Loading...
Logo TinLit
Read Story - Interaksi
MENU
About Us  

 

Anggota yang memiliki tanda kelas dua belas di baju lengan kirilah yang mendominasi ruang musik. Kemana kelas sebelah? Aku takkan mempertanyakan dimana kelas sepuluh berada selain diriku dan Anbi. Selain itu, ruangan begitu pengap oleh alat musik marching band, entah itu berbagai jenis drum atau alat musik tiup. 

 

Dari penjelasan senior yang mengajakku menimbangkan untuk bergabung eskul, katanya, “Ruang kosong cuma ada ini doang. Sedikit sempit, tapi nggak apa. Lagian anggota kita nggak puluhan kayak marching band.”

 

Ya begitulah.

 

“Lo beneran berhasil rekrut dua anak kelas sepuluh, Pan?” Salah satu dari mereka yang memegang stick drum bersuara riang. “Wahh, penerus band sekolah, Pan.”

 

Panji, orang yang merekrut kami itu menunjukkan cengir lebarnya. “Belum jadi, Yan. Mereka mau liat-liat dulu. Nanti gue sodorin formulirnya dan tetep maksa biar mereka tanda tangan.”

 

Anbi terkikik. Dia bergabung ke dalam obrolan dengan mudahnya dan aku berdiam diri di belakangnya. Ditawari mencoba gitar eletrik, aku meneguk ludah saat jemariku gemetaran memegang alat musik yang pernah kuidamkan.

 

“Biasa aja, Dek. Jangan gemetaran gitu.” Yudis, dikenal sebagai pemain gitar diklub mengejekku. Aku nyengir tak tahu malu seraya merenggangkan otot-otot jari sebelum memosisikan pada senar. “Ohh, boleh juga,” pujinya.

 

Hanya satu riff yang kumainkan. Tak sempurna, aku bahkan menyadari kesalahan dan menyayangkan bahwa aku pernah memutuskan berhenti bermain musik. Ternyata, rasanya masih menyenangkan.

 

“Gue berhenti dua tahun, Kak,” jawabku mendapati pertanyaan soal pengalaman bermain alat musik petik ini. 

 

Aku mengukir senyum kecil saat pertanyaan lain diajukan, “Kenapa? Skill lo bagus loh. Bisa ngalahin Yudis, haha.”

 

Aku mengeratkan genggamanku pada kepala gitar. Sedikit tak nyaman, aku mengatakan, “Soal itu … banyak alasan, Kak.”

 

Aku menyadari diperhatikan oleh netra cerah Anbi di seberangku, maka aku sibuk mengalihkan pandangan. Kemudian, cowok berliontin merah itu mendapatkan giliran untuk unjuk bakat. Kali ini, aku yang memerhatikan tanpa kedip. Bagaimana bisa jari-jari Anbi membuat irama menyenangkan dari keyboard yang membuatku ingin mendengarnya kembali

 

“Kalian berdua harus gabung band, maksa nih.” Panji tetap bersikukuh setelah bersorak paling kencang. Anbi tampak senang sekali dipuji dan menikmatinya. “Seminggu cukup ‘kan buat kalian ambil keputusan gabung band?”

 

Aku mengangguk, begitupula dengan Anbi. 

 

“Di sini ada aturan nggak tertulis.” Drummer yang mengenalkan dirinya sebagai Bagas sekaligus ketua band memberitahu, “jika anggota punya hubungan asmara dan mengganggu aktivitas band, kami akan mengeluarkannya tanpa toleransi. Yah, sekalipun kami butuh anggota, kalau anggotanya nggak konsisten untuk apa?”

 

“Terutama lo Anbi,” tambah Panji. Aku melirik Anbi yang mengulas senyum dan aku tak memahami bagaimana mata mereka saling pandang seolah menyelaminya. Apa kutipan ‘mata saling berbicara’ itu sedang terjadi?

 

Tak lama kemudian setelah para senior memamerkan lagu ciptaan mereka yang berjudul Tujuh Belas, kami bubar dan membereskan alat musik. Langit sore memantulkan warna jingga saat keluar dari ruangan. Para senior membawa kendaraan mereka, maka tersisa aku dan Anbi yang masih berjalan menuju halte bus.

 

“Lo bakal gabung?” tanya Anbi sambil mengenakan jaket denimnya. “Aku masih memikirkannya dan tak ingin mengambil keputusan tergesa,” jawabku seperti itu. Anbi hanya mengangguk-angguk seraya melipat lengan jaketnya sekali.

 

“Apa lo nggak kepanasan dengan rambut sepanjang itu, Iffaa?”

 

Aku tersenyum kecil. “Pertanyaannya  ... apa lo nggak kepanasan pakai jaket di musim kemarau ini?”

 

Anbi terkikik, “Anginnya lumayan sejuk. Jadi, apa salahnya?”

 

Aku takkan menyalahkan. Sedaritadi, udara memang tak membuatku risi untuk mengikat helai rambut sepunggungku. Ponselku menunjukkan angka lima lewat dan bus seharusnya sebentar lagi datang jika mengikuti jadwal.

 

“Lo beneran nggak suka cheesecake? Kenapa?”

 

Aku membenarkan pertanyaan Anbi sekaligus beralasan, “Karena asem.”

 

Aku menyipitkan mata saat meliriknya yang menahan tawa bahkan menghindari tatapanku seolah aku tak pernah hadir di dunia ini. “Ketawa aja sebelum tawa itu dilarang,” ketusku.

 

Sesuai perkiraan, bus kota sudah datang. Aku masih mencoba trik mengosongkan bangku dekat jendela hanya untuk berharap cowok yang tertawa di setiap langkahnya itu tak duduk di dekatku. Nyatanya, usahaku tak membuahkan hasil. Anbi dengan mudahnya membuatku bergeser seolah kursi lain dipenuhi orang-orang.

 

“Jangan marah Iffaa, nanti cantiknya luntur.”

 

Kalimat itu cukup menggelikan, aku bergidik. Terdengar seperti orang-orang di gang rumahku yang akan bersiul-siul. Justru, Anbi mengoceh tentang keanehanku yang tak menyukai keju. Apa salahnya?

 

Di halte berikutnya, Anbi memutuskan untuk turun. Kupikir rumahnya lebih jauh dibandingkan diriku saat kemarin pulang bersama. Jadi, aku takkan ikut turun meski ia menawarkan cheesecake terlezat sedunia. Namun, ia memaksaku hingga sang sopir menegur karena terlalu lama. 

 

Berakhirlah aku di sebuah toko kue yang mengalahkan aroma cendana di baju Anbi Sakardja. Sedikit kesal atas tidak berpendiriannya diriku untuk lebih tegas menolak, perasaan itu luntur perlahan setelah melihat kue yang terasa sayang untuk dimakan. Aku diam-diam memotret saat Anbi menyebutkan pesanannya. Aku merasa aneh atas perasaan malu ini. 

 

Kenapa harus diem-diem? Kayak mau maling aja.

 

Strawberry Cream Cake. Hanya itu pesananku saat tiga menu lainnya tersaji di meja. Anbi antusias atas makanannya. Itu cukup lucu. Jarang sekali seorang cowok terus terang menyukai makanan manis dengan penampilan secantik ini. Bapakku justru bependapat, “Menggelikan.” Atas hal-hal seperti ini.

 

“Lo mau foto dulu?” Pertanyaan itu membuatku terkesiap. Apa Anbi melihat aksiku yang diam-diam memotret? Yah, sungguh memalukan. “Biasanya hasil cewek lebih bagus.”

 

Aku mengusap pipiku yang menghangat. Di dekat Anbi pasti membunuhku perlahan dengan senjata malu ini. Meski demikian, kususun piring di meja agar rapi dan suara jepret ponsel Anbi membuatku menahan tawa. Itu kencang sekali. Kasir toko bahkan melirik kami. Tunggu, aku baru selesai menyusun makanan. Apa yang cowok berliontin ruby ini foto?

 

“Oke, selamat makan.” Anbi selesai dengan ponselnya, ia menyuapkan sepotong cheesecake dan mengeluh tertahan atas rasa enak di mulutnya. Aku mengambil sendok tersisa dan memotong kue milikku, lantas hal serupa membuat aku meniru Anbi. Ini sungguhan enak.

 

Kapan terakhir kali aku memakan makanan seperti ini? Apa itu tiga tahun yang lalu saat Kakakku merayakan pekerjaannya?

 

“Cobain ini.” Anbi menyodorkan sendoknya yang terisi. Aku juga memberikan sesendok kue milikku agar terasa adil. Meski tak yakin menyukai cheesecake ini, aku tetap mencoba sebagai bentuk menghargai. Dan ya, rasa manis berpadu asam ini sungguh aneh di mulutku.

 

Aku menggeleng saat mata kami bertemu. Kurasa Anbi paham maksudku, tetapi sepertinya cowok bertahi lalat di atas alis itu menyukai strawberry cream cake dariku. 

 

Sendok milik Anbi kukembalikan dan kuterima milikku. Terasa ada yang aneh. Kutatap lamat sendok milikku saat Anbi menyuapkan potongan cheesecake lagi. “Apa ini ciu—“

 

“Lo tipe orang yang pilih-pilih makanan ya?”

 

Aku berterima kasih pada Anbi. Pikiranku teralihkan untuk tak memikirkan hal-hal seperti itu. Namun, kurasa jawabanku adalah sebuah aib. “Ya … bisa dibilang begitu. Gue nggak suka keju atau makanan asam lainnya, pengecualian untuk sayur asem.”

 

Anbi tertawa, tetapi juga menyetujui, “Sayur asem emang nggak ada lawan.”

 

Benar, kan? Aku berdecak senang dalam hati.

 

“Jadi, lo juga nggak akan suka lemon tart ini, dong?”

 

Sayangnya, aku mengiyakan pertanyaan itu. Kemudian, kutanyakan hal serupa, “Gimana sama lo? Pilih-pilih makanan juga?”

 

Itu terdengar konyol. Aku menjerit dalam kepala. Pertanyaanku terasa janggal. Untungnya, Anbi terlihat biasa saja dan menjawab, “Gue? Hmm, gue makan apa aja. Kecuali, kacang. Gue alergi soalnya.”

 

Begitu rupanya. “Sayang banget. Padahal sate saus kacang enak.”

 

Anbi tertawa. Kali ini, mataku kembali pada sendok yang masih berdiam diri tanpa menyentuh kue. Aku meragu. Ini bekas Anbi. Dalam kepalaku terputar kalimat itu. Sekali lagi, aku menatap cowok di hadapanku yang tak terusik oleh hal seperti ini.

 

Mungkin aku terlalu berlebihan, tetapi pertanyaan curiga ini berputar-putar dalam kepala, “Ini modus Anbi, ‘kan?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
From Thirty To Seventeen
29230      3538     11     
Romance
Aina Malika bernasib sial ketika mengetahui suaminya Rayyan Thoriq berselingkuh di belakangnya Parahnya lagi Rayyan langsung menceraikan Aina dan menikah dengan selingkuhannya Nasib buruk semakin menimpa Aina saat dia divonis mengidap kanker servik stadium tiga Di hari ulang tahunnya yang ke30 Aina membuat permohonan Dia ingin mengulang kehidupannya dan tidak mau jatuh cinta apalagi mengenal R...
Just For You
6239      2050     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Special
1628      859     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Lost In Auto
1538      613     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
Bittersweet My Betty La Fea
4851      1534     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...
WEIRD MATE
1595      769     10     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...
Rain
584      425     4     
Short Story
Hujan mengubah segalanya dan Hujan menjadi saksi cinta mereka yang akhirnya mereka sadari.
Tanda Tangan Takdir
210      175     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Ojek
854      591     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
Kata Kamu
1002      517     3     
Romance
Ini tentang kamu, dan apa yang ada di dalam kepalamu