -- Mbah Siti akan berubah menjelma dalam mode malaikat.
"Semoga rezekinya Mbah Siti tambah berkah. Maaf kalau aku suka terlambat. Sumpah, habis pulang sekolah aku langsung ke sini. Nggak ke mana-mana."
"Iya, Mbah percaya kok. Mbah cuma emosi sesaat aja, panik melayani pembeli sendirian."
"Aku ngerti kok, Mbah. Ya sudah, kalau gitu aku pamit dulu. Siap-siap mau ke minimarket."
"Iya, kamu jangan lupa istirahat dulu nanti, Bin. Kasihan badannya diforsir terus. Masa kamu lebih jompo dari pada Mbah. Deretan koyonya lebih banyak. Sampai wanginya semerbak."
Binar terkekeh. "Iya, Mbah. Lumayan nanti masih ada waktu sejam buat istirahat."
***
"Bin ... Binar! Bangun, woi! Udah waktunya ganti shift!"
Sayup-sayup Binar mendengar suara temannya. Binar tadi memang sengaja langsung ke minimarket saja pasca selesai bekerja di warung soto Mbah Siti.
Binar langsung masuk ke ruang istirahat yang memang disediakan untuk para karyawan. Ia berpesan pada temannya untuk membangunkan jika sudah pergantian shift. Dan itu adalah sekarang.
Binar mulai membuka matanya. Disambut oleh sensasi berputar yang membuat mual.
"Buruan sana cuci muka, ganti baju, Bin! Gue mau buru-buru pulang, udah cape kerja seharian."
Binar belum bicara sepatah kata pun, hanya sedang berusaha memaksakan dirinya untuk beranjak, berjalan sempoyongan ke kamar mandi.
Bukan sekadar cuci tangan, Binar sekalian mengguyur seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Lumayan sensasi dingin yang mengenai kepalanya, sedikit meringankan rasa sakit dan pusing yang berpusat di sana.
Binar memulai pekerjaannya dengan rona yang tidak segar, walau kenyataannya ia habis mandi. Kalau sedang terlalu lelah, Binar bisa langsung pucat pasi seperti tidak ada aliran darah sama sekali dalam tubuhnya. Selalu seperti itu dari dulu.
Binar bekerja sebagai kasir di minimarket ini. Mejalani shift malam, dari mulai jam 9 sampai jam 4 pagi.
"Bin ... lo udah makan?" tanya Jena, partner satu shift Binar.
"Tadi sore udah makan roti, Jen," jawab Binar.
"Roti doang mana kenyang, Bin! Lo makan roti berapa banyak emangnya?"
"Satu tangkap, isi cokelat!"
"Itu sih ngemil doang, Bin! Makan, yuk. Mumpung belum ada yang mau bayar. Gue bawa bekal dobel. Sengaja bawain lo juga. Soalnya gue tahu lo orangnya males makan."
Binar terkekeh. "Perhatian amat, Jen. Makasih, ya. Sebenarnya gue emang mulai laper. Niat mau beli pentol aja di depan nanti. Eh, ternyata dapat rezeki."
Jena senang karena Binar tidak menolak pemberiannya. Ia segera menyodorkan salah satu kotak bekalnya. "Gue sendiri yang masak, lho."
"Wuih ... keren!" puji Binar tulus.
Binar sebenarnya tidak enak pada orang-orang yang sering memberi ini itu padanya. Tapi mau menolak juga tak enak. Dulu Binar pernah menerima pemberian Meira temannya Pijar.
Eh ... Meira malah terus memberinya makanan dari rumah setiap hari. Sampai-sampai Binar terpaksa menolak pemberiannya. Rasanya benar-benar tidak enak diberi terus.
Binar dan Jena duduk bersama di meja kursi yang tersedia. Pelanggan belum terlalu ramai, jadi masih banyak kursi kosong.
"Lo makan kayak balita GTM, Bin," celetuk Jena tiiba-tiba.
"Hah? Balita GTM apaan?"
"Itu, gerakan tutup mulut. Yang kalau disuapin, bikin emaknya ngamuk. Perkara anaknya makan diemut terus, ngunyahnya lama, mau dimasukin makanannya malah mingkem!"
Binar langsung tertawa. "Ya gimana ya. Dari dulu gini. Selaper apa pun, gue nggak bisa makan cepat. Ya benar kata elo, ngemut. Gue males ngunyah."
"Jangan dibiasin gitu, Bin. Kasihan kalau elo rebutan duren di tongkrongan, bisa-bisa elo cuma kebagian sebiji!"
Binar tertawa lagi. Padahal makanan masakan Jena ini enak. Tapi Binar tetap lama sekali makannya.
"Kayak gue gini, Bin. Makannya lap-lep cepet! Dulu pas masih balita, gue disuapin pinter. Sampai secentong-centongnya ikut masuk."
Binar lagi-lagi dibuat tertawa karena celetukan Jena. Gadis ini sejak dulu memang jenaka. Salah satu teman terbaik yang dimiliki Binar.
***
Jam 4 pagi, Binar rasanya sudah mau tepar. Minimarket sedang persiapan tutup. Bintang mandi lagi, mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin.
Daftar pekerjaannya belum selesai. Masih ada satu lagi.
Bohong kalau Binar tidak lelah. Rasanya seluruh tubuhnya remuk. Alasan terbesar kenapa ia jadi pemuda yang bau koyo.
Binar mengayuh sepedanya dengan sedikit malas. Ia menuju ke salah satu warung penyedia sarapan khas orang Kediri. Yaitu warung nasi tumpang dan pecel.
Pecel mungkin sudah cukup familier untuk semua orang. Tapi Tumpang, belum banyak yang tahu. Karena itu memang khas. Semacam masakan yang diolah dari tempe busuk, berpadu dengan udang rebon, cabai dan santan.
Jika belum terbiasa, mungkin tak akan suka. Tapi untuk yang sudah terbiasa, nasi tumpang akan terasa sangat nikmat.
Binar membantu berjualan di salah satu warung. Jam kerjanya hanya sebentar. Paling lama 3 jam. Tapi lebih sering 2 jam sudah selesai. Karena sudah habis.
"Ayo, Bin. Agak cepat, sudah antre." Tidak seperti Mbah Siti yang bersumbu pendek, Bu Reta sang bos Pecel Tumpang senantiasa ramah. Paham dengan kondisi Binar.
Walaupun Binar cukup sering terlambat juga. Ya bagaimana, ya. Jam kerjanya tumpang tindih. Sudah mirip lomba lari estafet.
Tapi walau semua terasa sulit dan melelahkan, Binar tetap selalu berusaha menjalani semuanya dengan ikhlas. Karena kalau bukan dirinya yang berjuang seperti ini ... siapa lagi?
Setiap kali ia lelah dan ingin menyerah, ia selalu ingat dengan Pijar. Maka setelah itu, semangatnya akan kembali membara.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor